Yudi Setianto
Widyaiswara pada Pusat Pengembangan & Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan PKn-IPS Malang, Jawa Timur
yudiroyan@gmail.com
ABSTRAK
Artikel yang berupa gagasan dengan judul “Pendidikan Karakter Melalui Keteladanan Pahlawan
Nasional, berawal dari temuan di lapangan, bahwa pembelajaran sejarah bersifat kognitif-oriented ,
kurang memperhatikan makna didaktis dan afektif. Artikel ini berusaha menemukan solusi agar terjadi
perubahan paradigma dalam menyusun dan mengembangkan materi sejarah. Penulisan ini
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif-analitik. Pengembangan karakter siswa sebenarnya
dapat efektif dengan materi sejarah. Pengintegrasian pendidikan karakter dalam materi sejarah dapat
dilakukan melalui keteladanan para Pahlawan Nasional. Para pahlawan tersebut telah teruji
integritasnya, sehingga pemerintah memberi penghargaan yang tinggi terkait perjuangan, sikap,
pemikiran, dan karakternya. Untuk itu, dalam mengembangkan karakter siswa dapat dilakukan melalui
isnpirasi dari pahlawan nasional.
ABSTRACT
An article, which is an idea entitled “Character Education through a National Hero Role
Model”,begins with a finding in the field, that a History learning tends to be cognitive-oriented as well
as inattentive in didactic and affective meanings. This article tries to find out a solution in order that a
change of paradigm in compiling and developing a History lesson happens. This process of writing
uses qualitative descriptive analytic method. Developing students’ character actually can be effective
with History lesson. The integration of character education in History lesson can be done by National
Heroes role model. Those National Heroes have had proven integrity as a result the government
handed award for their struggle, attitude, thoughts and character. For that reason, to develop the
students’ character can be done through the inspiration from the national hero.
faktual yang disampaikan sama namun dalam Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat
setiap jenjang pendidikan, peristiwa tersebut pada pendekatan chronicle dan cenderung
akan tampil pada tingkat pengetahuan, menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa.
pemahaman, serta pemberian keterangan Pengaruh pembelajaran sejarah nasional masih
sejarah yang semakin tinggi dan kompleks. terus dipertanyakan keberhasilannya,
Dengan demikian, setiap tingkatan atau tahap mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan
diharapkan bisa memberikan kesegaran dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda
kematangan intelektual (Abdullah, 1996: 10). makin hari makin diragukan eksistensinya.
Dalam masa pembangunan bangsa, Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu
salah satu fungsi utama pendidikan adalah yang harus dibenahi dalam pelaksanaan
pengembangan kesadaran nasional sebagai pendidikan sejarah ( Alfian, 2007).
sumber daya mental dalam proses Jika materi pembelajaran sejarah,
pembangunan kepribadian nasional beserta khususnya membahas para pahlawan bangsa di
identitasnya (Kartodirdjo, 1993:247). Tujuan Indonesia diajarkan secara berulang-ulang dari
pendidikan tidak hanya membentuk tingkat SD sampai SMA, maka muncul
kemampuan intelektual semata, tetapi juga kejenuhan pada diri siswa. Pelajaran sejarah
sikap dan berbagai ketrampilan. Jika menjadi kurang memberi kesempatan kepada
pendidikan hanya memberikan kemampuan anak didik untuk belajar menggali peristiwa
intelektual tanpa didasari nilai-nilai dan atau tokoh lain dalam sejarah serta mengali
moralitas dalam diri siswa, maka lebih dalam tentang perilaku, sikap, perjuangan
intelektualitas dapat menjadi salah arah. dan pemikiran dari para pahlawan. Selama ini,
Menurut Kohlberg (1995:63), pendidikan dalam buku-buku teks pelajaran sejarah hanya
moral lebih merupakan perangsang bagi terdapat beberapa peristiwa dan pahlawan atau
perkembangan moral daripada ajaran langsung tokoh ketika membahas materi perlawanan
tentang aturan-aturan moral yang pasti dan atau perjuangan bangsa melawan kolonialisme
baku. dan imperialisme. Tokoh-tokoh pahlawan
Menurut Nugroh Notosusanto, secara tersebut adalah Pangeran Diponegoro, Imam
umum, fungsi sejarah terdiri empat macam Bonjol, Sultan Agung, Pattimura, R.A Kartini
meliputi: serta tokoh pahlawan lain yang sudah dihapal
(1) Fungsi Edukatif, sejarah memberikan oleh para siswa. Hapalan materi pada
kearifan dan kebijakan bagi yang umumnya tentang siapa, kapan, dimana, dan
mempelajari apa dari tokoh tersebut.
(2) Fungsi Inspiratif, dari sejarah dapat diambil Padahal sejarah Indonesia yang
ide-ide dan konsep yang langsung panjang mengandung berbagai nilai edukatif
berguna bagi pemecahan masalah masa sehingga memberikan pelajaran yang penting
kini dan untuk mendapatkan inspirasi dan bagi kehidupan generasi penerus bangsa.
semangat bagi mewujudkan identitas Untuk terus menghidupkan penghargaan
sebagai suatu bangsa. terhadap sejarah bangsa, materi pembelajaran
(3) Fungsi Rekreatif, yaitu nilai estetis dari sejarah harus bisa diterapkan dengan inovasi
sejarah, terutama berupa cerita yang indah materi yang menarik minat siswa. Menarik di
tentang tokoh ataupun peristiwa. sini tetap berdasar ciri khas materi sejarah
(4) Fungsi Instruktif, untuk menunjang bidang namun dikaitkan dengan hal yang bersifat
studi kejuruan/ketrampilan seperti kontekstual
jurnalistik,tehnologi senjata, navigasi dan Selama ini fungsi sejarah terkait
lain-lain (Notosusanto, 1971: 7-12). dengan pengembangan karakter bangsa yakni
Tampaknya, cari berbagai hal tentang fungsi edukatif belum diimplementasikan.
pembelajaran sejarah serta hakekat dari Padahal jika materi sejarah dikaitkan dengan
keempat fungsi sejarah di atas, pelaksanaan sejarah dalam koridor pendidikan di sekolah
pembelajaran di Indonesia hanya terpaku pada maka dengan sendirinya fungsi edukatif lebih
fungsi rekreatif berupa cerita sebuah peristiwa ditonjolkan, termasuk materi sejarah di
beserta tokohnya yang dikemas secara Sekolah Dasar. Namun model dan teknik
kronologis-diakronis. Jika ini dilakukan maka pembelajaran masih perlu membutuhkan
menjadi pembenar sebagian pendapat bahwa inovasi-kreasi dalam pelaksanaannya di kelas
pembelajaran sejarah bersifat monoton dan agar mindset tentang materi sejarah bersifat
membosankan bagi siswa. Hal ini sesuai hapalan dan akhirnya terlupakan dapat diubah.
pendapat Magdalia Afian bahwa strategi Menurut Sartono Kartodirjo, dua
pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. fungsi sejarah yaitu fungsi genetis dan
didaktis. Pada hakekatnya pengetahuan sejarah sekolah. Hal ini bertujuan untuk
adalah pengungkapan tentang “bagaimana” membentuk kepribadian siswa yang cinta
terjadinya peristiwa itu. Sudah barang tentu terhadap tanah airnya sendiri serta tahu
penjelasan tentang “bagaimana” juga bagaimana sejarah negaranya
mencakup “apa”, “siapa”, “di mana”, dan sendiri.Tantangan pendidikan karakter dalam
“kapan”. Esensi dari setiap pengetahuan mata pelajaran atau materi sejarah di sekolah-
sejarah sebenarnya hendak menerangkan sekolah itu sendiri adalah bagaimana
bagaimana sesuatu terjadi dan dengan mengelola semua komponen-komponen yang
demikian, dianggap telah “diterangkan” atau ada, seperti isi kurikulum itu sendiri harus
“dijelaskan” peristiwa itu. Ini berarti bahwa lebih mengarahkan pada pembentukan karakter
sejarah pada hakekatnya wajib melacak siswa, pemberdayaan sarana dan prasarana,
perkembangan kejadian, jadi genetikanya. dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan
Adapun fungsi didaktis pengetahuan sejarah sekolah. Apalagi pemerintah sudah
ialah agar generasi yang berikut dapat memberikan aturan tentang penguatan
mengambil hikmah dan pelajaran dari pendidikan karakter. Dengan demikian,
pengalaman nenek moyangnya. Lagi pula, agar kurikulum sekolah perlu adanya
suri tauladan mereka dapat menjadi model bagi pengintegrasian pendidikan karakter dalam
keturunannya. Sejarah dianggap sebagai setiap mata pelajaran dari semua jenjang
perbendaharaan kebijaksanaan nenek moyang, pendidikan.
termasuk nilai-nilainya (Kartodirdjo, Karakter merupakan perpaduan antara
1993:251- 252). moral, etika, dan akhlak. Moral lebih
Fungsi sejarah menurut Sartono menitikberatkan pada kualitas perbuatan,
Kartodirdjo di atas, dalam praktek tindakan atau perilaku manusia atau apakah
pembelajarannya juga hanya terpaku pada perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk,
fungsi genetis yang mencakup pengungkapan atau benar atau salah. Sebaliknya, etika
fakta sejarah yang berhubungan dengan : memberikan penilaian tentang baik dan buruk,
bagaimana, apa, siapa, di mana. Namun fungsi berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam
didaktis agar generasi berikutnya dapat masyarakat tertentu, sedangkan akhlak
mengambil keteladanan dari fakta sejarah masa tatanannya lebih menekankan bahwa pada
lalu, kurang ditekankan. Jika demikian maka hakikatnya dalam diri manusia itu telah
slogan kebanggaan sejarah yakni histories tertanam keyakinan di mana ke duanya (baik
make man wise tidak dapat berfungsi secara dan buruk) itu ada. Karenanya, pendidikan
maksimal. Slogan tersebut dapat diterapkan karakter dimaknai sebagai pendidikan
jika pembelajaran materi sejarah juga dapat nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
berkontribusi dalam hal pembentukan karakter moral, pendidikan watak, yang tujuannya
generasi bangsanya. mengembangkan kemampuan peserta didik
Pendidikan di Indonesia selama ini untuk memberikan keputusan baik-buruk,
dianggap oleh sebagian kalangan mengalami memelihara apa yang baik itu, dan
krisis dalam pembentukan karakter . Hal ini mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
disebabkan kurikulum difokuskan pada materi sehari-hari dengan sepenuh hati.
kognitif semata, tanpa memperhatikan secara Nilai merupakan suatu yang luhur,
serius hal-hal afektif atau perilaku. Mata yang baik dan senantiasa dikejar dan ingin
pelajaran dan materi yang relevan dan efektif dicapai oleh setiap manusia. Nilai bersifat
dalam membangun karakter bangsa, abstrak atau metafisis, hanya menjadi tampak
menumbuhkan nasionalisme, dan atau nyata dalam perilaku orang-orang yang
mempertahankan kearifan lokal adalah mata menghayatinya. Nilai mengatasi fisik dan
pelajaran atau materi sejarah. Namun selama kesadaran manusia, namun senantiasa menjadi
mata pelajaran tersebut bersifat mati suri jika sesuatu segi yang mendorong berperilaku
dikaitkan pembelajaran sikap. Hal ini tertentu. Pemahaman suatu nilai bukanlah
disebabkan masih terbatasnya suatu kognitif verbal, melainkan yang efektif
pengintegrasiannya dalam ranah afektif. afektual dengan menghayati nilai itu sendiri
Kurikulum pembelajaran sejarah dirancang (Driyarkara, 1980: 20).
pada domain kognitif semata meski kurikulum Mengutip pendapat Scheler, Drijarkara
mengalami dinamika sesuai perkembangan. menyatakan bahwa unsur pertama dalam
Nilai-nilai karakter dalam pendidikan kehidupan manusia yang utama adalah nilai-
sejarah memang perlu dilakukan dan nilai (wert). Baginya nilai bukanlah sesuatu
diterapkan dalam kurikulum yang ada di yang hanya ada dalam pikiran. Nilai bukan ide
atau cita-cita. Nilai dialami dengan penuh proses sosialisasi sikap nasionalisme dapat
getaran jiwa, perjuangan antara manusia dan dilaksanakan secara lebih sistematik dan
nilai rasa (fuhlen) karena ada tiga macam, terencana, yaitu melalui proses internalisasi.
maka nilai pun ada tiga, yaitu nilai keindahan Proses internalisasi merupakan proses untuk
atau kenikmatan, nilai kebaikan dan nilai menjadikan suatu sikap sebagai bagian dari
rokhani (Driyarkara, 1980: 149-150). kepribadian seserorang. Dalam upaya
Pernyataan Scheler sesuai dengan pendapat mensosialisasikan sikap nasionalisme,
Kattsoff ( 1992:345) yang menyatakan bahwa strategi belajar mengajar pendidikan sejarah
nilai tidak bereaksi namun mempunyai essensi- dilakukan melalui tahap pengenalan dan
essensi yang terkandung di dalam sesuatu atau pemahaman, tahap penerimaan, dan tahap
perbuatan dan ada di dalam kenyataan. Nilai pengintegrasian (Hizam: 2007:289).
mendasari barang sesuatu yang “bernilai” Sejarah dapat dimaknakan sebagai
maka ia memahami bahwa di dalam hakikat rekaman kritis tentang peristiwa, pengalaman
sesuatu terdapat nilai yang mendasari. serta kejadian penting yang dilakukan umat
Nilai-nilai itu merupakan sesuatu yang manusia pada masa lalu. Dalam peristiwa
nyata, tetapi melekat pada sesuatu. Di dalam sejarah tersebut, akan terlihat nilai-nilai
nilai terkandung cita-cita, harapan, dambaan, sejarah, sehingga dapat digunakan sebagai
dan keharusan, tetapi bukan merupakan tujuan referensi dari tindakan dan pola pikir generasi
konkret. Nilai mendorong manusia yang berikutnya dalam suatu bangsa. Mempelajari
menghayatinya untuk memilih mana yang sejarah bukan sekedar hapalan atau hanya
penting dan tidak penting, benar dan tidak sekedar cerita tentang suatu peristiwa besar
benar, baik dan tidak baik. Dengan demikian, yang kemudian kita lupakan dan tanpa
nilai memberi arah untuk bersikap dan memperoleh pemahaman sedikitpun. Peristiwa
bertingkah laku. Setiap bangsa di dunia sejarah mengandung nilai karakter pendidikan
mempunyai dasar atau landasan, kekuatan dan sejarah. Selanjutnya, perlu digambarkan
daya dorong bagi perjuangannya yang berupa implementasi nilai karakter pendidikan
nilai-nilai kejuangannya dalam mewujudkan sejarah.
cita-citanya. Pembelajaran harus memiliki muatan
Sementara itu, terminologi ”karakter” konsep kurikulum tersembunyi (hidden
itu memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan curriculum), yang meliputi nilai-nilai yang
kepribadian. Suatu karakter merupakan dipromosikan oleh sekolah, penekanan yang
cerminan dari nilai apa yang melekat dalam diberikan oleh guru, derajat antusiasme guru,
sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada iklim fisik dan sosial sekolah (Oliva, 1982:7).
gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai Istilah hidden curriculum atau kurikulum
yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau tersamar menunjuk pada kenyataan bahwa para
sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” guru dan sekolah terlibat dalam pendidikan
sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar moral, tanpa secara eksplisit dan filosofis
kamuflase. Karakter adalah watak, tabiat, membahas atau merumuskan tujuan dan
akhlak, atau kepribadian seseorang yang metodenya (Kohlberg, 1995:124). Pendidikan
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai karakter akhir-akhir ini menjadi pembicaraan
kebajikan (virtues) yang diyakini dan utama pendidikan, selain menjadi bagian dari
digunakan sebagai landasan untuk cara proses pembentukan akhlak anak bangsa.
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Pendidikan karakter diharapkan mampu
Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, menjadi pondasi utama dalam mensukseskan
dan norma, seperti jujur, berani bertindak, bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa maju
dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. lainnya. Dalam UU No 20 Tahun 2003
Interaksi seseorang dengan orang lain Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
menumbuhkan karakter masyarakat dan Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan
karakter bangsa. Oleh karena itu, nasional berfungsi mengembangkan
pengembangan karakter bangsa hanya dapat kemampuan dan membentuk karakter serta
dilakukan melalui pengembangan karakter peradaban bangsa yang bermartabat dalam
individu seseorang. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan untuk
Pendidikan Karakter dan Keteladanan berkembangnya potensi peserta didik agar
Pahlawan Nasional menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
Melalui pendidikan sejarah yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
dalam bentuk kegiatan belajar mengajar, mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis tercermin pada sikap perilaku untuk mencapai
serta bertanggung jawab. tujuan tertentu. Keberhasilannya dapat diukur
Pendidikan karakter memiliki esensi dengan indikator perubahan perilaku orang
dan makna yang sama dengan pendidikan yang menjadikannya figur panutan menjadi
moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya selaras seimbang sesuai dengan tujuan tertentu
adalah membentuk pribadi anak, supaya yang dikehendaki.
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, Sebuah proses meniru dan mengikuti
dan warga negara yang baik. Adapun kriteria selalu terjadi pada diri manusia. Binatang pun
manusia yang baik, warga masyarakat yang belajar dari induk mereka dengan cara melihat,
baik, dan warga negara yang baik bagi suatu lantas menirukan. Seluruh makhluk hidup di
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah dunia selalu belajar dengan cara meniru,
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak kenyataan - kenyataan di atas, menjelaskan
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan dengan sangat tegas akan pentingnya
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari keteladanan dalam hidup. Karena setiap orang
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan punya tabiat meniru, maka pihak - pihak yang
di Indonesia adalah pendidikan nilai, dimungkinkan akan ditiru semestinya selalu
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang tampil sebagai teladan yang baik. Agar,
bersumber dari budaya bangsa Indonesia mereka yang meniru mendapatkan contoh yang
sendiri, dalam rangka membina kepribadian baik untuk ditiru. Tabiat meniru ini, bahkan
generasi muda. akan memberi kontribusi yang besar bagi
Dalam ranah praktis dalam hampir seluruh kepribadian seseorang.
pendidikan, pendidikan karakter adalah segala Banyak pihak yang semestinya
sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu memberikan figur teladan yang baik, seperti
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru contoh seorang kepala keluarga menjadi figur
membantu membentuk watak peserta didik. teladan bagi anak dan isterinya. Semua
Hal ini mencakup keteladanan bagaimana pemikiran, ucapan dan tindakan yang
perilaku guru, cara guru berbicara atau dilakukan akan menjadi fokus perhatian
menyampaikan materi, bagaimana guru anggota keluarganya. Keselarasan dan
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. keseimbangan ketiga hal tersebut mampu
Jika dikaitkan dengan nilai karakter pendidikan berdampak positif bagi pencapaian tujuan
sejarah, maka hal ini merupakan persitiwa dan dalam kepemimpinan sebuah rumah tangga.
tokoh sejarah, yang mampu memberi Bisa dibayangkan betapa hebatnya akibat yang
insipiarsi, keteladadan, dan kepeloporan dari ditimbulkan bila hal tersebut diterapkan pada
ranah sejarah bangsa Indonesia. lingkungan yang lebih luas, mungkin sebuah
Pendidikan sejarah memiliki peran negara yaitu keteladanan seorang pemimpin
penting dalam pembinaan generasi muda, negara. Keteladanan mampu mempengaruhi
karena pendidikan sejarah sebagai saran efektif orang lain yang berbeda latar belakang,
dalam menanamkan sikap kesetiaan dan budaya, karakter, watak, lingkungan dan
tanggung jawab warga negara terhadap bangsa pengetahuan.
dan negaranya, serta membentuk kepribadian Strategi keteladanan ini dapat
bangsa (Soedjatmoko, 1990: 112). dibedakan menjadi keteladanan internal
Implementasi nilai karakter dalam pendidikan (internal modelling) dan keteladanan eksternal
sejarah dapat dieksplorasi melalui keteladaan (external modelling). Keteladanan internal
para tokoh-tokoh sejarah bangsa yang telah dapat dilakukan melalui pemberian contoh
mengabdi dan berjasa bagi bangsa dan negara. yang dilakukan oleh orang tua terhadap
Keteladan para tokoh akan memberi anaknya, atau keteladanan seorang guru
keteladanan yang bersifat tekstual dan terhadap siswanya sendiri dalam proses
kontekstual terhadap para siswa. pembelajaran. Sementara keteladanan
Keteladanan berasal dari kata teladan eksternal dilakukan dengan pemberian contoh-
yaitu hal - hal yang dapat ditiru atau dicontoh. contoh yang baik dari para tokoh yang dapat
Keteladanan mempunyai pengaruh besar diteladani, tokoh-tokoh yang ada dalam sejarah
dalam pembentukan pribadi seseorang. Secara bangsa. Pendekatan ini digunakan melalui
sederhana keteladanan memerlukan penilaian penerapan strategi keteladanan (modeling)
bahwa perilaku tersebut baik sebelum melalui pendidikan sejarah akan
memutuskan untuk melakukan hal yang sama. efektif.Keteladanan para pahlawan bangsa
Keteladanan dapat diartikan wujud dari usaha sebagai sarana efektif dalam rangka
yang dilakukan seseorang dengan sadar