Abstrak
Artikel yang kami jelaskan ini merupakan survei perkembangan penanaman karet
rakyat Indonesia pada masa kolonial akhir. Hal ini berkaitan dengan permasalahan pokok
seperti rangsangan-rangsangan untuk penanaman karet (harga-harga pasar dunia yang tinggi),
karakteristik-karakteristik umum di daerah Jambi, Palembang, dan Kalimantan Selatan (akses
sungai) yang menghasilkan produksi karet dan fase perkembangan, struktur internal karet
rakyat dan berbagai implikasi penanaman karet.
I.
Pengantar
Studi yang menjelaskan mengenai ekonomi karet rakyat Indonesia selama
periode kolonial sangat sedikit jumlahnya. Pada kenyataannya, ketika 40 tahun
sebelum Perang Dunia II, menyaksikan tumbuhnya inisiatif pertanian yang dilakukan
oleh para petani karet Indonesia untuk memperluas produksi ekspor. Studi tersebut
bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana para petani Indonesia
memperluas tanaman karet dan implikasi-implikasi ekonomis dari ekspansi itu dalam
periode dari awal abad ke-20 hingga menjelang Perang Dunia II. Tulisan ini berkaitan
khususnya dengan para petani karet di Kalimantan Selatan, Karesidenan Palembang,
dan Jambi, meskipun penanaman karet rakyat juga berlangsung di Riau, Aceh,
Sumatera Timur, Bangka, Kalimantan Barat, dan Lampung.
II.
Awal mula sistem penanaman karet di Indonesia era kolonial memiliki ciri
yaitu adanya penanaman ficus elastica.1 Rakyat mulai menanam ficus pada tahun
1890-an ketika mereka dihambat dan dicegah oleh alam dan adanya kebijakan
pemerintah untuk mengumpulkan getah ficus dari hutan. Rakyat juga menanam
tumbuhan tersebut ketika masa dimana harga tanaman-tanaman komersial (kopi,
tembakau, lada, dan kapas) ditekan. Selanjutnya perkebunan ficus tersebar secara luas
meskipun pemerintah kolonial menginginkan agar rakyat menanam hanya di beberapa
tempat saja pada akhir abad ke-19. Kemudian ketika para rakyat mulai banyak yang
menanam ficus, pemerintah kolonial memperkenalkan jenis tanaman karet yang lebih
bernilai yaitu disebut hevea. Setelah diperkenalkan dan dilakukan percobaan
penanaman, ternyata hevea lebih cocok dengan iklim dan kondisi tanah di sebagian
besar wilayah Indonesia ketika itu.
Selanjutnya perubahan yang terjadi pada teknologi pengolahan karet dan
perkembangan industri di Amerika dan Eropa terutama bangkitnya industri mobil,
menyebabkan harga karet mengalami kenaikan. Meskipun terdapat jenis pohon-pohon
karet yang berbeda-beda, pohon karet jenis hevea menghasilkan lebih banyak latex
dan komposisinya lebih cocok yang dibutuhkan konsumen karet.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa ekspansi penanaman karet hevea terjadi
ketika konsumsi karet dunia mengalami peningkatan tajam. Disamping itu terdapat
setidaknya tujuh alasan lain yang mendukung alasan penanaman karet yaitu sebagai
berikut :
karet hevea merupakan tanaman pengganti untuk tanaman komersial yang lebih
awal mengalami penurunan harga secara tajam.
kondisi iklim dan tanah dari sebagian besar wilayah di Indonesia penanaman karet
sangat cocok dan tanah tersedia secara melimpah ketika itu.
karet hevea lebih disukai karena alasan teknis, kapital (modal), dan tenaga kerja.
penanaman karet hanya merupakan pekerjaan sambilan.
karet hevea dianggap sebagai pelengkap bagi tanaman-tanaman lain yang telah
ditanam lebih awal.
orang menanam hevea untuk menghutankan kembali ladang mereka yang telah
ditinggalkan.
orang menanam karet hevea karena memberikan keuntungan ekonomi yang
substansial.
1 ficus elastica merupakan jenis tanaman karet liar yang juga tumbuh secara alamiah di hutan
kepulauan. Tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda pada tempat yang berbeda. Misalnya
di sekitar Palembang disebut sebagai rambung dan di Bengkulu disebut karet batang.
selama 5 tahun. Kemudian ekspansi besar secara temporer diturunkan oleh hargaharga rendah (1920-1922), tetapi rakyat bereaksi terhadap harga berikutnya yang lebih
tinggi berlaku sampai tahun 1928 dengan perluasan perkebunan karet. Meskipun
diberlakukan bea ekspor baru sebesar 5 % untuk karet rakyat (tahun 1925), para petani
kecil mendapat keuntungan dari naiknya harga karet setelah koloni-koloni Inggris
memperkenalkan skema restriksi.
Periode tahun 1926 dan 1929 merupakan titik puncak dalam ekspansi
penanaman karet meskipun ada beberapa usaha yang dilakukan oleh otoritas-otoritas
lokal untuk mencegah rakyat lebih banyak menanam karet dan mendorong untuk
menanam tanaman lain khususnya tanaman pangan. Dalam kenyataan, pemerintah
tidak dapat menghentikan rakyat menanam pohon hevea baru. Masalah utama adalah
bahwa minat penduduk setempat telah mencapai penyurutan yang rendah.
III.
menjual
Tengkulak
menjual
Pengolah (eksportir)
Penyadap
Karet karet rakyat dalam kenyataannya melewati transaksi-transaksi pasar
Namun
demikian,
yang berbeda sebelum diolah kembali dan diekspor. Selain itu ada berbagai cara yang
dilakukan penduduk menuju pasar karet (tetapi tengkulak selalu mendapat bagian
utama), yaitu sebagai berikut :
Pertama
Para produsen menjual produk mereka kepada para pedagang di tingkat desa. Para
pedagang ini biasanya adalah para pemimpin lokal, haji, atau pemilik toko desa.
Sebagian dari mereka dalah wakil pedagang lain, pengolah atau pengekspor yang
tinggal di kota-kota.
Kedua
Karet dibeli oleh para tengkulak yang datang ke daerah-daerah yang menghasilkan
karet. Mereka membeli karet dari pemilik, penyadap, dan pedagang desa di daerah
pedalaman terpencil.
Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia (Kelompok 3) (Pend. Sejarah Reguler 2009)
Ketiga
Para pemilik, penyadap, pedagang desa membawa karet mereka ke pasar yang dekat
dan menjualnya kepada para tengkulak lain. Disamping itu para pedagang karet biasa,
para tengkulak ini juga mencakup para pemilik kapal, pemasok barang, dan lainnya.
Keempat
Para produsen karet dan pedagang desa menjual karet mereka secara langsung kepada
para pengolah dan pengekspor di kota.
Perkiraan mengenai jumlah penghasilan yang diterima dari penanaman karet
tidak diragukan bahwa sektor karet rakyat sangat mempengaruhi tingkat aktivitas
ekonomi di daerah penghasil karet (tahun 1923 dan 1927). Misalnya penghasilan
seorang penyadap karet di daerah sepanjang sungai Ogan di Palembang sekurangkurangnya 75 gulden per bulan (tahun 1925), dibandingkan dengan penghasilan
seorang pegawai pemerintah sebesar 20-40 gulden per bulan pada tahun yang sama.
Para petani kecil karet rakyat bukanlah faktor tunggal yang mendapat
keuntungan dari penanam karet. Hak istimewa dibagi rata dengan para pedagang,
penyadap karet upahan, dan pemerintah kolonial. Selain itu pentingnya sektor karet
rakyat juga tercermin dalam penghasilan pajak yang diterima oleh otoritas-otoritas
kolonial. Ada peningkatan besar dalam penghasilan pajak setelah introduksi bea
ekspor sebesar 5 % pada bulan Juni 1925. Total dari penghasilan pajak ekspor tahunan
yang diterima dari bea ekspor karet di Palembang sebesar 927.000 gulden selama 6
bulan pada tahun 1925.
Ekspansi terhadap penanaman karet rakyat memberikan beberapa masalah
antara lain meningkatnya permasalahan tanah bagi penduduk di beberapa daerah
penghasil karet. Meskipiun masih terdapat area hutan yang cukup luas sampai akhir
tahun 1930-an, penduduk di wilayah tersebut tidak dapat lagi mengakses mudah
terhadap tanah-tanah yang cocok untuk dilakukan penanaman karet seperti biasanya.
Pada perkembangan selanjutnya akses menjadi semakin sulit disebabkan oleh mulai
banyaknya pertumbuhan perkebunan dan pertambangan milik asing yang juga
memerlukan tanah cukup luas untuk dieksplorasi.
IV.
Penutup
Ketika pada akhir tahun 1920-an harga-harga karet mengalami kejatuhan
merupakan suatu titik balik bagi para produsen karet rakyat di Palembang, Jambi, dan
Kalimantan Selatan disebabkan oleh harga-harga karet tidak pernah pulih menuju
keadaan harga lebih awal. Pasar mengalami tekanan dan jumlah permintaan untuk
barang-barang mewah mengalami penurunan yang tajam. Namun, hal tersebut tidak