Anda di halaman 1dari 10

Nilai dan Mitos dalam Ritual Peringatan Malam 1 Syura di Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Budaya Dosen Pengampu: Drs. Mukh Doyin, M.Si. M. Burhanuddin

oleh: Betty Nur Saktyawati 2101409027 Rombel 1

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Ritual kebudayaan merupakan kegiatan rutin yang dilakukan sekelompok masyarakat. Ritual budaya sebagai urutan-urutan tindakan yang terstandarisasi yang secara periodik diulang, memberikan arti dan meliputi penggunaan simbol-simbol budaya. Ritual budaya bukan sekadar kebiasaan yang dilakukan seseorang, tetapi hal ini dilakukan dengan serius dan formal, yang memerlukan intensitas mendalam dari seseorang. Setiap ritual memiliki mitos yang secara turun-menurun di turunkan oleh leluhur atau nenek moyang, dalam ritual itu memiliki berbagai tujuan. Mitos adalah cerita yang berisi elemen simbolis yang mengekspresikan emosi dan cita-cita budaya, misalnya sebagai rasa syukur atau terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa telah diberikan panen, diberikan anak, dan diberikan apapun yang baik dan menguntungkan untuk masyarakat, baik dalam ritual slametan yang bersifat religi atau ritual yang bersifat kebudayaan. Masyarakat beranggapan, jika meraka melakukan ritual itu akan selalu mendapatkan keberuntungan, yang secara terus-menerus dilakukan oleh masyarakat dan sekarang telah menjadi kebudayaan mereka. Misalnya pada ritual selametan kelahiran, pernikahan, maupun ritual kebudayaan seperti ritual suronan. Di Jawa, bulan Muharram disebut bulan Suro. Bagi orang Jawa bulan Suro memiliki makna khusus. Mereka menyambutnya dengan berbagai kegiatan, sepert pagelaran wayang semalam suntuk, lek-lekan, tirakatan, memandikan pusaka-pusaka seperti keris atau tombak, dan sebagainya. Begitu juga di Desa Traji, disana juga terdapat upacara ritual untuk memperingati malam satu suro.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa diadakan ritual peringatan malam satu suro? 2. Bagaimana prosesi ritual malam satu suro di Desa Traji? 3. Apa makna yang terkandung dalam upacara ritual malam satu suro?

C. Tujuan 1. Mengetahui sejarah diadakannya peringatan malam satu suro 2. Mengetahui prosesi ritual malam satu suro di Desa Traji 3. Mengetahui makna yang terkandung dalam upacara ritual malam satu suro

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah peringatan malam satu suro Nama Suro sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Dari kata Asyuro, lalu disingkat menjadi Syuro atau Suro. Dalam Islam, Asyuro merupakan hari yang kesepuluh (Asyrah) di bulan Muharram. Pada hari itu, disunnahkan untuk berpuasa karena akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Disebutkan dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa Asyura? Beliau menjawab, Puasa Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu. (H.R. Muslim). Lalu apa kaitannya dengan mitos-mitos Jawa? Apakah ini lelucon belaka? Tetapi mengapa kebanyakan orang Jawa menganggapnya sebagai bulan sial? Umat Islam menyambut bulan Muharram (Suro) sebagai awal tahun baru Hijriyah. Kalau kemudian ada kepercayaan bahwa bulan Suro itu merupakan bulan gawat atau bulan sial, boleh jadi itu ada kaitannya dengan tragedi terbunuhnya cucu Rasulullah saw, Husein bin Ali KW yang terjadi pada hari Asyuro di bulan Muharram.

B. Peringatan malam satu suro di Desa Traji Upacara peringatan tahun baru Jawa, sekaligus tahun baru Islam (Muharram) di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung memang selalu dinanti masyarakat luas, sebab ada yang unik dari tradisi di tempat itu. Tak sekadar jamasan pusaka atau membawa gunungan berisi hasil bumi layaknya ritual sura pada umumnya. Namun, lebih dari itu. Ritual Sura di Desa Traji memiliki keunikan dimana setiap tahun saat peringatan sura, lurah ini didaulat menjadi pengantin.

Berikut merupakan rangkaian ritual peringatan malam satu suro di Desa Traji :

Ritual Sendang Sidukun dan Kirab Lurah Satu hari sebelum ritual Sendang Sidukun, masyarakat menguras sendang yang berukuran 9X25 meter dengan kedalaman 2 meter, kegiatan itu dilakukan secara gotongroyong oleh warga Traji. Warga juga mengecat ulang pendapa dengan warna hijau tua dan kuning gading. Di pendapa itulah terdapat prasasti bertuliskan huruf

Jawa"Angayuhsih kadarmaning Gusti kanthi manunggaling cipto " yang ada sejak dahulu. Di situ pula terdapat sumur sumber air bertuah yang mengairi sendang dan sawah penduduk setempat. Menurut juru kunci setempat, Mbah Suari (63), nantinya sesaji malam sura akan diletakkan di pendapa tersebut. Sesaji berupa kepala kambing, bunga wangi, pisang raja dan buah-buahan lain, minuman kopi yang harus menggunakan wadah panci tertutup, wedang santen dan kemudian ketan bakar yang semuanya itu disebut dengan Angsung Bulu Bekti. Di bawah pendapa Sendang Sidukun terdapat lubang sumur yang merupakan sumber air. Sumber air inilah yang selama ini mengairi sendang dan sawah penduduk. Konon, di situlah dulu tongkat Sunan Kalijaga ditancapkan untuk mendapatkan air wudhu. Ritual dipimpin Kepala Desa Traji dengan didampingi istrinya seperti pengantin yang mengenakan pakaian adat Jawa kebesaran kerajaan, sedangkan puluhan warga lainnya terutama para lelaki baik perangkat desa maupun warga Traji mengenakan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta dalam prosesi tersebut. Ritual dilakukan sebagai perwujudan rasa terimakasih kepada Sang Pencipta atas segala karunia yang telah diberikan. Uba rampenya pn macam-macam mulai tumpeng, ingkung ayam, kepala kambing, gunungan hasil bumi serta pengambilan air di Sendang Sidhukun. "Ritual pakai tumpeng uluwetu (hasil bumi) yang ada di Traji, gunungan diarak dan sampai sendang berebut gunungan. Uniknya, setiap tahun lurah di Desa Traji, saat satu sura lurah menikah lagi ala pengantin. Maknanya, lurah dianggap sesepuh desa, maka dia memakai pakaian kebesaran, mirip kaya pengantin. Ya, harapan dari ritual ini semoga diberi keamanan, ketentraman, Prosesi dimulai sekitar pukul 18.00 (Setelah Magrib) hingga 19.00 WIB (Sebelum Isya). Mereka berjalan kaki dari balai desa menuju mata air di pinggir Jalan Raya

Parakan-Ngadirejo, Kabupaten Temanggung yang berjarak sekitar 500 meter sambil mengusung dengan tandu sesaji Angsung Bulu Bekti dan Gunungan antara lain berupa kacang panjang, sawi, cabai, bawang merah, bawang putih, terong dan singkong. Sebelumnya, rombongan mengunjungi makam sesepuh desa yakni Mbah Kyai Adam Muhammad, lokasinya dibelakang masjid. Selain itu, rombongan pamong desa berpakaian adat Jawa ini menuju ke Gumuk Guci yang dikeramatkan. Dalam perjalanan kirab ini, lurah memberikan uang receh kepada para pedagang, untuk ditukar dengan barang dagangan seikhlasnya. Uang logam itu dipercaya sebagai jimat pelarisan oleh pedagang. Sesampai di Sendang tersebut diadakan acara kacar-kucur dan upacara sesaji. Acarakacar-kucur menyerupai prosesi pemandian calon pengantin menjelang perkawinan. Sedangkan sesaji berupa kupat sumpil (ketupat kecil) akan diperebutkan pengunjung, karena diyakini dapat dijadikan benda bertuah atau jimat. Di kolam dekat mata air itu ribuan orang berkumpul mengikuti pembacaan doa oleh Kades. Beberapa saat kemudian sejumlah sesaji dilemparkan ke dalam kolam diikuti puluhan orang yang menceburkan diri di dalam kolam itu untuk berebut sesaji. Ratusan orang lainnya berebut aneka sesaji dan hasil bumi di dalam gunungan di dekat mata air. Mereka juga antre mendapatkan pembagian air dari mata air tersebut yang dilakukan juru kunci Sendang Sidukun.

Wayang Kulit Setelah ritual selesai, Kepala Desa beserta istrinya kembali ke Balai Desa, mereka duduk berdampingan di aula dan mendapatkan penghormatan berupa sungkeman dari seluruh perangkat desa dan warga setempat. Pada kesempatan itu mereka membagikan uang logam kepada setiap orang yang sungkem sebagai simbol berkah atas ritual tersebut. Acara kemudian dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit yang dilakukan selama tujuh malam.

Sejarah Pagelaran Wayang Kulit di Malam Satu Suro Tradisi itu bermula dari kisah dalang wayang kulit bernama Garu dari Dusun Garon, Desa Traji pada masa lampau. Dia didatangi orang berpakaian bangsawan yang mengaku berasal dari Traji dan memintanya untuk mementaskan wayang kulit pada malam 1 Suro. Setelah

mementaskan wayang, ternyata orang berpakaian bangsawan yang tidak diketahui namanya itu membayar sang dalang tidak dibayar dengan uang tetapi dengan kunir satu nampan. Meskipun sempat terkejut, Garu menerima pemberian kunir itu. Saat hendak pulang, Garu dipesan oleh orang itu untuk tidak menoleh sebelum tujuh langkah dari tempat itu. Tetapi Garu tidak mengindahkan pesan itu dengan hanya mengambil tiga buah kunir dan menoleh sebelum tujuh langkah. Saat menoleh ternyata orang itu sudah hilang, tempat itu berupa sendang atau kolam, dan tiga kunir berubah menjadi tiga batangan emas, Garu sadar yang minta wayang bukan sembarang orang, lalu dia pergi ke sesepuh Desa Traji dan meminta setiap Suro untuk pentas wayang di tempat itu, sampai sekarang tradisi itu terus berlangsung.

Sendang Sidukun Saat ini Sampai sekarang sumber air tersebut memengaruhi besar kecilnya debit air di empat sungai yang melintasi desa Traji, yakni Bong, Kalijogo, Puring dan Kalipanas. Mata air itu menjadi sumber penghidupan bagi para petani setempat. Jumlah penduduk setempat sekitar 3.600 jiwa atau 995 kepala keluarga. Sumber air Sendang Sidukun sampai kini diyakini mempunyai tuah untuk menyembuhkan penyakit, menyuburkan sawah, melariskan dagangan dan menjaga jabatan atau pangkat seseorang. Hal ini, dibuktikan dengan banyaknya orang dari luar kabupaten yang datang di malam 1 Suro mem Ritual ini mempunyai maksud-maksud yang lebih ilmiah, yaitu menumbuhkan kerukunan di antara warga desa Traji yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Nawu sendang, dimaksudkan sebagai usaha untuk memelihara sumber mata air agar tidak liar menjadi bajir atau malah mati menjadi kering dan harapannya kedepan tidak terjadi bencana. Ritual Sendang Sidukun telah berlangsung sekitar 200 tahun, setiap malam 1 Suro. Setiap orang yang menjabat kepala desa setempat, katanya, harus memimpin ritual malam 1 Suro dengan mengenakan pakaian raja dan ratu Jawa. Masyarakat hingga saat ini memercayai akan mendapatkan rezeki melimpah, dagangan laris, tanaman pertanian subur, dan mereka yang menjadi pegawai dapat bekerja secara baik setelah mengikuti ritual tersebut. Dulu pernah ada rencana untuk menghapus tradisi ini, tetapi baru rencana saja masyarakat sudah menghadapi banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi budaya ini terus dilestarikan.inta air untuk dibawa pulang.

C. Makna Ritual Peringatan Malam Satu Suro Ritual malam 1 syura yang dilakukan oleh masyarakat Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kab.Temanggung, yang bertujuan untuk kelestarian alam dan lingkungan. Selain itu ritual ini mempunyai maksud-maksud yang lebih ilmiah, yaitu menumbuhkan kerukunan di antara warga desa Traji yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Nawu sendang, dimaksudkan sebagai usaha untuk memelihara sumber mata air agar tidak liar menjadi bajir atau malah mati menjadi kering dan harapannya kedepan tidak terjadi bencana. Ritual Sendang Sidukun telah berlangsung sekitar 200 tahun, setiap malam 1 Suro. Setiap orang yang menjabat kepala desa setempat, katanya, harus memimpin ritual malam 1 Suro dengan mengenakan pakaian raja dan ratu Jawa. Masyarakat hingga saat ini memercayai akan mendapatkan rezeki melimpah, dagangan laris, tanaman pertanian subur, dan mereka yang menjadi pegawai dapat bekerja secara baik setelah mengikuti ritual tersebut. Dulu pernah ada rencana untuk menghapus tradisi ini, tetapi baru rencana saja masyarakat sudah menghadapi banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi budaya ini terus dilestarikan. Di luar hal-hal tersebut, ritual malam 1 Sura ternyata mampu menghidupkan ekonomi warga Traji. Karena sejak sepekan lalu, di Jalan Raya Traji, Parakan , banyak pedagang setempat dan dari luar daerah yang menggelar dagangan layaknya pasar malam. Ratusan pedagang berjajar di tepi kiri dan kanan jalan menggelar aneka dagangan seperti makanan, minuman, pakaian, permainan anak, dan cendera mata lainnya. Selain makna yang terkandung di dalamnya, terdapat juga nilai yang terkandung di dalamnya, nilai kedisiplinan, nilai keharmonisan, nilai kedisplinan,dan nilai religi. Suatu nilai kedisiplinan, yang di tujukan oleh masyarakat setempat. Ritual yang diikuti oleh sebagaian masyarakat, yang dilakukan secara teratur, baik penentuan waktu pelaksaan dan dalam proses berlangsungnya ritual. Dalam proses pelaksanaan ritual, teratur sesuai ketetapan ketetapan ritual. Nilai keharmonisan juga bisa di lihat di dalam sebuah acara ritual, yang

menyatukan semua masayarakat dalam satu tujuan yang sama. Dalam sebuah acara ritual semua masyarakat berkumpul dalam suatu perkumpulan, tanpa membeda bedakan kasta atau jabatan, dengan tujuan mencapai keadaan slamet.

BAB III PENUTUP


A. Simpulan Setiap malam satu suro di Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung diadakan ritual kirab lurah dan ritual Sidukun. Dalam ritual ini, lurah traji didandani layakna pengantin dan melakukan serangkaian ritual. Selain untuk menjaga kelestarian budaya, ritual malam satu suro di Desa Traji juga beertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat.

B. Saran Tradisi yang sudah turun temurun dari sesepuh kita patut untuk dilestarikan, karena hal tersebut pasti memiliki makna tersendiri, dan terkadang di dalamnya ada wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas berkah yang diberikan. Selain itu, kita juga harus mempertahankan warisan budaya karena itu merupakan kekayaan bangsa kita, jangan sampai luntur oleh budaya luar.

DAFTAR PUSTAKA
http://fihman.blogspot.com/2011/12/komunikasi-tradisional-dalam-ritual.html http://visitcentraljava.com/kabupaten-temanggung http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0601/31/dar33.htm

Anda mungkin juga menyukai