Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beragam suku, ras, budaya, bahasa,
serta agama. Namun, di tengah keberagaman tersebut, terdapat suatu nilai-nilai kehidupan yang
dianut oleh seluruh masyarakat Indonesia sejak zaman nenek moyang hingga saat ini, Nilai-nilai
tersebut bernama Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai yang mampu mempersatukan
seluruh rakyat Indonesia sekaligus menjadi ciri kepribadian bangsa ini. Secara etimologis,
Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kata pancasyila atau pancasyiila. Pancasyila
(dengan huruf “i” pendek) yang berarti lima alas atau lima dasar; sedangkan pancasyiila (dengan
huruf “ii” panjang) yang berarti lima peraturan tingkah laku yang baik. Dalam kajian akademik,
pembahasan tentang latar belakang Pancasila pada umumnya menunjuk pada sumber buku
Negarakertagama, karya Empu Prapanca di masa Majapahit. Di dalamnya ditemukan
penggunaan kata “pancasila” yang berbunyi : Yatnanggegwani pancasyila kertasangskara
bhisekakarama, artinya : Raja menjalankan lima pantangan dengan setia, begitu pula upacara
upacara ibadat dan penobatan-penobatan. Rujukan itu menunjukkan bahwa Pancasila pada
awalnya lebih dilihat pada dimensi etis-moralnya serta menjadi alasan pembenar bahwa
Pancasila memiliki latar belakang sejarah serta sosio-kultural bangsa Indonesia sendiri (Ismaun,
1972). Dengan demikian, Pancasila merupakan kristalisasi nilainilai luhur budaya bangsa
Indonesia, yang berakar sejak ratusan tahun yang silam, jauh sebelum Pancasila ditetapkan
sebagai dasar negara. Nilai-nilai itu mewarnai kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang
diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku (Pranarka, 1985). Sebagai dasar negara, Pancasila
menjadi dasar bagi penataan kehidupan bernegara, yang implementasinya diwujudkan dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber
hukum bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia.
Demikian pula dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan itu, termasuk segala kebijakan
yang dijalankan oleh penyelenggara kekuasaan negara. Dengan demikian, implementasi
Pancasila sebagai 37 dasar negara lebih bersifat yuridis dan politis. Dalam konsep pengamalan
Pancasila, hal ini disebut pengamalan Pancasila secara objektif. Di samping itu, Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh
1
suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara formal yang meliputi
suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar Negara (Suhadi, 1998). Cita-cita
hukum tersebut terangkum didalam empat pokok pikiran yang terkandung dalam Undang
Undang Dasar 1945 yang sama hakikatnya dengan Pancasila. Maka dari itu, Pancasila memiliki
hubungan yang sangat erat dengan UUD 1945.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dan fungsi pancasila?

2. Bagaimana hubungan pancasila dan UUD 1945?

C. Metode

Dalam makalah ini, Penulis menggunakan metode analisis dan penelaahan literatur yang dinilai
cukup efektif dalam memperoleh data dan fakta-fakta, yang selanjutnya ditanggapi oleh penulis
sehubungan dengan relevensinya pada saat ini.

D. Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang pengertian dan fungsi
pancasila serta hubungannya dengan Undang Undang Dasar 1945. Penulis berharap makalah ini
dapat membantu memberikan sedikit gambaran bahwa tujuan mempelajari pancasila adalah
untuk memahami makna dan arti pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Kita sebagai
warga negara Indonesia harus dapat mempelajari pancasila dengan benar yakni dapat di
pertanggungjawabkan baik secara yuridis konstitusional maupun secara objektif, oleh karena itu
setiap orang boleh memberikan pengertian atau tafsiran menurut pendapat sendiri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian serta Perbedaan Pancasila dan UUD 1945

1. Pancasila

1.1. Pengertian Pancasila berdasarkan Etimologis

Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India. Ajaran Budha
bersumber pada kitab suci Tri Pitaka, yang terdiri atas tiga macam buku besar yaitu; Suttha
Pitaka, Abhidama Pitaka, dan Vinaya Pitaka. Dalam ajaran Budha terdapat ajaran moral untuk
mencapai Nirwana dengan melalui Samadhi, dan setiap golongan berbeda kewajiban moralnya.
Ajaran ajaran moral tersebut adalah sebagai berikut:

 Dasasyiila

 Saptasyiila

 Pancasyiila

Ajaran Pancasyiila menurut Budha adalah merupakan lima aturan (larangan) atau five moral
principles yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa atau awam. Pancasyiila
yang berisi lima larangan atau pantangan itu menurut isi lengkapnya adalah sebagai berikut:

 Panatipada veramani sikhapadam samadiyani artinya "jangan mencabut nyawa makhluk


hidup" atau dilarang membunuh.

 Dinna dana veramani shikapadam samadiyani artinya "janganlah mengambil barang


yang tidak diberikan" atau dilarang mencuri.

 Kameshu micchacara veramani shilulpadam samadiyani artinya "jangan berhubungan


kelamin" atau dilarang berzina.

 Musawada veramani sikapadam samadiyani artinya "janganlah berkata palsu" atau


dilarang berdusta.
 Sura meraya masjja pamada veramani artinya "janganlah meminum minuman yang
menghilangkan pikiran" atau dilarang mabuk mabukan. ( Zainal Abidin 1958 : 361 )

Dengan masuknya kebudayaan India ke Indonesia melalui penyebaran agama Hindu dan
Budha, maka ajaran "Pancasila" Budhisrnepun masuk ke dalam Kepustakaan Jawa, terutama
pada zaman Majapahit. Perkataan "Pancasila" dalam khasanah kesusastraan nenek moyang kita
dizaman keemasan keprabuan Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk dana Maha Patih Gadjah
Mada, dapat ditemukan dalam keropak Negarakertagama, yang berupa kakawin (syairpujian)
dalam pujangga istana bernama Empu Prapanca yang selesai ditulis pada tahun 1365, dimana
dapat kita temui dalam sarga 53 bait ke 2 yang berbunyi sebagai berikut :

"Yatnaggegwani pancasyiila kertasangskarbhisekaka karma."

Yang artinya Raja menjalankan dengan setia kelimapantangan (Pancasila), begitupula


upacara upacara ibadat dan penobatan penobatan. Begitulah perkataan Pancasila dari bahasa
Sansekerta menjadi bahasa jawa kuno yang artinya tetap sama yang terdapat dalam zaman
Majapahit. Demikian juga pada zaman Majapahit tersebut hidup berdampingan secara damai
kepercayaan tradisi agama Hindu Syiwa dan agama Budha Mahayana dan campurannya
Tantrayana. Dalam kehidupan tersebut setiap pemeluk agama beserta alirannya terdapat
Penghulunya (kepala urusan agama). Kepala Penghulu Budha disebut "Dharmadyaksa ring
kasogatan", adapun untuk Agama syiwa disebut "Dharmadyaksa ring kasyaiwan". (Slamet
Mulyono, 1979 : 202)

Setelah Majapahit runtuh dan agama Islam tersebar ke seluruh Indonesia, maka sisa-sisa
pengaruh ajaran moral Budha (Pancasila) masih juga dikenal dalam masyarakat Jawa, yang
disebut dengan Lima Larangan, atau Lima Pantangan moralitas yaitu dilarang:

 Mateni artinya membunuh.

 Maling artinya mencuri.

 Madon artinya berzina.

 Mabok artinya meminum minuman keras.

4
 Main artinya judi.

1.2. Pengertian Pancasila secara Sosiologis-Historis

Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan


Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarga instruksi Presiden RI No 12 Tahun
1968. Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:

 Telaah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945,
saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI);

 Sesudah Instruksi Presiden RI No 12 Tahun 1968 tersebut, keracunan pendapat tentang


rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.

a. Sidang BPUPKI - 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945

Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr Muhammad Yamin menyampaikan telaah
pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut:

1. Peri Kebangsaan.

2. Peri Kemanusiaan.

3. Peri Ketuhanan.

4. Peri Kerakyatan.

5. Kesejahteraan Rakyat.

Ketika itu tidak diberi nama terhadap lima azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir Soekarno juga mengusulkan lima Dasar
Negara sebagai berikut:

1. Kebangsaan Indonesia.

2. Internasionalisme.
3. Mufakat atau Demokrasi.

4. Kesejahteraan Sosial.

5. Ketuhanan Yang Berkebudayaan.

Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu ia mengatakan: "… saja namakan ini
dengan petundjuk seorang teman kota - ahli bahasa namanja ialah Pantja Sila …". (Anjar Any,
1982 : 26)

b. Piagam Jakarta 22 Juni 1945

Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh "Panitia
9" yang lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para
wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir Soekarno, Drs. Mohammad
Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim, Mr.
Achmad Subardjo, K.H Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin.

Rumusan sistematis dasar negara oleh Panitia 9 itu tercantum dalam suatu naskah
Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta", yaitu:

1. Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan.

5. Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, "Piagam Jakarta" diterima sebagai rancangan
Mukadimah hukum dasar (Konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut -
khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) - pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.


6
2. Kemanusiaan Yang adil dan Beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /


perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

c. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)

Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila
dirumuskan secara lebih singkat menjadi:

1. Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Perikemanusiaan.

3. Kebangsaan.

4. Kerakyatan.

5. Keadilan sosial.

Sementara itu dikalangan masyarakat pun terjadi kecenderungan menyingkat rumusan


Pancasila dengan alasan praktis/pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengat variasi sebagai
berikut:

1. Ketuhanan.

2. Kemanusiaan.

3. Kebangsaan.

4. Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat.

5. Keadilan sosial.
Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung
sesudah Dektrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian
bahwa rumusan Pancasila harus sesuai denhan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

d. Instruksi Presiden RI No 12 Tahun 1968

Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa pancasila tetap
terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan
terjadinya penafsiran individual yang membahayakan kelestarian sebagai dasar negara, ideologi,
ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandanhan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya
tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No 12
Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945.

2. Pengertian UUD 1945

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 angka I dinyatakan bahwa: “Undang-
undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-
undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis, ialah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak
tertulis”. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, pengertian kata Undang-Undang Dasar
menurut UUD 1945, mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada pengertian hukum dasar,
Karena yang dimaksud Undang-undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan
pengertiann hukum dasar mencakup juga hukum dasar yang tidak tertulis.

Di samping istilah undang-undang dasar, dipergunakan juga istilah lain yaitu Konstitusi.
Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris constitution atau dari bahasa Belanda Constitutie.
Kata konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dari Undang-undang dasar karena
pengertian Undang-undang Dasar hanya meliputi konstitusi yang tertulis saja, selain itu masih
terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam pengertian Undang-undang

8
Dasar. Selain hukum dasar yang tertulis yaitu UUD masih terdapat lagi hukum dasar yang tidak
tertulis, tetapi berlaku dan dipatuhi oleh para pendukungnya, yaitu yang lazim disebut konvensi,
yang berasal dari bahasa Inggris convention, yang dalam peristilahan ketatanegaraan disebut
kebiasaankebiasaan ketatanegaraan. Misalnya, kebiasaan yang dilakukan oleh Presiden RI, setiap
tanggal 16 agustus melakukan pidato kenegaraan di muka Sidang Paripurna DPR. Pada tahun
1945 hingga tahun 1949, karena adanya maklumat pemerintah tertanggal 14 November 1945,
yang telah mengubah system pemerintahan dari cabinet presidensial ke cabinet parlementer.
Tetapi apabila keadaan Negara bahaya atau genting, cabinet beruah menjadi presidensiil, dan
sewaktu-waktu keadaan Negara menjadi aman kebinet berubeh kembali menjadi parlementer
lagi. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tidak ada peraturan yang tegas secara tertulis, pendapat
umum cenderung melakukannya, apabila tidak dilaksanakan, dianggap tidak benar.

Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan dan
Pasal- Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4 Alinea, yang di dalam Alinea
keempat terdapat rumusan dari Pancasila, dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 terdiri
dari 20 Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 Pasal (Pasal 1 sampai dengan pasal 37),
ditambah dengan 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA
dihapus, dalam amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD 1945.
Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu kebulatan yang utuh, dengan kata lain
merupakan bagian-bagian yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian
pengertian UUD 1945 dapat digambarkan sebagai berikut :

 UUD 1945.

 PEMBUKAAN.

 Terdiri dari: 4 ALINEA.

 ALINEA 4: Terdapat rumusan Sila-sila dari Pancasila dan PASAL-PASAL.

 Terdiri dari: Bab I s.d. Bab XVI (20 Bab) Pasal 1 s.d. Pasal 37 (72 Pasal), ditambah 3
Pasal Aturan Peralihan dan 2 Pasal Aturan Tambahan.
B. Asal Mula Pancasila dan UUD 1945

1.1. Asal Mula Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi Bangsa dan Negara Indonesia tidak
terbentuk secara mendadak serta tidak diciptakan oleh seseorang akan tetapi melalui proses yang
cukup panjang dalam sejarah Indonesia. Ditinjau dari kausalitasnya, asal mula dibedakan
menjadi dua macam yaitu langsung dan tidak langsung.

 Pengertian asal mula langsung adalah pancasila sebagai dasar filsafat Negara yaitu
sesudah dan menjelang proklamasi kemerdekaan asal mula langsung menurut
Notonagoro (1975) sebagai berikut:

- Asal Mula Bahan (Kuasa Materialis) => Bangsa Indonesia yang terdapat dalam
kepribadian dan pandangan hidup.

- Asal Mula Bentuk (Kuasa Formalis) => Berasal dari Ir. Soekarno bersama – sama
dengan Moh. Hatta serta anggota BPUPKI yang terlibat dalam rumusan pancasila.

- Asal Mula Karya (Kuasa Efisien) => Menjadikan Pancasila dari calon menjadi dasar
Negara yang sah.

- Asal Mula Tujuan (Kuasa Finalis) => Untuk dijadikan sebagai dasar Negara.

 Asal mula tidak langsung adalah asal mula sebelum proklamasi kemerdekaan yang
terdapat dalam kepribadian dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. Rincian adalah
sebagai berikut:

Nilai – nilai yang menjadi unsur – unsur Pancasila sebelum dirumuskan menjadi dasar
Negara adalah:

- Nilai Ketuhanan

- Nilai Kemanusian

- Nilai Persatuan
10
- Nilai Kerakyatan

- Nilai Keadilan

Nilai – nilai tersebut terdapat dalam pandangan hidup masyarakat sebelum membentuk
Negara dan dijadikan pedoman dalam memecah problema bangsa ini. Dengan demikian asal
mula tidak langsung adalah Bangsa Indonesia sebagai Kausa Materiallis. Berdasarkan tinjauan
tersebut pada hakikatnya Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia jauh sebelum
terbentuknya Negara ini, nilai – nilai tersebut telah tercermin dan teramalkan dalam kehidupan
sehari – hari.

1.2. Asal Mula UUD 1945

UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 terdiri atas pembukaan,
batang tubuh, dan penjelasan. Penjelasan dari batang tubuh : Batang tubuh sebagai perwujudan
dari pembukaan, pembukaan sendiri merupakan teks proklamasi yang terinci dan lengkap. Teks
proklamasi dirumuskan atas dasar ampera (amanat, penderitaan rakyat – rakyat kemerdekaan,
persatuan, keadilan, kesederajatan, kemakmuran, dst.). Tegasnya ampera lah yang mendorong
dibuat dan dibacakannya Teks Proklamasi.

Dengan demikian UUD 1945 akan dapat dipahami dengan benar dan tepat apabila nilai –
nilai yang terkandung dalam pembukaannya dipahami terlebih dahulu sebagai uraian terinci dan
terlengkap dari substansi teks proklamasi.

Disini jelas bahwa UUD tidak lahir mendadak tetapi ia lahir didalam dan selama proses
perjuangan kemerdekaan. Karenanya, untuk mengerti dan menghayatinya tidak cukup hanya
dengan membangun saja.

C. Fungsi dan Kedudukan Pancasila serta UUD 1945

1.1. Fungsi Pancasila dan UUD 1945


A. Fungsi Pancasila

I. Pancasila Sebagai Dasar Negara

Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan
kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada
suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara,
merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di
dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh
kehidupan negara Republik Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk
mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti
melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik
Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh
struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang
menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut
terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana
keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain sebagainya.

II. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu
wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur.
Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama,
lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
12
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang secara dinamis dan
menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-
nilai yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya
mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.

Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan
acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa
Indonesia, sikap hdup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa
Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka
Pancasila dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang
kemudian memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita
moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila
sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan
bersama bangsa Indonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila
merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah
seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.

B. Fungsi UUD 1945

Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sesuai Undang-


Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang akan dibahas secara mendalam pada Bab berikutnya, UUD 1945 menempati
urutan tertinggi.

Hans Kelsen mengemukakan teorinya tentang jenjang norma hukum/stufentheorie, dimana


norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan
dimana norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif,
yaitu norma dasar/groundnorms (Alwi Wahyudi, 2012 : 305).
Jadi Peraturan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi tingkatannya. Maksudnya Peraturan Menteri tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Presiden. Peraturan Presiden tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.
Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini
berdasarkan asas “Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula”. Apabila terdapat pertentangan antara peraturan yang lebih
rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi, maka dapat diajukan uji materi. Adapun
kewenangan uji materi dimilki oleh dua lembaga yaitu Mahamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung, letak perbedaannya ialah:

1. Apabila ada Undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar maka


yang berwenang menguji ialah Mahkamah Konstitusi/MK.

2. Apabila ada peraturan perundang-undang di bawah undang-undang yang bertentangan


dengan Undang-undang maka yang berwenang menguji ialah Mahkamah Agung/MA.

Sebagaimana di jelaskan dimuka, Undang-undang Dasar 1945 bukanlah hukum biasa,


melainkan hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum
seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap
tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang
lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan tersebut harus
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan muaranya adalah
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Dalam kedudukan yang demikian
itu, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau hierarki peraturan perundangan di
Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi.

Berdasarkan uraian tersebut, Undang-undang Dasar 1945 memiliki fungsi sebagai:

1. Pedoman atau acuan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Pedoman atau acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan

3. Alat kontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma hukum

yang lebih tinggi, dan pada akhirnya apakah norma-norma hukum tersebut bertentangan atau

14
tidak dengan ketentuan UUD 1945.

1.2. Kedudukan Pancasila dan UUD 1945

Kedudukan pancasila dan pembukaan UUD 1945 dalam konteks ketatanegaraan


Republik Indonesia dapat dijelaskan bahwasanya Pancasila dan pembukaan UUD 1945 memiliki
hubungan yang mana Pancasila merupakan sumber diadakannya Pembukaan UUD 1945, dengan
kata lain pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai dasar negara, Tujuan Negara,
dan Bentuk negara Republik Indonesia dan merupakan Sumber hukum tertinggi di Indonesia,
menjadikan Pancasila sebagai dasar hukum untuk memfilsafatkan pembukaan UUD 1945. Di
Pembukaan UUD 1945 terlihat bahwa alinea pertama hingga ke empat merupakan peryataan-
pernyataan yang terkait dengan pendahuluan bangsa Indonesia, dan di alinea ke empat
merupakan kesatuan organis dengan pasal-pasal yang berada pada batang tubuh UUD 1945.

Selain itu di dalam UUD 1945 yang merupakan bentuk atas deklarasi bangsa dan negara
Indonesia memiliki tujuan yang mana secara khusus adalah berusaha untuk melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa sedangkan secara umum Indonesia bertujuan untuk menciptakan ketertiban
dunia yang berdasarkan keadilan sosial dan perdamaian abadi. Keberadaan pembukaan UUD
1945 dan Pancasila yang mana sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia jika keberadaanya
diubah sedikit pun atau dihilangkan sama saja dengan menghancurkan atau menghilangkan
bangsa Indonesia oleh sebab itu Pembukaan UUD 1945 disebut pula sebagai pokok kaedah
negara yang fundamental. Dengan demikian kedudukan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila
sudah jelas, segala bentuk tantanan negara beserta peraturan-peraturannya haruslah sesuai
dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang
telah di tentukan.

C. Hubungan Pancasila dan UUD 1945

1. Hubungan Secara Formal

Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan UUD 1945, maka
Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif. Dengan demikian tata
kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas-asas sosial, ekonomi, politik, yaitu
perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam
Pancasila. Jadi berdasarkan tempat terdapatnya Pancasila secara formal dapat disimpulkan
sebagai berikut:

 Bahwa rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia adalah seperti yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.

 Bahwa Pembukaan UUD 1945, berdasarkan pengertian ilmiah, merupakan pokok kaedah
Negara yang fundamental dan terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam
kedudukan yaitu:

- Sebagai dasarnya, karena Pembukaan UUD 1945 itulah yang memberi faktor-faktor
mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia.

- Memasukkkan dirinya di dalam tertib hukum sebagai tata tertib hukum tertinggi.

 Bahwa dengan demikian Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan berfungsi, selain
sebagai Mukaddimah dan UUD 1945 dalam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, juga
berkedudukan sebagai sesuatu yang bereksistensi sendiri, yang hakikat kedudukan
hukumnya berbeda dengan pasal-pasalnya. Karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya
adalah Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD 1945, bahkan sebagai
sumbernya.

 Bahwa Pancasila dengan demikian dapat disimpulkan mempunyai hakikat, sifat,


kedudukan dan fungsi sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, yang
menjelmakan dirinya sebagai dasar kelangsungan hidup negara Republik Indonesia yang
di proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.

 Bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD 1945, dengan demikian mempunyai
kedudukan yang kuat, tetap dan tidak dapat di ubah dan terletak pada kelangsungan hidup
Negara Republik Indonesia.

2. Hubungan secara material

Bilamana kita tinjau kembali proses perumusan Pancasila dan pembukaan UUD 1945,
maka secara kronologis, materi yang di bahas oleh BPUPKI yang pertama adalah dasar filsafat
Pncasila baru kemudian Pembukaan UUD 1945. Setelah pada sidang pertama pembukaan UUD
1945 BPUPKI membicarakan dasar filsafat negara Pancasila berikutnya tersusunlah piagam
jakarata yang di susun oleh panitia 9, sebagai wujud bentuk pertama pembukaan UUD 1945.

16
Jadi berdasar urut-urutan tertib hukum Indonesia Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai
tertib hukum yang tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia bersumber pada Pancasila, atau
dengan kata lain sebagai sumber tertib hukum Indonesia. Hal ini berarti secara material tertib
hukum Indonesia dijabarkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pancasila sebagai
sumber tertib hukum indonesia meliputi sumber nilai, sumber materi, sumber bentuk dan sifat.

Selain itu dalam hubungannya dengan hakikat dan kedudukan pembukaan UUD 1945
sebagai pokok kaidah negara yang fubdamental, maka sebenarnya secara material yang
merupakan esensi atau inti sari dari pokok kaidah negara fundamental tersebut tidak lain adalah
pancasila.

D. Penerapan Nilai-Nilai Pancasila yang Berhubungan dengan UUD 1945

Dalam hubungan ini penjelasan UUD 1945 mengemukakan bahwa telah cukuplah kalau
Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok garis-garis besar sebagai instruksi
kepada Pemerintah pusat dan lain-lain penyelengaraan negara untuk menyelenggarakan
kehidupan negara. Undang-Undang dasar yg disingkat itu sangat menguntungkan bagi negara
seperti Indonesia ini yang masih harus terus berkembang secara dinamis, sehingga dengan
aturan-aturan pokok itu merupakan aturan yang luwes, tidak mudah ketinggalan zaman, sedang
aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu diserahkan kepada Undang-
Undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.

1. Penerapan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan

Paradigma berasal dari bahasa Inggris yakni paradigm yang berarti model pola, contoh. Ada
pula pula yang mengartikan paradigma sebagai suatu kerangka dasar. Namun pada umumnya
paradigma diartikan sebagai model pola yang dijadikan acuan atau rujukan. Pengertian inilah
yang sesuai dengan konteks kajian tentang paradigma pembangunan.

Sementara itu. istilah Pembangunan lazimnya menunjuk pada pengertian perubahan


(Susanto, 1984), atau suatu pembaharuan (Somardjan, 1996). Sudah barang tentu perubahan
maupun pembaharuan tersebut menyangkut kehidupan manusia dalam masyarakat. Hal ini tidak
terlepas dari sifat hakekat kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan atau
bersifat dinamis.

Agar pembangunan itu dapat terarah pada manusia, maka terdapat prinsip-prinsip etis
pembangunan, yang meliputi:

1) Pembangunan harus menghormati hak-hak asasi manusia;

2) Pembangunan harus demokratis, dalam arti bahwa arahnya ditentukan oleh seluruh
masyarakat;
3) Prioritas pertama pembangunan harus menciptakan taraf minimum keadilan sosial.

Berdasarkan penjelasan istilah di atas, dapat dirumuskan pengertian pembanguanan secara


singkat dan sederhana yakni sebagai suatu upaya atau usaha untuk mengadakan perbaikan atau
pembaharuan kehidupan anggota suatu masyarakat. Selo Soemardjan (1996) menegaskan bahwa
pembangunan nasional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dewasa ini diartikan sebagai
pengamalan Pancasila. Dalam hubungan antara pembangunan dan Pancasila yang ditinjau dari
sudut sosiologi, maka masa pembangunan ini memberi kesempatan yang amat menguntungkan
sekali. Pancasila memberi pengaruh yang mendalam dan mendasar pada sistem nilai sosial
budaya masyarakat Indonesia.

Inti pendapat tersebut adalah bahwa dalam pembangunan, Pancasila harus memberikan
makna atau arti yang mendalam yang diwujudkan lewat sikap, perilaku atau perbuatan warga
masyarakat, sehingga dapat mendukung keterlaksanaan pembangunan tersebut. Dengan kata lain,
pengamalan nilai-nilai Pancasila sesungguhnya memegang peranan penting dalam mendukung
keberhasilan suatu pembangunan.

Secara filosofis hakihat kedudukan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional


mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus
berdasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila pancasila. Oleh karena hakikat nilai-nilai sila-sila
pancasila mendasarkan diri pada dasar Ontologis manusia sebagai subjek pendukung pokok sila-
sila pancasila sekaligus sebagai pendukung pokok negara. Hal ini berdasarkan kepada kenyataan
objektif bahwa pancasila sebagai dasar negara dan dasar persekutuan hidup manusia. Oleh
karena pembangunan nasional sebagai usaha praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka
pembangunan haruslah berdasarkan kepada paradigma hakikat manusia “monopluralis” .

2. Penerapan Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Iptek

Dari masa ke masa, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat sebagai hasil
akal dan pemikiran manusia yang semakin berkembang pesat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan
martabat manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu
hasil kreativitas rohani manusia.

Unsur jiwa (rohani) manusia meliputi aspek akal, rasa dan kehendak. Akal merupakan
potensi rokhaniah manusia dalam hubungan dengan Intelektualitas, rasa dalam bidang estetis,
dan kehendak dalam bidang moral (etika).

Atas dasar kreativitas akalnya manusia mengembangkan Iptek dalam rangka untuk mengolah
kekayaan alam yang disediakan oleh Tuhan YME. Oleh karena itu, tujuan essensial dari Iptek
adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga Iptek pada hakekatnya tidak bebas nilai
namun terikat oleh nilai. Dalam masalah ini, pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi

18
pengembangan Iptek demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembangan Iptek sebagai budaya
manusia harus didasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam pembangunan bidang iptek itu, peranan Pancasila sebagai ideologi memiliki dua
peranan penting yakni :

1) Pancasila berperan sebagai orientasi dasar bagi kebijakan pengembangan atau pembangunan
iptek tersebut. Paham demokrasi menuntut agar masyarakat luas ikut serta menentukan pilihan-
pilihan teknologi yang menyangkut masa depan masyarakat.

2) Pancasila dapat menjadi dasar pengembangan etika ilmu pengetahuan yang harus menyertai
pula perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa prinsip dasar etika ilmu
pengetahuan dalam rangka pembangunan yang didasarkan Pancasila antara lain:

a. Martabat manusia sebagai pribadi, sebagai subjek pembangunan. Hal ini berarti bahwa
manusia tidak boleh diperalat untuk kepentingan ilmu, teknologi, riset, dan pembangunan
tersebut.

b. Prinsip “tidak merugikan”, harus dihindari kerusakan terhadap bangsa, manusia dan
alam.

c. Kesejahteraan bagi manusia dan masyarakat seluruhnya.

d. Mengurangi penderitaan manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi sedapat mungkin


membantu manusia untuk lepas dari berbagai penderitaan sehingga bisa menikmati
kebebasan lebih besar sebagai manusia.

e. Pemerataan hasil-hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dihindari


adanya monopoli iptek serta kesenjangan budaya dalam perolehan hasil budaya baru
(Sastrapratedja. 1996).

3. Penerapan Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Bidang Politik

Dalam arti yang luas politik bersentuhan dengan berbagai interaksi yang dilakukan oleh
manusia sebagai makhluk politik (zoon politicon), yakni makhluk yang bermasyarakat, makhluk
yang hidup bersama untuk mempertahankan eksistensinya atau keberlangsungan hidupnya. Pada
sisi lain manusia merupakan makhluk budaya, yang dapat menciptakan sesuatu untuk
kehidupannya.

Sastrapratedja (1996) mengangkat kajian tentang dimensi budaya dari politik. Ditegaskannya
bahwa terbentuknya NKRI tidak sekadar peristiwa politik melainkan juga peristiwa budaya.
Menurutnya ada tiga dimensi budaya dari politik itu, yaitu pertama, bahwa perubahan-perubahan
dari kesatuan-kesatuan etnis kepada kesatuan baru, yakni negara-kebangsaan, mengimplikasikan
perubahan identitas masyarakat. Identitas dengan basis kesukuan, agama, atau sistem budaya
tertentu berulah menjadi identitas berdasarkan nasionalisme. Inlah yang disebut Geertz sebagai
“revolusi integratif”.

Dimensi budaya kedua dari politik adalah legitimasi politik. Sumber otorisasi dan legitimasi
politik dengan pembentukan NKRI telah berubah.

Menurut Binder, yaitu perubahan sumber legitimasi politik dari yang transedental kepada
yang imanen, dari sumber yang sakral kepada konsensus. Kekuasaan tidak lagi berasal dari
“dunia sana”, melainkan bersumber dari rakyat, ada di tangan rakyat. Inilah yang disebut dengan
imanen itu. Dimensi budaya dari politik yang ketiga adalah partisipasi, yakni keterlibatan warga
negara dalam kegiatan pemerintahan negara.

Dengan demikian, pembangunan bidang politik harus memperhatikan unsur manusia sebagai
makhluk budaya. Dengan penegasan lain, bahwa pembangunan dan pengembangan bidang
politik harus mendasarkan pada dasar Ontologis manusia. Hal ini didasarkan pada kenyataan
objektif bahwa manusia adalah sebagai subjek negara, oleh karena itu kehidupan politik dalam
negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia.

4. Penerapan Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi

Pakar Ekonomi yang bernama Mubyarto (1996) mengatakan bahwa Pancasila sebagai dasar
negara dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara, dan masyarakat sebagai
berikut :

1) Ketuhanan Yang Maha Esa. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan-rangsangan


ekonomi, sosial, dan moral.

2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ada kehendak kuat dari seluruh masyarakat untuk
mewujudkan kemerataan sosial (egalitarian), sesuai asas-asas kemanusiaan.

3) Persatuan Indonesia. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan perekonomian


nasional yang tangguh, ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.


Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan merupakan bentuk paling konkrit dari usaha
bersama.

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara
perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi.

20
BAB III

Kesimpulan
3.1 Kesimpulan

Pancasila sebagai dasar negara kita dirumuskan dari nilai-nilai kehidupan masyarakat
Indonesia yang berasal dari pandangan hidup bangsa, yang merupakan kepribadian bangsa,
perjanjian luhur serta tujuan yang hendak diwujudkan. Karena itu Pancasila dijadikan sebagai
ideology bangsa.
Proklamasi kemerdekaan dengan Pembukaan UUD 1945 merupakan hubungan suatu
kesatuan bulat serta hubungan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945
yang merupakan hubungan langsung, maka dapat disimpulkan bahwa proklamasi kemerdekaan
memiliki hubungan yang erat dan merupakan satu kesatuan namun tetap memiliki kedudukan
yang terpisah. Hal ini dikarenakan Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah Negara
yang mendasar tidak bisa dirubah oleh apapun dan siapapun kecuali oleh pembentuk Negara.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismaun. 1972. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia : dalam
Rangkaian Cita – Cita dan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan. Bandung : Carya Remaja.

2. Pranarka, A.M.W. 1985. Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta: CSIS.

3. Suhadi.1998. Pendidikan Pancasila. Jogjakarta : Diktat Kuliah.

4. Civic Education Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

22
A. Muchtar Ghazali dan Abdul Majid

Pengantar : Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, M.S

Anda mungkin juga menyukai