- Sebuah Pandangan –
Disusun oleh:
Reza Pahlevi
NIM: 17/419215/PSA/08177
Tahun 2017/2018
1
Berdasarkan hal yang dapat saya simpulkan dari tulisan ini, apa yang disampaikan
Ahimsa Putra merupakan sebuah refleksi dalam sebuah karya oleh Thomas Kuhn melalui
pemikirannya dalam tulisan The Structure of Scientific Revolution, terbitan Chicago
University of Chicago Press, Second Edition, Enlarge, 1970, yang telah menampilkan kali
pertama sebuah istilah yang disebut sebagai ‘paradigma’ dalam ilmu pengetahuan.
Dalam tulisan ini, kemunculan pandangan tentang paradigma diasumsikan bahwasanya
adanya perubahan dalam ilmu pengetahuan didasarkan atas paradigma atau sebuah
kerangka pemikiran tentang cara memandang sebuah permasalahan.
Semenjak itu terjadilah perbincangan rumit dari berbagai kalangan ilmuwan dalam
merespon pemikiran Thomas Khun. Adapun obyek utama dari perdebatan ini terkait
dengan sebuah konsep yang di sebut dengan “paradigma” yang direfleksikan oleh Khun,
masih dirasa secara eksplisit belum menemukan titik terang terkait kejelasan dalam
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan paradigma, dilihat dari beragamnya istilah
yang digunakan sehingga muncul tidak-konsistenan dalam memahami aspek yang
penting terhadap pengembangan narasi dari ilmu pengetahuan. Sehingga Ahimsa Putra
mencoba untuk menguraikan kembali apa yang dimaksud dengan paradigma maupun
komponen yang mencakup di dalamnya.
Dari pandangan tentang paradigma ini, bagi Ahimsa Putra guna memahami
tentang Paradigma dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan
satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk
memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi
(Ahimsa-Putra, 2009: 2). Dilihat secara harfiah, paradigma dapat dikatakan sebagai
sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran dibutuhkan untuk memahami fenomena
yang terlihat nampak di sekitar kita.
2
Adapun Asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar (basic assumptions) menurut
(Ahimsa-Putra, 2009: 4) sebagai komponen awal dapat dinilai sebagai suatu pandangan-
pandangan mengenai suatu hal (baik itu terkait kebendaan, ilmu pengetahuan dan
sebagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima
kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan
filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula
dari (c) pengamatan yang seksama.
Model terbagi menjadi dua, yaitu model utama (primary model) dan model
pembantu (secondary model). Model utama dinilai lebih dekat dengan asumsi dasar,
berupa uraian/kata-kata maupun gambaran yang berguna untuk mengarahkan peneliti
dalam mempelajari sebuah gejala, sehingga model utama sudah semestinya ada
sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya. Sedangkan model pembantu
(secondary model) dapat terbentuk dari gambar, diagram, ataupun skema yang biasanya
3
muncul dalam hasil analisis oleh ilmuwan setelah melakukan serangkaian aktivitas
penelitian.
Suatu penelitian akan selalu berawal atas kebutuhan untuk: (1) memperoleh
jawaban dari serangkaian pertanyaan dan (2) sebagai alat dalam menguji hipotesa yang
terbentuk atas dugaan-dugaan pernyataan tertentu secara empiris. Secara harfiah
hipotesa menyimpan asumsi dasar berkaitan dengan gejala maupun tujuan yang akan
diteliti. Dari merumuskan pertanyaan maupun hipotesa secara tidak langsung akan
membentuk asumsi-asumsi dasar yang ditujukan untuk mengarahkan kita dalam bertanya
maupun membuat hipotesa, darinya juga akan memungkinkan kita untuk mengenal
serangkaian model-model yang ditujukan untuk kita mempelajari suatu gejala sosia
(Ahimsa-Putra, 2009: 8).
4
Sehingga hal pertama yang perlu dilakukan ilmuwan dalam merumuskan definisi
harus sudah melakukan kajian pustaka secara menyeluruh dengan harapan untuk
menghubungkan berbagai rangkaian definisi terkait dengan konsep-konsep yang berguna
dalam keberlangsungan penelitiannya. Dan di saat melakukan kajian pustaka ini
didapatkan definisi-definisi konsep yang dalam sudut pandang seorang ilmuwan masih
tidak sesuai dapat membuat definisi tersendiri yang dirasa lebih relevan akan penelitian
yang tengah dikaji. Hal tersebut bisa menjadi landasan teoritis dalam merumuskan
sebuah definisi baru yang lebih sesuai, dan secara tidak langsung ilmuwan sudah
memperbaharui konseptual terkait gejala-gejala sosial budaya yang dipelajarinya.
Secara umum dalam penelitian yang kita dalami terdapat “metode penelitian
kuantitatif” dan “metode penelitian kualitatif” yang umumnya digunakan terhadap proses
pengumpulan data. Pada dasarnya, tidak ada pemisah yang terlihat di antara “metode
penelitian kuantitatif” dengan “metode penelitian kualitatif”, dikarenakan pada dasarnya
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif bukanlah metodenya, melainkan datanya. Dari
adanya perbedaan sifat inilah yang memunculkan perbedaan tata cara dalam proses
mengumpulkan data, sehingga akan lebih tepat jika menggunakan istilah “metode
pengumpulan data kuantitatif” dan “metode pengumpulan data kualitatif” sehingga
metodelah yang harus menyesuaikan terkait sifat data seperti apa yang akan
dikumpulkan.
5
segala variabel pada konteks metafisik ini tumbuh dan berkembang di dalam pikiran
manusia.
Data adalah fakta yang relevan atau terkait dengan masalah yang diteliti dan
terkait pula dengan kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab
masalah tersebut. Dengan kata lain, data adalah kumpulan fakta yang telah dievaluasi
berdasarkan relevansinya diteliti (Ahimsa-Putra, 2009: 13). Data dalam suatu penelitian
bisa berupa kuantitatif, kualitatif, ataupun keduanya (campuran). Data kuantitatif
menunjukkan jumlah atau besaran dari suatu gejala, sehingga datanya berupa kumpulan
simbol (angka atau huruf disertai pernyataan). Sedangkan data kualitatif menunjukkan isi,
ciri, sifat, keadaan dari suatu gejala, atau hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang
lain, sehingga datanya berupa pernyataan-pernyataan.
Sedangkan skema dari data kuantitatif bisa dilihat berdasarkan (1) luas “wilayah,
kampung, lahan, dsb”, (2) jumlah “penduduk, aset, angka kelahiran, dsb” (3) berat “badan,
kandungan karat, hasil panen”, lalu komponen dari data kualitatif terdiri dari (1) nilai,
pandangan hidup, norma, aturan, (2) kategori sosial-budaya (3) ceritera, percakapan (4)
pola perilaku dan interaksi sosial (5) organisasi sosial (6) lingkungan fisik.
6
Komponen paradigma yang ketujuh yakni metode-metode analisis (methods of
analysis). Metode analisis data secara harfiah adalah cara untuk memilah atau
mengelompokkan data agar dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data
yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana halnya dengan metode penelitian,
metode analisis kuantitatif dan metode analisis kualitatif harus diartikan sebagai metode
menganalisis data kuantitatif dan metode menganalisis data kualitatif (Ahimsa-Putra,
2009: 15).
Oleh karena itu, harus diperhatikan pertanyaan yang dikemukakan karena dari
pertanyaan itu bisa ditentukan penggunaan paradigmanya. Paradigma ini kemudian
menentukan metode analisis data, dan metode analisis data akan menentukan corak hasil
analisis atau teori. Masing-masing paradigma memiliki teori yang berbeda, sehingga
setiap paradigma juga memiliki perbedaan dalam metode analisis data.
7
Jika cakupan penelitian memang dinilai luas, data yang dianalisis berasal dari
banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang dikemukakan dapat memberikan
penjelasan yang berlaku umum (universal), melampaui batas-batas ruang dan waktu,
maka disebut sebagai teori besar (grand theory). Jika teori tersebut hanya ditujukan untuk
menjelaskan gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dapat
disebut sebagai teori menengah (middle-range theory) (Merton dalam Ahimsa-Putra,
2009: 17). Jika teori tersebut hanya berlaku untuk gejala yang diteliti saja, yang terjadi
hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang diteliti, maka disebut sebagai teori kecil
(small theory). Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan tepat pada
dasarnya akan menghasilkan satu atau beberapa teori baru atau menguatkan teori
tertentu yang sudah ada. Dalam ilmu sosial-budaya, seperti antropologi budaya, hasil
analisis/teori disajikan dalam etnografi.
(Nb: Untuk sumber Merton tidak disebutkan di daftar pustaka dalam makalah)
Dimasa kini oleh seorang antropolog, melalui penulisan etnografi dapat dijadikan
sebagai ranah guna merepresentasikan kebudayaan, sekaligus juga sebagai area untuk
merespon, mengkounter maupun melakukan kritik kebudayaan (Marcus dan Fischer,
1986 dalam Ahimsa-Putra, 2009: 18). Etnografi menjadi bagian yang tidak bisa
terlepaskan dalam sebuah kajian mengenai data kebudayaan dan teori, dimana keduanya
membentuk satu kesatuan yang utuh dan saling mendukung. Sebagai hasil akhir,
representasi/etnografi mencerminkan keseluruhan elemen yang ada dalam sebuah
paradigma.
8
Penelitian”, sedangkan dalam proposal penelitian tiga unsur tersebut memang
semestinya harus ada.
9
Berdasarkan hal inilah pemahaman terkait membangun sebuah kerangka
pemikiran yang dibentuk berdasarkan beberapa bagian komponen sehingga menciptakan
sebuah paradigma telah terstruktur secara sistematis dan akurat sehingga akan
memudahkan seorang ilmuwan dalam menyusun kerangka pemikiran terkait penelitian
ilmiah yang akan diambil.
Selanjutnya, terkait kutipan yang saya masih kurang jelas pada halaman ke 17 di
dalam makalah, dimana penulis mengutip teori yang disampaikan Merton dalam bahasan
penelitian yang menggunakan teori besar (grand theory), teori sedang (midle-range
theory) maupun teori kecil (small theory). Untuk sumber referensi penulisan, kutipan yang
dimaksudkan tidak saya temukan di bagian akhir termasuk tahun kapan teori itu
diterbitkan oleh Merton.
Sumber Referensi:
Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Ilmu Sosial Budaya: Sebuah Pandangan, Kuliah
Umum pada Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung, 7 Desember 2009.
10