meskipun dengan nama berbeda seperti kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka
konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis
(theoretical orientation), sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Menurut
Ahimsa-Putra, meskipun konsep paradigm sudah semakin lazim digunakan, bukan berarti
makna tersebut sudah jelas atau telah disepakati bersama.
Thomas Kuhn telah membahas pergantian paradigma secara panjang lebar, akan tetapi
dia tidak menjelaskan paradigma secara khusus dan tidak menggunakan konsep tersebut secara
konsisten dalam tulisan-tulisannya. Hal ini diakibatkan karena Kuhn tidak menyinggung
sosial-budaya sebagai sebuah ilmu. Ia menempatkan ilmu-ilmu alam dan sosial budaya sebagai
suatu kesatuan ilmu. Akibatnya, paradigma sebagai konsep menjadi sulit digunakan dalam
perkembangan dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial budaya.
“Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka
pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau
masalah yang dihadapi.” (Ahimsa-Putra, 2009).
Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk tujuan tertentu
sehingga kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni untuk memahami kenyataan,
mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke
dalam kategori-kategori, kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya
sehingga terjalin relasi-relasi pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran
tentang kenyataan yang dihadapi.
Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa
benda, ilsmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan
lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bsa lahir dari
(a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris
yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama.
Menurut Ahimsa-Putra, jika asumsi bersifat filosofis maka pandangan ini bersifat
subjektif. Oleh karena itu muncul pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada obyektivitas
dalam ilmu sosial-buadaya. Selain itu, ia juga menjelaskan mengenai asumsi dasar yang tidak
selalu dikemukakan secara eksplisit sehingga tidak mengherankan jika sebagian ilmuwan tidak
mengetahui dengan baik asumsi dasar paradisgma yang digunakan.
2. Nilai-nilai (Values)
Terdapat sejumlah patokan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar
atau salah, bermanfaat atau tidak. Patokan-patokan itulah yang kemudian disebut dengan ‘nilai’
dan selalu ada dalam setiap kegiatan ilmiah, baik eksplisit maupun implisit. Selanjutnya,
Ahimsa-Putra menyebutkan bahwa dalam sebuah paradigma nilai-nilai tersebut paling tidak
mengenai: (a) ilmu pengetahuan, (b) ilmu sosial-budaya, (c) penelitian ilmiah, (d) analisis
ilmiah, dan (e) hasil penelitian.
3. Model-model (Models)
Menurut Ahimsa-Putra, terdapat beberapa kata yang maknanya sama dengan istilah
‘model’. Kata-kata tersebut adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang
sedang dipelajari. Dengan mengutip Inkeles (1964), Ahimsa-Putra mengatakan bahwa sebuah
model bersifat menyederhanakan. Akan tetapi, tidak semua aspek, sifat, atau unsur dari realita
dapat tampil dalam sebuah model. Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan model,
Ahimsa-Putra mengklasifikannya menjadi dua, yakni: (1) model utama (primary model) dan
model pembantu (secondary model). Model utama lebih dekat dengan asumsi dasar dan
menjadi pembimbing seorang peneliti dalam mempelajari suatu gejala. Walaupun model dapat
juga berupa gambar, tetapi umumnya dalam bentuk kata-kata atau uraian. Sebaliknya, model
pembantu umumnya dalam bentuk gambar, diagram, atau skema dan akan lebih memudahkan
orang mengerti apa yang sedang dijelaskan. Sebagai contoh, kebudayaan itu seperti organisme
atau mahluk hidup. Dari contoh ini terlihat bahwa seorang peneliti telah menggunakan sebuah
model, yakni organisme untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan kebudayaan.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa dalam ilmu sosial-budaya ilmuan perlu
menggunakan model utama? Hal ini karena secara empiris gejala sosial-budaya merupakan
gejala yang sangat kompleks.
Masalah dapat diartikan sebagai suatu pertanyaan yang ingin dijawab/ hipotesa yang
ingin diuji kebenarannya, dikarenakan setiap paradigma memiliki masalah-masalahnya
tersendiri yang berkaitan dengan asumsi dasar dan nilai-nilai, sehingga rumusan masalah harus
dipersiapkan secara matang saat mengawali sebuah penelitian. Suatu penelitian akan selalu
berawal atas kebutuhan untuk: (1) memperoleh jawaban dari serangkaian pertanyaan dan (2)
sebagai alat dalam menguji hipotesa yang terbentuk atas dugaan-dugaan pernyataan tertentu
secara empiris. Secara harfiah hipotesa menyimpan asumsi dasar berkaitan dengan gejala
maupun tujuan yang akan diteliti. Dari merumuskan pertanyaan maupun hipotesa secara tidak
langsung akan membentuk asumsi-asumsi dasar yang ditujukan untuk mengarahkan kita dalam
bertanya maupun membuat hipotesa, darinya juga akan memungkinkan kita untuk mengenal
serangkaian model-model yang ditujukan untuk kita mempelajari suatu gejala sosial.
Konsep memiliki posisi yang penting dalam dunia ilmiah, meskipun demikian mengapa
kedudukannya tidak di tempat yang pertama? Mengapa justru berada setelah asumsi dan
model? menurut Ahimsa-Putra, hal ini disebabkan karena konsep adalah pikiran-pikiran,
pandangan-pandangan dari manusia yang dapat diwujudkan, dinyatakan, sedangkan asumsi
dan model adalah pandangan, pikiran, pendapat, gagasan, ide, yang belum tentu dapat
dinyatakan secara eksplisit, dan dalam kehidupan manusia pandangan, gagasan, dan pendapat
yang tidak dapat dinyatakan selalu muncul lebih dahulu.
Realita adalah segala sesuatu yang dianggap ada. Realita memiliki sifat
yang relatif, karena apa yang dianggap ada oleh seseorang belum tentu dianggap
ada oleh orang lain. “Ada” di sini tidak harus bersifat empiris, tetapi bisa juga
bersifat logis, misalnya Tuhan. Tuhan tidak bisa dilihat secara inderawi, namun ada
dalam pikiran manusia. Fakta adalah pernyataan tentang realita/representasi realita
yang dibuat oleh manusia. Fakta bersifat subjektif karena dihasilkan lewat sudut
pandang orang tertentu. Suatu realita yang sama bisa saja dikemukakan dengan
cara yang berbeda. Di lain pihak, fakta bersifat objektif karena didasarkan pada
suatu realita. Pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu realita tidak dapat
dikatakan sebagai fakta. Kemudian, fakta ini dapat menjadi data, tetapi tidak semua
fakta adalah data. Data adalah fakta yang relevan atau terkait dengan masalah yang
diteliti dan terkait pula dengan kerangka teori atau paradigma yang digunakan
untuk menjawab masalah tersebut. Dengan kata lain, data adalah kumpulan fakta
yang telah dievaluasi berdasarkan relevansinya.
Analisis data yang dilakukan dengan baik dan tepat akan menghasilkan suatu
“kesimpulan” atau hasil analisis. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi antarvariabel,
antarunsur, atau antargejala yang diteliti. Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan
tentang hakekat gejala yang diteliti inilah yang kemudian disebut sebagai teori. Jika cakupan
penelitian luas, dta yang dianalisis berasal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori
yang dikemukakan dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum (universal), melampaui
batas-batas ruang dan waktu, maka disebut sebagai teori besar (grand theory). Jika teori
tersebut hanya ditujukan untuk menjelaskan gejala tertentu yang agak umum, namun tidak
cukup universal, maka dapat disebut sebagai teori menengah (middle-range theory) (Merton
dalam Ahimsa-Putra, 2009: 21). Jika teori tersebut hanya berlaku untuk gejala yang diteliti
saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang diteliti, maka disebut sebagai
teori kecil (small theory). Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan tepat pada
dasarnya akan menghasilkan satu atau beberapa teori baru atau menguatkan teori tertentu yang
sudah ada. Dalam ilmu sosial-budaya, seperti antropologi budaya, hasil analisis/teori disajikan
dalam etnografi.
9. Representasi (Etnografi)
Skema Paradigma
Pada bagian ini Ahimsa-Putra menjelaskan urutan atau hirarki unsur-unsur paradigm.
Hirarki ini dibagi atas dua, yakni unsur paradigma yang tidak selalu eksplisit dan unsur
paradigma yang selalu eksplisit. Unsur yang implisit meliputi tiga unsur, yakni: (1) asumsi-
asumsi dasar, (2) nilai-nilai, dan (3) model. Adapun yang selalu eksplisit meliputi: (1) masalah-
masalah yang diteliti, (2) konsep-konsep, (3) metode penelitian, (4) metode analisis, (5) hasil
analisis atau teori, dan (9) etnografi atau representasi.
Berdasarkan penyusunan kerangka paradigma yang telah dirunut secara sistematis pada
pembahasan sebelumnya, Ahimsa-Putra menyebutkan sekurang-kurangnya ada 15 paradigma
yang ditemukan dalam perkembangan keilmuan sosial budaya, antara lain yaitu:
Tidak seperti kebanyakan tulisan ilmiah yang bernuansa teoritis, tulisan ini merupakan
tulisan yang mudah dibaca karena menggunakan bahasa sederhana untuk sebuah tulisan
dengan pembahasan yang bisa dibilang serius. Selain itu, penyusunan tulisan ini juga
sistematis. Ditulis secara urut dari bagian ke bagian lain untuk mempermudah pembaca
mendapatkan pemahaman yang menyeluruh. Serta, penggunaan perumpamaan pada tulisan ini
sangat membantu pembaca untuk memahami beberapa bagian tulisan seperti penggunaan
perumpamaan gamelan untuk menjelaskan hubungan konsep pada definisi paradigm.
Komentar kritis
Pembahasan paradigma hanya berangkat dan fokus pada pandangan Kuhn. Tulisan ini
kurang menyajikan runtutan pandangan mengenai paradigma dari ahli lain. Selanjutnya, pada
pembahasan definisi paradigm yang menjelaskan hubungan konsep-konsep yang merupakan
seperangkat konsep, hubungan secara sintagmatik, metonimik, dan metaforik perlu mendapat
penjelasan yang lebih jauh untuk mempermudah pemahaman pembaca.
Kesimpualan
Definisi paradigma sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain
secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami,
menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi memberi pemahaman
secara rinci bagi pembaca dan khususnya ilmuwan sosial-budaya untuk lebih memahami
paradigma dan menerapkannya pada pengembangan dan perkembangan ilmu sosial-budaya.
Daftar Pustaka
Heddy Shri Ahimsa Putra. Paradigma Ilmu Sosial Budaya: Sebuah Pandangan. Kuliah Umum
pada Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung, 7 Desember 2009.
Review Makalah Paradigma Ilmu Sosial Budaya:
Sebuah Pandangan
Oleh: Prof. Dr. Heddy Sri-Ahimsa Putra, M.A., M. Phil
Koko Hardiyanto
13/353461/SA/17224