Anda di halaman 1dari 15

T1/ERP/Etika Kom/IMT/2011

Novi Nur Fadhilah 110500112

---------~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~-------ETIKA KOMUNIKASI :Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi Dr. Haryatmoko

I.

RANGKUMAN

Di dalam buku karya bapak Haryatmoko ini menjelaskan bahwa dalam etika Dalam Bab 1 Mengapa Perlu Etika Komunikasi? Menjelaskan bahwa Media adalah sarana utama untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi. Namun saying, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar sering tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya. Informasi di industri media sekarang dianggap sebagai barang dagangan. Hal ini telah mementingkan kepentingan pribadi dan melenceng dari misi media itu sendiri yaitu untuk klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi. Media di bawwah tekanan persaingan yang semakin keras dan tuntutan keberhasilan komersial semakin berat. Banyak pimpinan media datang dari dunia jurnalisme. Para pimpinan ini tidak terlalu peka akan tuntutan informasi yang benar. Persaingan antara media cetak dan media gambar sering sedemikian rupa menjadi tidak proporsional lagi. Persaingan mendorong ke kreativitas, namun di sisi lain persaingan juga diikuti semacam mimetisme. Mimetisme adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media lain dan mendorongnya, sepertinya sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting. Terkadang dalam media juga menggunakan efek penyekat untuk mendeskripsikan kejadian yang menyembunyikan peristiwa lain. Istilah tersebut sering disalahgunakan untuk menutupi atau mengalihkan perhatian suatu kasus. Contohnya pengalihan kasus Munir dengan peristiwa Poso yang sedang memanas. Media saling membangkitkan keingintahuan di kalangan mereka sendiri, menaikkan penawaran dan membiarkan diri dibawa oleh hasrat untuk member informasi yang serba lebih, tetapi karena tekanan persaingan, mereka dilontarkan sampai pada tingkat yang mengerikan, bahkan sampai dengan cara-cara yang licik. Media mengundang reaksi skeptis,

kecurigaan bahkan rasa tidak percaya di kalangan kaum terdidik. Keresahan dan kritik tidak mendapat tanggapan yang serius dari pengelola atau produktor informasi. Media tidak hanya menyebarkan ide pembebasan, tetapi juga nilai-nilai hedonis sehingga mempengaruhi integrasi sosial. Dalam reproduksi budaya atau tepatnya produksi

budaya,tekanannya adalah harus selalu bergerak, selalu berubah bukan untuk tujuan utopis tertentu, tetapi karena diarahkan untuk efektivitas dan tuntutan untuk dapat bertahan hidup. Kultus teknologi mengalahkan idealisme, teknik presentasi mengalahkan isi pesan. Iklan adalah titik strategis proses simulasi, tempat bernaungnya kejadian semu. Media berperan besar dalam penciptaan kebutuhan palsu,serta sikap pasif yang terhanyut dalam konsumerisme. Dalam hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideologi politik. Ideologi politik tidak lagi mampu memberi janji, bahkan proyek sejarahnya tidak mampu lagi memobilisasi pengikut. Revolusi teknologi informasi melahirkan logika waktu pendek. Logika waktu pendek menempatkan media pada situasi dilematis: antara fungsi pendidikan dan control sosial dengan pragmatisme ekonomi. Sindrom yang menyertai logika waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi cepat saji. Media diharapkan akan meningkatkan mutu debat publik, tetapi justru mengubah politik menjadi tontonan. Dalam media terutama televisi, beroperasi sejumlah mekanisme kekerasan simbolik. Hal ini sangatmerugikan upaya pencerdasan publik dan pendidikan kritis masyarakat. Dalam rangka menarik

banyak pemirsa/pembaca/pendengar berbagai teknik dipakai, bahkan sering membuat orang tidak lagi bisa membedakan yang benar, palsu, simulasi, dll. Buah dari logika waktu pendek adalah cara berpikir semakin dibentuk oleh konsumsi dan mengikuti model rayuan informasi. Muncul masyarakat ringan yang tidak lagi memaksakan norma melalui disiplin, tetapi melalui pilihan dan rayuan. Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas. Bila media mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya informasi hanya menjadi simulasi. Menghadapi kapitalisme global, komersialisasi dan individualisme yang tak terkontrol, tak ada perlawanan terorganisir yang didukung struktur kuat dan ideologi yang serius. Bahkan agama semakin dipinggirkan karena arena sosial semakin dikosongkan dari yang transenden. Perjuangan untuk mendapat informasi yang benar agar masyarakat makin memiliki sikap

kritis,kemandirian dan kedalaman berpikir, tidak bisa lepas dari perjuangan menegakkan etika komunikasi. Dalam masyarakat demokratis, penguasa tidak lagi melarang wartawan

memberitakan sesuatu. Budaya baru terproduksi oleh media, pun integrasi social masyarakat terubah oleh media. Media dalam dilema, antara tugas mulia di satu sisi, dan pemenuhan sebagai alat produksi ekonomi di sisi lain. Ia perlu membangun citra sebagai sarana yang mesyarakat membutuhkannya di satu sisi, di sisi lain ia perlu mengejar target untuk menjadi alah hebat dalam budaya ekonomi. Dalam pada itu, yang menggelisahkan adalah, ketiadaan perlawanan terorganisir dan bentuk baru sensor yang solid dalam masyarakat. Etika media perlu karena media punya dampak yang dahsyat dalam masyarakat, karena masyarakat harus dilindungi dan mengurangi dampak negative logika instrumental

Dalam Bab 2 Dimensi-Dimensi Etika Komunikasi yaitu bahwa hak untuk berkomunikasi di ruang publik merupakan hak yang paling mendasar. Hak ini tidak terlepas dari kebebasan hati nurani dan kebebasan untuk berekspresi. Etika Komunikasi tidak hanya berhubungan dengan masalah perilaku actor manusia, tetapi juga berhubungan dengan institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Jika dibangun etika komunikasi bagi media, ada tiga hal dimensi etika komunikasi yang harus diperhatikan:pelaku, tujuan dan sarana. -Tujuan (Nilai-nilai Demokrasi, Hak untuk berekspresi, Hak publik akan informasi yang benar. Aksi (Tatanan Hukum dan institusi, Hubungan-hubungan kekuasaan, Peran asosiasi, lembaga konsumen, komisi pengawas. Sarana (Kesadaran moral atau nurani actor komunikasi) .Perlu penguatan deontology jurnalis untuk menjadi rambu-rambu batas kebebasan pers.Tiga prinsip utama deontology jurnalisme : pertama, Hormat dan perlindungan atas hak warga Negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Kedua, Hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga Negara termasuk hak martabat dan kehormatan, hak atas kesehatan fisik dan mental, hak konsumen dan hak untuk berekspresi dalam media, serta hak jawab. Ketiga, Ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Perlu ditata sedemikian rupa prosedur regulasi. Perlu ada komisi yang melaksanakan.

Dalam penguatan deontology jurnalisme dan batas kebebasan pers, actor komunikasi tidak cukup bila hanya mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi system. Mekanisme control dari dalam profesi itu sendiri dalam deontology jurnalisme juga dianggap masih belum menjawab kepentingan masyarakat konsumen informasi. Dengan demikian publik berhak

memprotes, mengajukan keberatan atau mengungkapkan keluhan terhadap media. Perluasan prosedur regulasi dan pembentukan komisi maksudnya bertujuan selain agar terwujud apropriasi hukum oleh masyarakat, juga agar perubahan dalam perjuangan keadilan dapat mengubah secara struktural kondisi dominasi media melalui permainan legal, bukan dengan cara kekerasan. Komisi mandiri itu dimaksudkan untuk regulasi media dalam masalah budaya. Determinasi ekonomi dalam etika komunikasi bagaimana legitimasi masyarakat modern tergantung pada dua hal kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Perlu memperhatikan faktor yang kuat yang telah mengarahkan media menjadi sedemikian rupa, yakni tekanan ekonomi. Ekonomi sebagai faktor terbesar pengarah media, tidak dapat diingkari keberadaannya yang membuat media hidup, sekaligus akhirnya menyeret media sebagai alat ekonomi. Perlu dibangun sebuah budaya baru yang luwes dalam dunia media dengan mengelola secara baik potensi bersaing di dalam media. Dalam merancang dan mengelola etika komunikasi perlu melibatkan partisipasi masyarakat. Etika perlu menyerap emosi mereka, serta melibatkan wadahwadah pekerja media. Dihindarkan tingkat keseringan reorganisasi institusi yang berdampak pada kurang matab dan kurang sinambungnya kebijakan yang baik, terancam mudah berubah. Dalam hal ini pula maka perlu ada konsultan dalam etika media, yang punya legitimasi yang kuat tanpa harus membelenggu. Konsultan yang memahami rasionalitas sosial. Dalam Bab 3 Media, Pelayanan Publik, dan Logika Politik membahas bahwa Media penuh dengan rekayasa atau manipulasi yang terselubung yang menenggelamkan kesadaran pembaca atau pendengar, sehingga menyakini opini sebagai kebenaran dan fakta. Media menjadi perayu ulung (demagog) yang nyaris selalu sukses menghipnotis masa. Ia bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang paling membingungkan dengan menambahkan wajah sebanyak kategori social rakyatnya. Demagog biasanya dilakukan oleh politisi. Merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya, itulah kekhasan demagogi yang berkembang semakin canggih dengan berkembangnya sarana komunikasi.

Menjamurnya sarana komunikasi karena beragamnya media dan kompetitifnya merka mempengaruhi komunikasi politik.termasuk dalam melihat pollitik, yang mana harus bersaing juga dengan program lain. Padahal dulu institusi media secara politik lebih dominan namun sekarang tidak. Idealisme komunikasi politik selalu mendapa bayangan dari logika pasar. Pertama, meredupnya pembedaan antara media berkualitas dan pers tabloid serta menjamurnya pendekatan infotainment dalam politik. Kedua , wartawan politik hanya belajar

mengakomodasikan masalah kewarganegaraan dgn nilai hedonis. Ketiga, standar nilai cukup dihormati oleh para praktisi komunikasi mulai diabaikan. Dengan kecanggihan teknologi media semakin menjamur. Sulit pula membedakan media yang bermutu dengan yang tidak. Walau media berorientasi keuntungan, namun ia tetap butuh legitimasi publik sebagai konsumen. Definisi pelayanaannya publik ialah semua kegiatan yang pemenuhannya harus dijamin, diatur, dan diawasi oleh pemerintah karena pemenuhannya diperlukan untuk perwujudan dan perkembangan kesalingtergantungan social, dan pada hakikatnya, perwujudannya sulit terlaksana tanpa campur tangan kekuatan pemerintah. Sebagai pelayan publik, media harus memperhatikan kontinuitas, kesetaraan, dan adaptif. Tuntutan tersedianya berita dengan cepat, memicu lemahnya prosedur demokratik dalam memburu berita. Ketika media telah memberikan andil menjadikan politik menjadi tontonan ketimbang partsisipasi masyarakat dalam politik, maka daya tarik komunikasi politikpun melemah. Seiring dengan itu, maka media hadir mengisi nilai-nilai yang hilang dalam masyarakat. Media telah menjadi nilai baru. Nilai yang diperlukan ditata dengan etika berkomunikasi di tengah masyarakat yang sangat pontensial terjadin konflik.

Dalam Bab 4 Etika Komunikasi dan Masalah Pornografi menjelaskan bahwa Wacana etika komunikasi juga dihadapkan polemik seputar pornografi yang juga disajikan oleh media. Pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Penyebaran pornografi secara meluas dikhawatirkan akan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Ada desakan perlu perlindungan warga dari kecenderungan pornografi. Ada pertimbangan paling minimal yang dapat diambil oleh media. Namun demikian andai hukum dibuat sebagai aturan etis agar pornografi dapat ditangkal, yang paling menjadi korban adalah perempuan. Bahayanya ialah

bahwa koersi dalam bentuk peraturan cara berpakaian, tampil, dan seni justru cenderung membidik untuk membatasi perempuan. Pornografi dianggap merendahkan nilai seksualitas perkawinan. Kecenderungan media untuk menampilkan yang sensasional atau spektakuler mempengaruhi insan media sehingga mudah tergoda mempresentasikan pornografi karena paling mudah memancing kehebohan. Jadi bukan masalah konseptual pornografi saja namun juga menyangkut masalah pengambilan sikap moral dan politik. Apakah itu pornografi dan erotisme, perlu dikaji secara utuh jika media hendak memasukkan hal itu sebagai bagian dari tanggung jawab etiknya. Tidak dapat secara parsial. Media harus pula dapat menghindarkan diri dari kendali Negara yang sering bertindak sebagai polisi moral, legalisme yang tidak toleran, sikap mengontrol semua, bahkan deskriminasi hukum masyarakat. Etika komunikasi sangat perlu mempertimbangkan multikulturalisme.

Multikulturalisme berimplikasi pada social-politik: pertama, pemahaman akan kesatuan dalam mempunyai implikasi terbentuknya sistem baru representasi, partisipasi, dan kewarganegaraan sehingga ada suatu forum untuk menciptakan kesatuan tanpa mengingkari kekhasan dan keberagaman. Kedua, multikulturalisme mengandaikan adanya perjumpaan budaya dan identitas yang berbeda. Ketiga multikulturalisme mau mengkritisi dan mengingatkan bahwa institusi bisa menghasilkan rasisme dan bentuk diskriminasi lain.

Dalam Bab 5 Menghadapi Kekerasan dalam Media yaitu : Kekerasan didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Bentuk dari kekerasan antara lain; Fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Kekerasan secara verbal (ungkapan) yang nyata seperti: Penggunaan kekuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan. Logika kekerasan merupakan logika kematian karena bisa melukai tubuh, melukai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman terhadap itegritas pribadi. Francois Chirpaz mengungkapkan bahwa kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai baik jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan baik dengan memisahkan orang dari kehidupannya ataupun dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang

diakibatkannya, kekerasan. Jadi kekerasan tidak harus dalam bentuk fisik, tetapi bisa

menghancurkan dasar kehidupan seseorang. Sasarannya bisa psikologis seseorang, bisa cara berpikirnya, dan bisa afeksinya. Dalam aspek estetika kekerasan, kekerasan yang ditampilkan media mengandung aspek estetik-destruktif yang mengundang ketertarikan. Aspek ini dimanfaatkan oleh kepentingan ekonomi atau pasar. Sehingga kekerasan dalam film, fiksi, siaran,dan iklan menjadi bagian dari industry budaya yang bertujuan mengejar rating program tertinggi untuk dapat sukses di pasar. Kelemahan dari tayangan kekerasan adalah kurang nya memeperhatikan aspek pendidikan, etis, dan efek traumatis yang mungkin ditimbulkan. Tetapi jika dilihat dari aspek seni, akan memebuat orang sukar untuk melakukan penilaian apakan tindakan kekerasan itu merugikan atau distruktif. Ada tiga bentuk kekerasan-estetik, yaitu: Horor-regresif (menunjuk pada selerapublik atau seniman akan kekejaman, lebih-lebih yang meyeramkan atau tidak waras karena melampaui reaksi akal sehat), Horor-transgresif (menampilkan kekersan dalm konfigurasi seni yang baru dengan sentuhan menonjol pada apa yang belum dieksplorasi, yang terlarang, yang dikutuk atau dianggap tabu, Gambar-simbol (Melibatkan penonton untuk melampaui tatanan riil yang kontekstual, gambar-simbol memindahkan kekerasan keluar dari arena atau konteksnya, yang kemudian disembunyikan dan diseleksi melalui saringan tradisi ikonografi dan seni) Kekerasan dalam media walaupun tidak menjadi ancaman riil teteapi sebenarnya juga membahayakan. Bahaya kekerasan dalam media antara lain; meningkatkan perilaku agresif penonton, jika tayangan kekerasan ditonton berulang-ulang maka akan menyebabkan penonton menjadi tidak peka terhadap kekerasan itu sendiri dan penderitaan korban, tayangan kekersan dapat meninggalkan rasa takut sehingga akan menciptakan representasi dalam diri pemirsa tentang betapa bahayanya dunia, dampak kekerasan dalam media dirasakan paling besar oleh anak-anak. Masalah representasi kekerasan melibatkan tiga pihak. Pihak pertama adalah Instansi produksi, instansi penerima, dan instansi pemerintah. Instansi pemerintah adalah pihak yang dapat menentukan regulasi bentuk kekerasan dalam media yang bisa ditoleransi dalam empat dimensi, diantaranya; Dimensi Persepsi, Dimensi Afeksi, Dimensi estetika, Dimensi Moral. Dan untuk dapat memahami kekerasan dalam media, orang perlu memahami bahwa didalam media terdapat tiga tipe dunia, yaitu dunia riil (misalnya; kekerasan dokumen), dunia fiksi (misalnya; kisah fiksi, kartun, komik, iklan) dan dunia virtual (misalnya; game on-line, video game). Ketiga

bentuk kekerasan ini disebut juga kekerasan simbolik, dimana pengakuan dan ketidaktahuan yang didominasi atau yang diatur. Kekerasan dokumen merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa atau pembaca dengan mata telanjang sebagai dokumentasi atau rekaman fakta kekerasan. Misalnya, dengan tindakan (pembunuhan, pertengkaran, perkelahian, kerusuhan, dan tembakan), bisa juga dengan situasi (konflik, luka, dan tangisan) dimana emosi yang terungkap menggambarkan perasaan yang terdalam. Kekerasan fiksi adalah bentuk kekerasan yang mengandung unsur kepura-puraan, namun yang tampil ditayangan memberikan efek bagi pemirsa sama dengan seperti kekerasan riil atau bahkan lebih dahsyat dari aslinya. Kekerasan simulasi adalah kekerasan yang dirasakan dalam permainan video dan permainan online. Adanya gairah untuk bermain, kegelisahan emosional yang ditularkan oleh gambar video permainan. Kekerasan simbolis adalah jenis kekerasan yang paling sulit diatasi karena dampak fisik yang ditimbulkan tidak tampak seperti kekerasan riil. Kekerasan simbolis tidak menampakkan adanya luka, traumatis, ketakutan, kegelisahanbahkan korban tidak merasa bahwa ia telah didominasi atau dimanipulasi. Kekerasan ini terjadi karena pengakuan dan ketidak tahuan yang didominasi. Alat yang digunakan dalam kekerasan simbolis adalah bahasa, cara berpikir, cara kerja, dan cara bertindak. Misalnya saja iklan televisi, ia menggunakan bahasa yang sedemikian rupa memikat pemirsanya. Etika komunikasi diperlukan untuk mendukung suatu politik media yang protektif terhadap mereka yang rentan, tetapi tidak represif. Politik media seharusnya dirahkan untuk perlindungan anak dari siaran yang merugikan. Perlindungan ini tidak berupa hukuman tetapi lebih kepada pendampingan anak-anak saat berinteraksi dengan media. Seandainya terpaksa ada pelangaran terhadap media, harus sungguh-sungguh ada pelanggaran terhadap martabat manusia, hak pribadi, keteraturan public, perlindungan kesehatan, dan masalah keamanan. Perlu didorong pembentukan forum atau asosiasi perlindungan hak yang melibatkan para pakar yang kompeten, pelaku ekonomi, dan tokoh yang mewakili publik supaya ada konsentrasi para pelaku media dan informasi publik guna memfasilitasi munculnya konsensus, memberikan rekomendasi, dan jaminan dihormatinya kepentingan publik.

Dalam Bab terakhir ini yakni Bab 6 Dilema Regulasi Publik Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab membahas bahwa Dalam kaitannya dengan komunikasi, model intervensi kebijakan Negara juga membuat pengaturan-pengaturan (regulasi) terhadap media dan industrinya. Negara menjadi pengatur (regulator) siapa yang berhak dan boleh memasuki wilayah industri media, selain itu juga menentukan dan mengatur sekaligus keberadaan dan fungsinya dalam masyarakat. Dalam usaha menjelaskan regulasi media dapat dilihat dari aspek pemfungsian media komunikasi yang dilakukan oleh Negara. Dimana Negara memiliki wewenang untuk mendorong terciptanya perubahan sosial di masyarakat. Sebenarnya regulasi media dalam beberapa situasi justru sangat dibutuhkan. Salah satunya adalah karena regulasi media membantu konsumen untuk mendapat informasi dan secara tidak langsung juga membantu kredibilitas dan reputasi media pengahasil informasi. Secara teori, media membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi sekaligus mempengaruhi dalam pembentukan opini. Untuk itulah regulasi dibutuhkan agar media tidak semena-mena memproduksi informasi tanpa standart yang jelas. Hubungan di antara pasar, Negara, dan masyarakat bisa harmonis, dalam arti terdapat hubungan mutualistik yang interaktif, saling mengisi, dan tidak mendominasi. Pada titik ini hubungan ketiganya merupakan hubungan yang mendominasi. Kedudukan semua jenis media mungkin sama di mata hukum tetapi aturan terhadap masing-masing jenis media ternyata berbeda. Sementara itu, regulasi publik sebagai bentuk pembatasan kebebasan bisa dibenarkan sejauh terciptanya kebebasan yang lebih besar. Regulasi publik terhadap media terkadang diperlukan, terlebih media modern seperti sekarang ini. Regulasi ini dapat berupa peraturan yang mendasar tentang tayangan di media, sekaligus membatasai tayangan-tayangan walaupun dianggap sikap tersebut melawan perjuangan nilai demokrasi. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, regulasi publik sangat diperlukan untuk mengontrol terpaan tayangan media terhadap masyarakat. Regulasi publik menginginkan adanya pemisahan antara kebebasan pers dan kebebasan untuk berekspresi. Kebebasan pers dipahami sebagai fungsi publik, yaitu sebagai sarana untuk menjamin pelaksaana kebebasan berekpresi politik dan memperjuangkan hak individual dasar lainnya. Sedangkan kebebasan berekspresi adalah hak individu yang kental dengan dimensi politik. Media sebagai salah satu pelayanan publik bertugas untuk membantu menyeleksi dan

memunculkan unsur yang bermakna agar tidak tergelincir ke dalam desinformasi akibat dari banyaknya hal yang harus diingat. Regulasi publik juga dimaksudkan untuk menghindari monopoli oleh bentuk kekerasan berekspresi politik tertentu. Dengan demikian pelaksanaan kebebasan berekspresi politik justru makin diperluas sehingga tercipta situasi ideal bagi wacana politik. Asas demokrasi memang memberikan kebebasan dalam sendi kehidupan bermasyarakat, termasuk juga kebebasan berekspresi pada media. Media dianggap sebagai sarana mengaspirasikan pikiran-pikiran masyarakat. Pemikiran-pemikiran tersebut bisa dilakukan melalui suatu tayangan iklan maupun sinetron pada media televisi. Regulasi publik tidak dapat dilakukan oleh secuil pelaku dari media saja, namun juga harus adanya campur tangan pemerintah, warga masyarakat, pakar, kritisi-kritisi dari masyarakat, dan lain sebagainya. Penataan dan pengaturan terhadap sepak terjang media di tengah masyarakat tidak dapat dihindari. Dengan regulasi publik, maka dapat dihilangkan, paling tidak dikurangi konflik di tengah masyarakat yang dipicu oleh informasi yang sesungguhnya multi tafsir. Regulasi juga sangat diperlukan mengingat pluralitas pada seluruh dimensi masyarakat, yang harus dibarengi dengan deontology profesi jurnalis. Agar media tidak sewenang-wenang, berat sebelah, pilih kasih. Ada banyak macam regulasi public yang bisa disajikan dan dilakukan serta diawasi oleh publik sendiri. Ada regulasi yang menitikberatkan pada soal prosedural. Regulasi itu harus memperhatikan secara seimbang, untuk tidak berat sebelah, atau terjebak pada salah satu dari aliran etika yang saling bersaing, yakni deontology, teleology dan situasional. Akan tetapi bagaimana tiga aliran yang ada itu diolah, bukan dikalahkan satu sama lain, sehingga menghasilakan etika yang baik.

II.

PEMBAHASAN

Bila dikaitkan dengan beberapa contoh masalah yang sekarang sedang booming di dunia penyiaran bahwa dalam media penyiaran elektronik di Indonesia terutama televise sudah tidak memperhatikan kaedah dan etika regulasi penyiaran sehingga banyak pelanggaran terjadi d lapangan, seperti di program entertainment program acara yang membahas artis yang terlalu mengekspos berita tentang public figure yang bahkan mengganggu si kehidupan public figure tersebut. Contoh lain pemberitaan televisi yang menyiarkan berita bohong yang belum tentu kebenarannya namun sudah dimunculkan di masyarakat, seolah ingin menarik perhatian masyarakat. Pornografi pun sering terlihat dalam pemberitaan yang malah membuat si medianya merugikan masyarakat, seperti contoh kasus Ariel yang berita video mesumnya yang beredar selama beberapa minggu atau beberapa mata acara yang disiarkan stasiun televisi yang berbau konten dewasa seperti Kakek-Kakek Narsis, Jam Malam, dll. Kekerasan juga terkandung dalam beberapa mata acara dan berita yang disiarkan seperti pelanggaran stasiun televisi yang menampilkan adegan kekerasan dalam berita unjuk rasa, tawuran, penganiayaan, dll. Hal itu semua karena bertambahnya peran media yang tidak hanya sebagai penyalur informasi namun juga sebagi pemegang kekuasaan yang bisa mempengaruhi masyarakat dan pemerintah apalagi bila berhubungan dengan orang yang berkepentingan di dalamnya dalam berita yang akan diinformasikan ke khalayak. Beberapa pakar komunikasi mengatakan seperti McLuhann, seorang filsuf komunikasi, menyengat dengan adagiumnya: "medium adalah pesan itu sendiri!" Informasi juga sebagai komoditi barang dagangan di industri media seperti pada contoh kasus pembunuhan Nasrudin, salah satu petinggi BUMN yang selama ini selalu menjadi sorotan pemberitaan di media. Di berbagai media baik itu media surat kabar maupun televisi sedang gencar melakukan pemberitaan seputar kasus tersebut. Selama 2 minggu berturut-turut media televisi memberitakan kasus tersebut seperti halnya kasus selebriti. Dalam kasus tersebut, media terkadang terlalu mengekspos secara mendalam tanpa adanya batasan hingga mengorek hal pribadi seseorang. Seharusnya tidak semua hal yang bersifat pribadi menjadi bahan konsumsi. Tersangka pembunuhan yang menyeret nama seorang ketua KPK, Antasari Azhar terekspos kehidupan pribadinya. Begitu juga Rani yang disangka menjadi pihak ke tiga penyebab kasus pembunuhan itu terjadi, keluarga Rani yang begitu di ekspos media sehingga ada beberapa pihak

dari keluarganya yang mengalami stress akibat pemberitaan di media yang terlalu berlebihan. Memang, sudah menjadi konsukuensi bagi pihak yang menjadi pemberitaan, oleh media digali lebih dalam untuk memperoleh informasi. Namun, yang sering terjadi awak media kebablasan berlebihan dalam mencari tahu adanya informasi dengan melanggar batas-batas tertentu. Disinilah, kebebasan berekspresi oleh pers dalam suatu pemberitaan di media tidak memiliki suatu batasan yang cukup. Sehingga batasan antara pemberitaan tentang kasus tersebut dengan hiburan menjadi kabur. Pemberitaan mengenai kasus tersebut dijadikan sebagai komoditas yang dipasok tanpa henti untuk memuaskan naluri mengkonsumsi informasi bagi masyarakat. Karena selera informasi masyarakat Indonesia lebih cenderung menyukai pemberitaan tentang kehidupan pribadi seseorang atau skandal seks. Sama halnya kasus Antasari, masyarakat selalu menunggu pemberitaan terkini tentang percintaan antara Antasari, Nasrudin, dan Rani ketimbang penyebab kasus yang terjadi sebenarnya. Di sinilah regulasi dibutuhkan, sebab media sendiri berkeyakinan bahwa dengan adanya regulasi maka sama saja dengan pembunuhan terhadap kebebasan informasi. Dengan adanya regulasi, maka kebebasan berekspresi pelaku media dapat dibatasi tanpa menghilangkan unsur terpenting dari pokok suatu pemberitaan. Namun hal inilah yang menjadi dilema, bahwa dengan adanya regulasi kebebasan berekspresi itu nantinya tidak akan ada. Sehingga yang terjadi hingga saat ini regulasi sulit untuk diwujudkan. Regulasi publik semestinya terdapat pemisahan antara kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Kebebasan pers dimaknai sebagai fungsi publik, sedangkan kebebasan berekspresi merupakan hak dasar yang melekat pada individu. Sedangkan pada kenyataannya hampir lebih dari 50 % berita yang ada berkisar pada kehidupan artis, kekerasan, pornografi dll. Dengan mengekspos besar-besaran berita yang ada, ditambah pula pemberitaan yang cenderung berlebihan. Bahkan berita yang tidak terlalu penting diekspos dengan menambah unsur-unsur yang dapat menarik masyarakat untuk mengkonsumsinya. Pers yang bebas bukan pers yang dengan semena-mena memberitakan tanpa adanya batasan bahkan etika. Namun pers yang bebas adalah pers yang dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Regulasi tidak hanya dibutuhkan pada kebebasan berekspresi pelaku media, namun juga dibutuhkan bagi kebebasan yang bertanggungjawab. Bertanggungjawab yang dimaksud di sini adalah kebebasan kepada publik, kebenaran suatu berita, pada hukum, dan akal sehat pelaku media. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pers yang bebas maka harus memberikan informasi

yang akurat dan tetap bertanggungjawab kepada masyarakat. Seperti pada kasus di atas, seharusnya media dapat lebih bertanggungjawab dalam pemberitaannya. Tidak hanya mengekspos tentang informasi-informasi yang berbau tentang kehidupan pribadi seseorang, namun juga harus mempertanggungjawabkan pada masyarakat sebagai konsumen. Komunikasi sekarang bukan lagi berkutat pada kebenaran, melainkan praktik-praktik persuasi demi kuasa ekonomi dan politik. Potret komunikasi yang memburuk ini mengundang pertanyaan, "Apakah etika komunikasi dimungkinkan dalam epistem komunikasi yang menihilkan segala timbang nilai?" Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun di dalamnya ada terjadi nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya. Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinisikan dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan dapat terjadi sebagai dokumen maupun fisik. Juga semacam latihan/simulasi kekerasan. Tanpa terkecuali kekerasan yang sifatnya simbol, kekerasan yang berupa sikap tidak saling peduli masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa terjebak bersikap represif. Bentuk kekerasan-estetik yaitu Horor-regresif, motifnya adalah ketertarikan pada suatu hal yang meneror atau membuat merinding. Misalnya, kasus Sumanto, mutilasi, film vampire. Halhal yang dapat memacu adrenalin atau membuat tegang. Horor-transgresif, Misalnya foto tawanan perang irak yang disiksa dan dilecehkan secara seksual dengan tubuh digantung terbalik. Gambar-simbol, dengan cara memindahkan kekerasan keluar dari arena atau konteksnya, yang kemudian disembunyikan dan diseleksi melalui saringan tradisi ikonografi dan seni. Jadi ada pembenaran yang akan resisten terhadap diskualifikasi kekerasan bila tanpa alasan logis. Misalnya; penggunaan senjata akan ditentukan oleh realisme sifat kisah dan mendetailnya logika representasi; dari sudut psikologi, penonton akan terhibur ketika melihat kenyataan bahwa kekerasan mendapat upahnya dengan keberhasilan si tokoh; orang cenderung menjadi lupa bahwa mereka sedang berhadapan dengan presentasi kekerasan karena tampilannya yang dipadukan dengan sentuhan humor. Dengan contoth adegan kekerasan tersebut kebanyakan masyarakat hanya bisa menonton dan menikmatinya saja dan cenderung menerima apa saja yang

dikasih oleh media, para penonton seharusnya memprotes di kala terdapat tayangan adegan kekerasan ke lembaga yang menangani masalah penyiaran. Kita tidak boleh menjadi konsumen pasif tetapi kita menjadi masyarakat yang melek media. Padahal dampak dari sering menonton tayangan kekerasan akan mempengaruhi psikologis, perilaku, dan emosional mereka. Kekerasan dalam bentuk apapun, fisik, dokumen, fiksi, atau apapun bentuknya tetap membahayakan bagi siapa saja yang melihatnya karena akan membentuk perilaku mereka dan sikap mereka ketika akan mengahadapi hal yang sama seperti yang mereka tonton. Seperti anak kecil yang suka menonton tayangan WWF SMACKDOWN mereka kemudian mempraktekan adegan tesebut ke temannya, sehingga membuat temannya terluka atau bahkan meninggal seperti yang ditayangkan oleh stasiun swasta beberapa waktu lalu. Dan di dalam kasus ini pihak orang tua juga kurang berperan dalam mengawasi tayangan yang ditonton anak-anaknya dan mengontrol perilaku mereka. Media juga menjadi ajang para politisi untuk membuat diri mereka semakin kokoh di pemerintahan. Mereka menggunakan media demi kepentingan mereka dan politik media juga sangat berpengaruh pada pemerintahan yang membuat negeri ini makin kacau, sering terlihatnya pem-blow-up an kasus-kasus besar dengan nama orang penting dialihkan ke kasus baru lainnya. III. KESIMPULAN

Manipulasi media hampir terjadi di seluruh jenis media. Nilai berita semakin berkurang bila dijadikan sebuah barang komoditi di media. Mimetisme banyak dilakukan oleh orang-orang berkepentingan (politisi) Komunikasi akan hancur bila kita merelakan media menjadi instrumen buta bagi kepentingan pasar, ekonomi, dan teknologi. Jangan sampai para awak media hanya pandai mengemas berita, tetapi juga mendasari penyajian berita dengan etika komunikasi. Para awak media sudah mulai mengeyampingkan istilah profesionalisme dalam mencari berita untuk diinformasikan. Etika Komunikasi dan Regulasi sangat diperlukan untuk mengatur konten-konten media. Masalah pornografi dalam media sangat membahayakan kehidupan dan perilaku anak remaja dan terutama yang sering menjadi korban wanita.

Konten yang baik dan bernilai manfaat bagi masyarakat harus bebas unsur pornografi, masalah agama, suku, dll. Masalah pornografi menyangkut seni, moral, reaksi emosional, dan pandangan teori psikologi Erotisme selalu berisiko menjadi bentuk pornografi Multikulturalisme mendorong menerima keberagaman sikap toleran, tidak diskriminatif, dan menghormati yang lain. Pelajaran multikulturalisme penting diajarkan sejak usia sekolah agar rasa toleransi dan solidaritas. Kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap orang lain. Konten kekerasan akan mengubah pola pikir dan sikap seseorang. Pembentukan lembaga yang mengatur regulasi penyiaran sangat berguna untuk mengatur penyiaran.

Anda mungkin juga menyukai