Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS PENGELOLAAN PT GOJEK INDONESIA DALAM BINGKAI

TEORI TRADISIONAL DAN MODERN

Disusun dalam rangka memenuhi Ujian Akhir Semester Gasal mata kuliah Public
Governance

Dosen pengampu : Dr. Subando Agus Margono, M.Si

DISUSUN OLEH

ARIE SABELA LUTFIANA (03)

NIM 17/409805/SP/27650

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang terus berkembang dan semakin maju
membuat manusia harus menyesuaikan diri dalam menghadapinya. Hal tersebut juga
membuat manusia menjadi semakin bergantung pada alat. Selain untuk mendapatkan
profit, banyak produk industri dibuat dalam rangka memudahkan kinerja manusia. Produk-
produk tersebut pun dibuat dengan menjunjung tinggi prinsip efektivitas dan efisiensi.
Apalagi di era milenial saat ini yang mana manusia ingin segala sesuatunya praktis dan
instan. Selaras dengan banyaknya inovasi-inovasi baru muncul sebagai solusi dalam
menanggapi sebuah isu maupun keresahan masyarakat, kemajuan teknologi dianggap
mampu dijadikan sebuah alternatif solusi.
Jika menilik dari proses kemunculannya, internet dan kemudahan alat komunikasi
telah mengubah pola pikir manusia dalam memaknai teknologi. Fenomena hadirnya
internet dimulai sekitar tahun 1957 Dephan AS DoD (Departement of Defense)
membentuk ARPA (Advanced Research Projects Agency) sebagai tanggapan terhadap
peluncuran Sputnik-nya Uni Sovyet. ARPA bertugas meningkatkan kemampuan teknologi
yang dapat dimanfaatkan oleh militer (Sumargono, 2011). Semenjak kemunculannya,
perkembangan internet terus berjalan dan banyak penemuan-penemuan baru yang
mengantarkan internet hingga tahun 1990-an, yang mana internet banyak dipakai oleh para
akademisi, pemerintah dan para peneliti industri. Sebuah aplikasi baru, WWW (World
Wide Web) mengubah wajah Internet dan membantu jutaan pengguna baru. Aplikasi ini,
ditemukan oleh fisikawan CERN Tim Berners-Lee, tanpa mengubah fasilitas fasilitas yang
telah ada namun membuatnya menjadi lebih mudah digunakan. Bersama-sama dengan
Mosaic viewer, yang dibuat oleh NCSA (National Center for Supercomputer
Applications), WWW memungkinkan sebuah situs (site) untuk menyusun sejumlah
halaman informasi yang berisi teks, gambar, suara dan bahkan video, dengan meletakkan
link ke halaman-halaman lainnya. Dengan meng-klik sebuah link, pengguna akan segera
dibawa ke halaman yang ditunjukkan oleh link tersebut. Dalam setahun setelah Mosaic
diluncurkan, jumlah server WWW berkembang dari 100 menjadi 7000. Pertumbuhan yang
cepat ini terus berlangsung dengan pesat sampai sekarang.
Pada era milenial saat ini, tepatnya pada tahun 2005 perkembangan internet
menghadirkan sebuah fenomena baru yaitu arus publikasi utama seperti The Guardian,
Amerika ilmiah dan Boston Globe telah mengutip banyak artikel tentang IOT. Pada tahun
2008 kelompok perusahaan meluncurkan IPSO Alliance untuk mempromosikan
penggunaan Internet Protocol (IP) dalam jaringan dari "Smart object" dan untuk
mengaktifkan Internet of Things. Pada tahun 2008 FCC menyetujui penggunaan “white
space spectrum”. Akhirnya peluncuran IPv6 di tahun 2011 memicu pertumbuhan besar di
bidang Internet of Things, perkembangan ini didukung oleh perusahaan raksasa seperti
Cisco, IBM, Ericson mengambil inisiatif banyak dari pendidikan dan komersial dengan
IOT teknologi dapat hanya dijelaskan sebagai hubungan antara manusia dan komputer.
Perkembangan Internet of Things, semua peralatan yang kita gunakan dalam kehidupan
kita sehari hari dapat dikendalikan dan dipantau menggunakan IOT. (Suresh et al., 2014).
Hadirnya Internet of Things (IoT) yang memiliki konsep bahwa segala sesuatu dapat
diawasi atau dimonitori dan dikendalikan darinjarak jauh oleh kemajuan teknologi
(internet). Tidak dapat dipungkiri bahhwa konsep IoT ini akan sangat mendorong
perkembangan big data dan penggunaan data center di Indonesia. Selain itu, konsep IoT
ini telah membawa perkembangan baru yang melahirkan adanya Revolusi Industri 4.O
yang saat ini telah digadang-gadang. Di era Revolusi Industri 4.0 manusia telah
menemukan pola baru ketika disruptif teknologi hadir begitu cepat dan mengancam
keberadaan perusahaan-perusahaan yang mapan.
Selaras dengan kemajuan teknologi, terdapat terobosan terbaru, yakni inovasi
transportasi berbasis aplikasi online yang didukung oleh teknologi komunikasi melalui
smartphone. Transportasi berbasis aplikasi online ini merupakan penggabungan dari segi
jasa transportasi ojek dan teknologi komunikasi. Dari sekian banyaknya transportasi
berbasis aplikasi online yang terdapat di Indonesia, Go-Jek adalah yang paling banyak
digunakan oleh masyarakat. Ide Go-jek muncul dari Nadiem Makarim dan Michaelangelo
Moran dengan membuat start-up bisnis yang dibuat untuk merespon tuntutan masyarakat
yang membutuhkan sarana transportasi untuk mengakomodasi pergerakan dan
perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cepat dan murah, walaupun jarak
tempuhnya jauh. Go-Jek mulai beroperasi di Jakarta sejak tahun 2011 (KabarCSR.com,
2015). Pada awal berdirinya, Go-Jek hanya melayani pesanan ojek melalui telepon, tetapi
sejak bulan Januari 2015, Go-Jek telah meluncurkan aplikasi ponsel yang dapat digunakan
sebagai media pemesanan moda transportasi tersebut (Nova dalam Amajida, 2016).
Berkenaan dengan hadirnya Go-Jek sebagai moda transportasi berbasis online
membuat pemerintah menjadi oposisi dari kehadiran Go-Jek tersebut. Dari fenomena
tersebut muncul dilema akan karakteristik dari Go-Jek sendiri yang bergerak di ranah bisnis
tetapi berkenaan dengan pelayanan publik.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana mengelola governance secara tradisional ataupun secara
modern?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kegagalan Pemerintah vs Kehadiran Gojek


Era revolusi industri 4.0 merupakan sebuah pembaharuan yang tidak dapat
dihindari. Selain itu, menurut Schawab dalam Slamet (2018) industri 4.0 telah mengubah
hidup dan kerja manusia secara fundamental. Berbeda dengan revolusi industri
sebelumnya, revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan
kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik,
digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan
pemerintah. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan berkat kemajuan teknologi baru
diantaranya (1) robot kecerdasan buatan (artificial intelligence robotic), (2) teknologi
nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi komputer kuantum, (5) blockchain (seperti
bitcoin), (6) teknologi berbasis internet, dan (7) printer 3D.
Dapat kita ketahui bahwa revolusi industri 4.0 memiliki ciri disruptif teknologi
yang mana hal tersebut bersifat merusak tatanan baik lingkup teknologi, politik, sosial dan
masyarakat. Dilansir dari Ivoox, (2018) pada era industri 4.0 ukuran besar perusahaan tidak
menjadi jaminan, tetapi kelincahan perusahaan menjadi kunci keberhasilan meraih prestasi
dengan cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Uber yang mengancam pema in-pemain besar pada
industri transportasi di seluruh dunia atau Airbnb yang mengancam pemain-pemain utama
di industri jasa pariwisata. Ini membuktikan bahwa yang cepat dapat memangsa yang
lambat dan bukan yang besar memangsa yang kecil. Karena hal tersebut, pemerintah sangat
menolak hadirnya pelayanan publik yang mengandalkan disruptif teknologi dan berbasis
privat sektor karena hal tersebut dianggap merusak tatanan pemerintahan dan pelayanan
publik yang disediakan pemerintah dikalahkan oleh hadirnya sektor privat tersebut. Akan
tetapi jika ditelisik lebih dalam, yang menjadi permasalahan bukan tentang revolusi
industri yang hadir melainkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan pelayanan
publik.
Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya membuat
kepadatan penduduk semakin tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada data Badan Pusat
Statistik pada sensus penduduk tahun 2010 yang menyebutkan kepadatan penduduk
Indonesia sebanyak 124 Jiwa/ km2. Selain itu, jumlah kendaraan bermotor yang ada di
Indonesia mengalami kenaikan -/+ 10.000.00 tiap tahunnya. Statistik terakhir pada tahun
2016, menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor sebanyak 129 281 079. (Data BPS,
2016). Dengan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan semakin banyak membuat tingkat
kemacetan di kota-kota besar tinggi dan mobilisasi masyarakatpun menjadi terhambat. Jika
melihat dari fenomena tersebut seharusnya pemerintah mengambil sikap dalam upaya
memenuhi kewajiban untuk melayani masyarakat di bidang transportasi.
Sesuai dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2009 Pasal 5 ayat 3b bahwa
pemerintah harus memberikan pelayanan publik yang dalam hal ini menyediakan
infrastruktur transportasi perkotaan yang pengadaannya menggunakan anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Menurut Kristiadi dalam Erna (2012:110) pelayanan publik
yang diselenggarakan oleh pemerintah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Baik faktor intern
dalam pihak pemerintah sebagai penyelenggara layanan, maupun faktor yang ada didalam
masyarakat sebagai pihak penerima layanan. Selaras dengan hal tersebut, masyarakat harus
terlayani dalam hal mobilisasi dan berhak menerima akses transportasi. Akan tetapi,
dilansir dari Sihombing (2018) Dari sekitar 10 juta penduduk Ibu Kota, baru 30 persen di
antaranya yang sudah terlayani akses transportasi mumpuni yaitu, memiliki halte (shelter)
berjarak 500 meter dari permukimannya. Sisanya masih harus menempuh jarak sekitar satu
kilometer untuk menggunakan transportasi publik. Dari fenomena tersebut maka tidak
salah ketika masyarakat lebih memilih ojek online (Go-Jek) karena dirasa lebih cepat,
murah, dan mampu mengakomodir kepuasan masyarakat dalam pelayanan transportasi .
Bagi kebanyakan masyarakat persoalan ojek berbasis aplikasi seperti Go-Jek, Blu-
JEK, atau GrabBike muncul karena kegagalan pemerintah mengelola transportasi publik
yang baik. Tentu ada manfaat yang dihasilkan dari ojek, namun jika dipandang dari
kerangka yang lebih luas, sebenarnya pemerintah kita sedang gagal. Masyarakat lebih
menyukai layanan ojek tanpa menyadari perannya sebagai warga negara. Dengan
menggunakan ojek berbasis aplikasi, masyarakat bertindak seperti konsumen. Ada
hubungan transaksional. Penyedia jasa wajib memberikan kepuasan, si pemakai wajib
membayar. Sementara agaknya masyarakat abai menuntut haknya sebagai warga negara
yang semestinya dilayani oleh negara melalui transportasi publik. Masyarakat agaknya
terlena dan lupa menuntut pemerintah menyediakan sistem transportasi publik yang
nyaman, aman, dan murah. Pada akhirnya layanan ojek berbasis aplikasi tadi adalah wujud
kegagalan pemerintah dalam mengelola transportasi publik. Alasan yang mendasari
pemerintah gagal dikarenakan pemerintah tidak menggunakan parameter kepuasan
masyarakat atas pelayanan transportasi publik. Pemerintah hanya melaksanakan kewajiban
berdasarkan undang-undang tanpa tindak lanjut dalam merevisi sebuah program.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih berada pada paradigma Old
Public Administration yang mana konsep kepentingan publik direalisassikan secara politis
dan diekspresikan dalam aturan hukum (Nugroho, 2018). Selain itu, pemerintah menjadi
aktor tunggal yang berkuasa. Padahal konsep governance sudah tidak bisa sektoral
melainkan multidimensi.

2.2. Dilema Swasta vs Publik


Selaras dengan Dwiyanto, (2017) bahwa ketika penyelenggaraan layanan publik
tidak dilakukan oleh pemerintah atas nama Negara, bukan berarti tugas pemerintah sudah
selesai. Pemerintah masih memiliki banyak peran untuk menjamin agar penyelenggaraan
layanan publik tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk sistem
pelayanan publik harus mengatur peran pemerintah untuk menjalankan fungsi pembinaan
dan pengawasan agar semua penyelenggara layanan mematuhi peraturan perundangan.
Peran pengawasan juga diperlukan untuk melindungi kepentingan warga dari moral
bazards yang mungkin terjadi dari keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan layanan
publik. Jika melihat fenomena Go-Jek maka akan terpikirkan bahwa start-up tersebut
merupakan sektor swasta tapi bergerak di bidang pelayanan publik. Pada dasarnya,
pelayanan publik akan transportasi yang mudah, murah, dan cepat merupakan hak warga
negara yang wajib diberikan oleh negara. Tetapi ketika melihat fakta di lapangan,
pelayanan yang seharusnya didapatkan secara gratis dan terfasilitasi oleh pemerintah malah
sebaliknya. Masyarakat harus membayar karena sudah terfasilitasi oleh Go-Jek yang lebih
cepat, mudah, dan murah.
Ketika mendengar kata Go-Jek maka akan terpikirkan adanya dilema antara sektor
swasta dan sektor publik. Go-Jek merupakan start-up yang bergerak atas dasar privat sektor
dan untuk mendapatkan profit. Namun, ketika Go-Jek terjun pada pelayanan publik tentu
akan dihadapkan dengan adanya otoritas negara dan pasar. Otoritas negara disini Go-Jek
akhirnya berhadapan dengan aturan-aturan yang melarangnya. Menurut Indonesia Traffic
Watch (ITW) dalam Kompasiana (2015) menjamurnya sepeda motor yang berubah fungsi
menjadi angkutan umum atau yang dikenal dengan ojek kini dinilai akibat kelalaian
pemerintah. Sebab UU 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan tidak mengakomodir
keberadaan alat transportasi publik tersebut. Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah memberikan perintah kepada
pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan dan menyediakan angkutan umum massal
dengan menggunakan mobil penumpang dan bus (Pasal 139 dan 158 UU LLAJ). Adanya
ruang gerak swasta juga ditengarai akibat peraturan yang secara legal mengikat dan
kegagalan pemerintah dalam mengelola pelayanan publik menjadi alasannya. Perlu
ditekankan bahwa bukan Go-Jek atau kemajuan teknologi yang membuat masyarakat
berpaling dari transportasi publik, tetapi kepuasan masyarakat yang tidak terfasilitasi oleh
pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik. Kegagalan tersebut memang selaras
dengan kondisi pemerintahan saat ini yang masih mengacu pada administrasi publik
tradisional seperti yang diungkapkan oleh Weber dalam Anne, et al. (2011) bahwa
administrasi publik tradisional tidak dapat dipisahkan terkait dengan gagasan bahwa
pemerintahan publik dilaksanakan oleh penguasa yang berdaulat yang mengontrol proses
pemerintahan melalui lembaga formal pengaturan nasional yang menempatkan kekuasaan
pengambilan keputusan di tangan pemerintah dan pelaksanaannya.
Selain berbenturan dengan otoritas, Go-Jek dan pemerintah juga dihadapkan oleh
pasar yang meliputi SDM dan customer. Sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan
berbasis teknologi ini merupakan warga negara yang mana terbantu oleh adanya Go-Jek.
Selain memilki sumber daya manusia (Engineering+karyawan) yg handal, pemasaran
yang dilakukan PT Go-Jek dengan mengenalkan produk-produk yang sudah ada kedaerah
pemasaran yang baru (pangsa pasar bertambah). Pangsa pasar dan SDM yang menjadi
sasaran Go-Jek merujuk pada masyarakat. Hal ini menyebabkan adanya kompetisi dari
pihak pemerintah dan Go-Jek dalam menunjuk target dan sasaran. Jika terus-menerus
dibiarkan tanpa tindak lanjut maka warga negara akan beralih menjadi customer Go-Jek
dan bukan lagi citizen yang dilayani negara. Krisis kepercayaan yang dialami baik oleh
institusi pemerintah ataupun swasta yang sekarang ini terjadi di Indonesia sebagai akibat
dari kegagalan dalam merespon kebutuhan dan kepentingan publik (Dwiyanto, dkk., 2007)
dapat menjadi justifikasi perlunya mengembangkan kemitraan antara pemerintah dan
swasta. Kegagalan dalam merespon masalah dan kepentingan publik ketika mereka bekerja
sendirian dapat dihindari ketika mereka berkolaborasi. Selain itu, menurut Dwiyanto,
(2017) Sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa studi sebelumnya, kemitraan dapat
meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah karena keterlibatan institusi swasta
yang memiliki kredibilitas tinggi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik akan turut memperbaiki kepercayaan publik terhadap institusi
pemerintah.

2.3. Good Governance Sebagai Jalan Tengah


Menurut Fred R. David dalam Taufiqurokhman (2016) Manajemen strategik adalah
ilmu mengenal perumusan, pelaksanaan dan evaluasi keputusan-keputusan lintas fungsi
yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya. Manajemen strategik merupakan alat
untuk menerapkan meta-governance. Di era yang semakin canggih konsep tradisional
dianggap sudah tidak relevan. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa sektor
publik dan sektor privat harus berkolaborasi dalam memberikan pelayanan publik. Saatnya
pemerintah beralih kepada konsep good governance yang mana hubungan ketiga pilar
unsur-unsur pemerintahan tersebut harus saling terkait dan terkoordinasi dengan baik,
karena setiap unsur memiliki peranan yang sama penting dan saling mempengaruhi
(share of responsibilities) sehingga menciptakan sinergi dalam pola hubungan tersebut.
Dari konsep good governance akan melahirkan sebuah konsep Meta-Governance.
Partisipasi dan kemitraan dari konsep meta-governance tersebut memang pelayanan publik
akan lebih baik, akan tetapi jika pemerintah beralih ke meta-governance maka konsep
citizen akan terabaikan yang mana pemerintah hanya meregulasi tetapi masyarakat tetap
membayar pelayanan tersebut. Akan lebih baik jika pemerintah menggunakan konsep
governance yang mana pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi
aktor yang paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun
maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong
terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain dikomunitas dan sektor
swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut.
Ada sebuah terobosan baru yang dinamakan dynamic governance. Konsep
Dynamic Governance yang diperkenalkan oleh Prof. Boon Siong Neo, Akademisi di
Nanyang Technological University, Singapura. Beliau memaparkan bahwa Dynamic
Governance bukanlah konsep yang terpisah dari good governance. Meski penting, prinsip-
prinsip good governance tidaklah memadai dalam menciptakan kondisi ideal suatu negara.
Menurut Boon Siong Neo, Dynamic Governance pada dasarnya berfokus pada dua faktor
kunci, yakni kapabilitas dan kultur. Dua faktor inilah yang akan menggerakkan SDM dan
proses menuju perubahan kebijakan yang adaptif atau yang dicita-citakan sebagai Dynamic
Governance. Dynamic Governance merupakan pengalaman empiris Singapura yang
diejawantahkan menjadi sebuah konsep, teori, dan pola pikir untuk mencapai tata
pemerintahan yang lebih baik. Tentunya, implementasinya harus disesuaikan dengan kultur
dan karakteristik masing-masing negara. Dalam era yang kian dinamis saat ini, pemerintah
daerah wajib menggalakkan gerakan tata kelola pemerintahan yang dinamis (Dynamic
Governance), yang diyakini mampu mendorong Indonesia keluar dari lingkaran setan
buruknya tata kelola pemerintahan. Ciri pemerintahan dinamis antara lain cepat, responsif,
dan efisien. Ketika menggunakan dynamic governance pemerintah harus (1) Think Across
(Lintas Sektoral) ; (2) Think Ahead (Berpikir Kedepan) ; (3) Think Again (Berpikir lagi).
Dari ketiga komponen tersebut tidak dimiliki meta-governance.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Kelemahan
Ketika pemerintah memakai konsep paradigma Old Public
Administration (Teori Tradisional) maka pemerintah berkedudukan sebagai aktor
tunggal yang berkuasa tanpa memperhatikan aspek partisipasi publik dan di era melek
teknologi saat ini, old public administration sudah tidak relevan karena akibatnya
pemerintah banyak meengalami kegagalan dan muncul banyak kompetitor dari privat
sektor yang tidak sebanding.
Jika melihat fenomena privat vs public sektor menggunakan Konsep Meta-
Governance kelemahannya adalah akan terabaikannya konsep Citizen (warga negara)
karena pemerintah hanya memberikan regulasi tetapi masyarakat tetap harus
memberikan feedback yang dalam hal Go-Jek ini harus berbayar.

b. Kelebihan
Ketika pemerintah masih menggunakan konsep Paradigma Old Public
Administration kelebihannya adalah pemerintah dapat secara struktural dalam
membuat kebijakan dan memiliki dasar hukum dan dasar acuan dalam membuat
kebijakan. Selain itu, koordinasi yang dilakukan antarlembaga pemerintah tidak
kompleks karena memang hanya satu sektor, tidak multidimensi.
Sedangkan ketika pemerintah menggunakan Konsep Meta-Governance
dalam menyelesaikan masalah Go-Jek, kedua aktor tersebut dapat berkolaborasi dalam
rangka mewujudkan good-governance karena ada keterlibatan aktor pemerintah,
swasta, dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Amajida, Fania Dharma. (2016). Kreativitas Digital dalam Masyarakat Risiko Perkotaan : Studi
Tentang Ojek Online “Go-Jek” di Jakarta. INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi. Vol. 46.
No. 1. Juni 2016.
Anne, etc. (2011). Emerging Theoretical Understanding of Pluricentric Coordination in Public
Governance. The American Review of Public Administration.
Badan Pusat Statistik. (2010). Jumlah dan Distribusi Penduduk. https://sp2010.bps.go.id/. Diakses
pada 20 Desember 2018 Pukul 19.46 WIB.
. (201 6). Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis,
1949-2016. https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1133. Diakses pada 20
Desember 2018 Pukul 1955.

Dwiyanto, A.,Dkk, (2007a) Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia. Yogyakarta :

PSKK.UGM
Dwiyanto, Agus. (2017). MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK : Peduli, Inklusif, dan
Kolaboratif. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Ivoox. (2018). Revolusi Industri 1.0 Hingga 4.0. https://ivoox.id/revolusi-industri-dari-1-0-


hingga-4-0/. Diakses pada 20 Desember 2018 Pukul 18.57 WIB
KabarCSR.com. (2015). Gojek Inovasi dalam Transportasi. http://www.kabarcsr. com/post/gojek-
inovasi-dalam- transportasi/. Diakses pada 20 Desember 2018 Pukul 18.34 WIB
Kompasiana. (2015). Ojek Online Bukan Solusi Transportasi Kota.
https://www.kompasiana.com/hitchiker_12324/560df1717397739f0fdf6748/ojek-online-
bukan-solusi-transportasi-kota?page=all. Diakses pada 21 Desember 2018 Pukul 19.17
WIB.
Setiawan, Sakina Rakhma D. (2018) Tak Diakui Jadi Angkutan Umum, Ojek Online Disarankan
Diatur Pemda. https://nasional.kompas.com/read/2018/06/29/13401591/tak-diakui-jadi-
angkutan-umum-ojek-online-disarankan-diatur-pemda. Diakses pada 21 Desember Pukul
18.25 WIB
Setijaningrum, Erna. 2012 .Riset dan Pengukuran Kualitas Pelayanan, Surabaya : Revka Petra
Media.
Sihombing, Erwin C. (2018). Berita Satu : Baru 30% Warga DKI Terlayani Akses Transportasi.
https://www.beritasatu.com/aktualitas/521424-baru-30-warga-dki-terlayani-akses-
transportasi.html. Diakses pada 21 Desember 2018 Pukul 21.15
Sumargono. (2011). Sejarah Perkembangan Internet dan Kebutuhan Informasi dalam Dunia
Pendidikan. Jurnal Teknologi. Vol. 1 No. 1.
Suresh, P., Daniel, J. V., & Aswathy, R. H. (2014). A state of the art review on the Internet of
Things ( IoT ) History , Technology and fields of deployment.
Taufiqurokhman. (2016). Manajemen Strategik. Jakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama
Undang-Undang No 25 Tahun 2009 Pasal 5 ayat 3b

Anda mungkin juga menyukai