Masalah kebijakan adalah suatu gejala yang menjadi masalah publik ketika
dirasakan oleh sekelompok masyarakat yang membutuhkan atau bahkan hanya dapat
diatasi oleh intervensi pemerintah. Dunn (2003:107) menjelaskan masalah kebijakan
merupakan nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat
diidentifikasi, diperbaiki dan dicapai melalui tindakan publik. Seringkali masalah-
masalah sosial seperti kemiskinan, buta huruf, terorisme, bencana, kejahatan, wabah
penyakit, dan sejumlah masalah sosial lainnya mengharuskan tindakan pemerintah
karena tidakan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tidak dapat diatasi aktor
swasta atau lembaga masyarakat. Meskipun dalam kenyataannya mulai banyak public
goods yang telah dipenuhi oleh sektor swasta (misalnya: kebutuhan rumah tangga dan
program pemberdayaan), namun kepentingan publik skala lebih luas seperti
pertahanan nasional dan keselamatan publik paling tepat berada pada domain
pemerintah.
Umumnya analis telah memiliki definisi terhadap suatu masalah diawal proses
analisis kebijakan. Pendekatannya dalam mendefinisikan masalah dapat melalui
beberapa cara. Patton dan Savicky (1986:104) mengatakan analis dapat menggunakan
pendekatan pragmatis dengan setuju terhadap masalah yang diberikan oleh klien,
supervisor, pengambil keputusan atau stakeholder lainnya dan mengidentifikasi faktor-
faktor dari masalah yang telah tentukan, atau disisi lain menggunakan pendekatan
kriteria sosial dimana analis mencoba mendefinisikan masalah yang telah berdampak
Workshop BKKBN se-Indonesia
pada kepentingan publik. Lebih dari itu, identifikasi masalah yang ideal dilakukan analis
haruslah dengan melihat kondisi realitas yang sebenarnya untuk menghindari
kesalahan dalam merumuskan masalah. Hal tersebut penting, mengingat kebijakan
publik sebenarnya mencerminkan preferensi dari masyarakat.
Kebijakan Strategis
Isu-isu
v utama
Isu-isu sekunder
Isu-isu fungsional
Isu-isu minor
Kebijakan Operasional
Isu-isu utama (major issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah
tertinggi secara yurisdiksi/wewenang pusat, provinsi, maupun daerah (kabupaten/
kota). Isu-isu utama secara khusus meliputi misi suatu instansi, yaitu mengenai sifat
dan tujuan organisasi-organisasi pemerintah. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah
isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan
pusat, provinsi atau daerah. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas
program, definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu-isu
fungsional (functional issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, seperti:
anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu minor (minor
issues) adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek yang
spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam
kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.
3. Sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan terwujud ketika analis membuat
penilaian mengenai keinginan untuk mengubah situasi masalah. Masalah
kebijakan merupakan produk penilaian subjektif manusia, bisa didefinisikan
sebagai kondisi sosial yang objektif.
Tabel 3.1 Perbedaan dalam Struktur dari Tiga Tipe Masalah Kebijakan
STRUKTUR MASALAH
ELEMEN
Sederhana Agak Sederhana Rumit
Pengambilan keputusan Satu atau beberapa Satu atau beberapa Banyak
Alternatif Tebatas Terbatas Tak terbatas
Kegunaan (nilai) Konsensus Konsensus Konflik
Hasil Pasti atau berisiko Tidak pasti Tidak diketahui
Probabilitas Dapat dihitung Tak dapat dihitung Tak dapat
dihitung
Contoh: klinik memberi Kehamilan tidak Jumlah
layanan KB sesuai diinginkan, dan penduduk
SOP meningkatnya usia diatas proyeksi
kawin pertama
Sumber: Dunn (2003:221)
secara langsung. Namun peningkatan usia perkawinan pertama pada kisaran 21 tahun
misalnya, menjadi problematis apabila dikaitkan dengan undang-undang pernikahan,
budaya dan agama yang memberikan usia perkawinan lebih muda.
Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat fase
yang saling tergantung, yaitu: 1) pencarian masalah (problem search), 2) pendefinisian
masalah (problem definition), 3) spesifikasi masalah (problem specification), dan 4)
pengenalan masalah (problem sensing) (Dunn, 2003:226). Perumusan masalah dimulai
dari situasi masalah, yaitu rangkaian situasi yang menimbulkan rasa ketidak puasan
atau merasa terdapat sesuatu yang salah. Kemudian para analis terlibat dalam
pencarian masalah, yang selanjutnya mengantar pada fase yang disebut meta masalah,
yaitu masalah belum tertata dengan baik. Fase selanjutnya adalah pendefinisian
masalah yang berpindah pada masalah substantif, berusaha untuk mendefinisakan
masalah dalam istilah paling mendasar dan umum. Melalui spesifikasi maslah, masalah
substantif berubah menjadi formal, yang berarti masalah telah dirumuskan secara
spesifik dan jelas. Berikut gambar fase-fase perumusan masalah:
Workshop BKKBN se-Indonesia
META
MASALAH
Pencarian Pendefinisian
Masalah Masalah
SITUASI MASALAH
MASALAH SUBSTANTIF
Pengenalan
Masalah Spesifikasi
MASALAH Masalah
FORMAL
Tahapan Ilustrasi
Situasi Tren TFR (Total Fertility Rate) masih tinggi. Laporan Survei Demografi
Masalah dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1991-2012 menunjukkan stagnasi
diangka 2,6.
Meta 1. Unmet need tinggi. Persentase wanita kawin yang tidak ingin punya
Masalah anak lagi atau menjarangkan kelahiran berikutnya namun tidak
menggunakan alat kontrasepsi, atau masyarakat ingin ber-KB namun
tidak terlayani.
2. Pemakaian kontrasepsi baru mencapai 62% (58% modern dan 4%
tradisional).
3. Penggunaan alat kontrasepsi jangka pendek yang tinggi (resiko
kegagalan tinggi)
4. Faktor budaya yang mempengaruhi pemilihan kontrasepsi.
5. Kurangnya petugas pelayanan KB
6. Kurangnya dukungan dari pemerintah daerah
7. Kerjasama Pusat dan Daerah masih lemah.
Masalah 1. Pengetahuan masyarakat dalam penggunaan KB rendah
Substantif 2. Jangkauan Pelayanan KB yang terbatas
3. Koordinasi pemerintah pusat dan daerah lemah
Masalah Lemahnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam memperluas
Formal jangkauan pelayanan KB mulai dari sosialisasi hingga pedampingan
pengunaan KB oleh masyarakat.
Workshop BKKBN se-Indonesia
sekaligus melakukan evaluasi atas apa yang telah dilakukan sebelumnya, mengenai
kekurang dan kelebihan instrumen sebelumnya (Khaikleng, at. al, 2014).
Harus diakui bahwa belakangan ini dalam rumpun ilmu sosial, ilmu ekonomi
khususnya, banyak menggunakan pendekatan deduktif. Bukan tanpa alasan,
pendekatan deduktif dapat mempermudah analis dalam mendefinisikan
kompleksitas dari masalah sosial yang ada. Penggunaan pendekatan induktif
mengalami berbagai kendala dan kesulitan dalam memahami banyaknya jumlah
variabel dan hubungan yang tidak bisa didefinisikan dalam teori yang tersedia.
Overmars, et. al (2007) menyatakan bahwa praktik penelitian terjebak pada dua
pendekatan tersebut, serta banyak diantaranya memiliki kecenderungan pada salah
satu pendekatan. Lebih lanjut Overmars, et. al (2007) membuat enam posisi logika
antara deduktif dan induktif yang dapat dipakai dalam membangun logika analisis,
dijelaskan sebagai berikut:
Keenam tipe yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dimaknai sebagai teknik
yang dapat digunakan dalam membantu analisis. Pertama, induktif, deduktif maupun
kesatuan dari keduanya, walaupun menjadi inti dari pemahaman terhadap
epistemologi, tidak dapat mencakup seluruh rangkaian dalam metodologi ilmiah. Kedua,
dari keenam tipe dari pendekatan induktif/deduktif yang dijelaskan sebelumnya tidak
hanya mungkin dipergunakan salah satunya. Peneliti atau analis dapat menemukan
misalnya lanjutan atau melakukan teknik campuran. Namun pembahasan dalam buku
Workshop BKKBN se-Indonesia
ini tidak akan melangkah terlapau jauh untuk melihat lanjutan dari tipe yang telah
disajikan, terlebih penulis menganggap enam tipe telah dapat mengakomodasi
kebutuhan analis dalam merumuskan masalah.
F. Mempersiapkan data
a. Analisis Batas
Analisis kebijakan sering dihadapkan pada masalah yang tidak jelas dan rumit,
sehingga dibutuhkan informasi yang lengkap berhubungan dengan masalah yang akan
dipecahkan. Metode batas dilakukan untuk meyakinkan tingkat kelengkapan dari
serangkaian representasi masalah (meta masalah) melalui tiga langkah yaitu: pencarian
sample secara snowball, pencarian representatif masalah dan estimasi batasan (Dunn,
2003:249). Pencarian masalah secara snowball diperoleh dari para pelaku kebijakan
dan dapat dicari dengan proses bertingkat, yang dimulai dengan individu atau
kelompok yang dianggap memahami suatu kebijakan hingga pada akhirnya tidak ada
nama baru aktor yang terlibat disebutkan. Pencarian representatif dirancang untuk
memperoleh representasi dari masalah alternatif sebagai ide-ide, paradigma dasar,
metafora dominan, standar operasi baku, atau apapun juga yang dipilih untuk menyebut
sistem intepretasi terhadap suatu kejadian. Kemudian yang terakhir estimasi batasan
dilakukan untuk memperkirakan batasan dari meta masalah.
b. Analisis Klasifikasi
d. Konsistensi. Setiap kategori dan sub kategori harus didasarkan pada prinsip
klasifikasi tunggal.
Untuk mengatasi masalah angka fertilitas yang stagnan sebesar 2,6 dengan
target penurunan sebesar 2,4, analisis kebijakan dapat mengklasifikasikan dalam
fertilitas kota dan desa. Dijelaskan dalam tabel berikut ini:
c. Analisis Hirarkis,
d. Sinektika
b. Analogi langsung. Analis meneliti kemiripan hubungan diantara dua atau lebih
situasi masalah.
e. Brainstorming
Brainstorming adalah metode untuk menghasilkan ide-ide, tujuan-tujuan jangka
pendek dan strategi-strategi yang membantu untuk mengidentifikasi dan
mengkonseptualisasikan kondisi-kondisi permasalahan. Metode ini juga dapat
digunakan untuk menghasilkan sejumlah perkiraan-perkiraan mengenai solusi yang
potensial bagi masalah-masalah yang ada. Brainstorming meliputi beberapa prosedur
sederhana (Dunn, 2003:265), yaitu:
b. Proses pemunculan ide dan harus benar-benar terpisah karena diskusi kelompok
yang intensif dapat memungkinkan terjadinya kritik dan debat.
d. Fase evaluasi ide harus dimulai hanya setelah semua ide telah tuntas dilakukan.
e. Pada akhir fase evaluasi ide, kelompok harus memprioritaskan ide-ide dan
memadukan yang berisi konseptualisasi masalah dan potensi pemecahannya.
g. Analisis Asumsi
h. Pemetaan Argumentasi
Referensi:
Cochran, at. al. 2012. American Public Policy: An Introduction. Boston. Wadsworth
Edwards, Meredith. 2001. Social Policy, Public Policy: from Problems to Practice.
Canberra: Allen & Unwin.
Fischer, F., Miller, G. J., dan Sidney, M. S. 2007. Handbook of Public Policy Analisis: Theory,
Politics, and Methods. Boca Raton: CRS Press
Howlett, Michael and Ramesh, M. 2003. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystems, 2nd ed. Ontario: Oxford University Press.
Khaikleng, Piyapong, et. al. 2014. Developmen of a Program Theory for Evaluating the
Success of Education Reform Plicy Implementation in Schools by Using Inductive
and Deductive Approaches. Social Behavioral Sciences. 1389-1393.
Morcol, Goktug. 2007. Handbook of Decision Making. Boca Raton: CRC Press
Overmars, Koen. P, at. al. 2007. Comparing Inductif and Deductive Modelling of Land Use
Decisions: Principles, a Model and an Illustartion form the Philippines. Hum
Ecol. 439-42
Patton, carl. V dan Savicki, David. S. 1986. Basic Methods of Policy Analysis and Planing.
New Jersey: Prenctice Hall.
Weimer, D. L dan Vining, A. R. 1998. Policy Analysis Concepts and Practice. New Jersey:
Prenctice Hall.