Anda di halaman 1dari 22

Workshop BKKBN se-Indonesia

PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN

Pandhu Yuanjaya, MPA

A. Masalah dan Isu Kebijakan Publik

Perumusan masalah merupakan tahap awal yang sangat berpengaruh dalam


hampir seluruh proses analisis kebijakan (Hill, 1993:9). Dengan kata lain, merumuskan
masalah kebijakan menjadi prasyarat dan bagian terpenting dalam pembuatan
kebijakan. Fokus utama pada tahap ini adalah menjawab pertanyaan bagaimana
masalah yang menjadi target kebijakan publik dapat diidentifikasikan dan ditetapkan
(Anderson, 2003:18). Identifikasi masalah dilakukan berdasarkan adanya pengakuan
atau “dirasakan keberadaannya” atas situasi atau gejala yang tidak diinginkan (Weimer
dan Vining, 1999:206; Dunn, 2003:226; Parsons, 2011:90).

Masalah kebijakan adalah suatu gejala yang menjadi masalah publik ketika
dirasakan oleh sekelompok masyarakat yang membutuhkan atau bahkan hanya dapat
diatasi oleh intervensi pemerintah. Dunn (2003:107) menjelaskan masalah kebijakan
merupakan nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat
diidentifikasi, diperbaiki dan dicapai melalui tindakan publik. Seringkali masalah-
masalah sosial seperti kemiskinan, buta huruf, terorisme, bencana, kejahatan, wabah
penyakit, dan sejumlah masalah sosial lainnya mengharuskan tindakan pemerintah
karena tidakan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tidak dapat diatasi aktor
swasta atau lembaga masyarakat. Meskipun dalam kenyataannya mulai banyak public
goods yang telah dipenuhi oleh sektor swasta (misalnya: kebutuhan rumah tangga dan
program pemberdayaan), namun kepentingan publik skala lebih luas seperti
pertahanan nasional dan keselamatan publik paling tepat berada pada domain
pemerintah.

Umumnya analis telah memiliki definisi terhadap suatu masalah diawal proses
analisis kebijakan. Pendekatannya dalam mendefinisikan masalah dapat melalui
beberapa cara. Patton dan Savicky (1986:104) mengatakan analis dapat menggunakan
pendekatan pragmatis dengan setuju terhadap masalah yang diberikan oleh klien,
supervisor, pengambil keputusan atau stakeholder lainnya dan mengidentifikasi faktor-
faktor dari masalah yang telah tentukan, atau disisi lain menggunakan pendekatan
kriteria sosial dimana analis mencoba mendefinisikan masalah yang telah berdampak
Workshop BKKBN se-Indonesia

pada kepentingan publik. Lebih dari itu, identifikasi masalah yang ideal dilakukan analis
haruslah dengan melihat kondisi realitas yang sebenarnya untuk menghindari
kesalahan dalam merumuskan masalah. Hal tersebut penting, mengingat kebijakan
publik sebenarnya mencerminkan preferensi dari masyarakat.

Pemilahan isu-isu kebijakan juga menjadi perhatian dalam proses perumusan


masalah. Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik
tentang rumusan, rincian penjelasan maupun penilaian atas sesuatu masalah tertentu
(Dunn, 2003:218). Dengan kata lain, isu kebijakan timbul akibat terjadinya konflik atau
perbedaan persepsional diatara para aktor atas suatu situasi yang dihadapi (Cochran,
et. al, 2012:40). Edwards (2001:4) menjelaskan lebih spesifik bahwa identifikasi isu
adalah tahap awal ketika sebuah masalah mendapat perhatian pemerintah atau
merupakan inisiasi dari pemerintah itu sendiri. Oleh karenanya, kompleksitas isu-isu
kebijakan dapat diperlihatkan dengan mempertimbangkan jenjang organisasi dimana
isu-isu itu dirumusakan. Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan sesuai dengan hirarki
dari empat tipe yaitu utama, sekunder, fungsional, dan minor.

Kebijakan Strategis

Isu-isu
v utama

Isu-isu sekunder

Isu-isu fungsional

Isu-isu minor

Kebijakan Operasional

Gambar 3.1 Hirarki tipe-tipe isu kebijakan (Dunn, 2003:220)


Workshop BKKBN se-Indonesia

Isu-isu utama (major issues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah
tertinggi secara yurisdiksi/wewenang pusat, provinsi, maupun daerah (kabupaten/
kota). Isu-isu utama secara khusus meliputi misi suatu instansi, yaitu mengenai sifat
dan tujuan organisasi-organisasi pemerintah. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah
isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program di pemerintahan
pusat, provinsi atau daerah. Isu-isu yang kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas
program, definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak. Isu-isu
fungsional (functional issues), terletak di antara tingkat program dan proyek, seperti:
anggaran, keuangan, dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu minor (minor
issues) adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek yang
spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam
kerja, dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.

B. Ciri-Ciri Masalah Kebijakan

Belakangan ini, terutama dalam negara demokrasi, banyak disuguhi berbagai


gejala sosial seperti yang dicontohkan sebelumnya. Pengenalan masalah dan definisi
masalah sebagian besar telah dilakukan di depan publik, melalui media maupun
perkumpulan komunitas tertentu oleh banyak aktor termasuk masyarakat (Howlett dan
Ramesh, 2003:61). Disisi lain yang menjadi pertanyaan apakah gejala sosial yang
disuguhkan tersebut adalah masalah nyata atau hanya gejala sosial kecil yang didorong
sedemikian rupa untuk mendapatkan dukungan publik. Tantangan analis kebijakan
pada tahap ini adalah mengidentifikasikan masalah dengan tepat, menghilangkan bahan
yang tidak relevan, memiliki data yang kuat, fokus pada inti masalah, ditemukannya
faktor-faktor penting, dan memastikan definisi masalah jauh dari ambiguitas (Patton
dan Savicky, 1986:56). Oleh karenanya, penting untuk memahami beberapa
karakterisitik dari masalah publik (Dunn, 2003:214), diuraikan sebagai berikut:

1. Saling ketergantungan antar berbagai masalah. Dalam kenyataannya, masalah


kebijakan bukan merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri, namun bagian
dari seluruh rangkaian masalah yang saling terkait. Masalah-masalah yang saling
terkait membutuhkan suatu pendekatan holistik yang memandang bagian-
bagian lain sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian yang
mengikatnya.
Workshop BKKBN se-Indonesia

2. Subyektivitas dari masalah kebijakan. Masalah kebijakan merupakan suatu hasil


pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan atau kondisi eksternal tertentu.
Dalam analisis kebijakan penting untuk membedakan antara situasi masalah
dengan masalah kebijakan karena masalah adalah abstraksi yang timbul dari
transformasi pengalaman dalam penilaian analis atau pembuat kebijakan,
sehingga sangat mungkin bersifat subjektif.

3. Sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan terwujud ketika analis membuat
penilaian mengenai keinginan untuk mengubah situasi masalah. Masalah
kebijakan merupakan produk penilaian subjektif manusia, bisa didefinisikan
sebagai kondisi sosial yang objektif.

4. Dinamika masalah kebijakan. Solusi terhadap masalah selalu berubah. Masalah


publik yang sama belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama
apabila konteks lingkungannya berbeda. Lebih lanjut, masalah yang sama juga
belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama apabila waktunya
berbeda. Ringkasnya, setiap masalah memiliki dinamika yang sejatinya teru
membutuhkan solusi yang berbeda mengikuti dinamika yang terjadi.

C. Kategori Masalah Kebijakan

Dunn (2003:221) mengkategorikan tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: masalah


yang sederhana (well structured), masalah yang agak sederhana (moderately-
structured) dan masalah yang rumit (ill structured). Struktur dari masing-masing kelas
ini ditentukan oleh tingkat kompleksitasnya, yang merupakan derajat seberapa jauh
suatu masalah merupakan sistem permasalahan yang saling tergantung. Perbedaaan di
antara masalah-masalah yang sederhana, agak sederhana, dan rumit digambarkan
dengan mempertimbangkan variasi di dalam elemen-elemen mereka.
Workshop BKKBN se-Indonesia

Tabel 3.1 Perbedaan dalam Struktur dari Tiga Tipe Masalah Kebijakan

STRUKTUR MASALAH
ELEMEN
Sederhana Agak Sederhana Rumit
Pengambilan keputusan Satu atau beberapa Satu atau beberapa Banyak
Alternatif Tebatas Terbatas Tak terbatas
Kegunaan (nilai) Konsensus Konsensus Konflik
Hasil Pasti atau berisiko Tidak pasti Tidak diketahui
Probabilitas Dapat dihitung Tak dapat dihitung Tak dapat
dihitung
Contoh: klinik memberi Kehamilan tidak Jumlah
layanan KB sesuai diinginkan, dan penduduk
SOP meningkatnya usia diatas proyeksi
kawin pertama
Sumber: Dunn (2003:221)

Masalah yang sederhana (well structured problems) adalah masalah yang


melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan alternatif kebijakan yang
ditawarkan terbatas. Nilai yang dihasilkan umumnya, pada tujuan-tujuan jangka pendek
yang, mencerminkan konsensus dari stakeholder. Hasil dari masing-masing alternatif
kebijakan memiliki tingkat probabilitas tinggi atau dalam margin kesalahan yang masih
dapat diterima. Contoh masalah yang sederhana seperti yang dijelaskan dalam tabel
yaitu peningkatan pelayanan KB sesuai Standart Operational Procedure (SOP) yang
menjadi keinginan seluruh stakeholder dan penerapan pelayanan dilakukan sesuai SOP.

Masalah yang agak sederhana (moderately structured problems) adalah masalah-


masalah yang melibatkan beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang
relatif terbatas. Kegunaan/nilai yang akan dikejar mencerminkan konsensus. Hasil dari
alternatif-alternatif yang dihasilkan tidak dapat ditentukan atau kurang meyakinkan,
dengan kata lain probabilitas kesalahan tidak dapat diperkirakan sama sekali. Pada
kasus kehamilan yang tidak diinginkan sebesar 19,7% (SDKI, 2007), tentu semua orang
sepakat bahwa hal ini harus dikurangi, namun alternatif-alternatif kebijakan seperti
usaha peningkatan pemahaman masyarakat khususnya remaja dalam melakukan seks-
pranikah dan penggunaan KB yang berkelanjutan ditingkat rumah tangga, tidak dapat
diperhitungkat tingkat keberhasilannya. Contoh yang lain, terkait dengan usia
perkawinan pertama di usia 19 tahun yang diakui akan menyebabkan berbagai dampak
Workshop BKKBN se-Indonesia

secara langsung. Namun peningkatan usia perkawinan pertama pada kisaran 21 tahun
misalnya, menjadi problematis apabila dikaitkan dengan undang-undang pernikahan,
budaya dan agama yang memberikan usia perkawinan lebih muda.

Masalah yang rumit (ill structured problems) adalah masalah-masalah yang


mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas-nya tidak diketahui. Jika
masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan konsensus, maka
karakteristik utama dari masalah-masalah yang rumit adalah konflik di antara tujuan-
tujuan yang saling berkompetisi. Para stakeholder akan sama-sama mendorong isu yang
mereka bawa untuk disetujui bersama. Alternatif-alternatif kebijakan tidak terbatas dan
hasil akhirnya tentu sangat sulit diketahui dengan pasti karena tingkat probabilitasnya
sulit dihitung. Masalah yang rumit ini misalnya pertumbuhan penduduk yang tidak
terkendali akan berimplikasi secara multi-dimensi yang harus dilakukan lintas sektor.

Kebanyakan masalah kebijakan cenderung merupakan masalah yang rumit (ill-


structured) Masalah ini menuntut pemahaman yang mendalam dari analis kebijakan
atau policy maker. Terlebih dalam kenyataannya, masalah-masalah publik cenderung
bersifat rumit sehingga menuntut policy maker mengembangkan alternatif-alternatif
kebijakan dan membuat pilihan kebijakan yang tepat (Morcol, 2007:566).

D. Fase-fase Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat fase
yang saling tergantung, yaitu: 1) pencarian masalah (problem search), 2) pendefinisian
masalah (problem definition), 3) spesifikasi masalah (problem specification), dan 4)
pengenalan masalah (problem sensing) (Dunn, 2003:226). Perumusan masalah dimulai
dari situasi masalah, yaitu rangkaian situasi yang menimbulkan rasa ketidak puasan
atau merasa terdapat sesuatu yang salah. Kemudian para analis terlibat dalam
pencarian masalah, yang selanjutnya mengantar pada fase yang disebut meta masalah,
yaitu masalah belum tertata dengan baik. Fase selanjutnya adalah pendefinisian
masalah yang berpindah pada masalah substantif, berusaha untuk mendefinisakan
masalah dalam istilah paling mendasar dan umum. Melalui spesifikasi maslah, masalah
substantif berubah menjadi formal, yang berarti masalah telah dirumuskan secara
spesifik dan jelas. Berikut gambar fase-fase perumusan masalah:
Workshop BKKBN se-Indonesia

META
MASALAH
Pencarian Pendefinisian
Masalah Masalah

SITUASI MASALAH
MASALAH SUBSTANTIF

Pengenalan
Masalah Spesifikasi
MASALAH Masalah
FORMAL

Gambar 3.2 Fase-Fase Perumusan Masalah (Dunn, 2003:228)

Fase-fase perumusan masalah seperti yang dijelaskan sebelumnya, lebih lanjut


diuraikan dalam ilustrasi sebagai berikut:

Tabel 3.2 Ilustrasi Fase-Fase Perumusan Masalah

Tahapan Ilustrasi
Situasi Tren TFR (Total Fertility Rate) masih tinggi. Laporan Survei Demografi
Masalah dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1991-2012 menunjukkan stagnasi
diangka 2,6.
Meta 1. Unmet need tinggi. Persentase wanita kawin yang tidak ingin punya
Masalah anak lagi atau menjarangkan kelahiran berikutnya namun tidak
menggunakan alat kontrasepsi, atau masyarakat ingin ber-KB namun
tidak terlayani.
2. Pemakaian kontrasepsi baru mencapai 62% (58% modern dan 4%
tradisional).
3. Penggunaan alat kontrasepsi jangka pendek yang tinggi (resiko
kegagalan tinggi)
4. Faktor budaya yang mempengaruhi pemilihan kontrasepsi.
5. Kurangnya petugas pelayanan KB
6. Kurangnya dukungan dari pemerintah daerah
7. Kerjasama Pusat dan Daerah masih lemah.
Masalah 1. Pengetahuan masyarakat dalam penggunaan KB rendah
Substantif 2. Jangkauan Pelayanan KB yang terbatas
3. Koordinasi pemerintah pusat dan daerah lemah
Masalah Lemahnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam memperluas
Formal jangkauan pelayanan KB mulai dari sosialisasi hingga pedampingan
pengunaan KB oleh masyarakat.
Workshop BKKBN se-Indonesia

E. Logika merumuskan masalah dengan teknik induktif dan deduktif

Patton dan Savicki (1993:47) mengatakan perumuskan masalah kebijakan


bukan merupakan tahapan yang mudah, kerapkali sulit, terutama pandangan dan
sasaran dari setiap stakeholder yang terlibat berbeda, cenderung berujung
konflik. Beberapa kasus, sering membutuhkan metode canggih untuk menilai
bagaimana masalah kebijakan yang diidentifikasi dipengaruhi berbagai variabel,
seperti intervensi kebijakan dan faktor-faktor kontekstual (Howlett dan Ramesh,
2003:20). Berdasar pada kesukaran dalam mendefinisikan masalah kebijakan tersebut,
bagian ini akan membahas penggunaan pendekatan deduktif dan induktif untuk
mendefinisikan masalah kebijakan.

1. Pendekatan Induktif dan Deduktif dalam Perumusan Kebijakan

Pendekatan induktif dimulai dengan observasi terhadap realita dan


berusaha menemukan makna atau sifat-sifat yang beraturan. Sifat-sifat yang
beraturan tersebut kemudian dinyatakan dalam pola-pola umum, misalnya model atau
teori. Pengumpulan informasi dalam pendekatan induktif dapat melalui stakeholder
yang terlibat dan observasi realita sesungguhnya dari fenomena yang terjadi
(Khaikleng, at. al, 2014). Pendekatan induktif menggunakan data kualitatif termasuk
juga informasi yang dikumpulkan dari focus group, workshop, interviews, observasi
dan lain sebagainya. Dalam membangun teori juga dimungkinkan diperoleh dari
praktik nyata, life-in, membuat life history dan teknik lainnya yang dapat dilakukan
analis/peneliti di lapangan.

Pendekatan deduktif dilakukan dengan merekontruski teori yang tersedia


untuk diuji dalam realitas yang sebenarnya. Logika deduktif diawali dari teori yang
menjadi dasar hipotesis. Kemudian, melalui hipotesis tersebut dilihat temuan
empiris dengan harapan dapat diketaui apakah teori tersebut salah atau justru
temuan empiris dapat memperkuat teori. Pendekatan deduktif juga dilakukan
dengan melihat penelitian sebelumnya sebagai titik tolak dalam membangun
logika penelitian (Howlett dan Ramesh, 2003:47). Hal ini cenderung lebih mudah
karena dapat dengan singkat menentukan arah dalam membangun teori yang
digunakan sebagai parameter atau instrumen penelitian. Lebih lanjut, analis
Workshop BKKBN se-Indonesia

sekaligus melakukan evaluasi atas apa yang telah dilakukan sebelumnya, mengenai
kekurang dan kelebihan instrumen sebelumnya (Khaikleng, at. al, 2014).

Pendekatan deduktif dan induktif yang dijelaskan sebelumnya


memberikan gambaran bahwa keduanya pada arah yang berbeda. Analis harus
mengikuti teori yang dipakai dengan teliti dan strict bila menggunakan pendekatan
deduktif, disisi lain seorang analis yang melakukan obeservasi dengan pergi
kelapangan atau melihat sumber data dengan pendekatan induktif akan menanggalkan
seluruh penduan teori, bahkan pengetahuan awal yang dimilikinya, untuk
menemukan pola atau model dari fenomena yang diamati (Howlett dan Ramesh,
2003:20). Oleh karenanya, bila menggunakan kedua pendektan deduktif atau induktif
tersebut memiliki kelebihan tersendiri tergantung dari ketersediaan teori yang ada.

Harus diakui bahwa belakangan ini dalam rumpun ilmu sosial, ilmu ekonomi
khususnya, banyak menggunakan pendekatan deduktif. Bukan tanpa alasan,
pendekatan deduktif dapat mempermudah analis dalam mendefinisikan
kompleksitas dari masalah sosial yang ada. Penggunaan pendekatan induktif
mengalami berbagai kendala dan kesulitan dalam memahami banyaknya jumlah
variabel dan hubungan yang tidak bisa didefinisikan dalam teori yang tersedia.
Overmars, et. al (2007) menyatakan bahwa praktik penelitian terjebak pada dua
pendekatan tersebut, serta banyak diantaranya memiliki kecenderungan pada salah
satu pendekatan. Lebih lanjut Overmars, et. al (2007) membuat enam posisi logika
antara deduktif dan induktif yang dapat dipakai dalam membangun logika analisis,
dijelaskan sebagai berikut:

a. Induktif. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa peneliti melakukan


observasi tidak membawa teori sama sekali. Satu-satunya metodologi yang
tersedia adalah mencermati dengan seksama data (biasanya berupa meta data)
yang tersedia, kemudian berusaha menghubungkan seluruh data atau satu sama
lain yang memungkinkan ditemukannya pola atau model. Pengumpulan data
primer seperti observasi, wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD),
dan sebagainya, dilakukan tanpa berbekal teori sama sekali.
b. Induktif pada faktor tidak terstuktur. Istilah ini menggolongkan pendekatan
penelitian menggunakan kerangka konseptual luas yang sejenis, biasanya
Workshop BKKBN se-Indonesia

didapatkan dari pengetahuan atau literatur umum yang sebagian dapat


membantu menjelaskan sesuatu.
c. Induktif dengan panduan teori. Penggunaan teori yang dimaksud diambil
secara eksplisit sebagai pedoman analisis dengan pendekatan induktif. Teori
tersebut sebagai batu pijak untuk menjelaskan berbagai variabel dan melihat
kemungkinan adanya korelasi. Jika merunut pendekatan sebelumnya, teori yang
digunakan sebagai pedoman ini seharusnya juga masih tidak terstruktur tanpa
spesifikasi baik dalam menjelaskan suatu fenomena atau hubungan diantara
variabel-variabel. Namun, teori yang digunakan sebagai pedoman seharunya
tidak dipilih dengan cara sederhana dan asal, tetap perlu pemilahan dengan teliti.
Penting untuk melihat apakah teori dapat berkontribusi atau malah sebaliknya
menjadi penyebab kesalahan dalam mengintepretasikan fenomena yang sedang
dianalisis. Jika dibanding dengan pendekatan induktif pada tipe satu dan dua,
pengunaan pedoman teori dapat memberikan hasil yang lebih luas serta mampu
membangun teori yang tersedia.
d. Menentukan stuktur teori. Tipe selanjutnya dari pendekatan induktif-deduktif
diperoleh dari studi bahwa yang harus ditentukan tidak hanya unsur panduan
teorinya, namun juga mengenai struktur teori yang digunakan sebagai pedoman.
Sederhananya, peneliti atau analis melihat fenomena dan hubungan antar
variabel menggunakan struktur teori yang ditentukan sebelumnya.
e. Menentukan teori. Pendekatan deduktif dapat terlihat dari pengguaan teori
yang spesifik baik dari struktur dan parameter yang akan dipakai untuk menguji
fenomena empiris.
f. Deduktif. Seperti yang telah dijelaskan di awal, dalam pendekatan deduktif perlu
verifikasi instrumen yang digunakan dengan cermat. Apabila teori yang
digunakan tidak berguna, maka perlu untuk membangun model kembali.

Keenam tipe yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dimaknai sebagai teknik
yang dapat digunakan dalam membantu analisis. Pertama, induktif, deduktif maupun
kesatuan dari keduanya, walaupun menjadi inti dari pemahaman terhadap
epistemologi, tidak dapat mencakup seluruh rangkaian dalam metodologi ilmiah. Kedua,
dari keenam tipe dari pendekatan induktif/deduktif yang dijelaskan sebelumnya tidak
hanya mungkin dipergunakan salah satunya. Peneliti atau analis dapat menemukan
misalnya lanjutan atau melakukan teknik campuran. Namun pembahasan dalam buku
Workshop BKKBN se-Indonesia

ini tidak akan melangkah terlapau jauh untuk melihat lanjutan dari tipe yang telah
disajikan, terlebih penulis menganggap enam tipe telah dapat mengakomodasi
kebutuhan analis dalam merumuskan masalah.

2. Membangun Argumentasi Kebijakan dengan Penalaran Induktif dan


Deduktif

Bagian ini mengenai cara membangun argumentasi berdasarkan pendekatan


induktif dan deduktif yang telah dibahas sebelumnya. Pembahasan ini menjadi penting
mengingat banyak analis mampu menggunakan kedua pendekatan (dengan berbagai
variasi) namun kesulitan membangun argumen secara konsisten berdasarkan
pendekatan yang telah digunakan. Padahal argumentasi merupakan bagian penting
dalam upaya memperkuat fungsi analisis kebijakan sesuai landasan epistemologinya
sendiri (Fischer, Miller, dan Sidney, 2007:224). Dunn (2003:102) menjelaskan analisis
kebijakan tidak berhenti pada penggunaan berbagai metode pengkajian untuk
menghasilkan dan menstransformasikan informasi, namun lebih dari itu harus mampu
membuat penilaian kritis yang dikembangkan sebagai kesimpulan dari argumen-
argumen kebijakan. Argumen-argumen kebijakan, yang merupakan sarana untuk
melakukan perdebatan mengenai isu-isu kebijakan publik yang nantinya akan
mencerminkan alasan-alasan munculnya suatu alternatif kebijakan. Argumen kebijakan
mempunyai enam elemen/unsur (Dunn, 2003:103):

a. Informasi yang relevan dengan kebijakan (policy-relevant information).


Informasi yang relevan dengan kebijakan (I) dihasilkan melalui penerapan
berbagai metode. Informasi tersebut berisi tentang masalah-masalah kebijakan,
masa depan kebijakan, aksi-aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja dari
kebijakan dapat disajikan dalam berbagai bentuk. Misalnya, dalam bentuk
statistik (sensus yang dilakukan pemerinta menunjukkan angka buta huruf di
pedesaan lebih tinggi dibanding daerah perkotaan), sebagai kesimpulan para ahli
(akses terhadap fasilitas pendidikan menjadi penyebab tingginya angka buta
huruf dipedesaan), sebagai suatu ekspresi nilai dan kebutuhan (ketiadaan tenaga
pengajar di pedesaan harus segera menjadi perhatian pemerintah). Berbagai
macam informasi tersebut merupakan titik tolak dari suatu argumen kebijakan.
Workshop BKKBN se-Indonesia

b. Klaim kebijakan (policy claim). Klam kebijakan (C) merupakan kesimpulan


dari suatu argument kebijakan. Klaim kebijakan merupakan konsekuensi logis
dari informasi yang relevan bagi kebijakan. Misalnya, jika angka buta huruf tinggi
di pedesaan (I), maka pemerintah seharusnya memprioritaskan distribusi tenaga
pengajar di pedesaan (C).

c. Pembenaran (warrant). Pembenaran (W) merupakan suatu asumsi dalam


argumen kebijakan yang memungkinkan analis untuk berpindah dari informasi
yang relevan dengan kebijaknan ke klaim kebijakan. Pembenaran dapat
mengandung berbagi macam asumsi otoritatif, intuitif, analisentris, kausal,
pragmatis, dan kritik nilai. Peranan dari pembenaran untuk membawa informasi
yang relevan dengan kebijakan menjadi suatu alasan yang dapat diterima atau
menyelesaikan perbedaan pendapat. Misalnya, pembenaran bagi klaim (C)
bahwa pemerintah harus memprioritaskan tenaga pengajar ke pedesaan, dapat
diekspresikan dengan kalimat “peserta didik memerlukan tenaga pengajar”.

d. Dukungan (backing). Dukungan (B) merupakan argumen-argumen tambahan


untuk mendukung pembenaran yang tidak diterima pada nilai yang tampak.
Dukungan terhdap pembernaran dapat mengambil berbagai macam bentuk,
yaitu hukum-hukum ilmiah, pertimbangan para pemegang otoritas kahlian, atau
prinsip-prinsip moral dan etis. Misalnya, kesenjangan kualitas pendidikan di
pedesaan dan perkotaan harus segera diperbaiki.

e. Bantahan (rebuttal). Bantahan (R) merupakan kesimpulan yang kedua, asumsi,


atau argument yang menyatakan kondisi dimana klaim asli tidak diterima, atau
klaim asli hanya dapat diterima pada derajat penerimaan tertentu. Secara
keseluruhan klaim kebijakan dan bantahan membentuk substansi isu-isu
kebijakan, yaitu ketidak sepakatan diantara segmen-segmen yang berbeda dalam
masyarakat terhadap serangkaian alternatif tindakan pemerintah.

f. Kesimpulan (qualifier). Kesimpulan (Q) mengekspresikan derajat dimana


analis yakin terhadap suatu klaim kebijakan. Kesimpulan berguna pada saat
analis mengekspresikan dalam bahasa probabilitas, namun sebaliknya bila telah
yakin dengan suatu klaim maka kesimpulan tidak diperlukan
Workshop BKKBN se-Indonesia

Penggunaan penalaran induktif merupakan proses berfikir yang berangkat


dari pengamatan khusus (misalnya, data time series atau cross sectional) ke
kesimpulan atau pernyataan umum. Pada data time series misalnya, proses nalar
dimulai dengan sejumlah data antar waktu, memproyeksikan kecenderungan masa lalu
ke masa depan, dan kemudian membuat asumsi tentang keteraturan dan persistensi
yang memberikan justifikasi atau proyeksi. Penalaran induktif dapat dikenali lewat
corak tradisionalnya yang bergerak ke prinsip umum kasus-kasus spesifik.

Penalaran deduktif yakni proses berfikir dari pernyataan, hukum atau


proposisi umum kesejumlah pernyataan dan informasi khusus. Logika ini
didasarkan pada asumsi teoritik. Asumsi teoritik adalah seperangkat hukum atau
proposisi yang terstruktur secara sistematis dan teruji secara empiris yang membangun
suatu prediksi tentang berlangsungnya suatu peristiwa atas dasar peristiwa lain.
Asumsi teoritik berbentuk kausal dan perannya adalah menjelaskan dan memprediksi.
Dalam analisis kebijakan, penalaran deduktif biasanya digunakan dalam kaitannya
dengan argumen yang dimulai dari sebab yang berusaha untuk menyatakan bahwa jika
suatu peristiwa (X) berlangsung, maka peristiwa lain (Y) akan mengikutinya. Daya
persuasi suatu argumen deduktif akan meningkat jika prediksi yang dideduksi secara
teoritik dapat dijumpai dari waktu ke waktu melalui penelitian empiris. Dengan asusmsi
teoritik, peramalan misalnya prediksinya dideduksikan dari asumsi teoritik, tapi harus
ditekankan bahwa deduksi dan induksi suatu hal yang terkait.

F. Mempersiapkan data

Selama mendefinisikan masalah kebijakan, analis kebijakan juga harus memulai


mengidentifikasi tipe data yang diperlukan dan mengenali sumber data yang
memungkinkan untuk diakses. Pencarian data secara cepat dapat dilakukan dengan
mengakses arsip-arsip, hasil musyawarah dengan masyarakat, peraturan hukum,
obeservasi dan sumber lain yang sejenis, hal ini dilakukan sebelum melakukan
pencarian data dengan metode wawancara atau survei yang membutuhkan waktu
lama serta pendanaan yang besar (Patton dan Savicki, 1986:40). Secara umum,
terdapat beberapa metode dasar yang digunakan dalam menumpulkan data
diantaranya literature review (kajian kepustakaan), laporan statistik, dokumen
organisasi, observasi dan wawancara, dijelaskan sebagai berikut(Fischer, Miller,
dan Sidney, 2007:224):
Workshop BKKBN se-Indonesia

1. Literature review. Sebagai data sekunder, literature atau sumber kepustakaan


memberikan data yang relevan terkait dengan teori yang telah tersedia, atau
dokumen penelitian yang terkait dengan objek penelitian. Banyak perpustakaan
yang dapat diakses memudahkan pencarian literature. Seiring dengan
perkembangan internet yang sangat pesat mempermudah pencarian e-book,
jurnal ilmiah, surat kabar, publikasi pemerintah, dan literature lainnya.
2. Laporan statistik. Menyediakan data besar yang biasanya berhubungan dengan
survei atau sensus yang dapat dimanfaatkan sebagai fakta empiris. Laporan
statistik biasanya di keluarkan secara rutin atau berkala oleh lembaga
pemerintah, terkadang laporan dan data dipublikasikan oleh lembaga riset,
lembaga masyarakat atau sektor swasta. Laporan statistik ini sangat bermanfaat
selain memiliki data yang berkala untuk mengetahui pola atau siklus yang terjadi
dengan melihat runutan waktu, juga memiliki sample dan populasi yang besar.
Kelemahan yang mendasar tentu ada pada validitas datanya, hal ini terkait
dengan bagaimana metode pengumpulan data dan kualitas dari data yang
berhasil dikumpulkan. Pada oraganisasi yang telah mapan, dengan kapasitasnya,
data yang diperoleh telah memiliki kualitas sedemikian terjaga, yang berbeda
dengan misalnya negara miskin atau berkembang yang memiliki organisasi
bermasalah dan masyarakat yang kurang berpendidikan. Bagaimanapun juga,
laporan statistik haruslah menjadi data yang lebih dulu ditemukan sebagai
padangan awal mengenai fakta empiris, dan bahkan jika memungkinkan menjadi
data utama dalam penelitian.
3. Dokumen organisasi. Dokumen lembaga bisa saja mengandung informasi
kebijakan yang relevan. Berbagai program dan kebijakan yang telah dilakukan
oleh suatu oraganisasi tentu memiliki catatan atau dokumentasi kegiatan. Tidak
hanya itu, analis kebijakan dapat mempelajari rencana strategis dan capaian dari
suatu organisasi. Hal ini dapat digunakan sebagai salah satu data dalam
mengidentifikasi masalah, mengembangkan alternatif, bahkan dapat
memperkirakan hasil yang dapat dicapai berdasarkan infromasi yang dimiliki
oleh organisasi.
4. Observasi. Observasi adalah salah satu sumber informasi dari data kebijakan,
dimana pascaprogram data digunakan sebagai dokumen dampak kebijakan, dan
praprogram bermanfaat sebagai informasi awal (Patton dan Savicki, 1986).
Workshop BKKBN se-Indonesia

Observasi dapat menyediakan pengetahuan singkat kedalam operasional sebuah


program atau masuk dalam suatu masalah kebijakan dari kelompok atau
oraganisasi. Pada pendekatan etnografi, obeservasi menjadi sangat dalam yang
dapat menjelaskan detail fenomena-fenomena yang terjadi pada objek
penelitian.
5. Wawancara. Wawancara dapat menyediakan pengetahuan yang berguna
terhadap sejarah dari masalah, bisa menjadi sumber data dari masalah
kebijakan, dan menyediakan informasi politis. Teknik wawancara adalah jalan
tercepat untuk mendapatkan data yang diperlukan. Diperlukan metode
terperinci agar wawancara yang dilakukan tidak bias perspektif dari data
kebijakan.

G. Beberapa teknik merumuskan masalah

Perumusan masalah adalah proses menghasilkan dan menguji konseptualisasi-


konseptualisasi alternatif kebijakan atas suatu kondisi masalah. Perumusan masalah
meliputi empat fase yang saling berhubungan, yaitu: mengkaji masalah, meneliti
masalah, mendefinisikan masalah, dan spesifikasi masalah. Sejumlah metode dan teknik
yang salaing berhubungan bermanfaat dalam mengantarkan kegiatan perumusan
masalah dalam setiap fase. Metode-metode tersebut, termasuk di dalamnya tujuan-
tujuan, prosedur, sumber pengetahuan dan kriteria kinerja, ditapilkan dalam tabel
sebagai berikut:
Workshop BKKBN se-Indonesia

Tabel 3.3 Metode Perumusan Masalah

Metode Tujuan Prosedur Sumber Kriteria


pengetahuan kinerja
Analisis batas Estimasi batas Pencarian sampel bola Sistem Ketepatan
peta masalah salju, pencarian masalah pengetahuan batas
dan penjumlahan

Analisis Kejelasan konsep Pemilahan secara logis Analis Konsistensi


klasifikasi dan klasifikasi konsep individual logis

Analsis Identifikasi Pemilahan secara logis Analisis Konsistensi


hirarkhi penyebab yg dan klasifikasi penyebab individual atau logis
mungkin, masuk kelompok
akal dan bisa
ditindaklanjuti
Synecties Pengenalan Perumusan analogi Kelompok Plausibilitas
kesamaan antar personal, langsung dan perbandingan
masalah antasi
Brainstorming Generalisasi ide, Pemunculan ide dan Kelompok Konsensus
tujuan dan evaluasi
strategi
Analisis Generalisasi Penggunaan secara Kelompok Perbaikan
perspektif wawasan serentak perspektif wawasan
berganda teknis, organisasional
dan personal
Analisis Sintesis kreatif Identifikasi pelaku, Kelompok Konflik
asumsi asumsi-asumsi penampakan asumsi,
yang berlawanan mempertentangkannya
dan pengelompokan,
sintesis
Pemetaan Penilaian asumsi Penyusunan tingkat dan Kelompok Plausibilitas
argumentasi penggambaran dan urgensi
plausibilitas dan urgensi optimal
Sumber: Dunn (2003:248)
Workshop BKKBN se-Indonesia

a. Analisis Batas
Analisis kebijakan sering dihadapkan pada masalah yang tidak jelas dan rumit,
sehingga dibutuhkan informasi yang lengkap berhubungan dengan masalah yang akan
dipecahkan. Metode batas dilakukan untuk meyakinkan tingkat kelengkapan dari
serangkaian representasi masalah (meta masalah) melalui tiga langkah yaitu: pencarian
sample secara snowball, pencarian representatif masalah dan estimasi batasan (Dunn,
2003:249). Pencarian masalah secara snowball diperoleh dari para pelaku kebijakan
dan dapat dicari dengan proses bertingkat, yang dimulai dengan individu atau
kelompok yang dianggap memahami suatu kebijakan hingga pada akhirnya tidak ada
nama baru aktor yang terlibat disebutkan. Pencarian representatif dirancang untuk
memperoleh representasi dari masalah alternatif sebagai ide-ide, paradigma dasar,
metafora dominan, standar operasi baku, atau apapun juga yang dipilih untuk menyebut
sistem intepretasi terhadap suatu kejadian. Kemudian yang terakhir estimasi batasan
dilakukan untuk memperkirakan batasan dari meta masalah.

b. Analisis Klasifikasi

Analisis klasifikasi adalah teknik untuk memperjelas konsep-konsep yang


digunakan untuk mendefinisikan, mengklasifikasikan, dan mengkategorikan kondisi
permasalahan untuk lebih mudah. Dalam mengenali suatu situasi masalah, para analis
kebijakan harus mengklasifikasikan pengalaman-pengalaman mereka. Bahkan sebagian
deskripsi sederhana tentang situasi masalah didasarkan pada klasifikasi pengalaman
melalui proses berfikir induktif seperi dijelasakan sebelumnya. Berikut ini beberapa
metode yang dapat dipakai untuk klasifikasi situasi masalah (Dunn, 2003:253):

a. Relevansi Substantif. Dasar klasifikasi harus dikembangkan sesuai dengan tujuan


analis dan sifat suatu masalah.

b. Ketuntasan. Kategori-kategori dalam sebuah sistem klasifikasi harus memiliki


ketuntasan. Jika seluruh subjek atau situasi yang menarik telah dimasukkan
dalam satu kategori, kemudian terdapat sebagian tidak memenuhi kategori yang
maka dapat diciptakan kategori baru.

c. Kepilahan. Kategori harus dipilah berdasarkan kesesuaian. Setiap subjek atau


situasi harus masuk pada kategori atau subkategori.
Workshop BKKBN se-Indonesia

d. Konsistensi. Setiap kategori dan sub kategori harus didasarkan pada prinsip
klasifikasi tunggal.

e. Perbedaan hirarkis. Arti tingkat-tingkat dalam sistem klasifikasi (kategori,


subkategori, sub-subkategori) harus dibedakan secara teliti.

Contoh analisis klasifikasi misalnya:

Untuk mengatasi masalah angka fertilitas yang stagnan sebesar 2,6 dengan
target penurunan sebesar 2,4, analisis kebijakan dapat mengklasifikasikan dalam
fertilitas kota dan desa. Dijelaskan dalam tabel berikut ini:

Tabel 3.4 Angka Fertilitas Berdasarkan Desa Kota

Keterangan: Angka fertilitas menurut umur ibu per 1000 wanita


TFR (Angka fertilitas total per wanita umur 15 – 49)
GFR (Angka fertilitas umum/jumlah kelahiran dibagi jumlah wanita
umur 15 – 44 tahun) per 1.000 wanita)
CBR (Angka fertilitas kasar per 1.000 penduduk) Sumber: SDKI 2007
dan 2012
Sumber: SDKI 2007 dan 2012
Dari tabel yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa angka fertilitas
lebih tinggi terjadi di desa terutama pada kelompok umur 15-19. Padahal pada
kelompok umur tersebut akibat yang timbul ditingkat keluarga beragam dan
berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga. Sehingga nantinya kebijakan dapat
diarahkan pada pelayanan yang lebih berfokus menjangkau desa.
Workshop BKKBN se-Indonesia

c. Analisis Hirarkis,

Analisis hirarkis yaitu suatu metode untuk mengidentifikasi sebab-sebab yang


mungkin muncul dari suatu situasi masalah. Analisis ini dapat membantu para analis
kebijakan dalam mengidentifikasi tiga macam sebab, yakni sebab yang mungkin
(possible causes), sebab yang masuk akal (plausible causes) dan sebab yang dapat
ditindaklanjuti (actionable causes). Langkah untuk mengidentifikasi masalah dapat
menggunakan “pohon masalah” yang tersusun dari sebab langsung, mendasar dan
utama semuanya terhubung sebagai “hirarki sebab-sebab”. Sebab langsung (immediate
cause) yaitu dampak langsung pada pemangku hak dan biasanya berhubungan dengan
kemampuan pengemban tugas utama (yakni orang tua, ibu, bapak, pengasuh anak yang
utama). Sebab mendasar (underlying cause) adalah dampak langsung pada pengemban
tugas utama dan biasanya berhubungan dengan kemampuan pengemban tugas
sekunder (yakni masyarakat, lembaga). Sebab utama (root cause) merupakan dampak
langsung pada pengemban tugas utama dan biasanya berhubungan dengan struktur
organisasi masyarakat (yakni agama, politik, budaya, ekonomi/lingkungan). Ilustrasi
pohon masalah digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.3 Ilustrasi Pohon Masalah


Workshop BKKBN se-Indonesia

d. Sinektika

Sinektika yaitu metode yang diciptakan untuk mengenali masalah-masalah yang


bersifat analog. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa pemahaman terhadap
hubungan yang identik atau mirip diantara berbagai masalah akan mepengaruhi
kemampuan analis kebijakan untuk memecahkan masalah. Dalam menyusun masalah
kebijakan dapat menggunakan empat tipe analogy (Dunn, 2003:262):

a. Analogi personal. Analis dituntut untuk membayangkan mengalami suatu


kondisi masalah dalam cara yang sama seperti pelaku kebijakan, misalnya:
pembuat keputusan atau masyarakat.

b. Analogi langsung. Analis meneliti kemiripan hubungan diantara dua atau lebih
situasi masalah.

c. Analogi simbolis. Analis berusaha menemukan kemiripan hubungan antara


situasi masalah tertentu dan suatu proses simbolis.

d. Analogi fantasi. Analis sepenuhnya bebas menggali kesamaan antara situasi


masalah dan suatu pokok soal yang imaginer.

Sinektika tergantung pada analis individual dan kelompok untuk membuat


analogi-analogi yang layak. Kriteria utama untuk menilai mutu konseptualisasi masalah
adalah masuk akalnya perbandingan, yaitu derajat kemiripan suatu situasi masalah
dengan hal lainnya yang diambil sebagai analogi.

e. Brainstorming
Brainstorming adalah metode untuk menghasilkan ide-ide, tujuan-tujuan jangka
pendek dan strategi-strategi yang membantu untuk mengidentifikasi dan
mengkonseptualisasikan kondisi-kondisi permasalahan. Metode ini juga dapat
digunakan untuk menghasilkan sejumlah perkiraan-perkiraan mengenai solusi yang
potensial bagi masalah-masalah yang ada. Brainstorming meliputi beberapa prosedur
sederhana (Dunn, 2003:265), yaitu:

a. Kelompok-kelompok brainstorming harus disusun sesuai dengan sifat masalah


yang diinvestigasi. Hal ini biasanya berarti seleksi orang-orang yang sangat
mengetahui kondisi yang ada, yaitu para ahli.
Workshop BKKBN se-Indonesia

b. Proses pemunculan ide dan harus benar-benar terpisah karena diskusi kelompok
yang intensif dapat memungkinkan terjadinya kritik dan debat.

c. Suasana aktivitas-aktivitas brainstorming harus sedapat mungkin dijaga tetap


terbuka dan permisif selama tahap pemunculan ide.

d. Fase evaluasi ide harus dimulai hanya setelah semua ide telah tuntas dilakukan.

e. Pada akhir fase evaluasi ide, kelompok harus memprioritaskan ide-ide dan
memadukan yang berisi konseptualisasi masalah dan potensi pemecahannya.

f. Analisis Perspektif Berganda

Analisis perspektif ganda yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang


bervariasi dari perspektif yang berbeda mengenai suatu masalah dan pemecahannya,
secara sistematis menerapkan perspektif personal, organisasional dan teknikal
terhadap situasi masalah.

g. Analisis Asumsi

Analisis asumsi yaitu metode yang bertujuan mensintesiskan secara kreatif


asumsi-asumsi yang saling bertentangan mengenai masalah kebijakan. Analisis asumsi
meliputi lima tahap prosedur, meliputi: 1) identifikasi pelaku kebijakan, 2)
memunculkan asumsi, 3) mempertentangkan asumsi, 4) mengelompokkan asumsi, 5)
sintesis asumsi).

h. Pemetaan Argumentasi

Pemetaan argumentasi yaitu teknik yang memetakan beberapa argumen


kebijakan seperti otoritatif, statistikal, klasifikasional, analisentris, kausal, instuitif,
pragmatis dan kritik nilai yang didasarkan pada asumsi yang benar-benar berbeda.

Referensi:

Anderson, J. E. 2003. Public Policymaking: An Introduction. Boston: Houghton Miffin


Company.

Anonim. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). BPS

Anonim. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). BPS


Workshop BKKBN se-Indonesia

Cochran, at. al. 2012. American Public Policy: An Introduction. Boston. Wadsworth

Dunn, W. N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: UGM Press.

Edwards, Meredith. 2001. Social Policy, Public Policy: from Problems to Practice.
Canberra: Allen & Unwin.

Fischer, F., Miller, G. J., dan Sidney, M. S. 2007. Handbook of Public Policy Analisis: Theory,
Politics, and Methods. Boca Raton: CRS Press

Hill, Michael. 1993. The Policy Process. London: Harvester Wheatsheaf

Howlett, Michael and Ramesh, M. 2003. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystems, 2nd ed. Ontario: Oxford University Press.

Khaikleng, Piyapong, et. al. 2014. Developmen of a Program Theory for Evaluating the
Success of Education Reform Plicy Implementation in Schools by Using Inductive
and Deductive Approaches. Social Behavioral Sciences. 1389-1393.

Morcol, Goktug. 2007. Handbook of Decision Making. Boca Raton: CRC Press

Overmars, Koen. P, at. al. 2007. Comparing Inductif and Deductive Modelling of Land Use
Decisions: Principles, a Model and an Illustartion form the Philippines. Hum
Ecol. 439-42

Patton, carl. V dan Savicki, David. S. 1986. Basic Methods of Policy Analysis and Planing.
New Jersey: Prenctice Hall.

Weimer, D. L dan Vining, A. R. 1998. Policy Analysis Concepts and Practice. New Jersey:
Prenctice Hall.

Anda mungkin juga menyukai