Anda di halaman 1dari 8

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK (EDWARD III)

Salah satu teori implementasi kebijakan publik yang terkenal adalah teori implementasi oleh
George Edward III. Dalam siklus kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah tahapan yang
sangat penting. Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang telah
diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang
berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting
karena suatu kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan
benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan
secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.

Banyak konsep mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara
Etimologis, implementasi menurut kamus Webster yang dikutib oleh Solichin Abdul Wahab
adalah sebagai berikut:

Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar
webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk
menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64)).

Pengertian implementasi selain menurut Webster di atas dijelaskan juga menurut Van Meter dan
Van Horn bahwa Implementasi adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-
individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan” (Van Meter dan
Van Horn dalam Wahab, 2006:65).

Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier yang menjelaskan makna
implementasi dengan mengatakan bahwa:

Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan. Pemahaman tersebut mencakup
usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan menimbulkan dampak nyata pada masyarakat
atau kejadian-kejadian (Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo (2010:87)).

Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan
dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu
kebijakan itu sendiri.

Model Implementasi Kebijakan (George Edward III)

Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui
variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan
guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak
model yang dapat dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini
yang saya bagikan adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.

Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat
banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor
tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap
implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih
dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:

1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?


2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting
dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor communication, resources, disposition, dan
bureucratic structure (Edward dalam Widodo, 2011:96-110).
Model Implementasi George C. Edward III

a. Komunikasi (Communication)

Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan.


Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan
dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors)
(Widodo, 2011:97).

Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan
agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran
(target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang
berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan
dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.

Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu


tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi
(consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada
pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi
kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk
menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak
yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar
informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan
pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.

b. Sumber Daya (Resources)

Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam
Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa:
bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta
bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para
pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai
sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan
tersebut tidak akan efektif.

Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia,
anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan yang dijelaskan sebagai berikut :

1) Sumber Daya Manusia (Staff)

Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia
yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan
keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuatitas
berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh
kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia,
implementasi kebijakan akan berjalan lambat.

2) Anggaran (Budgetary)

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau investasi atas
suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan
anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan
dan sasaran.

3) Fasilitas (facility)

fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan peralatan
perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.

4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)

Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang
relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan. Sementara
wewenang berperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang
dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.

c. Disposisi (Disposition)

Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk
mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting
yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi.
Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah
digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakn akan membuat mereka
selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan

Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila
implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan
baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak
mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.
d. Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)

Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada
dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-
kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan
Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai
hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

1. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik


(public affair).

2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.

3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.

4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.

5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan
birokrasi yang mati.

6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.

Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak.
Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan
menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan.

Berdasakan penjelasan di atas, maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang
fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam
Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard
Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.

”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan
kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang
kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa
digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta.
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan
dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang
kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan
yang besar dalam penerapan peraturan.

Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005:152) menjelaskan
bahwa:

”SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan baru yang
membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara
yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat
implementasi”.

”Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai


manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol
yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung
jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah
fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa ”fragmentasi merupakan
penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga
memerlukan koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi.


Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi
kebijakan. Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan
dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno,2005:153-154):

”Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya
fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-
masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang
penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk”.

”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat perubahan.
Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan
berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-
kebijakan baru yang membutuhkan perubahan”.

Anda mungkin juga menyukai