dalam public relations untuk memenuhi tugas kelas Teori Public Relations
kelas A.KOM.PR.4
Tulisan ini berisi hasil resume saya terhadap buku Teori Public Relations
Perspektif Barat dan Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik, yang ditulis
oleh Rachmat Kriyantono, Ph.D. Tujuan dari resume ini adalah untuk
mengetahui teori-teori yang digunakan dalam kajian dan praktik public
relations. Tetapi, dalam tulisan ini saya hanya meresume beberapa teori
dari public relations, yaitu teori sistem, boundary spanning
theory, relationship management theory, teori matematika sistem, teori
penguranan ketidakpastian (uncertainty reduction theory),
teori excellence, contingency of acomodation theory, situational theory of
the publics, teori strukturasi, dan teori motivasi dan gaya manajerial.
1. Teori Sistem.
2. Boundary Spanning
Boundary spanning merupakan salah atu ciri dari sifat organisasi yang
merupakan sistem terbuka (Kriyantono, 2014: 88). Sistem terbuka disini
adalah terdapatnya interaksi anatara organisasi dengan lingkungannya
untuk melakukan monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Hal
tersebut didasarkan apda pendapat Heath (2005; dikutip di Kriyantono:
88) yang mengatakan bahwa “organisasi tidak dapat bergantung hanya
pada proses dan interaksi internal seperti yang dilakukan sistem tertutup.
Organisasi harus berinteraksi dengan kelompok lainnya.”
Teori informasi ini digagas oleh dua ahli matematika yaitu Claude Shannon
dan Warren Weaver, yang menggambarkan tentang proses komunikasi
antarmanusia sebagai proses transmisi yang linier atara komunikator
kepada komunikan (Kriyantono, 2014: 131). Dalam model ini, Shannon &
Weaver juga mengenalkan beberapa konsep yang saling berkaitan seperti
konsep gangguan (noise), transmitter, sumber
(source), signal, receiver, destination, entropi, dan informasi (Kriyantono,
2014: 131). Menurut teori informasi ini, pesan disusun oleh seseorang yang
disebut sumber informasi, yang kemudian ditransmisikan lewat
trannsmiter dan nantinya akan menjadi signal (encode) yang akan
dimengerti oleh penerima, dan kemudian pesan itu diubah menajdi
ssignal sehingga dapat disebarkan melalui beberapa channel atau saluran
yang nantinya akan diterima dan diubah oleh receiver menjadi pesan yang
mudah dipahami oleh destination.
Dalam perjalanannya, pesan tersebut dimungkinkan akan mengalami
gangguan (noise) yang dapat memengaruhi sinyal yang dipancarkan
sehingga berpotensi mengganggu penerimaan pesan (Kriyantono, 2014:
132). Oleh karena itu, teori informasi atau matematika komunikasi ini
menyebutkan tidak ada yang dinamakan pesan yang senyatanya (real
message), tetapi yang ada hanyalah sinyal. Dalam praktiknya, teori
informasi atau matematika komunikasi ini dapat diterapkan untuk
mengukur ganguan atau hambatan yang terjadi dalam proses komunikasi
antara organisasi dan publiknya (Kriyantono, 2014: 136). Karena, adanya
gagguan dapat menyebabkan penerimaan presepsi yang berbeda antara
praktisi public relations dengan publiknya, sehingga dapat berdampak
pada organisasi.
Tori ini merupakan teori yang diciptakan oleh Charles Berger dan Richard
Calabrese pada tahun 1975 ini menjelaskan tentang baganimana individu
menggunakan komunikasi untuk mengurangi keragu-raguan, memahami
orang lain dan diri individu itu sendiri, dan membuat prediksi tentang
perilaku orang lain ketika berinteraksi dengan orang lain saat pertama
bertemu (Kriyantono, 2014: 139). Pada dasarnya, tujuan komunikasi
adalah untuk mengurangi ketidakpastian yang dirasakan oleh seorang
individu mengenai lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Berger dan
Bradag (1982; Dainton & Zelley, 2005: 36; Knoblock, 2009: 976; West &
Turner, 2007: 166; dikutip di Kriyantono, 2014: 143) mengatakan bawa
terdapat dua jenis ketidakpastan yang dirasakan oleh seseorang.
Ketidakpastian yang pertama adalah ketidakpastian perilaku (behavioral
uncertainty), yaitu ketidakpastian yang berkaitan akan perilaku mana yang
seharusnya seseorang lakukan dalam suatu situasi. Ketidakpastiaan yang
kedua adalah ketidakpastian kognisi (cognitive uncertainty), yaitu
ketidakpastian yang berkaitan tentang apa saja yang seharusnya dipikirkan
tetang sesuatu atau orang lain.
Model ini diperkenakan oleh James Grunig dan Hunt, yang keduanya
mengidentifikasi empat model ( yang biasa disebut sebagai tipe proses
kegiatan public relations) yang diterapkan praktisi public relations dalam
menjalin hubungan dengan publik (Kriyantono, 2014: 90). Grunig & Hunt
(1984: 25; dikutip di Kriyantono, 2014: 90) mengatakan bahwa keempat
model ini merupakan “representasi tahap dalam sejarah public relations”
yang dibuat berdasarkan empat dimensi utama, ayitu arah komunikasi,
keseimbangan kepentingan antara dua pihak (tujuan), saluran, dan
dimensi etis. Keempat model tersebut adalah:
Model ini juga menggunakan komunikasi satu arah seperti model press-
agentry. Model public information ini digagas oleh Grunig & Hunt (1984:
dikutip di Kriyantono, 2014: 93), setelah terinspirasi oleh salah satu
pionir public relations yaitu Ivy Leadbetter Lee diawal abad ke-20. Tujuan
model ini yaitu untuk membangun kepercayaan publik melalui komunikasi
satu arah dengan memberikan informasi kepada publik, tetapi tidak
mementingkan persuasif untuk merubah sikap (Grunig & Hunt, 1984:
dikutip di Kriyantono, 2014: 93). Biasanya, organisasi yang mengunakan
model ini cenderung untuk memberikan informasi mengenai organisasinya
(termasuk produk dan jasa) tanpa memerdulikan feedback dari publiknya.
Berbeda dengan dua model yang awal, model two-way asymmetric sesuai
dengan namanya, telah menggunakan komunikasi dua arah antara
organisasi dengan publiknya. Meski telah menggunakan komunikasi dua
arah, tetapi model two-way asymmetric ini lebih mengarahkan strategi
komunikasi organisasi untuk memengaruhi publik untuk beradaptasi
dengan organisasi, bukan sebaliknya (Kriyantono, 2014: 94). Model ini
beranggapan bahwa praktisi public relations dapat membantu organisasi
memersuasi publik agar berpikir dan bertindak seperti yang dikehendaki
oleh organisasi (Kriyantono, 2014: 95). Karena sifat asymmetric yang
dimilikinya, organisasi pada model ini tidak berupaya untuk mengubh
sikap dirinya, tetapi berupaya untuk mengubah sikap dan perilaku
publiknya.
Teori situational of the publics atau yang biasa disingkat menjadi STP ini
merupakan teori yang bermanfaat untuk mengidentifikasi publik, sehingga
dapat membuat kategori publik dengan lebih spesifik berdasarkan perilaku
komunikasi dari individu dan efek komunikasi yang diterima individu
tersebut (Kriyantono, 2014: 152). Hal tersebut dilakukan untuk
memastikan bahwa pesan komunikasi yang disampaikan oleh
praktisi public relations benar-benar sesuai dengan kebutuhan
sasarannya. Publics yang dimaksud disini menyangkut beberapa kalangan
seperti jurnalis, karyawan, investor, konsumen, pemerintah, atau
komunitas lokal. Grunig (dikutip di Kriyantono, 2014: 152) membedakan
istiah antara publik dengan stakeholder. Sehingga dapat dikatakan bahwa
publik merupakan bagian dari stakeholder.
9. Teori Strukturasi
Di dalam teori ini, terdapat ebberapa teori lain yang menjadi indikator dan
memiliki hubungan dengan teori motivasi dan gaya manajerial. Teori-teori
tersebut adalah:
Teori ini digagas oleh Abraham Maslow yang menyebut beberapa tingkatan
kebutuhan yang harus dipenuhi agar seseorang merasa terpuaskan,
tingkatan tersebut adapalah (1) kebutuhan fisiologi, (2) kebutuhan
keamanan dan keselamatan, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan akan
penghargaan diri atau self-esteem, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri
(Kriyantono, 2014: 243). Berdasarkan teori ini, karyawan atau anggota
organisasi akan termotivasi kerja apabila semua kebutuhan tersebut
disediakan oleh sang manajer.
2. Teori X dan Y.
3. Teori V.
4. Teori Kesehatan-Motivator.
Teori ini digagas oleh Frederick Herzberg pada tahun 1959, yang
mengemukakan bahwa terdapat dua faktor kepuasan dan tidak kepuasan
kerja, yait motivator (seperti tanggung jawab, kemajuan pekerjaan, prestasi
kerja, pekerjaan itu sendiri, dan peluang pengembangan diri) dan
pemeliharaan (maintenenc) atau kesehatan (hygine) (yang mencakup gaji,
supervisi, keamanan kerja, kebijakan organisasi, kondisi lingkungan kerja,
adsministrasi, hubungan dengan rekan kerja) (Kriyantono, 2014: 246). Jika
faktor-faktor tersebut dipenuhi, karyawan akan merasa puas dan akan
termotivasi untuk mencapain hasil kerja yang lebih baik.
Teori motivasi dan gaya manajerial ini memiliki empat tipe manajerial
seperti yang dikatakan oleh Rensis Likert (1967: dikutip di Kriyantono,
2014: 247), yaitu:
Daftar Pustaka