Anda di halaman 1dari 13

Tulisan ini dibuat oleh Aulia Rachma Wibowo Putri mengenai teori-teori

dalam public relations untuk memenuhi tugas kelas Teori Public Relations
kelas A.KOM.PR.4

Tulisan ini berisi hasil resume saya terhadap buku Teori Public Relations
Perspektif Barat dan Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik, yang ditulis
oleh Rachmat Kriyantono, Ph.D. Tujuan dari resume ini adalah untuk
mengetahui teori-teori yang digunakan dalam kajian dan praktik public
relations. Tetapi, dalam tulisan ini saya hanya meresume beberapa teori
dari public relations, yaitu teori sistem, boundary spanning
theory, relationship management theory, teori matematika sistem, teori
penguranan ketidakpastian (uncertainty reduction theory),
teori excellence, contingency of acomodation theory, situational theory of
the publics, teori strukturasi, dan teori motivasi dan gaya manajerial.

Sebelum membahas mengenai teori-teori diatas, alangkah lebih baik


apabila kita membahas mengenai definisi teori terlebih dahulu. Pada
dasarnya, pengertian atau definisi teori dianngap sebagai sesuatu yang
abstrak dan hanya merupakan kata-kata belaka atau bahkan hanya berada
diangan-angan doesen saja. Teori juga dikatakan tidak memiliki hubungan
yang penting dengan praktiknya karena teori dinilai tidak dapat
menjelaskan realitas secara nyata. Oleh karena itu, Flinders & Mills (1993;
dikutip di Kriyantono, 2014: 2) mengakui bahwa merumuskan definisi yang
tepat untuk teori merupakan hal yang rumit. Tetapi, hal diatas tidak
berpengaruh kepada para ahli yang telah berupaya untuk memberi
penjelasan mengenai pengertian teori.

Teori menurut Kerlinger (1986; dikutip di Kriyantono, 2014: 2) adalah


“seperangkat interelasi dalam konstruk, definisi, dan proposisi yang
menjelaskan suatu fenomena secara sistematis dengan cara menjelaskan
relasi antarvariabel, dengan tujuan menjelaskan dan mempredikisi
fenomena tersebut.” Selain itu, Neuman (2006; dikutip di Kriyantono,
2014) mengatakan bahwa teori merupakan pengetahuan dunia nyata yang
terorganisasi, sehingga dapat membantu orang untuk memvisualkan dan
menjelaskan sesuatu. “Suatu teori adalah cara meilhat dan berpikir tentang
dunia” (Deezt dalam Littlejohn & Foss, 2008:15; dikutip di Kriyantono,
2014: 3). Flinders dan Mills (1993; dikutip di Kriyantono, 2014: 3)
mengatakan bahwa teori adalah seperangkat ide yang umum yang
mengarahkan suatu tindakan.

Dari beberapa definisi diatas, didapatkan bahwa teori berpijak dari


fenomena empiris dan berusaha menjelaskan cara kerja fenmena tersebut
serta meramalkan akibat yang ditimbulkannya (Kriyantono, 2014: 3).
Dengan kata lain, teori dengan realitas memiliki hubungan yang sangat
erat. Untuk mengetahui sebeb-akibat dari adanya realitas atau suatu
fenomena, kita membutuhkan teori untuk dapat menjelaskannya. Oleh
karena itu, teori dapat dikatakan sebagai simplifikasi dari dunia nyata
walaupun satu teori hanya menjelaskan sebagian aspek dari dunia nyata
atau realitas atau fenomena tertantu tersebut (Kriyantono, 2014).
Walaupaun dalam kenyataannya, kita akan membutuhkan lebih dari satu
teori untuk menjelaskan realitas atau fenomena yang terjadi.

Dalam praktik public relations, teori merupakan sesuatu yang dinilai


penting untuk menunjang perkajaan praktisi public relations. Teori dapat
digunakan oleh seorang praktisi public relationsions untuk menjadi
pedoman pengambilan keputusan yang terkait dengan situasi dan kondisi
yang sedang dihadapi saat itu. James Grunig (dalam Culbertson, Jeffers,
Stone, & Terrell, 1993; dikutip di Kriyantono 2014: 9) mengatakan bahwa
teori dapat digunakan oleh para praktisi untuk merencanakan program dan
menggunakan kesuksesan atau kegagalan program untuk merevisi teori.
Sehingga, teori dapat dianggap sebagai sesuatu yang dinamis. Selain itu,
teori dalam praktik public relations memiliki beberapa fungsi. Dari tulisan
Carl H. Botan & Vincent Hazleton, Jr. (1989; dikutip di Kriyantono, 2014:
9) menatakan bahwa setidaknya terdapat empat fungsi teori bagi para
praktisi public relations, yaitu, fungsi deskripsi, fungsi pemahaman, fungsi
prediksi dan kontrol, serta fungsi heuristik.

Setelah mengetahuin definisi teori menurut para ahli, hubungan teori


dengan realitas, serta teori dalam praktik public relatins, selanjutnya saya
akan membahas mengenai teori-teori yang sudah saya sebutkan diatas.
Dalam kajian teoritisnya, public relations memiliki banyak sekali teori,
entah teori khas public relations maupun teori hasil dari “pinjaman” pada
disiplin ilmu yang lain. Tetapi dalam tulisan ini, saya akan langsung
membahas teori-teori yang telah disebutkan sebelumnya. Teori-teori
tersebut yaitu:

1. Teori Sistem.

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling berhubungan dan


membutuhkan satu dengan lainnya, hal tersebut lah yang mendasari esensi
dari teori sistem. Karna, pada dasarnya, teori sistem memfokuskan
perhatian untuk memahami bagaimana kualitas fungsi yang dijalankan
setiap sistem dalam suatu relasi dinamis dengan sistem-sistem lainnya
(Kriyantono, 2014: 77). Dengan kata lain, teori sistem mengatakan bahwa
hal yang penting dari teori ini adalah hubungan sosialnya. Hubungan sosial
yang baik merupakan hasil (output) dari suatu interaksi sosial yang dalam
hal ini adalah interaksi antara organisasi dengan publiknya.
Kriyantono (2014: 77) mengatakan bahwa apabila sistem ini diterapkan,
maka prinsip pokok yang berlaku yaitu organisasi merupakan salah satu
bagian (subsistem) dari suatu sistem sosial yang lebih kompleks, karenanya
saling berhubungan, saling tergantung, dan saling memengaruhi satu sama
lainnya. Oleh karena itu, menjalin hubungan dalam organisasi merupakan
suatu hal yang harus diperhatikan dan harus diterapkan. Sebagai suatu
sistem, organisasi juga harus memiliki karakteristik yang dimiliki setip
sistem sosial meurut Kriyantono (2014: 79), yaitu keseluruhan dan saling
bergantung (whoeleness and interdependece), hierarki (hierarchy),
peraturan sendiri dan kontrol (self-regulation and control), pertukaran
dengan lingkungan (interchange with the environment), keseimbangan
(balance), perubahan dan kemampuan adaptasi (change and
adaptability), dan sama tujuan (equifinality).

Heath (2009; dikutip di Kriyantono, 2014: 78) mengatakan bahwa teori


sistem berguna untuk memahami proses public relations. Praktisi public
relations dapat menjadikan teori ini sebagai dasar menjalin hubungan
dengan publiknya sebagaimana yang teah dikatakan oleh Grunig & Hunt
(1984: 6; dikutip di Kriyantono, 2014) bahwa definisi public
relations sebagai “management of communication between an
organization and it’s public” tersebut didasarkan pada pendekatan teori
sistem atas public relations. Teori ini juga menganggap bahwa aktivitas
organisasi mengakibatkan konsekuensi (dampak) bagi publiknya. Dengan
kata lain, public relations memiliki peran yang sangat krusial dalam
menjalankan hubungan dengan publiknya dan hasil yang akan didapat di
publiknya seperti citra dan reputasi organisasi itu sendiri.

2. Boundary Spanning

Boundary spanning merupakan salah atu ciri dari sifat organisasi yang
merupakan sistem terbuka (Kriyantono, 2014: 88). Sistem terbuka disini
adalah terdapatnya interaksi anatara organisasi dengan lingkungannya
untuk melakukan monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Hal
tersebut didasarkan apda pendapat Heath (2005; dikutip di Kriyantono:
88) yang mengatakan bahwa “organisasi tidak dapat bergantung hanya
pada proses dan interaksi internal seperti yang dilakukan sistem tertutup.
Organisasi harus berinteraksi dengan kelompok lainnya.”

Kriyantono (2014: 87) menyebutkan beberapa aktivitas pelaksanaan


fungsi boundary spanning yang dapat dilakukan oleh praktisi public
relations, yaitu:

1. Menjelaskan informasi ytentang organisasi kepada publik


(lingkungannya).
2. Memonitor lingkungannya sehingga mengetahui apa yangterjadi dan
menginterpretasi isu-isu yang potensial memengaruhi aktivitas
organisasi dan membantu manajemen merespon isu-isu tersebut
melalui aktivitas isu manajemen.
3. Membangun sistem komunikasi dua arah dengan publiknya agar
organisasi dapat beradaptasi dengan lingkungnnya.
4. Relationship Management Theory

Relationship management theory merupakan teori yang sangat penitng


dalam public relations karena teori ini terkait dengan fungsi dasar public
relations, yaitu aktivitas komunikasi yang menghubungkan organisasi dan
publik (Kriyantono, 2014: 276). Ledingham (2005; Botan & Hazleton,
2006; dikutip di Kriyanotno, 2014: 276) mengatakan bahwa teori ini
berfokus untuk membahas proses manajemen relasi antara organisasi dan
publiknya, internal maupun eksternal, sehinga teori ini dikenal sebagai
pusat atau inti dari public relations.

Teori relationship management theory juga dikenal seagai organization-


public relationship (OPR) (Ledingham, 2003 & 2005; Philips, 2006;
Waters, 2008; dikutip di Kriyantono, 2014: 276). Ledingham (2005: 270;
dikutip di Kriyantono, 2014: 277) mendefinisikan OPR sebagai “situsi yang
terjadi diantara organisasi dan publiknya yang di dalamnya tindakan kedua
pihak dapat berdampak bagi kesejahteraan ekonomi, sosial, budaya atau
politik dari masing-masing pihak.” Selain itu, Bromm (2000, dikutip di
Philips, 2003; Waters, 2008; dalam Kriyantono, 2014: 277) menyebut OPR
sebagai relasi yang “direopresentasikan oleh pola-pola interaksi transaksi,
pertukaran, dan keterhubungan antara organisasi dan publiknya.”

4. Teori Matematika Komunikasi

Teori informasi ini digagas oleh dua ahli matematika yaitu Claude Shannon
dan Warren Weaver, yang menggambarkan tentang proses komunikasi
antarmanusia sebagai proses transmisi yang linier atara komunikator
kepada komunikan (Kriyantono, 2014: 131). Dalam model ini, Shannon &
Weaver juga mengenalkan beberapa konsep yang saling berkaitan seperti
konsep gangguan (noise), transmitter, sumber
(source), signal, receiver, destination, entropi, dan informasi (Kriyantono,
2014: 131). Menurut teori informasi ini, pesan disusun oleh seseorang yang
disebut sumber informasi, yang kemudian ditransmisikan lewat
trannsmiter dan nantinya akan menjadi signal (encode) yang akan
dimengerti oleh penerima, dan kemudian pesan itu diubah menajdi
ssignal sehingga dapat disebarkan melalui beberapa channel atau saluran
yang nantinya akan diterima dan diubah oleh receiver menjadi pesan yang
mudah dipahami oleh destination.
Dalam perjalanannya, pesan tersebut dimungkinkan akan mengalami
gangguan (noise) yang dapat memengaruhi sinyal yang dipancarkan
sehingga berpotensi mengganggu penerimaan pesan (Kriyantono, 2014:
132). Oleh karena itu, teori informasi atau matematika komunikasi ini
menyebutkan tidak ada yang dinamakan pesan yang senyatanya (real
message), tetapi yang ada hanyalah sinyal. Dalam praktiknya, teori
informasi atau matematika komunikasi ini dapat diterapkan untuk
mengukur ganguan atau hambatan yang terjadi dalam proses komunikasi
antara organisasi dan publiknya (Kriyantono, 2014: 136). Karena, adanya
gagguan dapat menyebabkan penerimaan presepsi yang berbeda antara
praktisi public relations dengan publiknya, sehingga dapat berdampak
pada organisasi.

5. Uncertainty Reduction Theory

Tori ini merupakan teori yang diciptakan oleh Charles Berger dan Richard
Calabrese pada tahun 1975 ini menjelaskan tentang baganimana individu
menggunakan komunikasi untuk mengurangi keragu-raguan, memahami
orang lain dan diri individu itu sendiri, dan membuat prediksi tentang
perilaku orang lain ketika berinteraksi dengan orang lain saat pertama
bertemu (Kriyantono, 2014: 139). Pada dasarnya, tujuan komunikasi
adalah untuk mengurangi ketidakpastian yang dirasakan oleh seorang
individu mengenai lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Berger dan
Bradag (1982; Dainton & Zelley, 2005: 36; Knoblock, 2009: 976; West &
Turner, 2007: 166; dikutip di Kriyantono, 2014: 143) mengatakan bawa
terdapat dua jenis ketidakpastan yang dirasakan oleh seseorang.
Ketidakpastian yang pertama adalah ketidakpastian perilaku (behavioral
uncertainty), yaitu ketidakpastian yang berkaitan akan perilaku mana yang
seharusnya seseorang lakukan dalam suatu situasi. Ketidakpastiaan yang
kedua adalah ketidakpastian kognisi (cognitive uncertainty), yaitu
ketidakpastian yang berkaitan tentang apa saja yang seharusnya dipikirkan
tetang sesuatu atau orang lain.

Dalam praktik public relations, teori ini digunakan untuk meminimalisir


adanya ketidakpastiaan publik terhadap suatu organisasi. Pada dasarnya,
tugas public relations adalah menciptakan citra dan reputasi yang positif
mengenai organisasi kepada publiknya (Kriyantono, 2014: 146). Informasi
yang diberikan kepada publik haruslah legkap dan tidak boleh terpotong-
potong karena informasi ini lah yang akan menentukan perilaku publik
terhadap organisais. Apakah nantinya publik akan mendukung organisasi
atau mungkin justru berlainan sikap dengan organisasi. Oleh karena itu,
organisasi harus membantu publiknya untuk mngurangi ketidakpastian
dengan lebih terbuka memberikan informasi (seld-disclosure), sehingga
publik dalam keadaan berkecukupan informasi atau well
informed (Kriyantono, 2014: 146).
6. Teori Excellence in Public Relations

Model ini diperkenakan oleh James Grunig dan Hunt, yang keduanya
mengidentifikasi empat model ( yang biasa disebut sebagai tipe proses
kegiatan public relations) yang diterapkan praktisi public relations dalam
menjalin hubungan dengan publik (Kriyantono, 2014: 90). Grunig & Hunt
(1984: 25; dikutip di Kriyantono, 2014: 90) mengatakan bahwa keempat
model ini merupakan “representasi tahap dalam sejarah public relations”
yang dibuat berdasarkan empat dimensi utama, ayitu arah komunikasi,
keseimbangan kepentingan antara dua pihak (tujuan), saluran, dan
dimensi etis. Keempat model tersebut adalah:

1. Model Press Agentry/Publisitas.

Model ini merupakan model yang menggunakan komunikasi satu arah


(one-way communication) dari organisasi kepada publiknya. Pada model
ini, praktisi public relations lebih banyak melakukan propaganda atau
kampanye untuk tujuan publisitas media yang menguntungkan pihaknya,
karena pada dasarnya, press-agentry ini merupakan kegiatan publisitas,
yaitu upaya meraih perahatian dan liputan media (Kriyantono, 2014: 90).
Tetapi, model ini sering disalahgunakan denganberbagai cara yang salah
satunya adalah “pseudo-event” yang dibuat untuk mengabaikan kebenaran
informasi sebagai upaya untuk menutupi unsur negatif organisasi atau
individu (Kriyantono, 2014: 91).

2. Model Public Information.

Model ini juga menggunakan komunikasi satu arah seperti model press-
agentry. Model public information ini digagas oleh Grunig & Hunt (1984:
dikutip di Kriyantono, 2014: 93), setelah terinspirasi oleh salah satu
pionir public relations yaitu Ivy Leadbetter Lee diawal abad ke-20. Tujuan
model ini yaitu untuk membangun kepercayaan publik melalui komunikasi
satu arah dengan memberikan informasi kepada publik, tetapi tidak
mementingkan persuasif untuk merubah sikap (Grunig & Hunt, 1984:
dikutip di Kriyantono, 2014: 93). Biasanya, organisasi yang mengunakan
model ini cenderung untuk memberikan informasi mengenai organisasinya
(termasuk produk dan jasa) tanpa memerdulikan feedback dari publiknya.

3. Model Two-Way Asymmetric.

Berbeda dengan dua model yang awal, model two-way asymmetric sesuai
dengan namanya, telah menggunakan komunikasi dua arah antara
organisasi dengan publiknya. Meski telah menggunakan komunikasi dua
arah, tetapi model two-way asymmetric ini lebih mengarahkan strategi
komunikasi organisasi untuk memengaruhi publik untuk beradaptasi
dengan organisasi, bukan sebaliknya (Kriyantono, 2014: 94). Model ini
beranggapan bahwa praktisi public relations dapat membantu organisasi
memersuasi publik agar berpikir dan bertindak seperti yang dikehendaki
oleh organisasi (Kriyantono, 2014: 95). Karena sifat asymmetric yang
dimilikinya, organisasi pada model ini tidak berupaya untuk mengubh
sikap dirinya, tetapi berupaya untuk mengubah sikap dan perilaku
publiknya.

4. Model Two-Way Symmetric.

Grunig & White (2008; dikutip di Kriyantono, 2014: 96) mengatakan


bahwa model ini sebenarnya berangkat dari mindset bahwa public
relations sebagai penggunaan komunikasi untuk memanipulasi publik agar
mendapatkan keuntungan untuk organisasi, maka model press-
agentry, public information, dan two-way asymmetric masih bersifat
asimetris yang berupaya untuk mengubah perilaku publik tanpa dibarengi
upaya untuk mengubah perilaku organisasi. Meurut Fawkes, Grunig &
Hunt, Horisson, dan Wehmeier (dikutip di Kriyantono, 2014: 96)
mengatakan bahwa model two-way symmetric ini merupakan model yang
paling ideal, karena mengutamakan komunikasi secara penuh dengan
publiknya serta fokus pada upaya membangun hubungan dan pemahaman
bersama, bukan upaya untuk memersuasi publik dengan berbagai cara.
Dengan kata lain, model ini sangat memerhatikan feedback dari publiknya
dan menganggap publiknya lebih dari sekadar publik.

Secara garis besar, model-model diatas merupakan gambaran


praktisi public relations berkomunikasi dengan publiknya. Apabila diberi
pertanyaan mengenai manakah model yang terbaik? Hal tersebut akan sulit
untuk dijawab karena penggunaan model-model diatas dalam organisasi
bergantung dengan faktor-faktor dan keadaan organisasinya sendiri.
Dalam praktik ublic reations, teori excellence lebih menekankan aspek
negosiasi dan kompromi (Kriyantono, 2014: 105). Untuk mencapai keusa
aspek tersebut, praktisi public realtions dituntut unutk memerhatikan dan
mensyarakatkan organisasi untuk mengubah perilakunya dan
manajer public relations harus menjadi bagina dari proses pngambilan
keputusan dalam organisasi.

7. Contingency of Accomodation Theory

Teori contingency of accomodation muncul karena adanya kritik atas


model two-way symmetric dalam teori excellence. Teori yang digagas oleh
Cmeron, dkk (dikutip di Kriyantono, 2014: 119) megatakan bahwa teori CA
merupakan modifikasi dan pelengkap dari teori normatif (teori excellence).
Teori CA dianggap sebagai potret yang lebi relaistis dari strategi PR atau
model PR, karena public rekations bergerak pada suatu kontinum antara
advokasi murni bagi organisasi atau klien dan akomodasi murni bagi
publiknya (Cameron, 1997; Cancel, Mitrook, & Cameron, 1999; Cancel,
Cameron, Sallot, & Mitrook, 1997; Reber & Cameron, 2003; Kriyntono,
2014). Sementara itu, jMes Grunig (Kryantono, 2014: 120) mengatakan
bahwa teori CA bukan berseberangan dengan teori excellence, melainkan
lebih untuk memperkaya dan membuat lebih kompleks.

Kriyantono (2014: 119) mendefinisikan akomodasi sebagai situasi ketika


praktisi public relations berupaya untuk memenuhi kebutuhan organisasi
dan publiknya melalui dialog, negosiasi, dan kompromi, sedangkan
advokasi yaitu situasi ketika praktisi public relations berusaha untuk
memenuhi kebutuhan organisasi atau publik dengan cara mengurangi atau
meniadakan kebutuhan pihak lainnya. Teori CA juga memberi batasan-
batasan yang jelas ntara akomodasi dn advokasi bahwa mereka memiliki
kutub atau arah yang berlawanan. Teori ini juga beranggapan bahwa win-
win solution yang ditawarkan oleh model two-way symmetric tidak
selama merupakan kondisi yang ideal bagi organisasi atau bahkan sulit
untuk mancapainya (Kriyantono, 2014: 119).

Dalam praktik public relations, menurut Cameron, dkk. (dikutip di


Kriyantono, 2014: 127) bahwa praktisi public relations pada saat tertentu
dapat menerapkan strategi secara bergantian: bersikap akomodatif atau
bersikap advokatif, tergantung variabel internal atau eksternal yang
dominan. Dengan kata lain, teori CA berpendapat bahwa tidak ada strategi
yang tetap sebagai teori normatif dalam public relations (Kriyantono, 2014:
127).

8. Situational Theory of The Publics

Teori situational of the publics atau yang biasa disingkat menjadi STP ini
merupakan teori yang bermanfaat untuk mengidentifikasi publik, sehingga
dapat membuat kategori publik dengan lebih spesifik berdasarkan perilaku
komunikasi dari individu dan efek komunikasi yang diterima individu
tersebut (Kriyantono, 2014: 152). Hal tersebut dilakukan untuk
memastikan bahwa pesan komunikasi yang disampaikan oleh
praktisi public relations benar-benar sesuai dengan kebutuhan
sasarannya. Publics yang dimaksud disini menyangkut beberapa kalangan
seperti jurnalis, karyawan, investor, konsumen, pemerintah, atau
komunitas lokal. Grunig (dikutip di Kriyantono, 2014: 152) membedakan
istiah antara publik dengan stakeholder. Sehingga dapat dikatakan bahwa
publik merupakan bagian dari stakeholder.

Secara umum, teori yang digagas oleh James E. Grunig ini


mendeskripsikan sikap dan perilaku komunikasi dari publik terhadap
organisasiya. Teori ini, dapat digunakan oleh praktisi public
relations untuk mengeidentifikasi dan mengelompokkan publik
berdasarkan presepsi, sikap, dan perilaku publik terhadap organisasi, baik
terhadap programnya, produknya, maupun ketika terjadi situasi krisis
(Kriyantono, 2914: 152). Selain itu, teori ini juga beranggapan bahwa publik
memiliki pengetahuan (knowledge) dan kesadaran (awareness), sikap, dan
perilaku tertentu terhadap organisasi. Maka dari itu, praktisi public
relations harus memahami publiknya melalui perilaku komunikasi yang
dilakukan oleh publiknya.

Dalam praktik public relations, teori siituational theory of the


publics merupakan teori yang sangat penting karena teori ini benar-benar
digunakan untuk mengidentifikasi dan megantisipasi publiknya. Mengapa
demikian? Karena tidak semua publik dari organisasi menaruh perhatian
yang besar terhadap organisasinya, atau bahkan terdapat beberapa
individu yang memberi perhatian besar terhadap organisasi. Publik yang
memeberi perhatian besar terhadap organisasi sering disebut dengan
publik aktif. Publik aktif ini akan selalu mencari informasi yang benar dan
akurat, serta berkualitas, dan mampu menjawab rasa keingintahuannya
(Kriyantono, 2014: 160). Untuk itu, Kriyantono (2014: 160) mengatakan
bahwa organisasi dituntut untuk membuka komunikasi dua arah yang
timbal balik agar terjadi pertukaran informasi yang positif dengan
publiknya.

Untuk menentukan publik yang aktif tau tidaknya, praktisi public


relations harus melakukan penelitian terlebih dahulu. Penelitian dapat
dilakukan dengan cara survei ataupun melakukan focus group
discussion (FGD). Selain itu, STP ini juga dapat dijadikan acuan bagi
praktisi public relations untuk bersikap lebih etis dalam kampanyenya
(Kriyantono, 2014: 161).

9. Teori Strukturasi

Teori strukturasi digagas oeh Anthony Giddens pada 1984 (Falkheimer,


2007: dikutip di Kriyantono, 2014: 234). Teori ini dibangun karena adanya
pandangan dari sang penggagas yaitu Giddens yang melihat bahwa
individu mempunyai kemauan untuk mengubah struktur sosial. Dengan
kata ain, sruktur dalam sistem sosial seperti norma-norma kelompok,
jaringan komunikasi, institusi sosial, ataupun aturan pergaulan
memengaruhi perilaku individu sehingga individu juga bisa memengaruhi
struktur-struktur itu, salah satunya dengan cara membuat aturan baru
(Kriyantono, 2014: 234). Sehingga dapat dipahami bahwa komunikasi
dalam sistem sosial terbentuk dan merupakan hasil dari perilaku
komunikasi individu dengan komunikasmi struktur sosial.
Dalam perkembangannya, teori strukturasi diadopsi oleh Marshall Scott
Poole dan Robert McPhee untuk menerangkan proses komunkasi
organisasi. Menurut Poole dan McPhee (dikutip di Kriyantono, 2014: 235)
mengatakan bahwa hal ini dikarenakan organisasi memiliki struktur
tertentu dan karenanaya struktur struktur di dalam organisasi meruapakan
ciri khas suatu organisasi. Lalu apa bedanya dengan teori sistem? Hal ini
merupakan dua hal yang berbeda walaupun sama-sama membahas atau
mengkaji mengenai organisasi. Teori sistem merujuk pada relasi
antarbagian sistem, sedangkan teori strukturasi menyebut relasi itu
merupakan bagian dari sistem.

Dalam teori strukturasi, terdapat beberapa asumsi pokok mengenai teori


tersebut menurut Giddens (1979: dikutip di Kriyantono, 2014: 237), yaitu:

1. Manusia adalah aktor (agen) yang menentukan pilihan sendiri atas


perilakunya.
2. Organisasi diproduksi dan direproduksi melalui struktur yang dalam hal
ini adalah penggunaan aturan dan sumber saya dalam interakri sosial.
3. Struktur bukanlan entitas fisik, melainkna merupakn seperangkat
peraturan (rule) dan sumber daya (resources) ynag digunakan
organisasi untuk mencapai tujuannya.
4. Karena struktur bersifat dinamis, maka struktur dalam organisasi bukan
hanya dibentuk pada awalnya saja (prouced), melainkan juga
mengalami proses pembentukan kembali (mengalami perubahan
atau reproduced).
5. Struktur sering dipinjam dari kelompok yang lebih besar.
6. Teori strukturasi mengasumsikan bahwa semua interaksi sosial (proses
strukturasi) memuat tiga elemen, yakni pemaknaan (interpretasi dan
pemahaman), moralitas, dan kekuasaan.
7. Komunikasmi berperan sebagai media interaksi dan juga merupakan
hasil interaksi.

Dalam praktik public relations, teori strukturasi ini memandang bahwa


proses public relations sebagai suatu proses komunikasi yang dinamis
dimaknai bukan hanya dilakukan oleh praktisi public relation¸ melainkan
oleh semua anggota organisasi (Kriyantono, 2014: 240). Hal tersebut
bertujuan untuk memberikan pengertin bahwa proses public
relations dapat dilakukan pada semua level organisasi, sehingga dapat
memberikan peluang anggota orgnasisasi untuk mengkonstruksi realitas
sosial agar dapat emnciptakan perngertian bersama (shared-meaning).
Selain itu, teori strukturasi juga memandang praktisi public
relations sebagai kekuatan komunikasi yang melayani terjadinya
reproduksi dan atau transformasi suatu ideologi (struktur) dominan dari
suatu organisasi (Kriyantno, 2014: 241).

10.Teori Motivasi dan Gaya Manajerial

Gaya kepemimpinan merupakan suatu hal yang penting pada organisasi


karena suetu gaya kepemimpinan yang digunakan akan memengaruhi kerja
anggota organiasinya. Oleh karena itu, majaner termasuk praktisi public
relations harus memahami gaya mnajerial yang dilakukannya. Proses
komunikasi pada teori inin juga dinggap suatu hal yang penting untuk
memotivasi karyawan-karyawannya dalam hal pekerjaan. Seni memotivasi
yang biasanya dilakukan oleh manajer ini juga pada dasarnya merupakan
manajemen yang dilakukan oleh manajer agar orang lain melaksanakan
apa yang dikehendaki oleh si manajer, sehingga Kriyantono (2014: 243)
berpendapat bahwa gaya memotivasi merupakan indikator gaya
manajerial.

Di dalam teori ini, terdapat ebberapa teori lain yang menjadi indikator dan
memiliki hubungan dengan teori motivasi dan gaya manajerial. Teori-teori
tersebut adalah:

1. Teori Hirarki Kebutuhan.

Teori ini digagas oleh Abraham Maslow yang menyebut beberapa tingkatan
kebutuhan yang harus dipenuhi agar seseorang merasa terpuaskan,
tingkatan tersebut adapalah (1) kebutuhan fisiologi, (2) kebutuhan
keamanan dan keselamatan, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan akan
penghargaan diri atau self-esteem, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri
(Kriyantono, 2014: 243). Berdasarkan teori ini, karyawan atau anggota
organisasi akan termotivasi kerja apabila semua kebutuhan tersebut
disediakan oleh sang manajer.

2. Teori X dan Y.

Setiap organisasi akan memepunyai tipe atau gaya kepemimpinan yang


berbeda-beda. Oleh karena itu, Doughlas McGregor (1967: dikutip di
Kriyantono, 2014: 244) m3engenalkan dua macam teori tantang motivasi
yang juga menentukan gaya menejerial seseorang, yaitu teori X dan teori Y.
Teori X didefinisikan sebagai upaya untuk mengelola orang dengan
memotivasi mereka sejak awal dengan kekuatan fisik dan kekuasaan (Quaal
& Brown, 1976: dikutip di Kriyantono, 2014: 244). Teori X ini berasumsi
bahwa pada dasarnya individu emmpunyai sifat yang tidak suka beekerja
sehingga diperlukanlah motivasi tersebut.
Berbeda dangan teori X, teori Y mengasumsikan bahwa individu secara
alami mempunyai keinginan dan kebutuhan, salah satunya kebutuhan
untuk bekerja, peran manajer lebih untuk mendorong dan menyediakan
peluang agar keinginan dan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi
(Kriyantono, 2014: 245).

3. Teori V.

Sebgai pengembangan dari pandangan McGregor diatas, Ward L. Quaal


dan Kames A. Brown (1976; dikutip di Kriyantono, 2014: 245)
menyampaikan teori V, yang dikenal juga sebagai the “v” of management.
Teori ini memndang proses manajerial sebagai proses relasi dua arah
(biraletional). Quaal & Brown (dikutip di Kriyantono, 2014: 246)
menjelaskan bahwa proses manajemen yaitu suatu proses pemberian
perintah dan arahan yang mengandung hubungan antarpersonal, yang
engandung makna dan interelasi yang dinamis dari orang-orang yang
terlibat dalam proses pemberian dan pengaktualisasian perintah dan
arahan.

4. Teori Kesehatan-Motivator.

Teori ini digagas oleh Frederick Herzberg pada tahun 1959, yang
mengemukakan bahwa terdapat dua faktor kepuasan dan tidak kepuasan
kerja, yait motivator (seperti tanggung jawab, kemajuan pekerjaan, prestasi
kerja, pekerjaan itu sendiri, dan peluang pengembangan diri) dan
pemeliharaan (maintenenc) atau kesehatan (hygine) (yang mencakup gaji,
supervisi, keamanan kerja, kebijakan organisasi, kondisi lingkungan kerja,
adsministrasi, hubungan dengan rekan kerja) (Kriyantono, 2014: 246). Jika
faktor-faktor tersebut dipenuhi, karyawan akan merasa puas dan akan
termotivasi untuk mencapain hasil kerja yang lebih baik.

Teori motivasi dan gaya manajerial ini memiliki empat tipe manajerial
seperti yang dikatakan oleh Rensis Likert (1967: dikutip di Kriyantono,
2014: 247), yaitu:

1. Gaya penguasa mutlak (the exploitative authoritative).


2. Gaya semi mutlak (the benevolent authoritative system).
3. Gaya penasihat (the consultative system).
4. Gaya pwngajak-serta (the participative management system).

Dalam paraktik public relations, teori ini menjadi penting bagi


praktisi public relations untuk mengetahui dan memahami motivasi yang
dimiliki karyawan. Hal tersebut dilakukan untuk
mendapatkan feedback bagi manajemen yang akan digunakan utnuk
merumuskan strategi meningkatkan motivasi kerja karyawan (Kriyantono,
2014: 250). Selain itu, teori ini juga digunakan untuk memberikan
informasi kepada karyawan bahwa mereka memiliki kebutuhan yang
universal dan praktisi public relations harus memahami kebutuhan
karyawan-karyawan tersebut.

Daftar Pustaka

Kriyantono, R. (2014). Teori public relations perspektif barat dan lokal:


aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Salemba Humanika.

Anda mungkin juga menyukai