Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH MEDIA RELATION & MEDIA ETHICS

PR & 10 Elemen Jurnalisme

Disusun Oleh :
Eileen Lourence (000000209390)
Indo Putra Lieman (000000020541)
Levana Amanda (00000019231)
Sheren Caroline (00000019369 )
Velent Vanesia Tehae (00000022044)

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA


Tangerang
2019

1
KATA SAMBUTAN

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami panjatkan, yang telah
memberikan rahmat-Nya serta berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Media Relation & Media Ethics kami yang berjudul “PR & 10 Elemen
Jurnalisme”.
Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Media Relation & Media Ethics yaitu Bapak Benny Siga Butarbutar yang telah
memberikan masukan serta membimbing kelompok kami yang bermanfaat dalam
proses penyusunan makalah ini.Terima kasih juga kepada para penulis buku yang dapat
membantu kami menjadi referensi untuk pengerjaan karya ini. Tak lupa, kami ucapkan
terima kasih juga kami ucapkan kepada rekan mahasiswa atau orang pada umumnya
yang telah bekerja sama memberikan kontribusi dengan mengisi kuesioner yang kami
berikan sehingga kami sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Kami berharap karya kami ini dapat bermanfaat bagi orang lain dan bagi kami
sendiri, sehingga dapat menambah pengetahuan. Akhir kata, kami memohon maaf
apabila kami dalam pengerjaan tidak sesuai standar yang ada. Kami juga membuka
masukan dan kritik bagi kami dalam pengerjaan karya ini.

2
A. Latar Belakang
Teknologi yang berkembang pesat di zaman sekarang memudahkan kita
untuk memperoleh berbagai informasi dan berita terbaru. Bukan kali ini saja
momen pertama cara kita mendapatkan berita telah berubah melalui transisi yang
sangat penting. Pada tiap waktu, ada periode perubahan dalam hal yang dianggap
penting, mulai sosial, ekonomi, hingga teknologi. Hal ini terjadi pada era 1830-
an dan 1840-an dengan hadirnya telegraf, di era 1880-an dengan jatuhnya harga
kertas dan masuknya gelombang imigran. Pada 1920-an, terjadi lagi dengan
penemuan radio, munculnya tabloid dan budaya gosip serta selebritas. Lalu
penemuan televisi dan datangnya Perang Dingin.
Sekarang, perubahan dipicu oleh dengan pesatnya perkembangan (televisi)
kabel yang diikuti oleh internet. Pertentangannya saat ini lebih dramatis. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah kita, berita kian banyak diproduksi oleh
perusahaan diluar jurnalisme, dan organisasi ekonomi yang baru ini penting. Kita
menghadapi kemungkinan bahwa berita yang independen akan tergantikan oleh
komersialisme untuk kepentingan diri sendiri yang menyatu sebagai berita. Jika
hal itu terjadi, kita akan kehilangan pers yang independen.
Salah satu pertanyaan paling penting adalah apakah pers yang independen
dapat bertahan hidup? Jawabannya bergantung pada apakah wartawan punya
kejelasan dan keyakinan untuk independen? Apakah sebagai seorang masyarakat
kita peduli?
Makalah ini dimaksudkan untuk menjelaskan tentang 10 elemen yang
membantu wartawan menyampaikan nilai nilai tersebut dan membantu
masyarakat menciptakan tuntutan bagi jurnalisme untuk memegang prinsip
prinsip pers bebas. Begitu juga sebagai seorang Public Relations.
Menjaga hubungan baik dengan media massa salah satunya dengan
membuat press release yang baik dan benar maka dari itu Public Relations harus
mengetahui hukum dan etika dalam membuat press release, kode etik jurnalistik
dan hal-hal penting tentang pers. Sebagai media komunikasi massa, pers dinilai

3
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini khalayak. Pers pun diyakini
mampu menjadi wahana demokrasi dan demokratisasi. Karena dikonsumsi oleh
massa yang amat heterogen, pers pun mampu membentuk opini khalayak dan
menimbulkan citra pihak pihak yang diberitakannya.
Dalam konteks dunia Public Relations , jurnalistik menjadi salah satu
bidang atau keahlian yang harus dikuasai oleh seorang Public Relations. Sebagai
seorang Public Relation tentunya harus dapat memahami kesepuluh elemen
tersebut dengan maksud peran dan fungsi masing-masing. Kemampuan dalam
bidang jurnalistik tidak dapat dipungkiri menjadi modal seseorang untuk menjadi
seorang Public Relations yang handal.

B. 10 Elemen Jurnalisme
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dengan dukungan dan bantuan para ahli
media yang tergabung dalam Committee of Concerned Journalist melakukan
riset yang ekstensif terhadap apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh para
wartawan. Hasil riset tersebut kemudian ditulis dalam buku The Elements of
Journalism. Dalam buku tersebut dituliskan bahwa tujuan utama dari jurnalisme
adalah menyediakan informasi yang akurat dan terpercaya kepada warga
masyarakat agar dengan informasi tersebut mereka dapat berperan membangun
sebuah masyarakat yang bebas.
Tujuan ini juga mencakup keperluan keperluan lain, seperti hiburan,
menjadi penjaga watch dog dan menyuarakan kepentingan dari mereka yang
tidak memiliki suara voice to the voiceless. Committee of Concerned Journalist
akhirnya menyimpulkan bahwa sekurang kurangnya ada sembilan inti prinsip
jurnalisme yang harus dikembangkan.
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kebenaran jurnalistik journalistic truth ini adalah suatu proses yang
dimulai dengan disiplin profesional dalam pengumpulan dan verifikasi
fakta. Wartawan kemudian berusaha menyampaikan makna tersebut dalam

4
sebuah laporan yang adil dan terpercaya. Wartawan harus sedapat mungkin
bersikap transparan mengenai mengenai sumber sumber dan metode yang
dipakai, sehingga audiences dapat menilai sendiri informasi yang disajikan.
Contoh:
Sumber : Tirto.id
Pada Minggu, 4 Desember lalu, misalnya, tertangkap nya sebuah
gambar bertuliskan “Massa Aksi Kita Indonesia Mencapai 100 Juta”
menjadi viral di Facebook dan Twitter. Gambar itu menunjukkan tayangan
Metro TV yang dituduh memalsukan jumlah peserta aksi di Jakarta sesudah
dua hari lalu ada “Aksi Bela Islam”. Stasiun ini dianggap bikin
kebohongan, berita palsu, dan sejenisnya.
Tetapi kemudian muncul klarifikasi dari Metro TV yang
memperlihatkan video asli dan tayangan itu sama sekali tidak menulis
angka 100 juta. Di sini politik pemberitaan media muncul. Sekalipun telah
diklarifikasi, efek sebaran yang luas itu kadung terjadi. Sebagian orang,
yang termakan tangkapan layar bohong tersebut, menyerukan boikot
kepada Metro TV. Apalagi menjelang Pilkada Jakarta 2017, sentimen
terhadap media-media arus utama makin menguat termasuk insiden
intimidasi terhadap wartawan di lokasi demonstrasi.

5
Sumber: turnbackhoax.id
Hasil capture pada hoax adalah palsu dimana teks aslinya sudah
diganti. Hal ini bisa dibuktikan dengan menelusuri video hasil rekaman
siaran melalui TV On Demand untuk mendapatkan gambar aslinya. Di
dalam video berdurasi dua setengah menit yang link-nya sumber sertakan
di bawah pada posisi menit ke 2:09 akan terlihat gambar yang asli dimana
teks yang ditampilkan berbeda dengan yang ada pada gambar hoax:

6
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah warga masyarakat
Wartawan harus memelihara kesetiaan kepada warga masyarakat
dan kepentingan publik yang lebih luas diatas yang lainnya. Prioritas
komitmen kepada warga masyarakat ini adalah basis dari kepercayaan
sebuah organisasi berita. Media harus dapat mengatakan dan menjamin
kepada audiences nya bahwa liputan itu tidak diarahkan demi kawan dan
pemasang iklan.
Contoh:
Ada 1893 seorang pengusaha membeli harian “The New York
Times”. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak
puas dengan ‘surat kabar-surat kabar kuning’ yang kebanyakan isinya
sensasional. Ochs hendak menyajikan surat kabar yang serius,
mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news
impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests
involved”. Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian “The Washington
Post” dan menyatakan di halaman surat kabar itu, “Dalam rangka
menyajikan kebenaran, surat kabar ini (The Washington Post) akan
mengorbankan keuntungan materialnya demi kepentingan masyarakat”.
Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi
publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Contoh lain di Indonesia maraknya berita pencalonan di panggung
politik yang mempunyai media tersebut, Surya Paloh banyak diberitakan
di Metro TV, Hary Tanoe yang diberitakan oleh MNC Group, hal itu tidak
disalahkan tetapi sebagai sebuah media harus mengutamakan kesetaraan,
sehingga berita yang diberitakan seimbang. Melihat hal itu tidak
menunjukan bahwa jurnalis membuat berita tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, tetapi untuk kepentingan seseorang/kelompok.

7
Sumber : Youtube.com/metrotvnews

3. Inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi


Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari
saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan
meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk
menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa
yang sering disebut sebagai “objektivitas” dalam jurnalisme, maka yang
objektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang
digunakannya dalam meliput berita.
Contoh: Verifikasi kadang jarang dilakukan oleh media online, hal
itu karena kebutuhan masyarakat akan sebuah berita. Jadi menurut kami
verifikasi dalam media online belum dilaksanakan dengan semestinya.
Contoh nyatanya adalh berita yang berjudul “Ledakan di Gereja Santa
Maria, Anak-anak Jadi Korban”, dari judul kita berharap saat melihat
beritanya akan mendapatkan informasi (5W1H) tentang anak yang menjadi
korban bukan? tetapi saat masuk ke laman berita ada berita yang

8
menyebutkan narasumber bahwa anak-anak jadi korban, tetapi secara
spesifik dan detail. dari berita yang di berikan berita yang disampaikan
gegabah dan belum ada akuritas yang tepat. . (Sumber:
https://news.detik.com/berita/d-4017967/ledakan-di-gereja-santa-maria-
anak-anak-jadi-korban)

4. Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka liput
Kebebasan adalah syarat dasar dari jurnalisme. Ia menjadi sebuah
landasan dari kepercayaan. Kebebasan jiwa dan pemikiran bukan hanya
netralitas adalah prinsip yang harus dijaga oleh wartawan. Walaupun
editorial dan komentator tidak netral, namun sumber dari kredibilitas
mereka adalah tetap, yaitu akurasi, kejujuran intelektual dan kemampuan
untuk menyampaikan informasi, bukan kesetiaan pada kelompok atau hasil
tertentu.
Contoh: Fakta yang terdapat dalam artikel di atas: Rintisan
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk SMA/SMK sudah mulai
dikucurkan tahun ini sebesar Rp 120.000 per siswa tiap tahun. (pernyataan
dari Hamid Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Menengah

9
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Opini yang terdapat dalam
artikel di bawah: Kucuran dana dari pemerintah pusat dan daerah
seharusnya menjadi jaminan bagi siswa SMA/SMK untuk tidak lagi
dipungut biaya sekolah. Jadi wartawan bisa bebas mengutarakan opininya
di dalam berita yang ia tulis, akan tetapi wartawan harus bisa membedakan
yang mana fakta dan yang mana opini, sehingga opini hanya boleh
menuliskan pendapatnya di bagian kolom opini.

Sumber : id.scrip.com/faktadanopinidalamberita

10
5. Wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas terhadap
kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap
kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua
lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan
mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk,
yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau
pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara
pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan
jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang
menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik
penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk
memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar
melayani kepentingan umum.
Contoh: Disini ditunjukkan bahwa fungsi pers ialah menjadi kontrol
sosial. Yang dimana wartawan membantu masyarakat untuk mendapatkan
hak untuk mengetahui segala yang berhubungan dengan hidupnya.
Contohnya adalah wartawan memberitakan tentang kasus koruptor. Hal ini
juga agar para koruptor jera dan malu dengan perbuatannya sendiri karena
disiarkan di berbagai media.

11
Sumber : bangkapos.com
6. Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi
menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang
benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian
dan mengambil sikap.
Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik
dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi.
Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana
halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum

12
yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada
publik.
Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian
dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis
yang menarik sebagai sasaran iklan.
Contoh: detik forum

7. Jurnalisme harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan


relevan
Jurnalisme adalah bercerita dengan suatu tujuan storytelling with
a purpose. Karena itu tugas Jurnalisme adalah menemukan cara untuk
membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca,
didengar atau ditonton. Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang
jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk
memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat.
Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan
sensasionalisme.
Contoh: Berita dibawah ini berisikan topik yang menarik minat
banyak masyarakat karena KRL merupakan salah satu transportasi umum

13
yang banyak digunakan masyarakat. Sehingga dengan adanya berita ini,
memberikan informasi kepada masyarakat setempat tentang apa yang
sedang terjadi, terutama kepada masyarakat yang memiliki kepentingan
terhadap berita tersebut.

Sumber : bbc.com

8. Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif


Prinsip disini adalah “jurnalisme adalah suatu bentuk kartografi”.
Ia menciptakan sebuah peta bagi warga masyarakat guna menentukan arah
kehidupan. Menjaga berita agar tetap proporsional dan tidak
menghilangkan hal hal yang penting adalah juga dasar dari kebenaran.

14
Contoh: Pemberitaan harus menyeluruh, meliputi semua unsur
berita 5W+1H sehingga tidak menyisakan tanya. Contohnya adalah seperti
cuplikan berita dibawah ini.

Sumber: : https://www.dw.com/id

15
9. Wartawan itu memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya
Setiap wartawan harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab
personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya
tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan
membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang
penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka
yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi
untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan
bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi
mengharuskan mereka berbuat begitu.
Contoh: Salah satu contohnya adalah wartawan yang satu ini. Dia
memilih untuk menyelamatkan beberapa anak kecil yang menjadi korban
bom ketimbang menjalankan tugasnya sebagai seorang wartawan.

Sumber : intisari.grid.id

16
10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait
dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi
informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif
dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari
munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism),
jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga
dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan
dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.
Contoh:detik forum, forum kaskus, Neitizen Journalism-NET TV

17
C. Social Exchange Theory
Sudut pandang Pertukaran Sosial berpendapat bahwa orang menghitung nilai
keseluruhan dari sebuah hubungan dengan mengurangkan pengorbanannya dari
penghargaan yang diterima (Monge dan Contractor, 2003).
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain
adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George
Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan
teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena
kita memperoleh imbalan. Yang maksudnya adalah hubungan pertukaran
dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita.
Teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lingkungan
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan
kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain
tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam
hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan
keuntungan (profit).
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary
Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah
satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering
satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang
tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit
menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada
imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi :
“Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula
kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip
dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan
bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal
sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan
pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh

18
setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin
tinggi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima
oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – semakin tinggi
investasi, semakin tinggi keuntungan”.

19
D. Pengaruh dari Media Industri
Industrialisasi Media Massa Industrialisasi adalah suatu keadaan dimana
masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin
beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi
adalah bagian dari proses modernisasi dimana perubahan sosial dan
perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi
(wikipedia.org). Industrialisasi dalam segala bidang kehidupan tidak dapat
terelakkan dalam perkembangan masyarakat, tanpa terkecuali di Indonesia,
karena perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya tersebut membuat pers
atau media massa yang dulu hanya menyebar luaskan informasi (berita), tetapi
seiring dengan perkembangan pers sebagai sebuah usaha, media massa
berkembang sebagai usaha ekonomi atau bisnis, yang tidak hanya memerankan
fungsi konvensional, tetapi 108 Industrialisasi Media Massa juga mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengedepankan kepentingan
ekonomi dari perusahaan pers.
Industrialisasi media berjalan seiring dengan pesatnya perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi membuat munculnya berbagai macam alat-
alat baru yang mempermudah manusia dalam berkomunikasi, dan menyebarkan
informasi, perubahan tersebut berpengaruh terhadap media massa, salah satu efek
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yaitu terjadinya konvergensi
media massa, dimana satu perusahaan media bisa diakses dengan berbagai jenis
media komunikasi, contohnya saja, surat kabar Kompas yang dahulu hanya
berupa media cetak yang terbit setiap pagi, kini beritanya dapat juga kita akses
melalui internet yaitu www.kompas.com, sehingga dapat mempermudah
masyarakat dalam mengakses berita Kompas tersebut. Konvergensi media massa
memungkinkan suatu media dapat diakses dengan beberapa cara, hal ini juga
didukung oleh perkembangan jaringan internet yang semakin maju.
Selain konvergensi media massa, pengaruh industrialisasi media massa
membuat adanya konglomerasi media. Konglomerasi media massa

20
memungkinkan tumbuhnya konglomerat-konglomerat media yang membangun
grup media yang dapat menjadi kekuatan besar yang dapat berpengaruh di bidang
ekonomi, politik, sosial, dan budaya masyarakat. Kita dapat melihat konglomerat
media saat ini di Indonesia seperti MNC group yang terdiri dari RCTI, Global
TV, dan MNC TV. Group Vivanews beranggotakan AN TV, TV One dan
beberapa situs portal berita online, Media Group yang beranggotakan, Metro TV,
Media Indonesia. Kompas Group yang beranggotakan Harian Kompas,
Kompas.Com, dan Kompas TV.
Konglomerasi media memungkinkan berkumpulnya berbagai jenis media
massa dari cetak, audio, audio visual, maupun internet dalam satu group.
Konglomerasi media memungkinkan adanya power di bidang politik, dan
keuntungan yang besar di bidang ekonomi. Sebagian besar pemilik grup media
di Indonesia berkecimpung ke kancah perpolitikan lihat saja Abu Rizal Bakri,
Ketua partai Golkar sekaligus kandidat calon Presiden RI 2014 dengan Pemilik
Group Viva News, Surya Paloh yang merupakan Ketua Partai Nasdem dengan
Media Groupnya, dan Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group yang akhirnya
turut berkecimpung juga di kanca perpolitikan, sebagai kandidat calon presiden
RI 2014, tidaklah terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa media dapat
menjadi senjata untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan. Industrialisasi media
yang mengedepankan ekonomi dan terbentuknya konglomerasi media berpotensi
berkurangnya objektivitas pemberitaan media, yang tentunya tidak sesuai dengan
kode etik jurnalistik, kode etik jurnalistik mengatakan bahwa pemberitaan harus
cover both side, yaitu mendengarkan pendapat tidak hanya dari satu sisi
narasumber saja, tidak berpihak terhadap satu kelompok manapun. Tetapi
bagaimana pada saat masa pemilihan capres bulan Juli-Agustus 2014 kemarin,
kita tentu masih ingat bagaimana pertarungan antara Jokowi dan Prabowo, tetapi
diikuti oleh pertarungan media TV One VS Metro TV? Stasiun TV One
cenderung lebih banyak memberitakan tentang calon Prabowo, dibandingkan
berita tentang Jokowi, dilihat dari sudut pandang pemberitaan sebagian besar

21
berita yang ditayangkan oleh TV One dari sudut pandang positif tentang
Prabowo, kebijakan 110 redaksional yang diambil oleh TV One dapat saja
terpengaruh oleh politik, dimana Pemilik TV One adalah politisi Aburizal Bakrie
yang merupakan ketua Umum Partai Golkar yang notabene berkoalisi dalam
mengusung calon presiden Prabowo. Apabila kita bandingkan dengan
pemberitaan Metro TV, kebalikan dari TV One, pemberitaan metro TV lebih
banyak mengangkat berita seputar pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla
(Jokowi/JK), dengan angle berita yang positif atau menguntungkan bagi
pasangan tersebut, contohnya saja, Metro TV menayangkan pidato Jokowi/JK
pada saat sedang berkampanye di suatu kota dengan durasi waktu yang cukup
panjang dibandingkan dengan pasangan Prabowo/Hatta, hal ini dapat pula
diakibatkan oleh pemilik dari stasiun Metro TV adalah ketua Partai Nasdem yang
notabene sedang berkoalisi dengan kubu Jokowi/JK dalam pemilihan presiden
tersebut.
Pemberitaan media saat ini sudah ditunggangi dengan tendensi politik yang
tujuan akhirnya untuk memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Hal ini tentu
saja tidak sejalan dengan kode etik jurnalistik seperti yang tertuang pada Kode
etik jurnalistik versi AJI poin kedua yang berbunyi “Jurnalis senantiasa
mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan
dan pemberitaan serta kritik dan komentar”. Dalam kode etik jurnalistik versi
Dewan Pers juga menyebutkan pada pasal 1 yang berbunyi Wartawan Indonesia
bersikap Independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak
beritikad buruk. Kata berimbang disini berarti semua pihak mendapat
kesempatan yang setara. Dalam Kode etik versi PWI Pasal 5 mengenai cara
pemberitaan berbunyi “Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil,
mengutamakan ketepatan dan kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta
dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Penyiaran karya jurnalistik reka ulang dilengkapi dengan keterangan, data
tentang sumber rekayasa yang ditampilkan”. Maksud Kode etik versi PWI di atas

22
menerangkan bahwa, yang dimaksud berita secara berimbang dan adil ialah
menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai
kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara
proporsional. Konglomerasi media dan konvergensi media massa
memungkinkan khalayak dapat mengakses informasi yang sama dari berbagai
jenis media massa, kalau khalayak tidak sempat untuk membaca koran di pagi
hari, dia dapat mengakses berita dari situs internet atau mendengarnya dari radio.
Banyaknya sumber mengakses berita memungkinkan banyaknya iklan
yang dapat diraup dari tayangan yang sama, tentu saja hal ini sangat
menguntungkan perusahaan media massa yang tujuannya mencari laba yang
sebesar-besarnya, karena penghasilan terbesar media massa berasal dari iklan
yang dipasang pada media yang bersangkutan. Besarnya ketergantungan media
massa terhadap penghasilan yang berasal dari pemasangan iklan membuat media
massa cenderung untuk menayangkan acara yang kurang mengandung unsur
pendidikan, lebih banyak menayangkan acara hiburan seperti sinetron yang
mengandung nilai-nilai yang bertolak belakang dengan nilai-nilai agama, sosial
maupun budaya Indonesia, acara yang ditayangkan lebih melihat kepada sisi
profit atau keuntungan, tayangan yang dapat meraup banyak pemasang iklan
akan dipertahankan, tanpa melihat sisi pendidikan yang terkandung di dalamnya
bahkan mengakibatkan rusaknya moral masyarakat seperti banyaknya sinetron
yang mengajarkan kekerasan, pergaulan bebas, kehidupan glamour, ataupun
yang sedang marak di TV swasta saat ini yaitu program infotainment yang
merupakan tayangan yang berisi kisah hidup selebriti, yang cenderung lebih
banyak mengorek-ngorek kehidupan pribadi mereka, apabila ditinjau dari segi
kode etik jurnalistik tayangan infotainment yang mengorek-ngorek kehidupan
pribadi seseorang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik, hal ini dapat kita lihat
pada kode etik jurnalistik versi AJI poin 11, yang berbunyi Jurnalis menghormati
privasi seseorang, kecuali hal-hal yang bisa merugikan masyarakat. Dalam kode
etik jurnalistik versi Dewan Pers, Pasal 9 berbunyi “Wartawan Indonesia

23
menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya kecuali untuk
kepentingan publik”. Kehidupan pribadi yang dimaksud dalam pasal 9 diatas
adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang berkaitan
dengan kepentingan publik.
Menghargai harkat dan martabat serta hak pribadi sumber berita juga
dituangkan dalam Kode etik Jurnalis Televisi Indonesia Pasal 11 yang berbunyi
“Jurnalis Televisi Indonesia menghargai harkat dan martabat serta hak pribadi
sumber berita”. Etika berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia,
sehingga pelaksanaan jurnalistik wartawan dapat berlangsung dan dirasakan oleh
manusia bahwa pemberitaan tersebut berfungsi dan berkenan bagi rasa tentram
dan damai. Dalam hal ini, maka peranan dan penegakan etika profesi jurnalisme
tersebut sangat dominan (Choliq, 2011: 396). Tuntutan di masa industrialisasi
media massa saat ini mengakibatkan sulitnya bagi penegakan etika jurnalistik,
apalagi kode etik yang dibuat oleh beberapa organisasi pers tidak memiliki
implikasi hukum, akhirnya penerapan kode etik secara tegas semuanya
dikembalikan kepada masing-masing pribadi yang terlibat dalam aktivitas di
Institusi media massa

24
E. The Future of Media without 10 Elements Journalism
Bill Kovach bersama rekannya Tom Rosenstiel menulis buku The Elements
of Journalism. Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan
sembilan elemen jurnalisme, yang dalam perkembangannya Kovach
menambahkan satu elemen lagi menjadi 10 elemen jurnalisme. Sebagai jurnalis
media, dalam memberitakan sebuah informasi layaknya mengandalkan 10
elemen jurnalisme agar hasil pemberitaannya dapat bermanfaat baik bagi
masyarakat. Berbagai situasi dapat terjadi bila di masa depan media tidak
menerapkan 10 elemen jurnalisme, diantaranya:
1. Berbagai hoax bermunculan
Kewajiban utama seorang jurnalis adalah pada kebenaran, bukan
sekedar puas melaporkan fakta, karena fakta sering kali disodorkan ke
depan jurnalis dengan agenda tertentu. Kebenaran jurnalistik bukanlah
kebenaran hukum. Kebenaran jurnalistik adalah kebenaran pada saat fakta
itu disampaikan ke hadapan jurnalis. Jika di masa depan, jurnalis
memberitakan informasi hanya sekedar “menuntaskan pekerjaan semata
karena uang” tanpa memerhatikan kepentingan publik yang membutuhkan
berita kebenaran, informasi yang disampaikan bisa saja salah, karena
kurang lengkap, bias, atau bahkan bohong. Pandangan seorang jurnalis,
karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok
etnik, atau agamanya, bisa membuat jurnalis tersebut menghasilkan
penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda. Apabila penafsiran berbeda
yang dikonstruksi masyarakat ini disebarluaskan dan diberitakan kembali
dalam bahasa mereka sehari-hari, bisa saja menghasilkan berita yang salah
atau disebut juga dengan hoax. Berita palsu atau hoax adalah informasi
yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax mengandung makna berita
bohong atau berita tidak bersumber. Menurut Silverman (2015), hoax

25
merupakan rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun
“dijual” sebagai sebuah kebenaran.
2. Loyalitas bukan lagi kepada publik
Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya,
“Kepada siapa jurnalis harus menempatkan loyalitasnya? Pada
perusahaannya? Pada pemasang iklan? Atau pada masyarakat?”. Jurnalis
punya tanggung jawab sosial yang bisa melangkahi kepentingan
perusahaan di mana mereka bekerja. Tanggung jawab itu sekaligus adalah
sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang
mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan
ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri. Bisnis media beda
dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi
pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah
pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens). Berbeda dengan
kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, sisi pertama bukanlah pelanggan
(customer). Kebanyakan media memberikan berita secara gratis.
Masyarakat tidak membayar untuk mengonsumsi isi media.
Kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan”
perusahaan media kepada para pemasang iklan. Bagi perusahaan media,
pemasang iklan merupakan pelanggan. Esensi jurnalisme mewajibkan
media menempatkan kepentingan publik di atas semua kepentingan lain.
Kesetiaan utama kepada publik dapat diimplementasikan dengan
semaksimal mungkin melayani kepentingan masyarakat. Kesetiaan media
kepada publik didasari atas kemampuan bersikap independen dalam
melaksanakan kebijakan editorial peliputan. Perusahaan media yang
mementingkan keuntungan materiilnya sendiri dapat merusak hubungan
baik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya. Ditambah
lagi dengan beragam isu bernuansa politik yang menjadi sajian media.
Media dianggap terkooptasi oleh kepentingan pemiliknya, baik

26
kepentingan bisnis maupun politik. Loyalitas media yang seharusnya
berpusat pada kepentingan publik bisa bergeser pada peningkatan
keuntungan perusahaan karena dari sana pula media mendapatkan bonus.
3. Subjektivitas media
Salah satu nilai penting dalam jurnalisme adalah objekivitas. Dalam
bukunya The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and
the Public Should Expect, Kovach dan Rosenstiel menjelaskan obyektivitas
adalah keharusan jurnalis membangun metode pemeriksaan kebenaran atas
informasi yang diperolehnya secara konsisten (a transparant approach to
evidence). Kunci utama seorang jurnalis dalam menciptakan sebuah karya
informasi adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Disiplin verifikasi
dapat membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Jurnalis yang mengabaikan disiplin verifikasi dapat menghasilkan
informasi yang bias, keliru, manipulatif, dan bersifat subjektif. Jurnalis bisa
saja menggabungkan desas-desus, gosip dan berita infotainment karena ia
tidak mengetahui batas-batas sejauh mana konten yang selayaknya masuk
dalam pemberitaan seorang jurnalis. Padahal infotainment hanya terfokus
pada apa yang menarik perhatian publik, sedangkan jurnalis meliput
kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak. Pemilik
media dan pemangku kepentingan tertinggi dalam industri media dinilai
dapat memengaruhi objektivitas pemberitaan. Intervensi dapat dilakukan
oleh pemilik atau petinggi media kepada jurnalis atau wartawan dalam
peliputan dan pembuatan sebuah berita. Hal ini menyebabkan berita yang
dihasilkan tidak berdasarkan pada aspek akurasi, verifikasi dan
transparansi.
4. Ketiadaan independensi media
Pada prinsipnya, jurnalis harus bersikap independen terhadap orang-
orang yang mereka liput. semangat dan pikiran untuk bersikap independen
ini lebih penting dibanding netralitas. Jurnalis yang beropini juga tetap

27
harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan
verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi
berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang jurnalis. Independensi
juga harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang jurnalis.
Independensi tidak berarti netral. Sah saja bagi jurnalis untuk berpihak,
asalkan dilandasi kesetiaan pada kepentingan publik. Pada saat
menentukan mana berita yang akan disiarkan dari ratusan berita yang
masuk ke ruang redaksi, jurnalis sudah melakukan pemihakan dan
pemilahan. Ada yang diberitakan, ada juga yang tidak.
Pengalaman dan latar belakang kehidupan jurnalis pun bisa
mempengaruhi sudut pandang jurnalis, mulai dari agama, gender,
pendidikan dan status sosial ekonomi. Berita yang disajikan oleh jurnalis
bisa memihak pada elemen-elemen tersebut. Latar belakang etnik, agama,
ideologi, atau kelas ini menjadi bahan untuk mendikte jurnalis, bukan
sebagai informasi peliputan mereka. Publik seharusnya tidak mudah
percaya dengan berita yang dihasilkan oleh jurnalis berdasarkan
independensi yang tidak berlandaskan kriteria berita, serta penyajian berita
yang tidak memerhatikan Kode Etik Jurnalistik.
5. Penyelewengan kekuasaan media
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap
kekuasaan. Tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga
kuat di masyarakat. Lembaga-lembaga yang menamakan dirinya sebagai
lembaga publik atau lembaga yang bekerja untuk kepentingan publik.
Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu
bersuara sendiri. Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan
investigative reporting, yaitu sebuah jenis reportase di mana jurnalis
menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum,
yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang
sebelumnya dirahasiakan. Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah

28
kecenderungan media dalam mengambil sikap terhadap isu di mana mereka
melakukan investigasi.
Hasil investigasi bisa saja salah. Dampak yang timbul juga tak kecil.
Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita, tapi juga reputasi
media bersangkutan bisa tercemar serius. Oleh karena risiko ini, banyak
media besar yang tidak tuntas dalam melakukan investigasi. Mereka lebih
suka memperdagangkan labelnya saja tapi tidak benar-benar masuk ke
dalam investigasi. Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan
oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai
“mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan
juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan untuk memuaskan
hasrat audiens pada sensasi, daripada untuk benar-benar melayani
kepentingan umum.

6. Ketiadaan forum untuk kritik dan berpendapat


Salah satu tugas jurnalis adalah menangkap aspirasi publik. Dengan
demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangat penting, karena
melalui forum tersebut demokrasi ditegakkan. Apapun media yang
digunakan, jurnalis harus berfungsi menciptakan forum di mana publik
diingatkan pada masalah-masalah yang sangat penting, sehingga
mendorong publik untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Kovach
dan Rosenstiel mengatakan jurnalis harus menyediakan sebuah forum
untuk kritik dan kompromi publik, yang pada akhirnya akan menghasilkan
demokrasi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kejujuran,
fakta, dan verifikasi.
Jika jurnalis menghilangkan elemen keenam ini, publik kehilangan
tempat untuk menyampaikan aspirasinya, menyampaikan kritik bagi

29
kelangsungan dan kebijakan pemerintah, serta lembaga-lembaga publik
lainnya. Tidak adanya tempat bagi publik untuk berpendapat bisa
membahayakan kinerja pemerintah, karena pemerintah tidak mengetahui
apa yang sedang diinginkan atau tidak diinginkan masyarakat. Itu artinya
kesejahteraan masyarakat pun dapat terancam.
7. Pemberitaan kurang menarik dan tidak relevan
Penting bagi jurnalis untuk menemukan cara dalam membuat hal-hal
yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau
ditonton. Jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang
serius dan kurang serius dalam pemberitaan. Jurnalis harus memiliki tujuan
yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk
memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, serta memikat.
Ironisnya, menarik sekaligus relevan sering dianggap sebagai faktor
yang bertolakbelakang. Jurnalis beranggapan bahwa laporan yang menarik
merupakan laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh
selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan
membosankan. Kovach dan Rosenstiel menilai jurnalis semacam itu pada
dasarnya malas, bodoh, bias, dan tidak tahu bagaimana harus menyajikan
jurnalisme yang bermutu. Tak dapat dipungkiri, hal ini akan berdampak
pada pemberitaan oleh jurnalis yang mengarah pada infotainment dan
sensasionalisme.
8. Pergantian pedoman jurnalisme
Di era digital, jurnalis diharapkan menjadi ‘trusted guide’ yang
membantu publik memilah mana informasi yang benar diantara jutaan
informasi yang beredar di dunia maya. Banyak media mencari jalan pintas
dengan menggunakan media sosial sebagai bahan berita tanpa melakukan
verifikasi. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak surat kabar yang
menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensaional dan
penekanannya pada aspek yang emosional.

30
Prinsip “Lebih Cepat, Lebih Baik” jadi anutan. Akurasi dan
keberimbangan dikesampingkan. Kovach dan Rosenstiel mengatakan
jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta
navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis
juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan
komprehensif. Jika jurnalis tidak memenuhi semua Kode Etik Jurnalistik,
berita yang dihasilkan tidak akan proporsional dan komprehensif.
9. Suara nurani jurnalis terabaikan
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki
persepsi yang sama atas tujuan dari sebuah organisasi media atau pers.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang
sama. Meyakinkan direksi dan pemilik atas tujuan mulia karya jurnalistik
seringkali tidak mudah, tetapi harus diupayakan terus-menerus. Wartawan
televisi Bill Kurtis dari A&E Network mengatakan bahwa setiap individu
reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan
berdasarkan model itulah dia membangun karirnya. Ruang redaksi bukan
tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya
kecenderungan menciptakan kediktatoran.
Dengan adanya tekanan dari petinggi media, jurnalis tidak akan
mampu menuntaskan berita yang dibuatnya dengan mengikuti suara nurani
mereka. Jurnalis akan cenderung mengikuti perintah dan kemauan pemilik
media. Hal ini menyebabkan berita yang dibuat cenderung bersifat
paksaan.
10. Publik hanya sebagai konsumen
Di era digital, siapa saja bisa memproduksi konten informasi seperti
memproduksi berita. Publik bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media,
tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Internet menyediakan
platform atau ruang publik (public sphere) sehingga masyarakat juga bisa
menjadi produsen berita. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme

31
online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas
(community journalism) dan media alternatif. Publik dapat
menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan dengan demikian juga
mendorong perkembangan jurnalisme.
Bila jurnalis di masa depan tidak mengindahkan elemen ini, maka
publik terancam kembali menjadi konsumen pasif media. Publik hanya
menjadi orang yang disuguhkan berita terus-menerus, tanpa mampu
memberikan umpan balik, bahkan sampai menciptakan sebuah berita
tersendiri.

32
F. Survei dan Analisis
a. Analisis Hasil Survei

Menurut data diatas, dari 101 responden 65,3% dengan jenis kelamin perempuan.
Sedangkan laki-laki pada 34,7%.

Menurut data diatas, dari 101 responden 92,1% dengan usia dengan rentan usia
15-20 tahun. Sedangkan laki-laki pada 7,9%.

33
Responden menggunakan media konvensional untuk melihat berita sebanyak
62,4%, sedangkan 25,7% responden memilih media online mainstream untuk
melihat berita.

Menurut data diatas, 83,2% responden memilih media pada pertanyaan


sebelumnya karena praktis dan cepat, sedangkan alasannya sudah terpercaya
sebanyak 11,3%

34
Menurut data diatas, 69,3% responden mencari sebuah kebenaran informasi pada
media online mainstream

Menurut data diatas, 48,5% responden menggunakan media dari pertanyaan


diatas karena praktis dan cepat untuk mencari sebuah kebenaran sebuah
informasi. Sedangkan 28,7% memilih medianya karena kredibel

35
Melihat dari data diatas menunjukan bahwa 101 responden memposisikan
jurnalis di Indonesia berada di posisi ke-3 yang menandakan bahwa masyarakat
ragu atau netral dengan apa yang disebarkan oleh jurnalis, apakah berita yang
disebarkan merupakan sebuah kebenaran atau hal yang direncanakan untuk
kepentingan media tersebut atau sekelompok orang

Menurut 101 responden mengenai 10 elemen jurnalisme bahwa jurnalis bekerja


untuk kepentingan rakyat, tertinggi pada posisi ketiga dengan perolehan suara 41
responden. Hal itu menyatakan 40.6% responden masih ragu-ragu dengan berita

36
yang disampaikan jurnalis Indonesia apakah benar-benar berpihak kepada
kebenaran untuk rakyat atau ada kepentingan tertentu.

Menurut data diatas, Tiga puluh sembilan responden dari 101 responden percaya
tetapi tidak sepenuhnya bahwa esensi jurnalisme di Indonesia adalah disiplin
verifikasi.

Menurut data diatas, empat puluh satu responden dari 101 responden masih
mempercayai bahwa jurnalis di Indonesia dalam mencari informasi yang
diberitakan tetap mengutamakan independen dari pihak yang mereka liput.

37
Menurut data diatas, hasil responden bahwa peringkat pertama 46 orang dat 101
orang masih percaya walaupun tidak sepenuhnya bahwa jurnalis di Indonesia
harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan yang
didapatkannya.

Menurut data diatas, hasil responden mengenai sepuluh elemen jurnalisme poin
enam yaitu jurnalisme di Indonesia harus menyediakan forum bagi kritik maupun
komentar dari publik bahwa 44 responden masih percaya walaupun tidak percaya
sepenuhnya terhadap poin ke enam elemen jurnalisme tersebut.

38
Menurut data diatas, hasil responden mengenai pernyataan “Saya percaya bahwa
jurnalisme di Indonesia harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik
dan relevan digunakan oleh media Indonesia.” bahwa 37 responden percaya
bahwa jurnalis melakukan hal tersebut. Berbanding tipis dengan 36 responden
lainnya yang percaya tetapi tidak 100% .

39
Menurut data diatas, empat puluh dua dari 101 responden percaya walaupun tidak
sepenuhnya bahwa jurnalis di Indonesia masih harus menjaga agar beritanya
komprehensif dan proporsional.

Menurut data diatas, hasil dari pernyataan bahwa Jurnalis di Indonesia memiliki
kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka sebesar 37 responden dari 101
responden.

40
Menurut data diatas, dari 101 responden pernyataan 10 elemen jurnalisme poin
ke sepuluh dengan pernyataan bahwa keterlibatan warga pada proses produksi
konten jurnalis di Indonesia melalui interaksi di media digital adalah 49
responden menjawab percaya tetapi tidak sepenuhnya.

b. Kenapa 10 Elemen Jurnalisme perlu diketahui oleh seorang Public Relation


(Tujuan Media Relation untuk membantu Perusahaan):
i. Menjadikan media sebagai penghubung antara kepentingan
perusahaan (PR) dengan kepentingan stakeholders.
ii. Memberikan kredibilitas terhadap setiap info yang dirilis
perusahaan kepada masyarakat luas.
iii. Menyampaikan informasi berdasarkan prinsip efisiensi dan
efektivitas “Advertising Value Equivalency” yaitu apa yang kita
keluarkan selagi mengundang para wartawan untuk membangun
relasi yang baik dengan mereka, akan berbanding lebih rendah
dibanding keuntungan (favor) dari mereka seperti pengiklanan
lewat primetime, koran, dan lain halnya.
iv. Memposisikan perusahaan yang memiliki High Media Exposure
(lebih diekspos media) yang membuat kondisi lebih favourable
(menguntungkan) dibandingkan kompetitor.
v. Membangun kecenderungan media untuk membela perusahaan di
saat krisis.
c. Mengapa salah satu tugas seorang Public Relation harus mengingatkan
media mengenai 10 Elemen Jurnalisme?
. Akibat dari seorang Public Relation tidak saling mengingatkan media
1. Alasan media tidak dipercayai lagi.
a. Media Online
Akibat dari PR tidak saling mengingatkan media
online, karena konten yang disajikan dan dikemas oleh

41
seorang Public Relation kurang menarik dan benar
adanya sehingga media akan dianggap tidak credible.
Contohnya saja untuk memberitakan sebuah hal yang
baru saja terjadi, biasanya media online tidak
menerapkan kaidah-kaidah penulisan berita yang benar
(5W1H).
Selain itu media online tidak bisa dipungkiri media
pada zaman sekarang sangat menyukai topik yang
membuat orang penasaran untuk melihatnya dan tidak
semua masyarakat bisa menyaring mana yang baik dan
mana yang tidak, hal itu juga dipengaruhi oleh
berpengaruh kepada jumlah iklan yang dipasang di
website tersebut, yang merupakan sumber penghasilan,
sehingg kita tahu berapa banyak orang yang
mengunjungi website media tersebut, dari situlah calon
pengiklan akan mempertimbangkan hal tersebut sebelum
memasang iklan produknya di website tersebut. Makin
banyak orang yang mengunjungi website tersebut
semakin banyak peluang pengiklan yang mau pasang
iklan disitu. Sehingga semuanya akan berimbas kepada
perusahaan, yang bisa saja perusahaan itu kehilangan
kepercayaan karena isu-isu tersebut yang dianggap benar
oleh masyarakat.
b. Media Konvensional
seperti yang kita ketahui bahwa media
konvensional ini lebih kredibel dibandingkan dengan
media online karena media konvensional sendiri lebih
akurat. tetapi yang menjadi permasalahan sekarang ini
adalah media online lebih sering di kunjungi karena

42
konten yang diberikan lebih kreatif dan variatif.
pendapatan dari iklan baris (classified ads), yang
berpindah ke situs jual beri barang online (marketplace),
baik yang bersifat umum atau khusus untuk kategori
industri tertentu seperti properti dan otomotif serta iklan
lowongan kerja. Hilangnya pendapatan dari iklan baris
ini sangat berarti karena bagi banyak surat kabar, iklan
baris memberikan kontribusi pendapatan hingga 30
persen. Sehingga tantangan untuk seorang Public
Relation supaya menjaga media tetap bertahan adalah
selalu kreatif baik dari sisi konten maupun bisnis.
Caranya, dengan investasi pada pre-press dan percetakan
serta kreatif premium dan inovasi redaksi.
d. Bagaimana cara mengingatkannya?
Seorang Public Relation harus bisa memahami seluk-beluk media
yang menjadi partnernya tersebut sehingga dapat terhindar dari masalah.
Berikut adalah tips yang dapat digunakan untuk mengingatkan media :
1. Memahami dan melayani media
Dengan memahami dan mengetahui tentang pers, maka dapat
menciptakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
contohnya seperti melakukan konferensi pers yang digunakan untuk
mengumumkan, menjelaskan, mempertahankan atau
mempromosikan kebijaksanaan dengan maksud untuk mengukuhkan
pengertian dan penerimaan publik pada pihak pemrakarsa acara.
2. Membangun reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya
Harus siap menyediakan materi-materi yang akurat dimana
saja dan kapan saja hal yang dibutuhkan sehingga sumber informasi
nya akurat dan dapat dipercayai oleh jurnalisme.

43
3. Menyediakan salinan yang baik
Semua konten yang disajikan menarik sehingga dapat
menghasilkan naskah yang baik dan secara cepat. Contohnya
membuat press release yang singkat, padat dan jelas dengan
menyertakan gambar yang relevan sehingga memudahkan para
jurnalis untuk membuatnya dalam berita
4. Bekerjasama dalam penyediaan materi
Mempersiapkan wawancara dan pers bersama-sama.
Contohnya dapat bekerjasama dengan para jurnalis partner dapat
dalam mempersiapkan sebuah acara wawancara atau temu pers
dengan tokoh-tokoh tertentu.
5. Menyediakan fasilitas verifikasi
Memberikan kesempatan untuk melakukan verifikasi
(membuktikan kebenaran) kepada wartawan dengan cara melihat
langsung fasilitas dan kondisi suatu objek yang hendak di beritakan.
6. Membangun hubungan personal yang baik
Suatu hubungan personal yang kokoh dan positif hanya akan
tercipta serta terpelihara apabila dilandasi oleh sikap saling terbuka
atau adanya keterbukaan, kejujuran, kerjasama, dan sikap saling
menghormati profesi masing-masing. Contohnya :
a. Melakukan kunjungan kepada redaksi media,
b. Mengirimkan kalender atau agenda tahunan,
c. Mengucapkan selamat jika media massa berulang tahun,
d. Mengucapkan belasungkawa bila wartawannya dapat musibah,
e. Mengajak untuk makan malah untung mengetahui
perkembangan sektor bisnis dari sisi perspektif media,
f. Mengadakan pertandingan olahraga persahabatan,
g. Mengajak berpartisipasi dalam kegiatan lainnya.

44
DAFTAR PUSTAKA

Kovach, Bill, Tom Rosenstiel.2006. Sembilan Elemen Jurnalisme.Jakarta:Yayasan


Pantau
Kovach,Bill, Tom Rosenstiel.2001. The Elements of Journalism: What Newspeople
Should Know and the Public Should Expect
Ishwara, Luwi.2007. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta:Kompas
Yunus, Syarifudin.2015. Jurnalistik Terapan. Bogor: Ghalia Indonesia
www.andreasharsono.net
ejournal.iainkendari.ac.id

45

Anda mungkin juga menyukai