Anda di halaman 1dari 4

MIMETISME DAN ETIKA KOMUNIKASI

PADA PEMBERITAAN TELEVISI DI INDONESIA

Televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. (Nilsen Media
Research, 2004). Kehadiran televisi seolah-olah telah menjadi bagian dari anggota keluarga. Jika kita
amati dengan seksama, hampir setiap rumah di perkotaan hingga pelosok desa hampir dipastikan
memiliki pesawat televisi. Dominasi media televisi (TV) tersebut tidak terlepas karena masih lemahnya
budaya baca tulis masyarakat dibanding dengan budaya menonton. Selain itu media televisi dapat
dikatakan merupakan sarana hiburan yang relatif murah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sebagai media massa, televisi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan
masyarakat. Televisi dipandang sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam perubahan-perubahan
yang terjadi di masyarakat, baik itu di bidang sosial, ekonomi maupun politik. Dampak yang diberikan
oleh televisi kepada masyarakat sedemikian besarnya karena televisi dianggap memberikan dampak baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku dan pola fikir masyarakat.
Media memiliki idealisme, yaitu memberikan informasi yang benar. Dengan idealisme semacam
itu, media ingin berperan sebagai sarana pendidikan. Pemirsa, pembaca dan pendengar akan semakin
memiliki sikap kritis, kemandirian dan kedalaman berpikir. Hanya, realitas sering mempunyai arah yang
berlawanan. Derap langkah realitas sangat diwarnai oleh struktur pemaknaan ekonomi yang dirasakan
menghambat idealisme itu. Dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna
pesan dan keindahan. Logika pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak pimpinan
media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logika pasar itu. Seakan kompetensi
jurnalisme hanya merupakan faktor produksi yang fungsi pertamanya adalah menopang kepentingan
pasar. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media berada di bawah tekanan ekonomi persaingan
yang keras dan ketat. (Haryatmoko, 2007 : 9).
Hukum persaingan pula yang menuntut media untuk bisa menampilkan informasi terbaru dengan
tidak didahului oleh media lain. Harapannya, dengan mempertahankan aktualitas sebuah informasi yang
diberikan kepada masyarakat akan mendatangkan keuntungan ekonomi. Pragmatisme ekonomi memaksa
media mengadopsi logika waktu pendek. Akan tetapi, ternyata kecepatan memperoleh dan menampilkan
informasi belum cukup untuk menjamin posisi keberlangsungan suatu media. Untuk itu, media perlu
mempertegas kekhasannya dan memberikan presentasi yang menarik. Tuntutan inilah yang seringkali
menyeret media sehingga menampilkan hal-hal yang spektakuler dan sensasional, agar dapat menarik
perhatian masyarakat. (Haryatmoko, 2007 : 10). Televisi sudah sejak lama dianggap sebagai agen budaya
yang membawa kepentingan pasar. Informasi-informasi dibawa oleh televisi ke masyarakat, dianggap
sebagai sebuah budaya yang kemudian dipertukarkan dan diadopsi oleh masyarakat dimana dibelakang
informasi yang disampaikan tersebut ternyata digerakkan oleh komersialisme media. Media massa juga
dianggap membentuk opini, mempengaruhi, menggiring selera dan kecenderungan masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhannya. Media televisi juga memiliki kemampuan untuk memanipulasi, membohongi,
membius dan melarikan masyarakat dari kenyataan sehari-hari.
Di sisi lain televisi juga menjadi tumpuan harapan bagi pendewasaan masyarakatnya melalui peran
strategisnya sebagai pembimbing dan pendidik demi berkembangnya kualitas sumber daya manusia.
Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, karena tuntutan pragmatisme ekonomi, informasi ditempatkan
sebagai sebuah komoditi yang memiliki nilai jual. Desakan ekonomi begitu kuatnya sehingga media
seakan mengesampingkan aspek etisnya dan lebih mementingkan kepentingan ekonomi yang dalam hal
ini berarti mengutamakan kepentingan-kepentingan yang bermain di belakang media seperti pemegang
saham, ideologi dsb. Dalam cara pandang industri, informasi dianggap sebagai barang dagangan. Ciri ini
menjadi lebih dominan daripada misi utamanya, yaitu klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi
(Ignacio Ramonet, 2001: 10).
Sebagai contoh, banyak yang menilai pemberitaan di televisi dipengaruhi oleh kebijakan pemegang
saham dan kepentingan perusahaan serta orang-orang yang memiliki pengaruh terhadap media. MetroTV
yang merupakan perusahaan milik Surya Paloh begitu gencarnya memberitakan tentang Golkar dan
Nasional Demokrat. Karena pengaruh kepentingan-kepentingan dibelakang media itulah, maka
independensi sebuah media menjadi sebuah pertanyaan besar. Benarkah ia independen? Karena tidak
dapat dipungkiri, sebuah media memerlukan dana untuk terus bertahan dan masih harus
mempertanggungjawabkan kepada perusahaan. Belum lagi sebuah pemberitaan sebelum disebarluaskan
kepada masyarakat haruslah melalui proses editing dan persetujuan editor yang sangat tergantung pada
ideologi yang dianutnya atau sudut pandang sang editor.
Mimetisme dalam buku Haryatmoko tentang etika komunikasi adalah “Gairah yang tiba-tiba
menghinggapi media dan mendorongnya seperti sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian, karena
media lain menganggapnya penting”. (Haryatmoko, 2007 : 22). Ikut-ikutan semacam ini pada akhirnya
akan sampai pada keyakinan bahwa semakin banyak media memberitakan akan suatu hal secara kolektif
maka dianggap hal itu penting. Sementara media membiarkan diri untuk selalu membangkitkan
keingintahuan pemirsanya dengan menawarkan untuk memberikan informasi secara lebih.
Dalam penyebaran pemberitaan atau informasi, televisi seringkali secara serempak bahkan
berlomba-lomba menyiarkan, mengadakan peliputan terhadap suatu berita yang dianggap spektakuler dan
dapat menarik perhatian masyarakat. Sebagai contoh, pada kasus century yang terjadi beberapa waktu
lalu, semua stasiun televisi menyiarkan berita perkembangan kasus tersebut. Bahkan ada yang secara 24
jam menyiarkan secara langsung perkembangan kasus tersebut dari gedung DPR RI. Begitu pula pada
kasus-kasus yang menimpa KPK, seperti kasus Antasari dan Bibit-Chandra, semua pemberitaan televisi
menayangkan kelanjutan kasus tersebut.
Pemberitaan yang relatif baru dan masih menjadi pembicaraan hangat di stasiun-stasiun televisi
adalah mengenai penyerangan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap relawan yang membawa
bantuan kemanusiaan bagi rakyat palestina yang berdomisili di jalur Gaza, jalur yang selama puluhan
tahun menjadi pusat sengketa antara Israel dan Palestina, di perairan internasional. Kecepatan media
menyebarkan informasi kepada masyarakat memang patut diacungi jempol, akan tetapi dikarenakan
penggunaan logika waktu pendek dan desakan ekonomi, terkadang media televisi pun dapat melakukan
kelalaian. Seperti misalkan pemberitaan makelar kasus yang terjadi pada TVone, entah karena kurangnya
konfirmasi atau kesalahan prosedur, mereka merasa kecolongan ketika menghadirkan seorang makelar
kasus yang setelahnya ternyata diragukan kebenaran profesinya sebagai makelar kasus.
Logika waktu pendek pula yang membuat pemberitaan di media seakan sangat cepat berganti.
Belum selesai pemberitaan akan sebuah kasus, ketika muncul kasus baru yang dirasa dapat menarik
perhatian masyarakat maka seluruh media seakan berlomba meliputnya dan meninggalkan peliputan
kasus sebelumnya. Ketika media massa berada dalam konteks sosial dan dikonsumsi oleh khalayak maka
pada saat itu media massa berhadapan dengan masalah etika. Etika dan nilai membimbing individu atau
kelompok pelaku komunikasi atas seluruh pilihan, sikap dan tindakan yang dianggap perlu dalam proses
komunikasi itu. Mana tindakan yang baik, mana tindakan yang buruk, dan itulah point utama dari
masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media massa pada dasarnya tidak bebas nilai.
(Wuryanta, 2007). Untuk lebih mengenal etika media, sekurang kurangnya setiap informasi harus
mempunyai empat unsur, yakni mendidik, memberdayakan, memberi pencerahan serta mempunyai rasa
nasionalisme, yakni cinta terhadap bangsa sendiri. Dan karenanya tayangan yang ditampilkan oleh media
harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk itu setiap media diharapkan tidak hanya
mementingkan faktor bisnis semata, tetapi juga tanggung jawab sosialnya.
Di Indonesia sendiri terdapat undang-undang yang menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat
bagi media massa dan pers. Meski demikian, undang-undang yang bernilai hukum dan mengikat tersebut
memiliki celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku pers yang tidak bertanggung jawab.
Untuk itulah asosiasi pers yang ada di Indonesia membuat self regulation yang berisikan etika-etika
dalam melakukan kegiatan pers. Etika pers yang dikeluarkan oleh Dewan Pers tersebut dibuat dan
dilaksanakan sendiri oleh seluruh anggota yang tergabung dalam Dewan Pers. Meski demikian, hukuman
bagi pelanggaran etika tersebut tidak bernilai hukum. Sanksi yang diberikan lebih merupakan sanksi yang
bernilai sosial, misalnya dengan penurunan kepercayaan terhadap berita yang dibuat oleh individu
pelanggar etika tersebut. Etika yang menjadi bagian dan diatur dalam self regulation tersebut tertuang
dalam Kode Etik Jurnalisme. Dengan adanya kode etik tersebut, profesi pers di Indonesia dapat semakin
bertanggung jawab dan profesional dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu isu yang diatur dalam kode
etik tersebut adalah permasalahan privasi masyarakat. Pers Indonesia mengatur etika pers untuk tidak
melakukan pelanggaran terhadap privasi individu yang tentunya dapat merugikan pihak lain tersebut.
Selain itu, kode etik tersebut juga berusaha menciptakan pers yang memiliki berita akurat, tidak berpihak,
dan tidak menyudutkan suatu pihak.
Referensi :
Haryatmoko, Dr. 2007. Etika Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Anda mungkin juga menyukai