BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi Indonesia tidak menimbulkan perubahan perilaku politik
tetapi sebaliknya memunculkan sikap acuh politik yang mengabaikan sisi-
sisi moral politik. Agama yang seharusnya menjadi landasan etik politik
lebih banyak ditampilkan secara simbolik. Politisi akhirnya menjadi
demagog, menaburkan nilai-nilai agama yang tidak diamalkan. Sikap
seperti ini pada ujungnya menimbulkan kefrustasian sosial dan
menyemai kekerasan atas nama agama. Hal ini disebabkan oleh anggapan
kelompok radikal bahwa para penguasa telah melecehkan agama dan
layak dijatuhkan dalam cara apapun. Walhasil potret demokrasi
menghasilkan kekerasan akibat tampilan politisi dan jawaban singkat
yang diberikan kelompok radikal. Dengan demikian, sistem demokrasi
Indonesia menjadi rusak dan perlu penataan ulang.
Kekerasan agama selama berabad-abad merupakan kejahatan terburuk
yang telah mengisi peradaban manusia. Sesuatu yang paradoks, karena
agama mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi agama juga bertanggung jawab
terhadap terjadinya kerusakan di muka bumi ini. Kekerasan dan agama
adalah dua kata yang memiliki arti yang sangat berbeda. Agama merujuk
pada suatu ajaran yang tidak kacau balau. Dalam hal ini menjunjung tinggi
kesejahteraan hidup para penganutnya, dan lebih dekat dengan perdamaian
serta keadilan. Sementara itu kekerasan merupakan tindakan yang dapat
memecah tali persaudaraan dan persahabatan antar sesama manusia, dan
tentunya ini dapat mengganggu ketentraman masyarakat pada umumnya.
Apakah demi menciptakan perdamaian dan menegakkan kebenaran harus
1
melalui tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama terlebih dahulu?
Tentunya ini tidak sesuai dengan ajaran agama. Perdamaian akan tercipta
tanpa adanya tindak kekerasan di muka bumi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk kekerasan atas nama agama bisa terjadi dalam
lingkup orang-orang beragama?
2. Bagaiamana dasar yang digunakan dalam melakukan kekerasan yang
mengatas namakan agama?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari tindak kekerasan serta
solusi yang bisa meminimalisir tindak kekerasan yang mengatas
namakan agama?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Kita seringkali mengidentifikasi kasus-kasus yang tersebut di atas sebagai
konflik agama murni.Namun penilaian kita kurang memberikan kepastian karena
kita tidak terlibat dalam kasus kasus tersebut.Kita kurang menggali akar-akar
masalah yang dihadapi masyarakat sehingga mengarahakan mereka kepada tindak
kekerasan.
Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ketentuan pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan negara berdasar atas ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, mengandung makna bahwa negara berkewajiban
membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan
bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disamping
itu, negara berkewajiban membuat peraturan perundangundangan yang melarang
siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaranagama.
4
Serangan di gereja St Lidwina, Yogyakarta: Pelaku 'asal Banyuwangi'
berhasil dilumpuhkan.
Aksi sosial gereja dituding upaya kristenisasi, bupati Bantul 'akan cegah'
intoleransi.
"Tadi dari Kapolres sudah memberikan pengawalan bahwa nanti di setiap
misa di gereja Bedog akan ditempatkan aparat keamanan bersenjata," imbuhnya.
Pengamat intelijen yang sedang menempuh studi doktoral di Universitas
Indonesia, Stanislaus Riyanta menuturkan pembiaran atas kasus-kasus yang
terjadi selama ini, dan penanganan kasus yang cenderung tidak tuntas, justru
memberikan angin segar bagi kelompok intoleran dan radikal untuk semakin
bersemangat melakukan aksinya. "Ketidaktegasan itu justru akan menyuburkan
sikap-sikap intoleran dan aksi teror, menjadi angin segar bagi mereka," kata dia.
Pengajar Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Samsul
Maarif, menuturkan insiden intoleransi termutakhir "berkontribusi pada semakin
mengentalnya intoleransi".
Selain pastor yang memimpin misa, dua orang jemaah yang sedang
mengikuti misa terluka akibat sabetan pedang pelaku. Seorang anggota Polri yang
menangani kejadian tersebut juga mengalami luka di tangan sebelum berhasil
melumpuhkan pelaku.
Analisis Demagogi
Pencitraan dibuat sesuai dengan aturan demagogi, yaitu menyesuaikan diri
dengan yang diharapkan atau ingin didengar pemirsa. Realitas dikesampingkan
untuk mempermainkan perasaan dan pikiran pendengarnya.
Aktor dalam hal ini disebut dengan demagog, yaitu orang yang
meminjamkan suaranya kepada rakyat. Ia adalah prototipe perayu massa. Orang
yang berkecimpung dalam dunia politik (politikus) cenderung menjadi demagog.
Ia bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang paling membingungkan dengan
menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Ia bisa menunjukkan
berbagai peran sehingga membuat tindakannya efektif di dalam situasi yang
beragam. Demagog akan meyakinkan kepada pendengarnya bahwa ia berpikir dan
merasakan seperti apa yang mereka rasakan. Ia tidak akan menegaskan pendapat
pribadinya, tetapi pernyataannya mengalir bersama dengan pendapat
5
pendengarnya. Oleh karena itu, demagogi mengandaikan kelenturan wacana.
Kelenturan ini dibangun melalui khazanah politik yang ambigu supaya kata yang
sama bisa ditafsirkan sesuai dengan harapan pendengarnya.
1. Demagogi sangat efektif untuk menggalang dukungan politik dari
khalayak karena demagogi mempunyai mekanisme yang khas, antara
lain: Seorang demagogue selalu mencari kambing hitam atas segala
masalah, sehingga kebencian terhadap suatu kelompok tertentu
ditumbuhkan, dipelihara bahkan diperdahsyat identitasnya;
2. Argumen yang menjadi senjata dalam demagogi biasanya ad hominem
(menyerang pribadi orang) dan argumen kepemilikan kelas yang penuh
kebencian.
3. Seorang demagogue lihai membuat skematisasi dengan
menyederhanakan gagasan atau pemikiran agar bisa memiliki efektivitas
sosial sehingga menjadi sebuah opini dan keyakinan. Demagogi inilah
yang kemudian memunculkan wacana kebencian terhadap pihak-pihak
tertentu.
Kebencian dapat menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan. Munculnya
kebencian masyarakat terhadap kelompok atau golongan tertentu akan
mengakibatkan munculnya kekerasan massal. Yang bermain kemudian bukan lagi
moral bagi orang yang membenci golongan tertentu, melainkan egoisme
kelompok maupun pribadi yang diliputi rasa dendam dan penuh kebencian.
Kesimpulan
Tindakan kekerasan dan brutalisme kepada kemanusiaan atas nama Tuhan
dan agama sejatinya adalah bentuk pelecehan atas Tuhan dan agama itu sendiri.
Mayoritas konflik dan kekerasan yang terjadi selalu melibatkan agama yang
menjadi sumber legitimasi kekerasan dan menjadikan agama sebagai motif dasar
permusuhan dan perpecahan. Padahal sejatinya agama adalah sarana membimbing
dan membina manusia untuk lebih dekat dengan Maha Pencipta dan menuntun
manusia dalam merangkai kehidupan yang tenang, damai dan bahagia.