Anda di halaman 1dari 9

Empat Paradigma Penelitian Komunikasi (Chapter 1)

Penelitian sejatinya merupakan sebuah sarana untuk memperkaya dan memperluas


struktur bangunan sebuah ilmu pengetahuan. Ya, tentu saja dalam upaya pengembangan
ilmu pengetahuan ini kita tidak boleh melupakan landasan ilmu pengetahuan yang sudah
sebelumnya dibangun oleh filsafat ilmu. Tidak semua topik, tema ataupun bentuk sains
dapat dijadikan sebagai sebuah ilmu. Setidaknya ada empat syarat sebuah ilmu, yaitu (1)
objektif, (2) metodis, (3) sistematis dan (4) universal. Syarat kedua memberikan celah
bagi pengembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian. Dan komunikasi sudah
memenuhi keempat syarat tersebut sehingga layak disebut sebagai Ilmu.
Dalam penelitian ilmu komunikasi terdapat empat paradigma yang memayungi,
yaitu (1) Positivisme, (2) Post-Positivisme, (3) Konstruktivisme dan (4) Kritis. Keempat
paradigma tersebut tentu saja memandang komunikasi dari sudut pandang yang berbeda.
Maklum saja, namanya juga paradigma yang Ritzer (2005) sebut sebagai sebuah landasan
awal subjek dalam sebuah ilmu. Lebih lanjut lagi, Ritzer (2005) menyebutkan bahwa
paradigma haruslah memuat empat komponen, yaitu (1) Apa yang harus dipelajari, (2)
Pertanyaan apa yang harus dilontarkan, (3) Bagaimana pertanyaan tersebut dilontarkan,
dan (4) Peraturan apa saja yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang
akan muncul.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas panjang lebar mengenai definisi
paradigma karena sudah banyak literatur yang membahas paradigma. Topik yang akan
coba saya kupas disini adalah empat paradigma dalam komunikasi, namun
pembahasannya lebih difokuskan pada bagaimana keempat paradigma tersebut
memayungi penelitian komunikasi.
Menurut paradigma positivisme, komunikasi merupakan sebuah proses linier atau
proses sebab akibat yang mencerminkan upaya pengirim pesan untuk mengubah
pengetahuan penerima pesan yang pasif (Ardianto, 2009). Paradigma ini memandang
proses komunikasi ditentukan oleh pengirim (source-oriented). Berhasil atau tidaknya

sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh pengirim dalam
mengemas pesan, menarik perhatian penerima ataupun mempelajari sifat dan karakteristik
penerima untuk menentukan strategi penyampaian pesan.
Banyak model komunikasi linier yang dapat kita temukan. Misalnya saja Model
Komunikasi Matematik dari Shanon dan Weaver, Model Komunikasi Retorik karya
Aristoteles ataupun Model Who Says What to Whom In Which Channel With What Effect
yang cukup terkenal, yang dilahirkan oleh Harold Lasswell. Kesemua model ini
menggambarkan komunikasi sebagai proses pengiriman pesan. Istilah Transmission of
Messages yang dicetuskan oleh John Fiske juga dapat digolongkan dalam paradigma ini.
Lalu apa implikasinya pada penelitian komunikasi? Sabar, sebelum masuk ke ranah
penelitian ada baiknya saya gambarkan dulu sedikit penjelasan paradigma ini dalam
memandang realitas yang nantinya juga akan disisipkan pada penjelasan masing-masing
paradigma. Positivist memandang realitas dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan
mekanisme yang tidak dapat diubah (Denzin dan Lincoln, 2009). Hukum jika maka
memainkan peran yang sangat sentral. Jika air dipanaskan maka akan mendidih, jika air
diberi garam maka akan terasa asin, jika anak diberi tontotan kekerasan maka dia akan
meniru adegan tersebut, jika seseorang menonton iklan maka dia akan membeli produk
yang diiklankan dan jika maka yang lain.
Prinsip jika maka tersebut mengindikasikan ciri positivisme yang lain, yaitu alam
dan kehidupan bukan lagi dipahami sebagai hasil campur tangan yang ilahiah atau
berdasar prinsip-prinsip spekulasi, melainkan sebagai sesuatu yang pasti, nyata dan
berguna (Ardianto, 2009). Dan inilah yang banyak mewarnai karakteristik penelitian di
bidang positivisme. Jarak antara peneliti dan objek penelitian merupakan ciri khas yang
melekat pada penelitian di bidang ini. Keterpisahan keduanya merupakan jaminan akan
objektivitas hasil penelitian. Dan penelitian pada mazhab ini dikenal dengan nama
kuantitatif.
Misalnya saja ketika ada penelitian berjudul pengaruh strategi penokohan pada
iklan sepeda motor terhadap minat beli masyarakat. Strategi penokohan yang dimaksud
merupakan keterlibatan tokoh-tokoh sepeda motor kelas dunia yang menjadi brand

ambassador produk sepeda motor. Honda dan Yamaha menggunakan strategi ini pada
tahun 2010 - 2011 kemarin. Yamaha menunjuk Valentino Rossi sebagai duta produk.
Rossi muncul dalam iklan produk Yamaha Jupiter MX dan Casey Stoner menjadi bintang
iklan Honda CBR 250R. Keduanya merupakan pembalap MotoGP yang merupakan ajang
balap sepeda motor dengan kasta tertinggi. Rossi berkali kali menjadi juara dunia, dan
kiprah Stoner di MotoGP pun sangat mengagumkan. Peneliti tertarik untuk mengetahui
pengaruh strategi tersebut terhadap minat beli masyarakat.
Pada saat meneliti, kuesioner merupakan senjata utama dalam pengumpulan data.
Pada saat mengisi kuesioner, diasumsikan, responden mengisi sesuai dengan apa yang
mereka yakini. Misalnya saja, pada saat muncul pertanyaan Setelah menyaksikan iklan
Yamaha Jupiter MX yang dibintangi Valentino Rossi, muncul ketertarikan untuk membeli
produk tersebut, dan responden memilih jawaban Ya. Jawaban tersebut, dan puluhan
jawaban lainnya merupakan hasil pilihan responden tanpa ada campur tangan peneliti.
Kesemua jawaban responden merupakan data yang akan diolah dan melahirkan hasil
penelitian. Hasil penelitian dapat berupa pernyataan Strategi penokohan berpengaruh
besar terhadap minat beli masyarakat.
Hasil penelitian tersebut dipercaya bersifat objektif, bebas nilai. Nilai-nilai yang
melekat pada diri peneliti tidak ikut campur dalam proses kelahiran hasil penelitian. Apa
yang menjadi hasil penelitian merupakan hasil murni pengolahan data yang didapat dari
pernyataan responden, tanpa paksaan. Menyikapi objektivitas ini, ada pernyataan Denzin
dan Lincoln (2009) yang saya suka, suara ilmuwan positisme ( dan post-positivisme)
adalah suara ilmuwan tak memihak yang memberi masukan bagi para pengambil
keputusan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan.
Menjelaskan, yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan
mengendalikan fenomena (Denzin dan Lincoln, 2009) merupakan tujuan penelitian
positivisme. Ilmuwan diposisikan sebagai ahli yang dapat melakukan analisa terhadap
proses komunikasi yang sedang berlangsung. Ingat, pada mazhab ini komunikasi
dipandang sebagai sesuatu yang linier dan mekanistis. Ada permulaan, proses kemudian

akhir. Dan penelitian dilakukan untuk menganalisa apakah proses tersebut sudah berjalan
ideal. Jika tidak, akan ketahuan dimana letak permasalahan dan perbaiki.
Paradigma kedua, post-positivisme, tidak jauh berbeda dengan positivisme yaitu
penelitian bertujuan menjelaskan, prediksi dan kontrol, bebas nilai dan ilmuwan yang
tidak berpihak. Hanya saja terjadi perdebatan pada sifat ilmu pengetahuan. Pada
positivisme berlaku aturan verifikasi, yang berarti bahwa dimanapun dan kapanpun teori
tersebut diuji maka hasilnya akan sama. Oleh karena itu, penelitian positivisme juga
disebut sebagai penelitian yang menguji teori dan seringkali teori tidak dapat dibantah
kesahihan atau kebenarannya. Kalaupun ada penelitian dengan topik dan teori yang sama,
maka penelitian kedua hanyalah bersifat verifikasi.
Namun, pada post-positivisme yang berlaku bukan verifikasi melainkan falsifikasi.
Sebuah pengetahuan merupakan terdiri atas berbagai hipotesis yang dapat digugurkan dan
dapat dipandang sebagai fakta atau hukum yang mungkin (Denzin dan Lincoln, 2009).
Sebuah teori diasumsikan sebagai sesuatu yang salah, dan kemudian dilakukan penelitian
berulang kali untuk membuktikan ketahanan teori tersebut. Teori yang benar-benar
kuatlah yang terselamatkan. Maka tak heran muncul teori-teori tandingan yang lahir dari
penelitian mazhab ini. Misalnya teori yang menganggap audiens pasif (agenda setting,
SOR dan Bullet theory) harus mendapat pesaing seperti teori Uses and Gratification.
Bahan Bacaan:
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage
Publication

Empat Paradigma Penelitian Komunikasi (Chapter 2)

Paradigma yang ketiga, konstruktivisme, merupakan paradigma yang toleran,


longgar serta tidak terlalu mementingkan tahap penelitian. Paradigma ini melahirkan
metode penelitian kualitatif yang memiliki sifat berbeda sangat berbeda- dengan
kuantitatif. Realitass memiliki sifat relatif, yang merupakan hasil dari konstruksi mental
yang bermacam-macam dan tak dapat diindra (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitass
dibentuk oleh pengalaman dan konstruksi sosial yang berlaku. Selain itu, realitass juga
berciri lokal dan spesifik dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia atau kelompok
sosial yang memiliki konstruksi tersebut. Tidak ada unsur generalisasi dalam penciptaan
realitass. Dan muncul istilah realitass majemuk yang merupakan simplifikasi dari
banyaknya jumlah realitass yang tercipta.
Bagi kaum konstruktivis, semesta merupakan suatu konstruksi, artinya bahwa
semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara
sosial (Ardianto, 2009). Manusia merupakan tokoh sentral dalam proses komunikasi.
Mirip dengan paradigma sebelumnya? Tentu tidak, disini komunikasi tidak bergantung
pada pengirim melainkan penerima (recipient-oriented). Ketika penerima memahami
pesan yang disampaikan dan mengonstruksi pesan tersebut sesuai dengan rujukan yang
dimiliki, maka terjadilah proses komunikasi. Seorang bayi yang belum mengerti
ketatabahasaan, apalagi mempelajari voice akan menangis ketika mendengar ibunya
berbicara dengan nada tinggi sembari melotot. Apa yang ibunya lakukan, ditafsirkan
sebagai ekspresi marah oleh bayi tersebut yang dilanjutkan dengan tangisan sebagai
umpan balik. Penafsiran ucapan dan mimik muka oleh bayi merupakan proses komunikasi
yang kemudian dikenal dengan penciptaan makna.
Sebagai

payung

dari

sebuah

penelitian,

karakteristik

realitass

majemuk

menyebabkan tidak berlakunya generalisasi seperti pada dua paradigma sebelumnya.


Aroma penelitian pun berbeda dengan kuantitatif. Tidak lagi membahas pengaruh,
korelasi atau hubungan sebab akibat lainnya tetapi lebih kepada memahami dan
merekonstruksi berbagai konstruksi yang sebelumnya sudah ada. Penelitian kualitatif
tidak harus membahas suatu permasalahan yang kemudian diharapkan lahir solusi untuk

perbaikan proses komunikasi. Berbagai realitass yang jumlahnya banyak dan tersebar
kemudian dipelajari untuk dipahami.
Dalam memahami isu atau fenomena yang akan diteliti, nilai-nilai yang ada dalam
diri peneliti pun diperbolehkan ikut campur dalam mewarnai hasil penelitian. Ya, tentu
saja hal itu pasti terjadi. Dalam penelitian konstruktivis, peneliti merupakan instrumen
utama. Kuesioner yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan sebagai senjata utama,
hanya menjadi alat bantu pada saat dibutuhkan- atau bahkan tidak dibutuhkan sama
sekali.
Misalnya saja penelitian berjudul konsep diri anggota komunitas Punk sebagai
identitas di kalangan masyarakat Kota Cirebon atau model komunikasi antarbudaya
mahasiswa Cina di President University. Tidak ada permasalahan yang ingin dikupas
pada penelitian tersebut. Konsep diri ataupun model komunikasi antarbudaya bukanlah
sebuah permasalahan yang harus dipecahkan. Kedua hal tersebut hanyalah realitass yang
tercipta sebagai hasil dari konstruksi sosial di kedua dunia tesebut komunitas punk dan
kehidupan mahasiswa Cina di President University-. Dan jangan pernah coba untuk
mengeneralisasikan hasil penelitian tersebut.
Langkah penelitian yang dilakukan yaitu mengumpulkan berbagai realitass dan
mengkategorikannya sesuai dengan kerangka penelitian. Peneliti tidak lagi diposisikan
sebagai ahli, tapi sebagai partisipan yang penuh empati/semangat yang secara aktif
terlibat dalam upaya mempermudah rekonstruksi (Denzin dan Lincoln, 2009).
Kembali pada peran nilai. Penelitian konstruktivisme sarat dengan niai. Sebagai
instrumen utama dalam penelitian, peneliti berhak menentukan siapa yang akan menjadi
responden atau bisa juga disebut dengan informan- serta menentukan kerangka, konsep
atau teori yang digunakan. Tidak seperti mekanisme pemilihan responden (sampling)
dalam kuantitatif, pemilihan responden dalam kualitatif tidak merujuk pada satu rumus
sampling tertentu. Dua metode sampling yang bisa digunakan adalah purposive dan
snowball sampling. Peneliti menentukan sendiri siapa saja sekaligus jumlah orang yang
akan menjadi penyedia informasi.

Karakteristik selanjutnya adalah Hermeneutis dan Dialektis, yang merupakan sifat


variabel dan personal dari konstruksi sosial yang menunjukkan bahwa konstruksi individu
hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara peneliti
dengan responden (Denzin dan Lincoln, 2009). Peleburan diri peneliti ke dalam dunia
objek penelitian dirasa perlu untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi, atau
bagaimana konsensus yang merupakan gabungan dari realitass individu terbentuk. Peneliti
harus dapat merasakan atmosfir yang meliputi dunia objek penelitian. Dari peleburan diri
tersebut, peneliti kemudian dapat memahami setting pengalaman yang sedang terjadi. Tak
ayal, metode observasi dan wawancara pun menjadi senjata andalan dalam teknik
pengumpulan data.
Aroma Hermeneutis mewarnai laporan penelitian. Subjektivisme yang merupakan
ciri khas paradigma konstruktivisme memberi keleluasaan bagi peneliti untuk
mendeskripsikan pemahaman peneliti akan potret realitas yang menjadi objek penelitian.
Realitass yang sejatinya merupakan bahan dasar penelitian, diramu menjadi laporan
menarik berdasarkan penafsiran peneliti.
Lalu bagaimana dengan paradigma kritis? Sesuai dengan namanya, ajaran utama
yang terkandung dalam paradigma ini ya kritik. Selalu mempertanyakan situasi yang
sedang berlangsung. Peneliti dalam paradigma ini pun dinobatkan oleh Denzin dan
Lincoln (2009) sebagai intelektual transformatif. Ilmuwan yang selalu menjelaskan bahwa
realitas yang sedang kita jalani ini sebenarnya hanyalah realitas semu. Realitas yang kita
anggap sebagai kehidupan yang biasa saja, merupakan ciptaan beberapa orang saja.
Ada empat kata kunci dalam paradigma in, yaitu (1) Kritik terhadap dominasi, (2)
Ideology, (3) Hegemony dan (4) Transformasi Sosial. Dominasi dianggap sesuatu yang
sangat mengganggu dan harus dilawan. Bentuk nyata dari dominasi dapat dilihat dari
penggunaan bahasa, kode, simbol yang mengagunggkan kelompok tertentu, sehingga
muncullah kelompok-kelompok termarjinalkan. Salah satu contoh penelitian ini adalah
paham feminis yang selalu mempertanyakan peran-peran perempuan yang seringkali
tidak dihormati, terutama sekali pada media massa.

Perempuan cantik selalu digambarkan sebagai insan yang berkulit putih bersih,
bertubuh langsing, tanpa keriput, tanpa jerawat dan harus menampilkan sebanyak
mungkin anggota tubuh mereka untuk memberi tahu dunia bahwa mereka cantik. Realitas
cantik tersebut dianggap oleh audiens media sebagai sesuatu yang nyata dan seringkali
ditemui banyak wanita yang antri di dokter kulit, setia mengkonsumsi obat pelangsing,
panik ketika satu jerawat muncul. Definisi cantik yang bersifat diskriminatif ini seringkali
dipertanyakan oleh para peneliti. Mengapa harus kulit putih? Mengapa harus tanpa
keriput? Siapa yang merumuskan formula cantik ini? Apakah ada motif tertentu dibalik
konstruksi cantik tersebut? Dan lain sebagainya. Konstruksi makna cantik tersebut
dianggap telah meremehkan wanita golongan tertentu dan mereka harus disadarkan agar
tidak terlalu lama terjebak pada realitas palsu.
Banyak ilmuwan paradigma kritis beranggapan dominasi yang dilakukan tersebut
berlandaskan pada ideologi kelompok tertentu. Ideologi tersebut dipaksakan dengan
media massa sebagai means of production bagi kelas penguasa (ruling class). Yup,
paradigma kritis ini memang mengangkat pamor para konglomerat terutama yang
memiliki media massa- dan menitikberatkan nilai-nilai mereka kedalam pesan-pesan
media. Hegemony istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci- merupakan landasan
bagi paradigma ini untuk melangkah. Dominasi satu kelas (ruling class) terhadap kelas
lain merupakan situasi yang kerap kali dikritik.
Realitas merupakan realisme historis (Denzin dan Lincoln, 2009). Sebuah realitas
bisa dipahami pernah suatu ketika lentur, namun, dari waktu ke waktu dibentuk oleh
serangkaian faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender yang kemudian
mengkristal ke dalam serangkaian struktur yang saat ini (secara tidak tepat) dipandang
sebagai yang nyata (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitas inilah yang kemudian menjadi
objek penelitian paradigma kritis.
Dunia, menurut paradigma kritis, merupakan kumpulan dari dua pandangan yang
berbeda. Peneliti dipandang sebagai sekumpulan orang-orang yang sadar adanya realitas
palsu. Pesan-pesan komunikasi yang orang lain anggap sebagai pesan murni, dipandang
sebagai pesan-pesan yang bermuatan nilai-nilai yang bertujuan mengarahkan audiens pada

pola pikir yang diinginkan oleh komunikator. Dan audiens merupakan sekumpulan orangorang yang penuh dengan kesalahpahaman serta ketidaktahuan. Mereka selalu
beranggapan bahwa apa yang mereka terima (-pesan) bebas nilai. Tidak ada kesadaran
bahwa pikiran mereka digiring ke arah tertentu.

Bahan Bacaan:
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage
Publication

Anda mungkin juga menyukai