sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh pengirim dalam
mengemas pesan, menarik perhatian penerima ataupun mempelajari sifat dan karakteristik
penerima untuk menentukan strategi penyampaian pesan.
Banyak model komunikasi linier yang dapat kita temukan. Misalnya saja Model
Komunikasi Matematik dari Shanon dan Weaver, Model Komunikasi Retorik karya
Aristoteles ataupun Model Who Says What to Whom In Which Channel With What Effect
yang cukup terkenal, yang dilahirkan oleh Harold Lasswell. Kesemua model ini
menggambarkan komunikasi sebagai proses pengiriman pesan. Istilah Transmission of
Messages yang dicetuskan oleh John Fiske juga dapat digolongkan dalam paradigma ini.
Lalu apa implikasinya pada penelitian komunikasi? Sabar, sebelum masuk ke ranah
penelitian ada baiknya saya gambarkan dulu sedikit penjelasan paradigma ini dalam
memandang realitas yang nantinya juga akan disisipkan pada penjelasan masing-masing
paradigma. Positivist memandang realitas dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan
mekanisme yang tidak dapat diubah (Denzin dan Lincoln, 2009). Hukum jika maka
memainkan peran yang sangat sentral. Jika air dipanaskan maka akan mendidih, jika air
diberi garam maka akan terasa asin, jika anak diberi tontotan kekerasan maka dia akan
meniru adegan tersebut, jika seseorang menonton iklan maka dia akan membeli produk
yang diiklankan dan jika maka yang lain.
Prinsip jika maka tersebut mengindikasikan ciri positivisme yang lain, yaitu alam
dan kehidupan bukan lagi dipahami sebagai hasil campur tangan yang ilahiah atau
berdasar prinsip-prinsip spekulasi, melainkan sebagai sesuatu yang pasti, nyata dan
berguna (Ardianto, 2009). Dan inilah yang banyak mewarnai karakteristik penelitian di
bidang positivisme. Jarak antara peneliti dan objek penelitian merupakan ciri khas yang
melekat pada penelitian di bidang ini. Keterpisahan keduanya merupakan jaminan akan
objektivitas hasil penelitian. Dan penelitian pada mazhab ini dikenal dengan nama
kuantitatif.
Misalnya saja ketika ada penelitian berjudul pengaruh strategi penokohan pada
iklan sepeda motor terhadap minat beli masyarakat. Strategi penokohan yang dimaksud
merupakan keterlibatan tokoh-tokoh sepeda motor kelas dunia yang menjadi brand
ambassador produk sepeda motor. Honda dan Yamaha menggunakan strategi ini pada
tahun 2010 - 2011 kemarin. Yamaha menunjuk Valentino Rossi sebagai duta produk.
Rossi muncul dalam iklan produk Yamaha Jupiter MX dan Casey Stoner menjadi bintang
iklan Honda CBR 250R. Keduanya merupakan pembalap MotoGP yang merupakan ajang
balap sepeda motor dengan kasta tertinggi. Rossi berkali kali menjadi juara dunia, dan
kiprah Stoner di MotoGP pun sangat mengagumkan. Peneliti tertarik untuk mengetahui
pengaruh strategi tersebut terhadap minat beli masyarakat.
Pada saat meneliti, kuesioner merupakan senjata utama dalam pengumpulan data.
Pada saat mengisi kuesioner, diasumsikan, responden mengisi sesuai dengan apa yang
mereka yakini. Misalnya saja, pada saat muncul pertanyaan Setelah menyaksikan iklan
Yamaha Jupiter MX yang dibintangi Valentino Rossi, muncul ketertarikan untuk membeli
produk tersebut, dan responden memilih jawaban Ya. Jawaban tersebut, dan puluhan
jawaban lainnya merupakan hasil pilihan responden tanpa ada campur tangan peneliti.
Kesemua jawaban responden merupakan data yang akan diolah dan melahirkan hasil
penelitian. Hasil penelitian dapat berupa pernyataan Strategi penokohan berpengaruh
besar terhadap minat beli masyarakat.
Hasil penelitian tersebut dipercaya bersifat objektif, bebas nilai. Nilai-nilai yang
melekat pada diri peneliti tidak ikut campur dalam proses kelahiran hasil penelitian. Apa
yang menjadi hasil penelitian merupakan hasil murni pengolahan data yang didapat dari
pernyataan responden, tanpa paksaan. Menyikapi objektivitas ini, ada pernyataan Denzin
dan Lincoln (2009) yang saya suka, suara ilmuwan positisme ( dan post-positivisme)
adalah suara ilmuwan tak memihak yang memberi masukan bagi para pengambil
keputusan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan.
Menjelaskan, yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan
mengendalikan fenomena (Denzin dan Lincoln, 2009) merupakan tujuan penelitian
positivisme. Ilmuwan diposisikan sebagai ahli yang dapat melakukan analisa terhadap
proses komunikasi yang sedang berlangsung. Ingat, pada mazhab ini komunikasi
dipandang sebagai sesuatu yang linier dan mekanistis. Ada permulaan, proses kemudian
akhir. Dan penelitian dilakukan untuk menganalisa apakah proses tersebut sudah berjalan
ideal. Jika tidak, akan ketahuan dimana letak permasalahan dan perbaiki.
Paradigma kedua, post-positivisme, tidak jauh berbeda dengan positivisme yaitu
penelitian bertujuan menjelaskan, prediksi dan kontrol, bebas nilai dan ilmuwan yang
tidak berpihak. Hanya saja terjadi perdebatan pada sifat ilmu pengetahuan. Pada
positivisme berlaku aturan verifikasi, yang berarti bahwa dimanapun dan kapanpun teori
tersebut diuji maka hasilnya akan sama. Oleh karena itu, penelitian positivisme juga
disebut sebagai penelitian yang menguji teori dan seringkali teori tidak dapat dibantah
kesahihan atau kebenarannya. Kalaupun ada penelitian dengan topik dan teori yang sama,
maka penelitian kedua hanyalah bersifat verifikasi.
Namun, pada post-positivisme yang berlaku bukan verifikasi melainkan falsifikasi.
Sebuah pengetahuan merupakan terdiri atas berbagai hipotesis yang dapat digugurkan dan
dapat dipandang sebagai fakta atau hukum yang mungkin (Denzin dan Lincoln, 2009).
Sebuah teori diasumsikan sebagai sesuatu yang salah, dan kemudian dilakukan penelitian
berulang kali untuk membuktikan ketahanan teori tersebut. Teori yang benar-benar
kuatlah yang terselamatkan. Maka tak heran muncul teori-teori tandingan yang lahir dari
penelitian mazhab ini. Misalnya teori yang menganggap audiens pasif (agenda setting,
SOR dan Bullet theory) harus mendapat pesaing seperti teori Uses and Gratification.
Bahan Bacaan:
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage
Publication
payung
dari
sebuah
penelitian,
karakteristik
realitass
majemuk
perbaikan proses komunikasi. Berbagai realitass yang jumlahnya banyak dan tersebar
kemudian dipelajari untuk dipahami.
Dalam memahami isu atau fenomena yang akan diteliti, nilai-nilai yang ada dalam
diri peneliti pun diperbolehkan ikut campur dalam mewarnai hasil penelitian. Ya, tentu
saja hal itu pasti terjadi. Dalam penelitian konstruktivis, peneliti merupakan instrumen
utama. Kuesioner yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan sebagai senjata utama,
hanya menjadi alat bantu pada saat dibutuhkan- atau bahkan tidak dibutuhkan sama
sekali.
Misalnya saja penelitian berjudul konsep diri anggota komunitas Punk sebagai
identitas di kalangan masyarakat Kota Cirebon atau model komunikasi antarbudaya
mahasiswa Cina di President University. Tidak ada permasalahan yang ingin dikupas
pada penelitian tersebut. Konsep diri ataupun model komunikasi antarbudaya bukanlah
sebuah permasalahan yang harus dipecahkan. Kedua hal tersebut hanyalah realitass yang
tercipta sebagai hasil dari konstruksi sosial di kedua dunia tesebut komunitas punk dan
kehidupan mahasiswa Cina di President University-. Dan jangan pernah coba untuk
mengeneralisasikan hasil penelitian tersebut.
Langkah penelitian yang dilakukan yaitu mengumpulkan berbagai realitass dan
mengkategorikannya sesuai dengan kerangka penelitian. Peneliti tidak lagi diposisikan
sebagai ahli, tapi sebagai partisipan yang penuh empati/semangat yang secara aktif
terlibat dalam upaya mempermudah rekonstruksi (Denzin dan Lincoln, 2009).
Kembali pada peran nilai. Penelitian konstruktivisme sarat dengan niai. Sebagai
instrumen utama dalam penelitian, peneliti berhak menentukan siapa yang akan menjadi
responden atau bisa juga disebut dengan informan- serta menentukan kerangka, konsep
atau teori yang digunakan. Tidak seperti mekanisme pemilihan responden (sampling)
dalam kuantitatif, pemilihan responden dalam kualitatif tidak merujuk pada satu rumus
sampling tertentu. Dua metode sampling yang bisa digunakan adalah purposive dan
snowball sampling. Peneliti menentukan sendiri siapa saja sekaligus jumlah orang yang
akan menjadi penyedia informasi.
Perempuan cantik selalu digambarkan sebagai insan yang berkulit putih bersih,
bertubuh langsing, tanpa keriput, tanpa jerawat dan harus menampilkan sebanyak
mungkin anggota tubuh mereka untuk memberi tahu dunia bahwa mereka cantik. Realitas
cantik tersebut dianggap oleh audiens media sebagai sesuatu yang nyata dan seringkali
ditemui banyak wanita yang antri di dokter kulit, setia mengkonsumsi obat pelangsing,
panik ketika satu jerawat muncul. Definisi cantik yang bersifat diskriminatif ini seringkali
dipertanyakan oleh para peneliti. Mengapa harus kulit putih? Mengapa harus tanpa
keriput? Siapa yang merumuskan formula cantik ini? Apakah ada motif tertentu dibalik
konstruksi cantik tersebut? Dan lain sebagainya. Konstruksi makna cantik tersebut
dianggap telah meremehkan wanita golongan tertentu dan mereka harus disadarkan agar
tidak terlalu lama terjebak pada realitas palsu.
Banyak ilmuwan paradigma kritis beranggapan dominasi yang dilakukan tersebut
berlandaskan pada ideologi kelompok tertentu. Ideologi tersebut dipaksakan dengan
media massa sebagai means of production bagi kelas penguasa (ruling class). Yup,
paradigma kritis ini memang mengangkat pamor para konglomerat terutama yang
memiliki media massa- dan menitikberatkan nilai-nilai mereka kedalam pesan-pesan
media. Hegemony istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci- merupakan landasan
bagi paradigma ini untuk melangkah. Dominasi satu kelas (ruling class) terhadap kelas
lain merupakan situasi yang kerap kali dikritik.
Realitas merupakan realisme historis (Denzin dan Lincoln, 2009). Sebuah realitas
bisa dipahami pernah suatu ketika lentur, namun, dari waktu ke waktu dibentuk oleh
serangkaian faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender yang kemudian
mengkristal ke dalam serangkaian struktur yang saat ini (secara tidak tepat) dipandang
sebagai yang nyata (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitas inilah yang kemudian menjadi
objek penelitian paradigma kritis.
Dunia, menurut paradigma kritis, merupakan kumpulan dari dua pandangan yang
berbeda. Peneliti dipandang sebagai sekumpulan orang-orang yang sadar adanya realitas
palsu. Pesan-pesan komunikasi yang orang lain anggap sebagai pesan murni, dipandang
sebagai pesan-pesan yang bermuatan nilai-nilai yang bertujuan mengarahkan audiens pada
pola pikir yang diinginkan oleh komunikator. Dan audiens merupakan sekumpulan orangorang yang penuh dengan kesalahpahaman serta ketidaktahuan. Mereka selalu
beranggapan bahwa apa yang mereka terima (-pesan) bebas nilai. Tidak ada kesadaran
bahwa pikiran mereka digiring ke arah tertentu.
Bahan Bacaan:
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage
Publication