Anda di halaman 1dari 14

DAMPAK KASUS KORUPSI E-KTP TERHADAP HAK PILIH RAKYAT

DALAM PILKADA SERENTAK 2017

(Tema : Hambatan Reformasi Birokrasi di Indonesia)

Anggota Kelompok 10 :

Banyu Visandi D0116014

Debby Yohana P. D0116018

Erika Mardina D0116026

Muhammad Prasetyo D0116086

Fachry Prasetyo D0114049

ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2017
1. LATAR BELAKANG
Birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi
yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan
Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur
negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi
yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja
hirarkikal dan horisontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban
tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan
yang ketat (Tjokrowinoto, 1987:79).
Namun, dalam pelaksanaan buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam
memberikan pelayanan pada masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks
persoalan organisasi birokratik yang begitu mekanistik dihadapkan pada persoalan
masyarakat yang begitu heterogen (Sangadji, 2010). Pemerintah juga telah mendapat cap
buruk dari masyarakat, seharusnya Pemerintah diadakan bukanlah untuk melayani dirinya
sendiri atau yang lebih buruk lagi menjadikan rakyat sebagai pelayannya. Tetapi
dibentuknya pemerintah ialah untuk melayani masyarakatnya. Oleh karena itu birokrasi
yang ingin diterapkan di Indonesia dianggap telah menyimpang dari yang diharapkan.
Maka dari itu, pemerintah Indonesia sejak era Reformasi telah mencanangkan adanya
Reformasi Birokrasi untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap
sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Refomasi Birokrasi dimaknai sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma
dan tata kelola pemerintahan, yang mengarah pada organisasi (kelembagaan), tatalaksana,
SDM, pelayanan, akuntabilitas dan perundangundangan serta pola pikir (Grand Desain
Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025, 2010: 2, yang selanjutnya disingkat GDRB).
Perubahan besar yang dimaksud, terkait dengan perubahan radikal dalam tata cara
pelaksanaan urusan masyarakat sebagai tuntutan pada saat reformasi administrasi
ditiupkan tahun 1980 an (Caiden, 1991: 1).
Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi pun masih memiliki banyak hambatan,
salah satu hambatan terbesar reformasi birokrasi ialah korupsi. Hal ini terbukti selama 72
tahun Indonesia merdeka, tetapi pencapaian kinerja aparat birokrasi pemerintahan yang
produktif, efisien, efektif dan bersih dari KKN belum juga tampak. Bukti lain yang dapat
kita lihat melalui Transparency International (TI). TI dibentuk pada tahun 1993, dan
berperan sebagai lembaga yang mengawasi korupsi di seluruh dunia untuk menolong
lebih banyak orang yang merupakan korban dari korupsi. Salah satu bentuk peran aktif
dari TI adalah dengan mengumpulkan data mengenai kasus korupsi. Setiap tahun TI akan
mengeluarkan laporan berupa Corruption Perceptions Index (CPI). CPI merupakan hasil
dari 13 proses survey yang berbeda dan pengukuran dari 12 institusi yang berbeda di
seluruh dunia. Institusi yang terlibat diantaranya adalah World Justice Project, World
Bank, dan World Economic Forum (Ikhsanti, 2017).
Untuk tahun 2016, CPI ini menempatkan Indonesia di peringkat ke 90 dari 176
negara dengan skor 37. Dari sisi skor ada kenaikan satu poin, tetapi dari sisi rating terjadi
penurunan dua tingkat. Memang tidak dapat dipungkiri hal tersebut dapat terjadi karena
banyaknya kasus korupsi yang dilakukan para kaum elit politik. Hal tersebut juga
dikarenakan masih rendahnya komitmen dari pimpinan instansi baik di tingkat
pemerintah pusat maupun ditingkat pemerintah daerah dalam upaya untuk melakukan
pecegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ada banyak sekali kasus korupsi yang sudah pasti merugikan rakyat Indonesia
seperti, kasus korupsi Bank Century, kasus korupsi PT. Pertamina, kasus korupsi
Hambalang, dan yang sedang ramai diberitakan di media ialah kasus korupsi e-KTP.
Pengertian e-KTP sendiri adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem
keamanan/pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan
berbasis pada database kependudukan nasional. Setiap Penduduk hanya diperbolehkan
memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK
merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup. Nomor NIK
yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan Paspor, Surat Izin
Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas
Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya (Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2006
tentang Adminduk).
Proyek e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional di
Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini
disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari
seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang
terhadap negara dengan menduplikasi KTP-nya. Fungsi e-KTP sendiri selain menjadi
kartu identitas berbasis elektronik, e-KTP juga berlaku secara nasional, sehingga tidak
perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan
sebagainya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Direktur Pusat Teknologi Informasi dan
Komunikasi (PTIK) BPPT, Hammam Riza saat diwawancarai oleh salah satu media di
ruang kerjanya. Menurutnya, e-KTP akan berlaku secara nasional dan dapat digunakan
sebagai kartu pemilih (Pilkada dan Pemilu nasional) sehingga tidak perlu membuat KTP
lokal (bppt.go.id, 2011).
Namun dengan mencuatnya kasus korupsi mega proyek e-KTP yang terjadi di
jajaran petinggi pemerintah pusat juga berpengaruh bagi masyarakat ditingkat daerah.
Sebab adanya kasus korupsi tersebut banyak e-KTP masyarakat yang sampai saat ini
belum tercetak (Ruliyanto, 2017). Kasus korupsi ini memiliki dampak yang sangat besar,
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi
Anggraini menilai, kasus korupsi pengadaan e-KTP dampaknya tak hanya merugikan
keuangan Negara. Lebih dari itu, berdampak pada kejahatan hak electoral (hak pilih)
warga negara (Movanita, 2017). Hal ini dapat dilihat saat menjelang Pilkada serentak
2017, masih banyak warga yang belum memiliki e-KTP, padahal e-KTP merupakan
syarat untuk menjadi pemilih dalam pilkada serentak yang sudah diatur dalam UU No. 10
tahun 2016.

2. RUMUSAN MASALAH
Mengapa tindak korupsi ASN dalam distribusi e-KTP berdampak kepada hak
pilih rakyat dalam Pilkada serentak 2017 ?
3. KAJIAN PUSTAKA
3.1 Reformasi Birokrasi
Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap
dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan atau tindakan yang bersifat radikal
dan revolusioner (Birokrasi, Reformasi Birokrasi Dalam Praktik, 2013). Pada hakikatnya
reformasi birokrasi merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan
mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-
aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya
manusia aparatur. reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun
aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas
umum pemerintahan dan pembangunan nasional (menpan.go.id, 2017). Reformasi
Birokrasi perlu dilakukan karena secara tidak sadar hal tersebut sudah menjadi kebutuhan
untuk melakukan perubahan dan pembaruan yang (Thoha, 2008)
Selain itu dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan
komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintah untuk
direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus
segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik,
sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan
efisien.
3.2 Hambatan Reformasi Birokrasi

Ada 3 masalah utama di dalam reformasi birokrasi Indonesia. Masalah pertama


adalah korupsi. Permasalahan ini terjadi disemua organisasi pemerintahan. Biasanya
korupsi terjadi pada tiga aktifitas utama, yaitu bidang pelayanan administrasi,
pelaksanaan proyek pembangunan dan terakhir penegakan hukum. Masalah kedua dalam
reformasi birokrasi di Indonesia adalah masalah efisiensi. Jumlah lembaga-lembaga
pemerintahan baik di pusat dan didaerah sangat banyak, yang dampaknya memperbesar
jumlah PNS yang harus mengisinya. Masalah ketiga adalah masalah efektifitas,
menyangkut manfaat dari pekerja pemerintah tersebut bagi masyarakat (Zaldy, 2011)
Hambatan dan tantangan kedepan yang harus diselesaikan dalam reformasi
birokrasi, diantaranya (Pemerintah.net, 2016) :

1. Masih rendahnya komitmen dari pimpinan instansi baik di tingkat pemerintah pusat
maupun ditingkat pemerintah daerah dalam upaya untuk melakukan pecegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
2. Penyelenggaraan pemerintahan masih belum mencerminkan penyelenggaraan
pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN;
3.3 Korupsi
Istilah korupsi berasal dari perkataan latin “coruptio” atau “coruptus” yang
berarti kerusakan atau kebobrokan (Martiman, 2001). Pengertian tersebut merupakan
pengertian yang sangat sederhana, sedangkan dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah
laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh
para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas – batas hukum atas tingkah laku
tersebut, sedangkan menurut norma – norma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila
hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela. (Scoot James,
1985).
Menurut Jack Bologne yang mengemukakan Teori GONE tentang penyebab
korupsi yang diambil dari huruf depan tiap kata GONE (Dewayani Ayu, 2015) yaitu:
a. Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi . koruptor adalah
orang yang tidak puas akan keadaan dirinya.
b. Opportunity terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi. sistem
pengendalian tak rapi yang memungkinkan seseorang bekerja secara asal – asalan .
c. Need berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap
konsumerisme dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai.
d. Exposes berkaitan dnegan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah.

3.4 Hak Pilih


Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1
yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau
lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata yang tercantum
adalah “hak”, bukan “kewajiban”. Hak warganegara untuk ikut berpartisipasi dalam
pemilihan umum disebut sebagai hak pilih, yang terdiri tari hak pilih aktif (hak
memilih) dan hak pilih pasif (hak dipilih) (C.S.T. Kansil, 1986: 2-5)
a. Hak memilih (hak pilih aktif) Hak memilih adalah hak warganegara untuk
memilih wakilnya di dalam suatu pemilihan umum. Keikutsertaan warga negara
dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yaitu
apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum (Ramlah Surbakti, 2007:
145). Kedaulatan politik sebuah bangsa akan tampak dengan sendirinya di tangan
rakyat pemilih melalui pemilihan umum (Gusdur dalam Khoirudin, 2004: 9).
b. Hak dipilih (hak pilih pasif) Hak dipilih adalah hak warganegara untuk dipilih
menjadi anggota sesuatu Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dalam suatu
pemilihan umum. Kegiatan warga negara dalam pemilihan umum merupakan
serangkaian kegiatan membuat keputusan, yaitu memilih atau tidak 32 memilih.
4. PEMBAHASAN
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
prosess) dan sumber daya manusia aparatur (menpan.go.id, 2017). Presiden Jokowi
mengatakan bahwa untuk mewujudkan pemerintah yang terbuka, bukan hanya butuh
perubahan karakter, mentalitas atau perubahan pola pikir di kalangan birokrasi
pemerintahan dan badan-badan publik. Justru yang utama butuh reformasi sistem dan
pola kerja. Terutama dengan menerapkan sistem pemerintahan elektronik atau e-
government mulai dari e-budgeting, e-procurement, e-audit, e-catalog, sampai cash flow
management system (PresidenRI.go.id, 2016).
E-goverment merupakan salah satu wujud pembaharuan dalam reformasi birokrasi.
E-goverment yang berbasis penggunaan informasi dan tekhnologi komunikasi pada
prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses layanan dari lembaga
pemerintah kepada warga masyarakat melalui sistem layanan online. Penerapan e-KTP
yang merupakan salah satu kegiatan e-Government, diharapkan dapat bermanfaat untuk
mencegah KTP ganda, mendukung kependudukan yang akurat, meningkatkan keamanan
Negara, mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan (Salim, 2014). Namun
dalam perjalanannya, proyek e-KTP ini mengalami hambatan karena adanya kasus
korupsi.
Korupsi merupakan hambatan terbesar dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di
Indonesia. Menurut Zaldy ada tiga masalah utama di dalam reformasi birokrasi
Indonesia. Masalah pertama adalah korupsi, masalah kedua dalam reformasi birokrasi di
Indonesia adalah masalah efisiensi, dan masalah ketiga adalah masalah efektifitas (Zaldy,
2011). Memang pada dasarnya korupsi merupkan masalah yang sulit diatasi apalagi di
Negara berkembang seperti di Indonesia ini. Untuk tahun 2016, CPI menempatkan
Indonesia di peringkat ke 90 dari 176 negara dengan skor 37. Dengan perolehan ini
tidaklah heran jika korupsi menjadi hambatan reformasi birokrasi. Bagaimana tidak, jika
uang yang seharusnya untuk kepentingan rakyat dan untuk pembaharuan maupun
perubahan agar Negara indonesia lebih sejahtera, malah dipakai oleh oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab.
Kasus korupsi sendiri bukan terjadi satu atau dua kali, bahkan mungkin
korupsi sudah mengakar pada Negara ini. Kasus-kasus korupsi di Indonesia
umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan duduk dijabatan
tinggi. Hal ini sungguh mengherankan, pasalnya seharunsnya mereka bisa mencukupi
dirinya dan keluarganya karena mereka diberi upah atau gaji yang bisa terbilang
sangat besar. Maka yang menjadi pertanyaan mengapa mereka yang berkuasa atau
yang memiliki jabatan tinggi malah melakukan korupsi. Jika dilihat dari arti hukum,
korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan
merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas –
batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma – norma
pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis
tindakan tersebut adalah tercela. (Scoot James, 1985). Dari penegertian tersebut dapat
dikatakan orang yang melakukan korupsi merupakan mereka yang merasa tidak puas
dengan apa yang mereka punya. Hal ini di dukung oleh teori GONE Menurut Jack
Bologne tentang penyebab korupsi yang diambil dari huruf depan tiap kata GONE
salah satunya yaitu, Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.
koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya.
Kasus korupsi e-KTP merupakan salah satu bentuk keserakahan pejabat
pemerintahan yang saat ini sedang disoroti. Kasus ini juga sangat alot, pasalnya sudah
bergulir sejak hampir 6 tahun lalu. Dimulai dari tahun 2010 Kemendagri menyiapkan
dana Rp 6 triliun untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan
(NIK) nasional. Hingga bulan Juli 2017 telah ditetapkan 5 tersangka diantaranya,
Sugiharto merupakan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Imran merupakan mantan Direktur
Jendral Kependudukan dan Catatan Sipil Dalam Negeri, Andi Narogong merupakan
pengusaha pelaksana proyek e-KTP, Setya Novanto merupakan Ketua Umum Partai
Golkar, dan Markus Nari merupakan anggota DPR yang menjadi tersangka
(Belarminus, 2017).
Kasus korupsi e-KTP merugikan uang Negara sebesar 2,3 Triliun. Kasus ini juga
berdampak ke berbagai persoalan, seperti pelayanan rumah sakit karena ada rumah
sakit yang mengharuskan memilik e-KTP sebagai salah satu syarat agar mendapat
pelayanan (www.merdeka.com, 2017). Dampak lain dari kasus ini ialah terganggunya
hak pilih masyarakat yang mengharuskan memiliki e-KTP sebagai yang menjadi
salah satu syarat untuk menjadi pemilih. Hak warganegara untuk ikut berpartisipasi
dalam pemilihan umum disebut sebagai hak pilih, yang terdiri tari hak pilih aktif (hak
memilih) dan hak pilih pasif (hak dipilih) (C.S.T. Kansil, 1986: 2-5). Untuk menjadi
pemilih tetap diperlukan syarat yang diatur dalam UU tentang Pemilu yaitu UU
No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari
pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.” Syarat lainnya diatur dalam Pasal 57 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan, dalam hal Warga
Negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih pada saat pemungutan, mereka dapat
menunjukkan e-KTP.
Saat menjelang pilkada serentak masih banyak masyarakat di Indonesia yang
belum memiliki e-KTP, banyak masyarakat yang kecewa, alih-alih membuat e-KTP
agar memudahkan untuk mengakses layanan public maupun dapat memilih dalam
pilkada yang terjadi malah belum menerima bukti fisik e-KTP itu sendiri. Namun
bukan masyarakat yang belum menerima e-KTP saja yang merasa kecewa, Menurut
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui kalau Presiden Jokowi juga kecewa
dan marah karena kalau anggaran Rp.6 triliun digunakan penuh, data tunggal
penduduk Indonesia sudah rapi sudah bagus, sistemnya bagus, e-KTP nya bagus.
Namun, karena anggaran tersebut digelembungkan sedemikian rupa, kualitas e-KTP
yang dihasilkan pun jauh dari harapan. Terhambatnya pengadaan dan perekaman data
e-KTP ini diketahui mempengaruhi banyak sektor kehidupan masyarakat, salah
satunya penggunaan hak pilih saat Pilkada serentak 2017 (news.okezone.com, 2017).

Jika menurut Pasal 57 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang


Pilkada menyatakan, dalam hal Warga Negara Indonesia tidak terdaftar sebagai
pemilih pada saat pemungutan, mereka dapat menunjukkan e-KTP. Maka
diberlakukannya UU Nomor 10/2016, penduduk yang belum tercantum dalam daftar
pemilih tetap (DPT) hanya dapat ikut pilkada berdasar e-KTP dan diperbolehkan
mengikuti pemilu, bukan menggunakan surat keterangan atau identitas lainnya.
Namun karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki e-KTP dan belum
terdaftar dalam DPT maka harus menggunakan surat keterangan (suket) dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

Jumlah surat keterangan (suket) yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan


Catatan Sipil DKI Jakarta semakin bertambah. Suket merupakan surat keterangan
yang diberikan kepada warga yang belum memiliki E-KTP. "Jumlahnya menurut data
terakhir adalah 62.122," ujar Kadis Dukcapil DKI Jakarta Edison Sianturi
kepada Kompas.com, Rabu (8/2/2017). Penerima suket adalah warga yang sudah
melakukan perekaman e-KTP tetapi belum mendapatkan blanko e-KTP. Hal ini
menunjukan masih sangat banyak warga DKI Jakarta yang belum memiliki e-KTP
karena tidak tersedianya blanko. Alasan blanko habis ialah karena harga satuan
blanko e-KTP di mark-up dari Rp. 4.700 per keping menjadi Rp. 16.000 per keeping.
Hal ini yang melatarbelakangi kasus korupsi e-KTP yang menjadi hambatan dalam
hak pilih dalam Pilkada DKI Jakarta.

Dengan adanya kasus korupsi e-KTP ini, proses reformasi birokrasi menjadi
terhambat. Dengan adanya e-KTP yang diharapkan untuk mempermudah pemerintah
dalam mengambil data penduduk, karena dengan E KTP pemerintah bisa langsung
melihat data dari KTP elektronik tersebut tanpa harus menunggu data yang harus
disensus terlebih dahulu. E KTP bisa terbilang lebih efektif dan efesien dibanding
dengan KTP biasa. Tetapi pada kenyataannya dana yang seharusnya dialokasikan
untuk melakukan sistem pembaharuan KTP malah disalahgunakan oleh oknum yang
tidak bertanggungjawab dan membuat reformasi birokrasi tidak berjalan sesuai
dengan yang diharapkan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN

Dengan demikian dampak kasus korupsi merupakan hambatan reformasi birokrasi


yang utama. Kasus korupsi e-KTP sendiri tidak hanya berdampak dalam pelayanan
public saja tetapi berdampak pada hak pilih rakyat dalam Pilkada serentak termasuk
di DKI Jakarta. Dalam kasus ini terjadi penggelembungan dana terutama untuk
pengadaan blanko e-KTP sehingga masih banyak masyarakat DKI Jakarta yang
belum memiliki e-KTP. Padahal e-KTP menjadi salah satu syarat yang telah diatur
dalam UU No. 10 tahun 2016 untuk dapat ikut serta dalam Pilkada DKI Jakarta. Oleh
karena itu Disdukcapil membuat kebijakan untuk mengganti e-KTP untuk masyarakat
yang belum mendapatkan e-KTP agar tetap ikut serta dalam Pilkada DKI Jakarta
yaitu dengan menggunakan surat keterangan (suket).

5.2 SARAN

Solusi yang tepat bagi kasus hambatan reformasi birokrasi ini adalah Aparatur
harus sadar bahwa reformasi birokrasi akan mengubah birokrasi pemerintah menjadi
birokrasi yang kuat dan menjadi pemerintahan kelas dunia, yang mampu memberikan
fasilitasi dan pelayanan publik yang prima dan bebas dari KKN. Untuk itu, reformasi
birokrasi harus dilakukan secara sungguh-sungguh, konsisten, melembaga, bertahap,
dan berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk birokrasi yang
mampu mendukung dan mempercepat keberhasilan pembangunan di berbagai bidang.
Kegiatan ekonomi akan semakin meningkat dan secara agregat akan mendorong
pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Dengan kegiatan ekonomi yang semakin luas,
akan tersedia basis penerimaan negara yang lebih besar untuk membiayai
keberlanjutan reformasi birokrasi dan pembangunan di bidang lainnya yang lebih luas
Karena korupsi bisa berawal dari keserakahan menurut teori GONE. Pemerintah juga
dapat memperketat pengawasan agar dapat meminimalisasi terjadinya korupsi. Dan
segala kegiatan pemerintah harus dilakukan secara transparasi dan jelas agar tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan yang merugikan negara.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Lampiran PP No. 81 Tahun 2010. Grand Desain Reformasi Birokrasi Indonesia
20102025. 2010. KemenPAN dan RB Republik Indonesia.
2. Caiden, Gerald E. 1991. Administrative Reform Comes of Age. Berlin, New York:
Walter de Gryter.
3. Belarminus, R. (2017, Juli 20). 5 Tersangka Kasus E-KTP Ditetapkan KPK, Ini
Dugaan Peran Mereka. News.
4. bppt.go.id. (2011, agustus 18). E-KTP, IDENTITAS PENDUDUK YANG UNIK
DAN OTENTIK. Berita Layanan Info Publik.
5. Dewayani Ayu, C. A. (2015). Money Laundering dan keterlibatan wanita: tantangan
baru bagi auditor investigatif. Diponegoro Journal of Accounting, 4, 1-6.
6. Ikhsanti, D. (2017, april 20). Peringkat Ke 7 Se ASEAN: Tingkat Korupsi Di
Indonesia Meresahkan. infografis.
7. Martiman, P. (2001). Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi.
Bandung: Mandar Maju.
8. menpan.go.id. (2017). Reformasi Birokrasi .
9. Movanita, A. N. (2017, april 2). Tak Sekedar Rugikan Keuangan Negara, Korupsi e-
KTP Dinilai Cederai Demokrasi. News.
10. news.okezone.com. (2017, Maret 15). Kasus Korupsi Hambat Pengadaan E-KTP,
Mendagri: Wajar Presiden Marah. News.
11. Pemerintah.net. (2016, januari 12). Hambatan dan Tantangan Reformasi Birokrasi.
Informasi Nasional.
12. PresidenRI.go.id. (2016, Mei 25). E-Government Sebagai Wujud Reformasi
Birokrasi. Pembangunan Manusia.
13. Ruliyanto, I. (2017, maret 17). Dampak Kasus Korupsi, Puluhan Ribu Keping e-KTP
Belum Tercetak. peristiwa.
14. Salim, H. (2014, April 12). Evaluasi Implementasi e-KTP di Indonesia. Sisitem
Informasi.
15. Sangadji, I. (2010). Birokrasi & Partisipasi Publik Dalam Pelayanan Publik Di
Bidang Kesehatan. JURNAL SOSIAL DAN POLITIK, 1-18
16. Scoot James, L. M. (1985). Bunga Rampai Korupsi. Jakarta: LP3IS.
17. www.merdeka.com. (2017, Maret 12). Korupsi e-KTP dinilai berdampak ke berbagai
persoalan. Peristiwa.
18. Zaldy. (2011, Desember 2). Reformasi Birokrasi adalah Masalah Utama Indonesia.
Birokrasi.
19. Holidin, D. (2013). Reformasi Birokrasi Dalam Praktik. Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Jakarta.
20. Thoha, Mifta. (2008). Birokrasi pemerintah di era Reformasi. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai