Anda di halaman 1dari 34

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Tinjauan Umum Semiotika

1. Pengertian Semiotika

Dalam pengertiannya sebagai fakta historis, seorang pendiri ilmu

kedokteran modern bernama Hippocrates (460-377 SM) yang mengusulkan

istilah semiotika dan mendefinisikannya sebagai cabang ilmu kedokteran untuk

mempelajari gejala-gejala. Gejala sebagai semeion berarti ‘ciri atau tanda’

yang menunjukkan sesuatu di luar dirinya. Hippocrates mengklaim bahwa

tugas utama seorang dokter adalah menyingkapkan hal-hal yang ditunjukkan

oleh gejala-gejala ini dalam kaitannya dengan tubuh manusia.1

Semiotik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai segala

sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan

manusia.2 Secara etimologis, istilah semiotik merujuk dari kata Yunani semeion

yang berarti tanda. Tanda itu sendiri di definisikan sebagai sesuatu yang atas

dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain (Eco dalam Sobur, 2004: 95).3

Semiotik merupakan model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami

dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut sebagai

1 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Ilmu Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra,


2010), hlm. 34.
2 http://kbbi.web.id/semiotik, diakses pada tanggal 5 April 2018 pada pukul 3:52 WIB
3 Tunggul, Analisis Semiotika Pesan Moral dalam Film 12 Menit untuk Selamanya,
eJournal Ilmu Komunikasi, Vol.3, No. 3, 2015.

23
24

“tanda”. Semiotik sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti

tanda.4

Semiotik (semiologi) telah menjadi salah satu alat analisis yang populer

untuk meneliti isi dari media massa dan telah banyak digunakan oleh

mahasiswa ilmu komunikasi dalam meneliti makna dari pesan yang termuat

dalam media massa.5 Pada dasarnya semiotik hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan memaknai hal-hal. Memaknai dalam hal ini tidak dapat

digabungkan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-

objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur

dari tanda.6

Dalam definisnya, Saussure (dalam Sobur: 2003), dikatakan bahwa,

“semiologi adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengkaji tanda-tanda di

tengah masyarakat.” dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin

psikologi sosial. Tujuannya tidak lain adalah untuk menunjukkan bagaimana

diproduksinya tanda-tanda serta kaidah-kaidah yang mengaturnya. Sementara

itu, istilah semiotika, yang dimunculkan pada akhir abad 19 oleh seorang Filsuf

beraliran pragmatik Amerika Charles Sander Pierce, merujuk kepada “doktrin

formal tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep dari

tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh

tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan pikiran-

4 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang:


UIN Malang Press, 2007), h. 9
5 Jumroni, Metode-Metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006)
Cet. Ke-1, h. 100
6 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, ( Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), cet
ke-3, h. 15
25

pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda, karena jika tidak begitu

manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.7

Seorang ahli sastra Teew mendefinisikan semiotika adalah tanda sebagai

tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra

yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk

pemahaman gejala sastra sebagai alat komunikasi yang khas dalam masyarakat

manapun.8 Semiotika menurut Morissan, adalah studi mengenai tanda (signs)

dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi

komunikasi. Tradisi semiotik mencakup teori terutama mengenal bagaimana

tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang

berada diluar diri sendiri. Studi mengenai tanda tidak saja memberikan jalan

atau cara dalam mempelajari komunikasi tetapi juga memiliki efek besar pada

hampir setiap aspek (perspektif) yang digunakan dalam teori komunikasi.9

Beberapa tokoh yang menjadi pencetus kajian teori semiotika antara lain:

a. Charles Sanders Pierce

Charles Sanders Pierce merupakan ahli filsafat pada abad kesembilan

belas, yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern. Ia mendefinisikan

semiotika sebagai suatu hubungan tanda (simbol), objek, dan makna. Tanda

mewakili objek (refenant) yang ada di dalam pikiran orang yang

7 Yoyon Mudjino, “Jurnal Ilmu Komunikasi: Kajian Semiotika Film”,Vol. 1 No. 1,


April 2011, h. 129
8 Morissan, Teori Komunikasi: Individu hingga Massa (Jakarta: Kencana Premedia
Group,2014), h. 33
9 Morissan, Teori Komunikasi: Individu hingga Massa , h. 35
26

merepresentasikannya (intepreter). Pierce menyatakan bahwa representasi

dari suatu objek disebut intepretant.10

b. Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure seorang ahli linguistik Swiss yang terkenal

dengan konsep semiotik signifier (penanda) dan signified (petanda). Dalam

konteks semiotik Saussure, penanda merupakan bunyi yang bermakna atau

coretan yang bermakna (aspek material), yaitu apa yang ditulis, dikatakan,

atau dibaca. Petanda merupakan gambaran mental yaitu pikiran atau konsep

(aspek mental) dari bahasa.11

c. Roland Barthes

Konsep pemikiran Barthes terhadap semiotik terkenal dengan konsep

Myhtologies atau sebagai mitos. Sebagai penerus dari pemikiran Saussure,

Roland Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman

personal dan kultural penggunanya.12 Interaksi antara konvensi dalam teks

dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Konsep

pemikiran Barthes dikenal dengan dua tatanan pertandaan (two orders of

signification).

Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk kepada

makna yang sama. Istilah semiotika lebih lazim digunakan ilmuwan Amerika,

10 Morissan, Teori Komunikasi: Individu hingga Massa (Jakarta: Kencana Premedia


Group,2014), h. 33
11 Naomi Srie Kusumastuti & Faturochman, Semiotika untuk Analisis Gender pada
Iklan Televisi, Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, 2004, h. 106
12 Rachmat Kristiyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
268
27

sedangkan ‘semiologi’ sangat kental dengan nuansa Eropa yang mewarisi

tradisi linguistik Sausseran.13

Bila diartikan, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini

menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaannya

merupakan tanda-tanda.14 Artinya, semiotik mempelajari sistem, aturan-aturan,

yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain,

semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta

hubungan antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat

penggunanya.

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Lahir di Cherbourg pada tahun 1915, kemudian dibesarkan di Bayonne,

kota kecil yang terletak di dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis.

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir struktualis yang giat

mempraktikan model linguistik dan semiologi Sausseran.15 Dalam konsep

Roland Barthes yang menyempurnakan semiologi Saussare yaitu tanda

konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung

kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Roland Barthes

membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-

13 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta, Jalasutra,


2010), hlm. 133
14 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, ( Malang
: UIN Malang Press), h. 11.
15 Yoyon Mudjino, “Jurnal Ilmu Komunikasi: Kajian Semiotika Film”,Vol. 1 No. 1,
April 2011, h. 90
28

tanda.16 Fokus perhatian Roland Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang

signifikasi dua tahap (two order of signification).17

Seiring berjalannya waktu, kepopulerannya kian meningkat sejak analisis

semiotika dipergunakan dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Barthes

memfokuskan perhatiannya kepada persoalan-persoalan dalam teks sastra,

fotografi, iklan, film dan sebagainya. Pemikirannya adalah serpihan gagasan

yang multidimensi dan mengundang berbagai intepretasi. Karya-karya pokok

Roland Barthes antara lain : Le degree zero de I’ecriture atau “Nol Derajat di

Bidang Menulis”. (1953, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing

Degree Zero, 1997).18

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

tanda dan peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat

asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. “Barthes

menjelaskan apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang

dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh

Barthes disebut dengan konotatif, yang ada di dalam Mythologies-nya secara

tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.”19

Roland Barthes dalam teorinya, ia mengembangkan semiotika menjadi dua

bagian tingkatan penandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Kata denotasi berasal

dari bahasa Latin connotare, “menjadi makna” dan mengarah kepada tanda-

16 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69


17 Alex Sobur, Analisis Teks Media-Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Rosdakarya, 2009), h. 127
18 Anthony Freddy S. Semiotika Hukum: dari Dekonstruksi Teks Menuju Progretivitas
Makna, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2010), h. 34-35
19 Akhmad Muzakki, Kontribusi dalam Memahami Bahasa Agama, h. 21-22
29

tanda kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain

dari komunikasi). Kata melibatkan simbol-simbol, historis dan yang

berhubungan dengan emosional.20

Roland Barthes, semiotikus terkemuka dari Prancis dalam bukunya

Mythologies (1972) memaparkan konotasi kultural dari berbagai aspek

kehidupan keseharian orang Prancis, seperti steak dan frites, deterjen, mobil

ciotron dan gulat. Menurutnya, tujuannya untuk membawakan dunia tentang

“apa-yang terjadi-tanpa-mengatakan“ dan menunjukan konotasi dunia tersebut

dan secara lebih luas basis ideologinya.21

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang

menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat

kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda

tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua

dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna

konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna

denotasi tersebut akan menjadi mitos.22 Barthes menggunakan istilah “Orders

Of Signification”. First order of signification adalah denotasi. Sedangkan

konotasi adalah second order of signification. Tatanan yang pertama mencakup

penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna

denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep

20 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 80


21 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 85
22 Anderson Daniel Sunarto, Analisis Semiotika Film Alangkah Lucunya Negeri ini,
Journal “Octa Diurna”, Vol. IV , No. 1, 2015, h. 3
30

mental yang lain yang melekat pada tanda ( yang kemudian dianggap sebagai

penanda). Pemaknaan baru inilah yang kemudian disebut konotasi.23

Melanjutkan studi Hjelmsev, Barthes menciptakan peta tentang

bagaimana tanda bekerja :

2. Signified
1. Signifier
(petanda)
(penanda)

3. Denotative Sign ( tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF
(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN
(TANDA KONOTATIF)

Tabel 2.1 Peta Roland Barthes

Sumber : Paul Colbey & Litza Janz, 1999. Introducing Semiotics. NY : Totem books, p. 51

Dari peta Roland Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri

atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda

denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut

merupakan unsur. material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah

konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.

Jadi dalam konsep Roland Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan

hanya sekedar memiliki makna tambahan. Namun juga mengandung kedua

bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah

sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi

Saussare, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

23 Papilon Manurung, Editor : M. Antonius Birowo, Metedologi Penelitian


Komunikasi, h. 56-57
31

Denotasi adalah tingkat peertandaan yang menjelaskan hubungan antara

penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang

menghadirkan makna yang bersifat eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi

adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan

petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak

langsung, dan tidak pasti. Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang

terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti

perasaan, emosi, atau keyakinan.24

Jadi, makna denotasi adalah makna pada apa yang tampak, makna yang

paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi dapat menghasilkan makna lapis

kedua yang bersifat implisit25, tersembunyi. Dengan kata lain, denotasi adalah

apa yang digambarkan tanda terhadap objek, sementara konotasi adalah

bagaimana menggambarkan tanda tersebut. Dalam konsep Barthes, “tanda

konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung

kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Konotasi identik

dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk

mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang

berlaku dalam suatu periode tertentu.” Mitos, dalam pemahaman semiotika

Barthes ialah “pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang

dianggap ilmiah.”26

Kata “mitos” berasal dari kata bahasa Yunani mythos yang artinya kata-

kata, wicara, kisah tentang para dewa. Ini bisa didefinisikan sebagai narasi

24 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar, h. 69


25 Sifatnya samar-samar / tidak begitu jelas
26 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Agama, h. 23
32

yang di dalam karakter-karakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-

makhluk mistis, dengan plotnya adalah tentang asal-usul segala sesuatu atau

tentang peristiwa metafisis yang berlangsung di dalam kehidupan manusia. 27

Mitos lahir melalui konotasi tahap kedua dimana rangkaian tanda

terkombinasikan sebagaimana dalam film disebut dengan teks akan membantu

pemaknaan tingkat kedua. Ide-ide dari Barthes banyak digunakan untuk

memahami realitas budaya media kontemporer yang dikonsumsi oleh manusia

setiap harinya seperti film, lagu, novel, dan sebagainya.28

Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut

Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran

dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos

muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan

membenarkan nilai-nilai dominan yang ada di masyarakat. Dalam mitos

terdapat pola tiga dimensi, yaitu penanda, petanda, dan tanda yang dibangun

oleh rantai pemaknaan yang sebelumnya telah ada. Jadi, mitos adalah

bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang

realitas atau gejala alam.29

B. Tinjauan Umum Tentang Film

1. Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film diartikan dalam dua

pengertian. Pengertian film pertama adalah selaput tipis yang terbuat dari

27 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta : Jalasutra,


2010), h. 56
28 Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006).
Cet ke-1, h. 101
29 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, h. 91
33

seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau tempat

gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Kedua, film diartikan juga

sebagai lakon (cerita gambar hidup).30 Dalam bahasa Inggris film dikenal

dengan movie yang mengandung arti gambar hidup dan bioskop.31

Berikut merupakan definisi film yang dituturkan oleh H.A.W Wijaya ,

adalah:

“Film merupakan teknik audio visual yang sangat efektif dalam

mempengaruhi penonton-penontonnya. Ini merupakan kombinasi dari

drama dengan panduan suara dan musik, serta drama dengan panduan

tingkah laku dan energi, karena dapat dinikmati benar-benar oleh

penontonnya, sekaligus dengan mata, telinga, dan ruang yang remang-

remang, antara gelap dan terang.”32

Dalam mendefinisikan film terdapat beberapa tokoh yang mengartikan

berbagai macam pemikiran. Menurut Askurifai Baskin, film merupakan salah

satu bentuk media komunikasi massa dari berbagai teknologi dan berbagai

unsur-unsur kesenian. Sebagai seni ketujuh, film jauh berbeda dengan seni

sastra, teater, seni rupa, seni suara, musik, dan arsitektur yang muncul terlebih

dahulu. Seni dari film sangat mengandalkan teknologi baik sebagai bahan baku

produksi maupun dalam hal ekshibisi kehadapan penontonnya.33

30 http://kbbi.web.id/film, diakses pada tanggal10 April 2018 pada pukul 1:48 WIB
31 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 387
32 H.A.W. Wijaya, Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2002), h. 84
33 Askurifai Baskin, Membuat Film Indie itu Gampang, (Bandung: Kataris, 2003), cet.
Ke-1, h. 3.
34

Irwanto (1999) dalam Alex Sobur mengatakan film selalu merekam cerita

berdasarkan realitas yang tumbuh berkembang dalam masyarakat yang

kemudian diproyeksikan ke atas layar.34 Menurut UU 8/1992, sebagaimana

dikutip oleh Taufan Saputra dalam jurnalnya yang berjudul “ Representasi

Analisis Semiotik Pesan Moral Dalam Film 2012 Karya Roland Emmrich”,

definisi film ialah sebagai berikut.

“Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media

komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas

sinematografi dengan direkam pita seluloid, pita video, piringan video,

dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk ,

jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses

lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan

ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan lainnya.”35

Berbeda dengan John Vivian dalam bukunya teori komunikasi massa, ia

menegaskan bahwa film merupakan bagian dari realitas sehari-hari kita dalam

banyak hal. Bahkan cara kita bicara sangat dipengaruhi oleh metafora film.

Majalah New Yorker menggunakan metafora ini dalam edisi khusus tentang

film Hollywood, “Skenario pribadi kita terentang dalam urutan Flashback,

percakapan, dan peran.”36

Film juga kerap disebut sebagai Moving Images (gambar bergerak). Prof.

Fr. Azhar Arsyard, M. A mengatakan, film atau gambar hidup merupakan


34 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 127
35 Taufan Saputra, “Representasi Analisis Semiotik Pesan Moral Dalam Film 2012
Karya Roland Emmrich,” ejournal. Ilkom Fisip-unmul.ac. id, 2 Februari 2014, h. 277
36 John Vivian, Teori Komunikasi Massa Edisi ke-8, (Jakarta: Kencana Media Group,
2008) cet. Ke-1, h. 160.
35

gambar-gambar dalam frame dimana frame demi frame diproyeksikan melalui

lensa proyektor secara mekanis pada layar sehingga terlihat gambar itu hidup.

Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga memberikan daya tarik

tersendiri.37 Sampai pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia,

sebuah alat komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita

dilakukan dengan lisan, lalu tulisan, kini telah muncul satu medium lagi:

dengan gambar bergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Di sinilah

lantas kita menyebut film sebagai representasi dunia nyata. Eric Sasono

menulis, dibanding dengan media lain, film memiliki kemampuan untuk

meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari.38

Awalnya film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia

ditemukan dari hasil perkembangan prinsip-prinsip fotografi dari proyektor.

Thomas Alfa Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera

citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang

merekam salah satu asistennya yang sedang bersin. Segera sesudah itu,

Lumiere bersaudara memberikan pertunjukan film sinematik kepada khalayak

umum di sebuah kafe di Paris.39

Film memiliki karakteristik tersendiri, yaitu menggunakan layar lebar,

pengambilan gambar jarak jauh atau long shot bahkan extrem long shot,

konsentrasi penuh dan identifikasi psikologi, yang mana ketika penonton fokus

untuk menyaksikan film, maka pikiran dan perasaannya akan larut dalam alur

37 Azhar Arsyad, Media Pengajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke-5,
h. 48.
38 John Vivian, Teori Komunikasi Massa Edisi ke-8, h. 162.
39 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.69.
36

cerita yang disuguhkan.40 Selain itu Disamping fungsinya dianggap sebagai

media pembujuk atau memiliki kekuatan persuasif yang besar. Seperti halnya

drama, film juga melakukan komunikasi verbal berupa dialog antar pemain,

selain itu juga film menggunakan bahasa gambar untuk membahasakan sebuah

cerita.41

Cerita yang disuguhkan diatas layar tidak hanya berdasarkan realitas

kehidupan sehari-hari yang tumbuh berkembang dalam masyarakat, tetapi juga

bisa berasal dari imajinasi pembuat cerita itu sendiri. 42 Tak hanya itu , dimensi

waktu dalam film pun limitless, cerita yang disuguhkan bisa berasal dari kisah

masa lalu, masa sekarang, atau gambaran masa depan. Film juga mampu

menyatukan spektrum kepekaan manusia, mulai dari yang paling lembut,

kejam hingga memuakkan. Selain itu film yang baik senantiasa dapat

menimbulkan ilusi kejadian filmis yang berlangsung dalam batas waktu lebih

lama dari menonton film tersebut. Bahwa dalam kejadian itu ada permulaan,

pengembangan dan akhir, serta mempunyai jangka waktu tertentu.43

2. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama dengan

antara media dengan massa dengan khalayaknya.44 Ciri utama media massa

adalah bahwa media massa dirancang untuk menjangkau banyak orang.45

40 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 70


41 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 128
42 Budi Irwanto, Film , Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema
Indonesia, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), h. 13
43 D.A Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), h. 5.
44 Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: Erlangga, 2008), h7.
45 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Edisi 6 Buku 1, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011), h. 61
37

Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada

komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan

media. Media yang dimaksud diantaranya adalah surat kabar, televisi, film,

iklan dan radio. Media yang disebutkan di atas memiliki kesamaan yaitu sama-

sama dapat menjangkau khalayak yang luas dengan waktu yang hampir

bersamaan.46

Sifat film yang audiovisual gerak mampu memiliki daya resistensi yang

lebih kuat dibandingkan dengan bentuk informasi lainnya. Dengan format dan

bentuk saluran penyajiannya, film mampu membangun opini publik pola pikir

masyarakat juga dapat diubah atau bahkan sengaja diciptakan melalui media

ini.47

Film bermula pada akhir abad ke-19 sebagai teknologi baru, tetapi konten

dan fungsi yang ditawarkan masih sangat jarang. Film kemudian berubah

menjadi alat presentasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih tua,

menawarkan cerita, panggung, musik, drama, humor, dan trik teknis bagi

konsumsi populer.48 Film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar

dengan cepat, bahkan di wilayah pedesaan. Sebagai media massa film berperan

sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan,

menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, dan sajian teknis lainnya.

Terdapat tiga elemen penting dalam sejarah film. Pertama, penggunaan

film untuk propaganda sangatlah signifikan, terutama jika ditujukan nasional

46 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2003), h.61
47 Estu Miyarso, Pengembangan Multimedia Interaktif Untuk Pembelajaran
Sinematografi, Thesis (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2009), h. 2
48 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Edisi 6 Buku 1, h. 35.
38

atau kebangsaan, berdasarkan jangkauannya yang luas, sifatnya yang riil,

dampak emosional, dan popularitas. Dua elemen lainnya adalah sejarah film

yaitu munculnya sekolah film dan munculnya gerakan film dokumenter.49

3. Sejarah Perkembangan Film

Film yang dibuat oleh Thomas Alfa Edison dan Lumiere bersaudara

masih berupa gambar yang diambil dalam frame 50 yang statis51 dan tidak ada

penyuntingan. Pada awal kemunculan film, hal itu sudah lebih dari cukup

untuk penonton pada saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, penonton

menginginkan hal lebih untuk uang yang telah mereka keluarkan.

Seorang pembuat film George Melies, mulai membuat cerita gambar

bergerak, yaitu suatu film yang bercerita. Melies seringkali disebut sebagai

“artis pertama dalam dunia cinema” karena ia telah membawa cerita narasi

pada medium dalam bentuk kisah imajinatif seperti “A Trip to the Moon

(1902).” Film tersebut akhirnya sampai ke Amerika pada tahun 1903, dan para

pembuat film di Amerika tidak hanya meminjam ide untuk menggunakan film

dalam menyampaikan cerita, tetapi juga dikembangkan pada saat itu.

Edwin S. Porter, seorang juru kamera Edison Company, melihat bahwa

film dapat menjadi alat untuk menyampaikan cerita yang lebih baik dengan

penggunaan dan penempatan kamera secara statistik yang disertai dengan

penyuntingan. Film berdurasi dua belas menit karyanya, yang berjudul “The

Great Robbery”52 (1903), adalah film pertama yang menggunakan

49 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Edisi 6 Buku 1, h. 38.


50 Terj : Bingkai
51 Kamera dalam keadaan diam tidak bergerak sama sekali
52 Terj :Perampokan Terhebat
39

penyuntingan, gabungan potongan-potongan antara adegan, dan sebuah kamera

bergerak untuk menceritakan kisah yang relatif kompleks. 53 Film “The Great

Robbery” dianggap film pertama sebagai film cerita pertama karena teknik

pembuatannya yang benar-benar mengagumkan pada waktu itu.54 Teknik

pembuatan film yang digunakan oleh Porter adalah montase yaitu

penggabungan dua gambar yang terpisah , tetapi berkaitan dengan suatu cara

yang memunculkan makna baru yang telah dipadukan.55

Pada tahun 1913, D.W Griffith seorang penulis, aktor dan juru kamera

yang juga terkenal sebagai sutradara yang brillian, membuat film yang berjudul

“Birth of a Nation”56 pada tahun 1916, film “intolerance”, yang kedua-duanya

berlangsung masing-masing berdurasi kurang lebih selama tiga jam.57

Griffith merupakan orang pertama yang memperkenalkan inovasi seperti

latihan terjadwal dan produksi yang didasari dengan naskah film. Griffith juga

tidak mengabaikan aspek penampilan seperti pencahayaan dan kostum,

menggunakan close-up dan sudut kamera dramatis lainnya untuk

mentransmisikan emosi.58 Apabila Porter sudah menggunakan montase 59 untuk

menyampaikan cerita, maka Griffith menggunakannya untuk menciptakan

hasrat, emosi, dan meningkatkan ketegangan. Teknik perfilman hasil pemikiran

Griffith kemudian dikembangankan lagi oleh dua orang berkebangsaan Rusia

yaitu Vsevold Poduvskon dan Sergei Einsenstein. Sebuah sequence dari film
53 Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa, h. 125
54 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 202.
55 Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa, h. 216
56 Terj: Kelahiran Sebuah Negara
57 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 202.
58 Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa, h. 216.
59 Komposisi gambar –gambar yang dihasilkan dari percampuran unsur dari beberapa
sumber.
40

karya Eisenstein yang berjudul “Kapal Tempur Potemkin” yang berlangsung

selama enam menit lamanya. Film tersebut diakui sebagai sequence yang

paling berpengaruh dalam sejarah film. Sequence tersebut menggambarkan

penduduk Odessa Simpatisan pemberontakan kapal Potemkin yang dibunuh

secara kejam oleh pasukan kerajaan.60

Film tersebut disajikan berbeda yakni bergaya film bisu, tetapi cukup

mempesona dan berpengaruh dalam jiwa penonton. Pada tahun 1972 di

Broadway Amerika Serikat munculah film bicara yang pertama walaupun

dalam keadaan belum sempurna seperti sekarang. Sejak saat itu terus dilakukan

pengembangan teknologi dan usaha untuk pengembangan teknologi dan usaha

untuk menyempurnakan film bicara. Kemudian film bicara mencapai

kesempurnaan pada tahun 1935.61

4. Unsur-Unsur Pembentukan Film

Menurut Himawan (2008:2), film dibagi atas dua unsur, yaitu unsur

naratif dan unsur sinematik. Unsur naratif adalah bahan dasar (materi) yang

akan diolah berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. 62 Unsur naratif

terdiri dari tokoh, masalah, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik

merupakan unsur-unsur aspek pembuatan film. Elemen-elemen unsur

sinematik antara lain:63

a. Mise-en-scene, yaitu segala hal didepan kamera yang akan diambil

gambarnya dalam sebuah produksi film. Mise-en-scene terdiri atas

60 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 216.


61 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 203.
62 Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar
(Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2004), h. 136
63 Himawan Pratista, Memahami Film (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), h. 119.
41

empat aspek utama dalam produksi film. Aspek-aspek tersebut adalah:

setting, kostum dan make-up, lighting, dan acting.64

b. Editing, yaitu transisi sebuah gambar ke gambar lainnya. Tahap editing

dimulai dengan pemilihan shot-shot yang telah diambil, kemudian

diolah dan dirangkai sehingga menjadi sebuah film yang utuh.65

c. Sounds, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui

indra pendengaran. Sounds merupakan aspek sistematis yang tidak

kalah pentingnya dengan aspek lain. Melalui sound, adegan yang

terekam dalam kamera akan terasa lebih hidup dan nyata. Sound

memiliki beberapa aspek yaitu dialog, musik, dan efek suara.66

d. Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta

hubungan kamera dengan objek yang diambil. Dalam sebuah produksi

film ketika seluruh aspek mise-en-scene67 telah tersedia dan sebuah

adegan telah siap diambil gambarnya, pada saat inilah unsur

sinematografi mulai berperan. Secara umum sinematografi dibagi

menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film framming, serta durasi

gambar.

Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui

kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak

gambar, dan sebagainya. Framming adalah hubungan kamera dengan objek

64 Marseli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film (Jakarta: Gramedia Widiasarana


Indonesia, 2005), h. 49
65 Himawan Pratista, Memahami Film (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), h. 123.
66 Marseli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, h. 272.
67 segala hal didepan kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi
film
42

yang akan diambil, seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak,

ketinggian, pergerakan kamera dan seterusnya. Sementara durasi gambar

mencakup lamanya sebuah objek diambil gambarnya oleh kamera.

Berikut ini adalah salah satu aspek framming yang terdapat dalam

sinematografi, yakni terhadap jarak dan objek (type of shot). Menurut

Thompson dan Bowen (2009) terdapat sembilan teknik shot kamera, dimana

setiap teknik memiliki fungsi dan makna berbeda, yaitu:68

a) Long shoot/Wide Shot (LS/WS): dengan teknik ini bisa diketahui siapa,

dimana dan kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa

diketahui gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.

b) Medium shots (MS): dengan teknik ini bisa diketahui siapa, dimana

dan kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa diketahui

gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.

c) Close-up (CU): disebut juga intimate shot. Untuk menghasilkan

gambaran orang, objek, atau tindakan yang terlihat besar, sehingga

bisa mendapatkan informasi yang detail tentang objek, serta bisa

menunjukkan ekspresi seseorang.

d) Extreme Long Shot (XLS): digunakan untuk menunjukkan lingkungan

urban69, suburban70, rural71, pegunungan, laut, dan lain-lain. Juga

68 Ari Novita Sari, Grammar of Film, Artikel diakses pada tanggal 11 April 2018 pada
pukul 3:46 dari : http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-Artikel%20Jurnal%20-20%20Ari
%20Novitasari%2007081657%20(AB).doc.
69 Diakses melalui website https://kbbi.web.id/urban , Arti : Berkenaan dengan kota,
bersifat kekotaan. Pada pukul 23:46 WIB
70 Diakses melalui website http://kamus-internasional.com/definitions/?
indonesian_word=suburban, pada pukul 23:47 11 April 2018 Arti : penduduk pinggiran Kota
71 Diakses melalui website https://brainly.co.id/tugas/1348655, Arti : wilayah pedesaan
dengan kehidupan sederhana. Pada tanggal 11 April 2018 pukul 23: 47 WIB.
43

digunakan untuk menujukkan siang, malam, musim dingin, musim

panas, dll.

e) Very Long Shot (VSL): memperlihatkan lebih jelas lagi tentang siapa

dan dimana subjek berada.

f) Medium Close-Up (MCU): memberi informasi tentang cara bicara,

cara mendengarkan atau tindakan dari karakter ekspresi wajah, arah

pandang, emosi, warna rambut, make-up tampak jelas.

g) Big Close-UP (BCU): lebih untuk memperlihatkan bagian wajah,

terutama hidung, mata dan mulut. Untuk memperlihatkan siapa subjek

itu, dan bagaimana ekspresinya (marah, sedih, terharu, dll).

h) Extreme Close-Up (ECU): gambar ini biasanya digunakan untuk film

dokumenter, berkaitan dengan medis atau ilmu alam, bisa juga

digunakan untuk film naratif fiksi, atau film art.

Film umumnya dibangun dengan tanda. Tanda-tanda itu termasuk

berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai

efek yang diharapkan. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film

adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang

menggambarkan sesuatu.72 Dalam setiap gambar yang telah diambil oleh

sutradara baik itu dari segi sudut pandang pengambilan, pencahayaan, tipe

lensa, ataupun yang lain semuanya memiliki arti tersendiri.73

C. Kajian Mengenai Ras dan Rasisme

72 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 128


73 Sri Wahyuningsih, Kearifan Budaya Lokal Madura Sebagai Media Persuasif, Sosio
Didaktika: Vol. 1, No. 2 Desember 2014, h. 177.
44

1. Pengertian Mengenai Ras

Asal mula istilah ras diketahui sekitar tahun 1600. Saat itu Francois

Bernier seorang antropolog berkebangsaan Prancis, pertama kali

mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori

atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Para antropologis menemukan

tiga karakter yang membeda-bedakan tiap ras, yaitu:74

1. Sesuai dengan keadaan anatomi, yakni warna kulit, tekstur rambut,

bentuk atau ukuran badan dan bentuk muka atau kepala.

2. Dilihat dari sudut pandang fisiologis seperti contohnya penyakit

bawaan dan perkembangan hormonal.

3. Yang terakhir adalah komposisi darah dalam tubuh.

Pembagian karakter ini memang sewaktu-waktu dapat berubah tidak

menetap sifatnya sesuai dengan karakter rasnya masing-masing, semua

karakter ras ini juga dilihat dari kemampuan intelegensi, tempramen, dan

karakter-karakter individual yang lain. Lingkungan sosial adalah faktor penting

dalam membentuk pribadi atau sifat sebuah ras.75

Menurut Dr. J. Verkuyl, pengertian ras sungguh-sungguh menunjukkan

suatu realitas, suatu kenyataan dan bukan bersifat fiktif belaka. Ras terutama

menyangkut pengertian hayati atau biologis yang dapat dibedakan antara ras

yang satu dengan yang lainnya.76 Horton dan Hunt berpendapat bahwa ras

74 A. Liliweri, Prasangka dan Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat


Multikultur, (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 21
75 Martin N. Marger, Race and Ethic Relations: 3rd ed Balmount, (California:
Wadswouth Publishing Company, 1994), h. 24.
76 J. Verkuyl, Etika Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 1992), h. 17
45

merupakan suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok-

kelompok lainnya dalam segi ciri-ciri fisik bawaan, dalam banyak hal juga

ditentukan oleh pengertian yang kerap digunakan oleh masyarakat.77 para ahli

antropologi fisik umumnya membedakan ras berdasarkan lokasi geografis, ciri-

ciri fisik seperti warna mata, warna kulit, bentuk wajah, warna rambut, bentuk

kepala dan prinsip evolusi rasial.78

Menurut Grosse, ras adalah segolongan manusia yang merupakan satu

kesatuan karena memiliki kesamaan sifat jasmani dan rohani yang diturunkan

sehingga berdasarkan itu dapat dibedakan dengan kesatuan yang lain.79 Ras

merupakan konsepsi sosial yang timbul dari usaha untuk mengelompokkan

orang ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Identitas rasial biasanya

berhubungan dengan ciri-ciri fisik luar seperti warna kulit, tekstur rambut,

penampilan wajah, dan bentuk mata. Konsep identitas rasial berlaku di

Amerika Serikat sebagai gagasan secara sosial yang tidak diragukan

berhubungan dengan warisan historis seperti perbudakan, penganiayaan suku

Indian di Amerika Serikat, isu hak sipil, dan yang terbaru tingkatan imigran.

Sulit untuk menyatakan akibat dari rasisme, karena efeknya dapat secara

sadar atau tidak sadar. Karena secara realita akibat dari rasisme secara tidak

disadari ialah dapat merusak bahkan menghancurkan suatu budaya dengan

77 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
Cetakan ke-2, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 195.
78 J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, h.
196
79 N. Daldjoeni, Ras-ras Umat Manusia: Biogeografis, Kulturhistoris,
Sosiopolitis( Bandung: PT Citra Adhitya Bakti, 1991),h. 1.
46

terjadinya pembagian kelompok secara politik, sosial, dan ekonomi dalam

suatu negara.80

2. Pengertian Rasisme

“Ras dalam pertaliannya dalam makan rasisme, merujuk pada kelompok

manusia yang ditentukan oleh dirinya sendiri atau oleh pihak lain, yang

berlainan secara kultural berdasarkan ciri-ciri jasmaniah yang tidak dapat

berubah. Jadi ras dalam rasisme tidak ditentukan secara kesepakatan sosial,

tetapi berdasarkan ciri-ciri fisik.”81 ( N. Daldjoeni)

Kata rasisme merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu

racism. Racism terambil ataupun berasal dari kata race yang mempunyai arti,

yaitu: pertama, suatu kelas populasi yang didasarkan pada kriteria genetik.

Kedua, kelas dari genotip-genotip. Ketiga, setiap populasi yang secara genetis

berbeda dengan populasi lainnya (ras).82

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian rasisme adalah,

prasangka berdasarkan keturunan bangsa; atau sebuah paham yang menyatakan

bahwa ras suatu suku atau bangsa tersebut yang paling unggul. 83 Terdapat

banyak perbedaan pendapat mengenai definisi rasisme. Menurut Soerjono

Soekamto, ras yang pertama, suatu kelas populasi yang didasarkan pada

80 Larry Samovar, Komunikasi Lintas Budaya, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),


hlm. 187
81 N. Daldjoeni, Ras-ras Umat Manusia: Biogeografis, Kulturhistoris, Sosiopolitis,h.
81.
82 Soerjono Soekamto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), cet
ke-3, h. 360
83 Diakses melalui website https://kbbi.web.id/rasisme, pada tanggal 4 Maret 2018,
pukul 19:36 WIB.
47

kriteria genetik, kedua, kelas dari genotip-genotip, dan ketiga, setiap populasi

yang secara genetis berbeda dengan populasi lainnya.84

Menurut Hugo F. Reading, rasial adalah:85

1. Kelompok penduduk yang didasarkan pada kriteria genetika

2. Setiap penduduk yang berbeda secara genetika lainnya

3. Kelompok yang terdiri atas genotypes

4. Para individu, terlepas dari lokasi, yang genotipnya merupakan suatu

kelompok tersendiri.

Rasisme merupakan suatu gagasan yang mengatakan bahwa terdapat

kaitan kausal antara ciri-ciri jasmaniah yang diturunkan dan ciri-ciri tertentu

dalam hal kepribadian, intelektual, budaya atau gabungan dari semua itu, yang

kemudian menimbulkan sikap superioritas dari ras tertentu terhadap orang

lain.86

Rasisme berasal dari dominasi dan menyediakan dasar pemikiran sosial

dan filosofis pembenaran untuk merendahkan dan melakukan kekerasan

terhadap orang berdasarkan warna. Banyaknya rasisme, dapat menunjukkan

dua sikap dan kekuatan struktural. Bentuk-bentuk dari rasisme itu sendiri

merupakan kejadian brutal terbuka atau bahkan dapat tidak terlihat oleh

institusi tertentu.87

Rasisme merupakan suatu sikap penindasan untuk tujuan sosial. Di

Amerika Serikat, tujuan utama dari rasisme adalah untuk melegalkan


84 Soerjono Soekamto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 14
85 Hugo F. Reading, Kamus ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 78
86 N. Daldjoeni, Ras-ras Umat Manusia: Biogeografis, Kulturhistoris, Sosiopolitis,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 81.
87 Martin N. Marger, Race and Ethic Relations: 3rd ed Balmount,h. 30.
48

perbudakan demi keuntungan ekonomi yang besar. Ras dalam definisi

berdasarkan geografis adalah kumpulan individu atau kelompok yang serupa

dalam sejumlah ciri dan menghubi suatu teritori serta seringkali berasal mula

sama. E. Von Eickstedt membedakan masyarakat atas dasar prinsip evolusi

rasial, yaitu :88

1. Leukoderm ( Leuko : putih).89 Termasuk dalam ciri ras ini Europid,

Polinesid, Weddid, Ainuid, dengan ciri-ciri umum: wajah dan bagian-

bagiannya menonjol, rambut lurus hingga berombak, hidung sempit,

tinggi, pigmentasi agak terang. Contoh : orang-orang Eropa dan

Polinesia.

2. Melanoderm ( Melano : hitam).90 Termasuk di dalam ras ini adalah

Negrid, Melanesid, Pigmid, Australid, dengan ciri-ciri umum: warna

kulit agak gelap, rambut agak keriting, hidung sangat lebar, wajah

prognat, bibir sangat tebal. Contoh : orang Afrika, Aborigin di

Australia, dan Melanesia.

3. Xantoderm ( Xanto : kuning).91 Termasuk di dalam ras ini adalah

Mongoloid, Indianid, Khoisanid, dengan ciri-ciri uum: wajah

mendatar dengan pangkal hidung rendah dan pipi menonjol kedepan,

celah mata mendatar dengan epicantus internus (kerut mongol),

rambut hitam, lurus, tebal, warna kulit kekuningan. Contoh : orang

Asia, Indian, Eskimo, dan bangsa Khoisan di Afrika.

88 J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, h.
196
89 Kategori untuk menunjukkan ras berkulit putih
90 Kategori atau istilah untuk menunjukkan ras berkulit hitam
91 Kategori atau istilah untuk menunjukkan ras bekulit kekuningan
49

Rasisme secara umum dapat diartikan sebagai serangan sikap,

kecendrungan, pernyataan, dan tindakan yang mengunggulkan atau memusuhi

kelompok masyarakat terutama karena identitas ras. Rasisme juga dipandang

sebagai sebagai sebuah kebodohan karena tidak mendasarkan (diri) pada suatu

ilmu apapun, serta sangat jelas berlawanan dengan norma-norma etis,

perikemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia. Akibatnya orang dari suku

bangsa lain sering didiskriminasikan, dihina, ditindas, dan dibunuh.92

Ras atau lebih dikenal dengan sebutan rasisme dan sering disamaartikan

dengan rasialisme. Istilah rasialisme digunakan untuk menyebut gagasan yang

meyakini adanya kaitan kausal antara ciri-ciri jasmaniah seseorang dengan

keturunan, kepribadian, intelektualitas, kebudayaan, atau gabungan dari

semuanya.

Gagasan tersebut kemudian menimbulkan potensi perasaan superioritas

pada ras tertentu terhadap ras yang lain. Rasialisme sering kali bertalian dengan

kelompok non-biologis dan non-rasial, seperti sekte keagamaan, kebangsaan,

kebahasaan, etnik atau kultural atau hanya sebuah prasangka yang sering kali

dilihat dari stereotip dan kecemburuan sosial. Jadi dapat disimpulkan bahwa

ilmu tentang ras, ras ditentukan bukan secara sosial melainkan berdasarkan

ciri-ciri fisik.93

3. Perilaku Rasisme

92 Diakses melalui website http://sinarharapan.co.id/rasisme, pada tanggal 10 April


2018 pada pukul 2:54 WIB
93 Ramon Grosfoguel, “What is Racism?”, Journal of World-Systems Research, Vol. 22
Issue. 1, 2016, h. 7.
50

Sistem perbudakan pada abad 18–19 di Amerika, adalah sistem awal

terbentuknya rasisme yang meyakini bahwa rasa, kelompok, suku atau warga

kulit hitam memiliki atau berada di tingkat sosial yang lebih rendah

dibandingkan dengan ras, kelompok, suku atau warga kulit putih di Amerika.94

Pemikiran secara rasisme, mempengaruhi dasar-dasar secara alami

tentang pemikiran dan tindakan untuk memberikan perlakuan yang berbeda

pada setiap anggota sebuah ras yang berbeda dengan ras yang lain. Sebuah

suku bangsa diklasifikasikan sesuai dengan keanggotaan mereka pada suatu

grup atau suku, yang menciptakan ke tidak seimbangan antara satu suku

dengan yang lainnya.95

Bila dilihat sebagai sebuah sistem atau sebuah ideologi, rasisme

terstruktur atau terbagi menjadi tiga, yaitu:96

1. Manusia secara alami sudah terbagi atau dibedakan sesuai dengan

keadaan fisik.

2. Sesuai dengan keadaan fisik sebuah suku atau ras, juga

kepribadian atau intelektual.

3. Bila dilihat dari dasar genetik sebuah suku, sebuah kelompok atau

suku merasa lebih kuat atau lebih baik dari suku yang lain.

Neubeck membagi dua jenis perilaku rasisme dalam bukunya yang

berjudul Social Problem: A Critical Approach, yaitu :97


94 Martin N. Marger, Race and Ethic Relations: 3rd ed Balmount, (California:
Wadswouth Publishing Company, 1994), h. 29.
95 Martin N. Marger, Race and Ethic Relations: 3rd ed Balmount, (California:
Wadswouth Publishing Company, 1994), h. 26.
96 Martin N. Marger, Race and Ethic Relations: 3rd ed Balmount, (California:
Wadswouth Publishing Company, 1994), h. 32
97 Kenneth Neubeck dan Alice Mary, Social Problem : A Critical Approach, (USA:
McGraw-Hill Companies, 1997) h. 269-277.
51

a. Personal Racism

Personal racism terjadi ketika individu (atau kelompok kecil

individu) memiliki sikap curiga dan / terlibat secara langsung

dalam perilaku diskriminatif dan sejenisnya. Manifestasi personal

racism adalah ketika stereotip individu atas dasar dugaan

perbedaan ras, menghina nama dan referensi, perlakuan

diskriminatif selama melakukan kontak interpersonal, ancaman,

dan tindak kekerasan terhadap anggota kelompok minoritas yang

diduga menjadi ras inferior.

b. Institutional Racism

Merupakan perilaku rasisme yang dilakukan oleh kelembagaan

yang mendapat perlakuan khusus untuk menangani masyarakat

minoritas. Dalam hal ini mereka menarik perhatian pada fakta

bahwa kelompok-kelompok seperti penduduk asli Amerika,

Afrika-Amerika, Latino-Amerika, dan Asia-Amerika sering

menjadi korban rutin kerja dari struktur organisasi tersebut. Tidak

seperti beberapa bentuk personal racism, rasisme yang terjadi

melalui operasi sehari-hari dan tahun ke tahun dari lembaga

berskala besar seringkali sulit untuk mendeteksi tanpa

investigasi.98

Terdapat dua aspek yang mempengaruhi sikap rasialisme yaitu sikap

diskriminasi ras yang mencakup segala bentuk perilaku pembedaan

98 N. Daldjoeni, Ras-ras Umat Manusia: Biogeografis, Kulturhistoris, Sosiopolitis, h.


90
52

berdasarkan ras.99 Bentuk diskriminasi ras tampak jelas dalam pemisahan

(segregasi) tempat tinggal warga ras tertentu di dunia barat maupun timur. Juga

tata pergaulan antar ras yang memperlakukan etiket (sopan santun) berdasarkan

superioritas atau inferioritas golongan.100

Aspek kedua dari rasialisme adalah prasangka ras. Prasangka adalah

gejala psikologis yang ditandai dengan sikap penuh emosi yang tak disertai

bukti-bukti terlebih dahulu berdasarkan pengalaman. Pendorong munculnya

prasangka dalam pergaulan antar ras adalah sugesti, kepercayaan, keyakinan,

dan emulasi (persaingan, perlombaan). Biasanya prasangka terdapat di

kalangan negara-negara barat yang sebagian besar masyarakat kulit putih,

kelompok mayoritas ini lalu meremehkan orang kulit hitam.101

Kedua aspek ini ternyata saling menguatkan dan tidak lagi dapat

dipisahkan satu sama lainnya. Prasangka memunculkan suatu rasionalisasi bagi

diskriminasi, sedangkan diskriminasi kerap kali membawa ancaman. Dalam

suasana prasangka dan diskriminasi tidak terdapat tempat bagi toleransi dan

keterbukaan.

Contohnya di negara Afrika Selatan, apabila orang kulit putih memihak

kulit hitam, ia akan diperlakukan buruk oleh sesama orang kulit putih.

Diskriminasi ras di Afrika selatan pada saat ini masih berlangsung, terlebih

ketika orang kulit putih khawatir akan kemungkinan majunya orang kulit hitam

pada segala bidang. Maka orang kulit putih dengan segala cara akan menghalau
99 Ramon Grosfoguel, “What is Racism?”,h. 9
100 N. Daldjoeni, Ras-ras Umat Manusia: Biogeografis, Kulturhistoris, Sosiopolitis,),
h. 95
101 Rachman Munawar, dkk, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman : Wacana
Multikultural dalam Media, (Jakarta:LSPP, 1999), h. 97-98.
53

dan menutup segala pintu ke arah kemajuan yang mungkin dimanfaatkan orang

kulit hitam.102

Dr. Gregory Jay, Professor of English Senior Director, culture, and

communities, ia berpendapat bahwa setidaknya pada abad 17, ras kulit putih

muncul sebagai penanda istilah hukum dan pengatur kehidupan sosial. Ras ini

diakui sebagai warga negara, dapat menikmati pendidikan di sekolah dan

gereja, bisa menikahi siapa saja, dan bisa melakukan apapun tanpa ada batasan.

Ia menyimpulkan bahwa ras kulit putih memiliki hak-hak istimewa dan berhak

mendapatkan perlindungan yang lebih dibandingkan ras lain. Dan itulah yang

disebut dengan whiteness.103

Whiteness adalah kata yang ditunjukkan untuk memberikan identitas

rasial dan terselubung ke dalam makna sosial terkait dengan perbedaan ras.

Perbedaan ini dapat terlihat dari proses afiliasi, dimana proses ini akan

membentuk kerja sama yang dilakukan beberapa orang untuk mencapai suatu

kesepakatan eksternal. Semua orang kulit putih akan lebih mudah untuk

mengklaim hak-hak istimewanya dibanding non kulit putih. hal ini perlu

diingat tentang permasalahan “whiteness” ialah bila orang kulit putih sadar

bahwa mereka dapat mengalami hukum yang berbeda dengan orang non kulit

putih, sedangkan orang non kulit putih bila ingin menjalankan suatu hal harus

meminta izin terlebih dahulu kepada orang kulit putih.104

102 Rachman Munawar, dkk, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman : Wacana


Multikultural dalam Media, h. 101
103 Diakses melalui website https://pantherfile.uwm.edu/gjay/www/introwhite.html,
pada tanggal 11 April 2018 Pukul 19:54 WIB.
104 J. Nielsen, Whiteness and Anti-Discrimination Law- it’s in the Design, (ACRAWSA
e-journal, Vol. 4, No. 2, 2008), h. 2-3.
54

Afrika-Amerika, atau Afro-Amerika, adalah sebuah kelompok etnis di

Amerika Serikat yang nenek moyangnya banyak berasal dari Afrika di bagian

Sub-Sahara dan Barat. Mayoritas dari rakyat etnis Afrika-Amerika berdarah

Afrika, Eropa dan Amerika Asli. Istilah yang digunakan untuk merujuk kepada

kelompok etnis ini dalam sejarah termasuk negro, kulit hitam, dan istilah

lainnya dalam bahasa inggris: colored, Afro-Americans.105

Alo Liliweri mengatakan bahwa bangsa kulit hitam pertama kali dijual

dan diperdagangkan ke selatan Amerika sejak 1607 hingga 1807 ketika

akhirnya pengimporan tersebut dilarang. Setelah Abraham Lincoln menentang

perbudakan pada dilantik sebagai Presiden AS pada tahun 1860, perbudakan

pun dihapuskan pada 1863 melalui status hukum. Kedatangan orang-orang

kulit hitam yang jumlahnya terus bertambah itu akhirnya mendorong

pemerintah untuk mengakui kehadiran mereka tak lebih sebagai budak adalah

The Thirteenth Amandement to the Constitution106, yang mengatur perbudakan

secara hukum di tahun 1865.

Doktrin supremasi kulit putih yang digunakan untuk mendukung

lembaga perbudakan merupakan bagian dari adat dan kebijakan Amerika,

bahwa Mahkamah Agung tahun 1875 setuju menyimpulkan baik Amerika

Utara maupun Selatan menganggap budak sebagai suatu tatanan rendah dan

sama sekali tidak layak untuk bersosialisasi dengan ras kulit putih, baik dalam

105 Orang berkulit hitam


106 Undang-undang yang mengatur perbudakan secara legal di Amerika Serikat
55

hubungan sosial atau politik, dan lebih jauh, budak tidak memiliki hak yang

sama seperti orang kulit putih.107

Ketika orang-orang berasal dari budaya yang berlainan dalam

berkomunikasi, penafsiran keliru atas sandi merupakan hal yang lazim terjadi.

Devito berpendapat dalam buku Komunikasi Antar Budaya karya Ahmad

Shihabudin, bahwa dalam mempelajari komunikasi antar budaya kita perlu

memperhatikan hal-hal berikut: 1) Orang dari Budaya yang berbeda

berkomunikasi secara berbeda. 2) Melihat cara perilaku masing-masing budaya

sebagai sistem yang mungkin tetapi sifatnya arbitrer. 3) Cara kita berpikir

tentang perbedaan budaya mungkin tidak ada kaitannya dengan cara kita

berprilaku.108

Bagi kebanyakan orang, memiliki identitas budaya, kebangsaan,

keagamaan tertentu amatlah penting. Namun sayangnya, hal ini kerap kali yang

menjadi sebab munculnya etnosentrisme (ethnocentrism), yaitu suatu sikap dan

kepercayaan bahwa bahwa ras, kebangsaan, atau agama seseorang lebih hebat

dan superior jika dibandingkan dengan yang lain. Etnosentrisme merupakan

sesuatu yang universal, mungkin karena hal ini membantu keberlangsungan

hidup dengan meningkatkan keterikatan seseorang dengan kelompoknya dan

meningkatkan keinginannya untuk bekerja keras atas nama kelompok.109

Pada dasarnya, etnosentrisme terletak pada identitas sosial, yaitu, “kami”.

Setelah mereka mempersepsikan orang lain sebagai “bukan kami.” Prasangka,

107 Ramon Grosfoguel, “What is Racism?”, Journal of World-Systems Research, Vol.


22 Issue. 1, 2016, h. 9.
108 Ahmad Shihabudin, Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013) h. 4.
109 Carol Wade dan Carol Travis, Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 311.
56

stereotip, diskriminasi, dan rasisme merupakan bagian dari situasi yang

melibatkan evaluasi negatif dari beberapa kelompok. Prasangka merupakan

praduga dari penilaian negatif mengenai suatu kelompok dan setiap individu

dari anggotanya.110

Prasangka adalah sikap. Sikap merupakan kombinasi yang jelas dari

perasaan (feelings), kecendrungan untuk bertindak (inclanation to act), dan

keyakinan (beliefs). Orang yang memiliki prasangka mungkin membenci

seseorang yang berbeda dengan dirinya dan berprilaku secara diskriminatif.

Evaluasi negatif yang seringkali didukung oleh keyakinan negatif, inilah yang

disebut dengan stereotip. Stereotip adalah ringkasan kesan terhadap

sekelompok orang dimana semua anggota dalam kelompok dilihat memiliki

sifat-sifat yang sama. Stereotip dapat saja bersifat negatif, positif, atau netral.

Bagaimanapun juga, stereotip merefleksikan perbedaan antar orang, dan

mereka juga mendistorsikan kenyataan dalam tiga cara. Pertama, mereka

melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok, membuat kelompok yang

distereotipkan terlihat aneh, asing, atau berbahaya, tidak seperti “kami”.

Kedua, mereka menghasilkan seleksi-selektif, orang-orang cenderung untuk

melihat bukti-bukti yang sesuai dengan stereotip dan menolak adanya persepsi

yang tidak sesuai dengan stereotip. Dan ketiga, mereka mengabaikan

perbedaan masing-masing anggota dalam kelompok asing ini. Stereotip

menciptakan kesan bahwa setiap anggota tersebut ini haruslah sama.111

110 David G. Myers, Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika 2012), h. 6.


111 Carole Wade dan Carol Travis, Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 313.

Anda mungkin juga menyukai