Anda di halaman 1dari 7

Yudi Fauzan Jati E061181010

Farah Zhahirah Whalyani E061181324


A. Muh. Fadhil Pramadiansyah E061181520

Peran ASEAN terhadap Konflik Papua terkait


Tindakan Rasialisme di Surabaya

A. Latar Belakang
Propaganda rasialisme terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Kasus ini
terjadi akibat adanya dugaan tentang perusakan bendera Merah Putih oleh mahasiswa Papua.
Hal inilah yang menjadi penyebab aksi rasis yang dilakukan beberapa oknum yang berada di
sana. Aksi penggerebekan juga dilakukan oleh aparat TNI dan Satpol PP melakukan
pengepungan di area asrama. Pada kejadian ini terjadi penangkapan terhadap mahasiswa Papua
sebanyak 43 orang yang dilakukan secara paksa dan mereka dibawa ke Kantor Polres Surabaya
serta satu orang mahasiswa dikriminalisasi.
Tindakan rasisme ini memicu terjadinya isu referendum di Papua dan gelombang
demonstrasi serta kerusuhan di beberapa daerah. Kerusuhan dan demonstrasi ini terjadi di
Fakfak, Manokwari, Jayapura, Sorong hingga Makassar. Dampak dari kerusuhan ini adalah
terjadinya pembakaran dan perusakan fasilitas yang terjadi di daerah Papua, seperti
pembakaran gedung DPRD Provinsi Papua Barat, pembakaran Kantor Majelis Rakyat Papua
Provinsi Papua Barat dan beberapa kantor dinas. Perusuh juga merusak kantor KPUD dan
Bawaslu yang berada di sana. Bahkan kericuhan ini menjalar hingga ke Makassar yang
melibatkan antara warga lokal dan masyarakat Papua yang menghuni salah satu asrama,
dimana kedua kubu ini saling lempar batu. Di Jayapura sendiri, massa berdemo melakukan
long march sepanjang 18 kilometer dari Waena menuju ke kantor gubernur untuk menuntut
kasus rasisme yang terjadi terhadap orang Papua harus dihentikan. Bahkan, kasus rasisme yang
menyebabkan demonstrasi besar dan kerusuhan ini menarik perhatian dunia, terutama ASEAN.
ASEAN (Association of South East Asian Nation) merupakan sebuah organisasi tingkat
regional yang menghimpun negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Indonesia
merupakan salah satu dari anggota organisasi regional ini. Sebagai negara anggota ASEAN,
tentunya isu dan konflik yang terjadi di Indonesia akan menjadi perhatian bagi negara-negara
anggota lainnya. Namun, sebagai organisasi regional, ASEAN memiliki prinsip-prinsip dasar
yang tentunya tidak dapat melakukan tindakan yang berlebihan terhadap negara anggotanya.
Pada pembahasan ini, penulis akan membahas konflik yang terjadi disebabkan tindakan rasis
dan akan membahas usaha yang akan dilakukan oleh ASEAN terhadap konflik di Papua.

B. Pembahasan
Tindakan rasialisme yang ditujukan kepada mahasiswa Papua yang terjadi di Asrama
Mahasiswa Papua di Surabaya menimbulkan dampak yang luas. Sebelumnya, aparat TNI
melihat ada bendera Merah Putih yang dipasang oleh Pemerintah Kota Surabaya jatuh ke
selokan, lantas mereka mendatangi dan menggedor gerbang asrama. Satpol PP dan ormas pun
datang secara bertahap mengepung asrama tersebut selama 24 jam. Pada saat itulah terjadi
lontaran makian bernada rasisme yang diteriakkan kepada mahasiswa Papua yang berada di
dalam asrama. Bahkan personel Brigade Mobil sempat menembakkan 23 kali gas air mata ke
dalam asrama mahasiswa Papua yang menyebabkan satu orang terluka akibat gas air mata di
kakinya dan empat orang dipukuli. Polisi melakukan penangkapan paksa terhadap 43 orang
mahasiswa Papua yang berada di asrama dan mereka dibawa ke Markas Kepolisisan Resor
Kota Besar Surabaya. Namun, keesokan harinya 43 mahasiswa Papua ini dibebaskan sebab
tidak terbukti kuat atas melakukan tindakan penghinaan terhadap lambang negara.
Ujaran rasis yang terlanjur dilontarkan oleh beberapa aparat dan anggota ormas saat
melakukan pengepungan di asrama mahasiswa Papua pun akhirnya menuai kecaman dan reaksi
dari masyarakat Papua di berbagai daerah. Gelombang demonstrasi yang besar dan kericuhan
secara bergiliran terjadi di beberapa kota. Di Manokwari, ribuan massa dari berbagai elemen
ikut turun ke jalan karena mereka tidak menerima atas apa yang terjadi di Kota Surabaya
terhadap mahasiswa Papua dan kerusuhan pun tak terhindarkan. Kepolisisan Daerah Papua
Barat merilis data mengenai kerusakan gedung, kendaraan serta sarana dan prasana akibat
kerusuhan yang terjadi di Manokwari, seperti pembakaran berbagai gedung pemerintah pun
terjadi, seperti pembakaran gedung DPRD Provinsi Papua Barat, Kantor Majelis Rakyat Papua
Provinsi Barat, Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Papua Barat, Kantor
BPBD Manokwari, Gedung Dinas Perekonomian dan Perdagangan Manokwari, Kanroe Dinas
Lingkungan Hidup Manokwari serta Kantor Satpol PP Manokwari dan persuakan kantor
KPUD dan Bawaslu. Beberapa tempat usaha dan kendaraan pribadi juga dirusak oleh massa.
Untuk di Jayapura sendiri, massa melakukan aksi long march sepanjang 18 kilometer dari
Waena menuju ke kantor gubernur untuk menuntut tindakan rasialisme terhadap orang Papua
harus dihentikan. Di Sorong, fasilitas publik seperti bandara juga ikut dirusak oleh massa.
Kendaraan pribadi yang berada di parkiran bandara pun dirusak oleh massa. Hal ini menjadikan
kelumpuhan di bandara selama beberapa jam. Tidak hanya itu, jalan raya di Sorong ikut
lumpuh, bahkan menjalar ke pembakaran gedung penjara. Selain di daerah Papua, mahasiswa
yang berada di kota Makassar pun terlibat bentrok antar warga lokal dengan melakukan
serangan saling lempar batu yang terjadi asrama mahasiswa Papua yang ada di sana.

Demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi sangat memperlihatkan dampak buruk dari
tindakan rasis yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya bagi Indonesia. Pada
saat kondisi Papua bergejolak, Presiden Joko Widodo akhirnya merespon kejadian ini dengan
menekankan untuk masyarakat Papua agar bisa memaafkan atas hal yang telah terjadi. Polisi
juga merespon aksi yang terjadi di Papua dengan menambah personel mereka ke sana. Kepala
Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan bahwa pihak
kepolisian akan melakukan penambahan pasukan sebanyak 600 personel demi mengamankan
objek vital di Papua. Selain itu, ada 300 mahasiswa Papua yang sedang melakukan studi di
berbagai kota memutuskan untuk kembali ke Papua berdasarkan pernyataan Gubernur Papua,
Lukas Enembe.

Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari tindakan aparat keamanan
dan pemerintah terkait penanganan kasus rasialisme dan kerusuhan yang terjadi. Pihak
kepolisian menyatakan bahwa pendemo hanya terprovokasi media sosial, dimana hal ini
memperlihatkan bahwa seakan-akan pelaku yang melakukan tindakan rasisme bukan menjadi
prioritas dari kepolisian untuk dilakukan penahanan. Tidak hanya itu, Kementrian Komunikasi
dan Informatika juga memperlambat jaringan internet di beberapa wilayah di Papua. Menurut
Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu, tindakan ini merupakan permintaan dari pihak
kepolisian.

Respon dari masyarakat Papua tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka.
Hal ini sejalan dari apa yang disampaikan oleh Mikael Kudiai, seorang demonstran di Nabire.
Kudiai menyatakan bahwa kericuhan yang terjadi di Papua merupakan akumulasi atas tindakan
rasisme yang telah dilakukan terhadap orang Papua di Indonesia. Dia juga menganggap
tindakan rasisme ini sangat menyakiti dan menjatuhkan martabat orang Papua. Kudiai juga
menyatakan bahwa selama ini pemerintah dan aparat kepolisian tidak melakukan tindakan
tegas walaupun peristiwa serupa sudah terjadi berkali-kali. Mahasiswa yang melakukan aksi
unjuk rasa di depan Istana Merdeka juga menuntut kepada pemerintah Indonesia agar
memberikan izin bagi Papua untuk melakukan referendum. Menurut koordinator aksi mereka,
referendum merupakan jalan keluar agar diskriminasi dan tindakan rasisme terhadap
masyarakat Papua bisa berhenti. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga
memberikan informasi yang diteruskan dari Komnas HAM, yakni ada 33 orang korban tewas
dari aksi anti rasisme di Wamena dan sekitarnya.Respon dari pemerintah dan aparat keamanan
atas kejadian rasisme ini dinilai tidak menyelesaikan akar masalah yang ada di Papua. Padahal,
masyarakat Papua menginginkan permintaan maaf dari pemerintah, tindakan tegas terhadap
pelaku rasisme dan dialog antara pemerintah dengan orang Papua.

a. Peran ASEAN dalam konflik Papua berdasarkan Konsep Kerjasama Politik


ASEAN sebagai organisasi regional di wilayah Asia Tenggara secara resmi menyatakan
dukungan atas kesatuan wilayah Indonesia dan menolak segala bentuk usaha untuk
mengganggu keutuhan wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip dasar
ASEAN, yaitu tidak akan ikut campur dalam persoalan internal (non-interference principle)
tiap-tiap negara. Berdasarkan prinsip ini, isu Papua dianggap sebagai masalah internal
Indonesia, meskipun permasalahan di Papua memiliki dimensi internasional.1
Berbicara mengenai prinsip non-interference yang dianut oleh ASEAN, prinsip itu
sebenarnya memiliki kaitan dengan konsep kerjasama ASEAN dalam bidang politik, yakni
dikenal dengan konsep ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) atau Zona Damai,
Bebas, dan Netral. Konsep ini damai ini merupakan suatu kondisi dimana terdapat hubungan-
hubungan yang harmonis dan teratur di antara negara-negara Asia Tenggara dari pengawasan,
dominasi atau campur tangan negara-negara lain dalam masalah-masalah internal dan eksternal
mereka. Hal ini berarti kebebasan negara-negara Asia Tenggara memiliki hak untuk
menyelesaikan masalah-masalah domestik sesuai dengan kondisi dan aspirasinya, memikul
tanggung jawab utama bagi keamanan dan stabilitas kawasan, serta mengatur hubungan-
hubungan regional dan internasional mereka atas dasar persamaan kedaulatan dan saling
menguntungkan.
ASEAN menghadapi banyak sekali ancaman keamanan baik negara antara negara
maupun masalah negara anggota ASEAN itu sendiri. Seiring berkembangnya globalisasi,
sedikit demi sedikit mengharuskan ASEAN untuk berani bergerak meninggalkan sikap
konservatif yang selama ini melekat cukup erat, seperti melakukan definisi ulang atas prinsip-
prinsip yang dianut dan memperbaiki mekanisme pembuatan keputusan didalam tubuh
ASEAN. Prinsip non-interference yang dianut ASEAN misalnya, akan tetap menjadi kunci
dalam Komunitas ASEAN, namun pemerintah negara-negara ASEAN diharapkan bisa
bersikap lebih fleksibel dan bijaksana dalam menerapkan prinsip tersebut, terutama yang

1
Adriana Elisabeth, “DIMENSI INTERNASIONAL KASUS PAPUA.” Jurnal Penelitian Politik Vol. 3 No. 1,
2016, Hal 51.
terkait dengan persoalan transnational crime yang memiliki dampak regional. Pada masa
depan mendatang, ASEAN disarankan agar mulai memilah-milah kapan prinsip ini bisa
diterapkan secara tepat, dan kapan ia dapat digunakan secara fleksibel. Ada baiknya ASEAN
mulai memperkenalkan sistem ‘voting’ sebagai mekanisme utamanya di dalam setiap
pengambilan keputusannya, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah demokrasi dan
penegakan HAM.

Meskipun ASEAN memiliki prinsip non-interference kepada masalah internal tiap-tiap


negara, tetapi dalam kasus penegakan hak asasi manusia, ASEAN yang dikenal dengan
ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) dimana parlemen ini mempunyai
kekuatan intervensi hak asasi manusia untuk mencegah diskriminasi, rasisme, dan menegakkan
kebebasan politik serta memperkenalkan demokrasi dan hak asasi manusia diseluruh kawasan.
Para anggota APHR mengimbau pemerintah Indonesia untuk mengatasi terkait meningkatnya
kasus intoleransi dan memastikan kebebasan beragama terjamin bagi semua warga negara.2

b. Analisis Peran ASEAN berdasarkan Perspektif Penulis


Untuk menghindari situasi menjadi semakin tidak terkendali dan akan lebih banyak orang
yang mempertaruhkan nyawanya, maka dari itu kita harus menahan diri untuk memakai
kekerasan. Adapun solusi yang dapat kami berikan guna menyeselaikan konflik rasisme di
Papua yakni, Pemerintah Indonesia dan bahkan ASEAN seharusnya memulai dialog supaya
memperbaiki stabilitas dan perdamaian di Papua, diawali dengan memastikan keamanan
demonstran dalam menyampaikan pendapat serta tidak lagi menerapkan ataupun menggunakan
pendekatan keamanan militer terhadap masyarakat Papua. Jika kita menggunakan pendekatan
tersebut, maka tidak akan menyeselaikan masalah sebab pendekatan keamanan militer berbasis
kekerasan itu tidak manusiawi dan kekerasan militer tak akan menuntaskan masalah malah
memicu pelanggaran hak asasi manusia. Tindakan-tindakan tersebut harus dihentikan dan
diproses secara hukum untuk menegaskan peristiwa ini tidak terjadi lagi. Oleh karena itu
Pemerintah Indonesia bahkan ASEAN harus membuka diri dan mengambil kebijakan nyata
terhadap penyelesaian kasus rasisme di Papua.
Solusi lain yang dapat kami berikan yakni, penegakan hukum dan menata ulang kehidupan
sosial masyarakat Papua Pemerintah harus menganalisis kinerja dan kebijakan program yang
sudah diterapkan di Papua serta seberapa besar perubahan setelah diimplementasikan kebijakan

2
Kusumasari Ayuningtyas, “Parlemen ASEAN Imbau Indonesia Atasi Meningkatnya Intoleransi”
benarnews.org, 2018.
ini. Apakah telah sesuai dengan keinginan masyarakat Papua itu sendiri apa belum. Selajutnya,
melakukan industrialisasi di Papua. Solusi ini perlu ada karena program ini bertujuan untuk
mendorong investasi di wilayah Indonesia bagian timur, akan tetapi bisa saja berdampak pada
kesejahteraan yang didapat masyarakat Papua karena dapat mengeksploitasi sumber daya alam
dan kehadiran industrialisasi akan membuat pergeseran dan juga akan terjadi perubahan sosial
di masyarakat Papua.

C. Simpulan
Konflik Papua sudah sering terjadi berkali-kali sejak Papua diintegrasikan ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1969 melalui Pepera (Act of Free
Choice). Namun, sistem pemungutan suara sebagai status politik Papua secara de facto dan de
jure dianggap sah oleh pemerintah Indonesia meskipun sebagian orang Papua tetap merasa,
bahwa proses Pepera dilakukan secara tidak adil. Tanah Papua kini terus-menerus menjadi
perbincangan dunia dengan rangkaian kasus pelanggaran HAM, eksploitasi tanah Papua dan
konflik lainnya hampir selalu mewarnai masyarakat Papua.
Perlakuan rasis merupakan bukti penerapan sistem kolonialisme di Papua. Harkat dan
martabatnya sebagai manusia diinjak-injak. Kekecewaan mereka karena merasa tidak dihargai
semakin memuncak. Bahkan ada statement “manusia tidak layak hidup bersama monyet”.
Solusi demi solusi ditawarkan pemerintah dan beberapa tokoh Papua. Namun tetap saja belum
bisa diterima secara kolektif oleh orang Papua. Persoalan rasisme sebenarnya bukanlah hal
baru bagi orang Papua. Ucapan rasial seperti “kera”, “monyet”, “hitam”, “bau”, “bodoh”, sudah
berkali-kali dilontarkan kepada orang Papua. Pertanyaannya adalah mengapa baru kali ini
kasus rasisme mendapatkan respon antipati masyarakat Papua terhadap negara? Itu artinya
orang Papua telah menyadari bahwa sejak awal bergabung dengan negara Indonesia, mereka
dianggap sebagai ras tak bermartabat, dan juga stigma itu telah terbangun sejak lama.
Prinsip non-interference dan integritas kedaulatan nasional terhadap urusan domestik
negara-negara anggota ASEAN merupakan prinsip yang cukup kontroversial dalam badan
ASEAN, dan oleh karena itu menjadikan perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional
menjadi agak terhambat. Seharusnya apabila terdapat isu-isu yang mempengaruhi hubungan
bilateral, regional dan ekstra regional, maka prinsip non intervensi dapat dikesampingkan.
Walaupun prinsip tersebut telah melekat dalam tubuh ASEAN sejak awal pembentukannya dan
menciptakan perdamaian di kawasan, bisa dikatakan ASEAN adalah satu-satunya organisasi
regional yang bersifat Multisivilisasional. Pembentukan identitas bersama (common identity),
termasuk pembentukan prinsip dan norma ASEAN lebih diutamakan dari pada aspek lainnya.
Hal ini yang membedakan ASEAN dengan Uni Eropa. Namun begitu, sesuai amanat di dalam
ASEAN Charter, organisasi ini tidak harus berhenti dalam mengupayakan suatu komunitas
yang lebih menghargai demokrasi dan HAM.

Sumber:

Elisabeth, Adriana. “DIMENSI INTERNASIONAL KASUS PAPUA.” Jurnal Penelitian


Politik, vol. 3, 2016.

Kresna, Mawa, and Fahri Salam. “Kegagapan Indonesia Menangani Rasisme Terhadap Orang
Papua.” Tirto.id, Tirto.id, 22 Aug. 2019, https://tirto.id/kegagapan-indonesia-
menangani-rasisme-terhadap-orang-papua-egK6.

Widhana, Dieqy Hasbi, et al. “Siklus Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua.” Tirto.id, Tirto.id,
20 Aug. 2019, https://tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4.

Apinino, Rio. “Karena Rasisme, 300 Mahasiswa Papua Memutuskan Pulang


Kampung.” Tirto.id, Tirto.id, 9 Sept. 2019, https://tirto.id/karena-rasisme-300-
mahasiswa-papua-memutuskan-pulang-kampung-ehLK.

Gromico, Andrey. “Mahasiswa Papua Tuntut Referendum.” Tirto.id, Tirto.id, 28 Aug. 2019,
https://tirto.id/mahasiswa-papua-tuntut-referendum-ehb5.

DH, Agung, and Maya Saputri. “Daftar Kerusakan Kantor & Gedung Akibat Kerusuhan
Manokwari Papua.” Tirto.id, Tirto.id, 2 Sept. 2019, https://tirto.id/daftar-kerusakan-
kantor-gedung-akibat-kerusuhan-manokwari-papua-ehpb.

Abdi, Alfian Putra, and Abdul Aziz. “Agar Konflik Papua Tak Bersifat Horizontal, Pemerintah
Perlu Tegas.” Tirto.id, Tirto.id, 20 Aug. 2019, https://tirto.id/agar-konflik-papua-
tak-bersifat-horizontal-pemerintah-perlu-tegas-egDy.

Yulianto, Trisno. “Solusi Taktis Konflik Papua.” Detiknews, 2 Sept. 2019,


https://news.detik.com/kolom/d-4690109/solusi-taktis-konflik-papua.

Ayuningtyas, Kusumasari. “Parlemen ASEAN Imbau Indonesia Atasi Meningkatnya


Intoleransi.” BenarNews, 8 May 2018,
https://www.benarnews.org/indonesian/berita/aphr-intoleransi-indonesia-
05082018121917.html.

Anda mungkin juga menyukai