Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media massa
maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara
yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat
sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi
kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak
korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan upaya
untuk memberantasnya.
Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia dari dulu sampai sekarang?
1.2.2 Apa saja kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia?
1.2.3 Apa saja jenis – jenis korupsi?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana sejarah korupsi di Indonesia dari dulu sampai sekarang.
1.3.2 Untuk mengetahui kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia.
1.3.3 Untuk mengetahui jenis – jenis korupsi.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1.4.1 Mahasiswa mengetahui dan memahami bagaimana sejarah korupsi di Indonesia dari
dulu sampai sekarang.
1.4.2 Mahasiswa mengetahui dan memahami apa saja kasus korupsi yang pernah terjadi di
Indonesia.
1.4.3 Mahasiswa mengetahui dan memahami juga dapat menunjukkan mana saja yang
merupakan jenis – jenis korupsi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Korupsi Di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah


kemerdekaan, dari zaman penjajahan, era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era
Reformasi. Bahkan praktik korupsi sudah ada sejak zaman kerajaan. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Dalam
konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan
membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap
korupsi sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar.
Korupsi berawal dari proses pembiasaan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung
kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Tak urung
kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan
hukum untuk menumpas koruptor di negara kita.
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3
fase sejarah, yaitu:
1. Fase Zaman Kerajaan
Di Indonesia, korupsi telah ada sejak zaman dulu. Tentunya bukan dengan nama
korupsi. Pada zaman dulu kerajaan-kerajaan menarik upeti (pajak) dari rakyatnya. Dalam
penarikan upeti tersebut, banyak pejabat pemerintahan yang tidak jujur. Salah satunya dengan
cara menggelapkan pajak yang harusnya sampai ke kerajaan. Bentuk korupsi yang lain,
adalah dengan memberikan janji atau upah pada seseorang untuk membunuh musuh-
musuhnya. Perbutan korupsi inilah yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya kerajaan-
kerajaan di Indonesia. Korupsi tersebut bisa dalam bentuk mengambil barang yang bukan
haknya, menipu, menjebak, menyuap, memberi keterangan palsu, membocorkan rahasia dan
sejenisnya.
Sebagai salah satu contohnya, yaitu peristiwa perng saudara yang terjadi di kerajaan
Singosari.Sejarah mencatat, bahwa di Singosari terjadi perebutan kekuasaan secara turun
menurun. Kematian keturunan raja-raja Singosari bukan sekedar karena kutukan Empu
Gandring atas Ken Arok.
Hal yang sama juga terjadi dikerajaan majapahit yang menyebabkan terjadinya
beberapa konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro, dan lai-lain.

2
Bahkan kita ketahui kerajaan majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal denga
perang paregreg yang terjadi sepeninggalan Maha Patih Muda. Lalu kerajaan Demak yang
memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dan Haryo Panangsang. Dan ada juga
kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.

2. Fase Zaman Penjajah

Pada zaman penjajah, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas kedalam sistem
budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah
kolenial(terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang
dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk
menjalankan daerah administratif tertwntu, semisal demang (lurah), temenggung(setingkat
kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang
suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Berikut
merupkan contoh praktik korupsi yang dilakuan oleh penjajah belanda:
a) KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
Tradisi KKN semakin membudaya ketika VOC berkuasa di Hindia Belanda. Hal
demikian banyak ditulis dalam buku-buku sejarah lokal dan sejarah kolonial.
Misalnya karangan Huub de Jonge, Onghokham, dan B. Schrieke. Dalam hal
pengangkatan bupati, misalnya, peran uang semakin terlihat. sejak pertengahan
kedua abad ke-18, pergantian kedudukan bupati sangat dikuasai oleh sistem
penjualan jabatan. Siapa yang berani bayar tinggi, dialah yang diangkat. Pada masa
itu bupati-bupati yang akan diangkat harus membayar komisi atau upeti kepada
gubernur. Bupati pertama Semarang pernah ”ditodong” oleh VOC untuk membayar
50.000 ringgit. Sayangnya ulah para pejabat itu telah mengorbankan rakyat kecil dan
petani. Sebab nantinya setelah diangkat, mereka harus berusaha keras selama
bertahun-tahun untuk mengatasi utang-utangnya yang telah dipakai untuk

3
memberikan komisi. Sehingga mereka akan memeras rakyat kecil dan petani dengan
pungtan-pungutan besar dan kerja paksa.
b) Tanam Paksa
Tujuan sistem tanam paksa atau Cultuur stelsel adalah memperoleh pendapatan
sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat, yang tujuannya untuk mengisi
kekosongan kas Belanda yang pada saat itu terkuras habis akibat perang. Dimana
pada praktik tanam paksa ini penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah
miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau,
Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih
suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain).
Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang
bekerja untuk Belanda) menjadi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami
dengan tanaman kesukaan Belanda.
Dua masalah pokok dalam sistem tanam paksa adalah tanah dan tenaga kerja. Untuk
itu pemerintah Belanda menuntut para bupati agar menyediakan kedua hal tersebut.
Sebagai imbalannya, pemerintah memberikan rangsangan berupa persentase (kulture
procenten). Besar kecilnya persentase tergantung pada hasil kerja bupati. Bupati
memberikan lagi persentase itu kepada para pangreh praja dan lurah.
c) Monopoli perdagangan
Bangsa Eropa sangat memerlukan rempah-rempah sebagai bahan penghangat tubuh,
ketika musim dingin tiba. Maka dari itu, Belanda ingin menguasai perdagangan
rempah-rempah di Indonesia dengan cara yang cepat. Untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah, ia memaksakan monopoli, terutama di Maluku. Dalam usahanya
melaksanakan monopoli, VOC menetapkan beberapa peraturan, yaitu sebagai
berikut :
1. Rakyat Maluku dilarang menjual rempah-rempah selain kepada VOC.
2. Jumlah tanaman rempah-rempah ditentukan oleh VOC.
3. Tempat menanam rempah-rempah juga ditentukan oleh VOC.

3. Era Orde Lama


Pada era ini, di bawah kepemimpinan Sukarno, tercatat sudah dua kali dibentuk
Badan Pemberantasan Korupsi, namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati
menjalankannya. Adapun perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-undang Keadaan
Bahaya dengan produknya yang diberi nama Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara).

4
Badan ini dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh 2 orang anggota yakni Prof M Yamin
dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan -- istilah sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat
reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada
Paran akan tetapi langsung kepada presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di


balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga
tugas Paran akhirnya diserahkan kembali pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih
berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah Operasi Budhi di mana
sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang
dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang
lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebanyak kurang lebih Rp 11 miliar, suatu jumlah yang cukup banyak untuk
ukuran pada saat itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi
Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam pertemuan di Bobor, prestise Presiden harus
ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran


Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi
pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

5
4. Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967,
Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat
bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud
dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan
TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang
protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto.Tugas mereka
yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib
(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut
pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin
berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan
kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

5. Era Reformasi

Bung Hatta pernah mengkonstatir bahwa di era pemerintahan Orde Baru (baca
Soeharto), korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya. Pernyataan tersebut
meski memperoleh tanggapan beragam dalam masyarakat, tetapi kebenarannya tidak
terbantahkan.

6
Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya
pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat


tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di
tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigana
masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Kita mungkin masih ingat pertemuan Gus Dur dengan Tommy Soeharto di Hotel
Borobudur, padahal Tommy saat itu sedang tersangkut kasus korupsi tukar guling Goro dan
penembakan Hakim Agung Syafiudin. Kemudian konglomerat Sofyan Wanandi melalui
Jaksa Agung Marzuki Usman diberinya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.

Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai
kompromi politik. Laksamana Sukardi ditempatkan sebagai Menneg BUMN yang dalam pola
pikirnya hanya bagaimana cara menjual aset negara untuk meraih uang. Di masa
pemerintahan Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin
merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.

Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The
Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elite
pemerintah sebenarnya tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai
bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional.

7
Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Pelajaran yang bisa ditarik
dari tulisan ini adalah, ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah
membalikkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah
yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.

Pada pemerintahan Megawati dibentuk badan pemberantasan korupsi yaitu Komisi


Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang
dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di
Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada
periode 2006-2011 KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra
Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu
Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi
ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011.

2.2 Kasus Korupsi yang Pernah Terjadi di Indonesia


1. Kasus Edy Tansil. (Total Korupsi U$D 565 Juta)
Edy Tansil merupakan seorang pengusaha yang bergerak di bidang keuangan.
Namun pada tahun 1996 Edy terbukti menggelapkan uang sebesar U$D 565 Juta bila
dikalikan kurs rupiah kala itu adalah Rp. 2.383 yang berarti total ia merugikan negara
sekitar 1,3 TRILIUN. Bila dikalikan kurs pada tahun 2016, maka totalnya hampir 6
TRILIUN. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun menjatuhkan hukuman pidana
penjara selama 20 tahun, ditambah dengan denda Rp. 30 juta, uang pengganti Rp. 500
miliar, dan mengganti kerugian negara sebesar Rp. 1,3 triliun.

Tapi pada tanggal 04 Mei 1996 ia berhasil kabur dari penjara, dan menghilang
begitu saja. Tim antikorupsi Indonesia sempat mencari Edy yang sudah berstatus
buron, namun tak kunjung dapat dan sampai tahun 2016 ini terhitung bahwa Edy
sudah 20 tahun menghilang. Terakhir diketahui bahwa Edy menetap di negara China
dan menggunakan nama samaran, pihak Indonesia sendiri sedang berusaha melakukan
kerjasama dengan China untuk membawa pulang Edy.

8
2. Kasus Mantan Presiden Soeharto
Pak Soeharto merupakan Presiden yang dikenal dengan bapak "Pembangunan"
oleh sebagian orang saja. Memang benar dibawah kepresidenan Soeharto yang
mencapai 32 tahun ini di sektor pembangunan Indonesia meningkat, namun
kebutuhan rakyatnya tak terpenuhi.

Melalui 7 buah yayasan yang diketuainya, yakni :

-Yayasan Dana Sejahtera Mandiri


-Yayasan Supersemar
-Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais)
-Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab)
-Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
-Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan
-Yayasan Trikora.

Soeharto menetapkan keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995, dimana


yang menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya
untuk Yayasan Dana Mandiri. Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto
menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan
134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua
tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung.

Majalah TIME ASIA EDISI 14 Mei 1999 juga turut mengekuarkan artikel
mengenai kekayaan mantan orang nomor satu di Indonesia itu dengan Judul
"Soeharto Inc. How Indonesia's Longtime Boss Built a Family Fortune" (Perusahaan
Soeharto, Bagaimana Cara Boss Indonesia Membangun Kekayaan Keluarga). Dimana
majalah itu berisikan statement bahwa total jumlah korupsi pak Soeharto sebesar Rp.
150 Triliun.

3. Kasus Korupsi Bank Century


Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang
dilakukan Bank Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan
pelanggaran yang terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono–

9
sekarang wapres–dianggap tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi
dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa
mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–
dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat
penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa
peraturan agar Bank Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian
terungkap pula, saat Bank Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana
sebesar Rp 938 miliar yang tentu saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek
kata, terungkap beberapa praktik perbankan yang tidak sehat. Total kerungian Negara
karena kasus ini mencapai 6,7 trilliun.

2.3 Jenis – Jenis Korupsi

Menurut buku KPK (KPK, 2006:19), tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7
macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

a. Perbuatan yang Merugikan Negara


Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara. Korupsi jenis
ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
2) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan
dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama,
bedanya hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana
yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan.

b. Suap – Menyuap
Suap – menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang atau
hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Contoh ; menyuap pegawai negei yang

10
karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang memberikan suap, menyuap hakim,
pengacara, atau advokat.

c. Penyalahgunaan Jabatan
Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat
pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan laporan
keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang
bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara.

d. Pemerasan
Berdasarkan definisi dan dasar hukumnya, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada
masyarakat. Pemerasan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan dasar
hukum dan definisinya yaitu :
a) Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena mempunyai kekuasaan dan
dengan kekuasaannya itu memaksa orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu
yang menguntungkan dirinya.
b) Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada seseorang atau masyarakat
dengan alasan uang atau pemberian ilegal itu adalah bagian dari peraturan atau haknya
padahal kenyataannya tidak demikian.
2) Pemerasan yang di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain.

e. Korupsi yang berhubungan dengan Kecurangan


Yang dimaksud dalam tipe korupsi ini yaitu kecurangan yang dilakukan oleh
pemborong, pengawas proyek, rekanan dan pengawas rekanan TNI / Polri, yang melakukan
kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi
orang lain atau terhadap keuangan negara atau yang dapat membahayakan keselamatan
negara pada saat perang. Selain itu pegawai negeri yang menyerobot tanah negara yang
mendatangkan kerugian bagi orang lain juga termasuk dalam jenis korupsi ini.

f. Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan


Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau jasa yang
dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan. Orang atau badan yang ditunjuk untuk

11
pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan
tender.
Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau
kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka
instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi
tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau ada instansi yang bertindak sebagai penyeleksi
sekaligus sebagai peserta tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi.

g. Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi (Hadiah)


Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh
pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon,
pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas
lainnya.
Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa
uang maupun barang.
2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik
berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan
(trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi
informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau
disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan.
Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.
5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada
tindakan privatisasi sumber daya.
6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah

12
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan
membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap
korupsi sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar.
Korupsi berawal dari proses pembiasaan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung
kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Tak urung
kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan
hukum untuk menumpas koruptor di negara kita.
Adapun jenis- jenis korupsi yakni menurut buku KPK yaitu ; perbuatan yang
merugikan negara, suap- menyuap , penyalahgunaan jabatan , pemerasan , korupsi yang
berhubungan dengan kecurangan , korupsi yang berhubungan dengan pengadaan , gratifikasi.

3.2 SARAN
Demikian makalah ini kami susun. Dan penyusun mengucapkan banyak terima kasih
atas pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga kami dapat
menyelesaikannya. Kami merasa cukup sekian kata penutup yang disampaikan. Dalam
makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik
yang dapat membangun perbaikan makalah ini sedikit banyak kami ucapkan terima kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1999.”Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Sebuah Pendekatan
Kultural”dalam menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia.
Penyunting: Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti, BPP PP Muhammadiyah.
Zhar, Muhammad.2003.Sejarah Korupsi di Indonesia. Jurnal Wacana, Edisi 14 Tahun III
2002

14

Anda mungkin juga menyukai