Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN PERATURAN DI

BIDANG PERTAMBANGAN
Perundang-undangan Pertambangan
Indonesia
• Perkembangan Kebijakan Pertambangan
Indonesia berlangsung sejalan dengan
perkembangan politik di NKRI.
• Dari 1950 hingga sekarang Undang-undang
Pertambangan yang diberlakukan telah empat
kali berganti:
1. 1950 – 1959: Indische Mijnwet 1899
2. 1960 – 1967: UU No.37 Prp Tahun 1960
3. 1967 – 2009: UU No.11 Tahun 1967
4. 2009 – Skrg: UU No.4 Tahun 2009
Perioda 1950 – 1959
• Indonesia mewarisi Indische Mijnwet 1899 dari ex Hindia-Belanda (dengan
amandemen tahun 1910 dan 1918).
• Muncul Tuntutan Politik: “DPRS-RI menerima Mosi Teuku Moh Hasan dkk
(1951) yang a.l. mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Undang-
Undang Pertambangan Nasional”.
• Pemerintah yang silih berganti tidak berhasil menyiapkan RUU
Pertambangan Nasional.
• Perioda instabilitas sosial-politik sejak 1950 berakhir dengan keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959: kembali pada UUD 1945.
• Manifesto politik RI (Pidato Presiden RI 17 Agustus 1959) dijadikan Garis
Besar Haluan Negara.
• Dewan Perancang Nasional berhasil menyusun Pola Pembangunan
Semesta Berencana. Pembangunan akan dibiayai sendiri dari hasil
eksploitasi sumberdaya alam Indonesia sendiri.
• Pemerintah menerbitkan PERPU yang melahirkan UU No.37 Prp Tahun
1960 Tentang Pertambangan.
Catatan Mengenai UU No. 37 Prp
Tahun 1960
• UU No. 37 Prp Tahun 1960 merupakan Undang-Undang
Pertambangan Nasional yang pertama.
• Penerbitannya dengan tegas mengacu pada:
– Pasal 33 UUD 1945
– Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959
– Manifesto Politik RI 17 Agustus 1959
• Sesuai iklim ekonomi terpimpin pada saat pembuatannya,
undang-undang ini sangat sentralistis dan sangat membatasi
kesempatan berusaha modal swasta, dan tidak
memungkinkan penanaman modal asing.
Catatan Mengenai UU No. 37 Prp
Tahun 1960
• UU No. 37 Prp Tahun 1960 memuat hal-hal dan konsep baru
yang tidak terdapat dalam Indische Mijnwet, a.l. tentang:
– Penggolongan bahan galian
– Kuasa Pertambangan (KP) dan Surat Ijin Pertambangan
Daerah (SIPD) sebagai dasar hukum/ijin usaha
pertambangan
– Pembentukan Dewan Pertambangan
– Konsep Pertambangan Rakyat
– Perusahaan Negara (PN) dan Perusahaan Daerah (PD)
dalam pertambangan.
• UU No. 37 Prp Tahun 1960 terbukti gagal total untuk
menghidupkan pertambangan di Indonesia.
Perkembangan 1965 – 1966
• Pergolakan politik 1965/1966 melahirkan Pemerintah “Orde Baru”
dan reformasi besar-besaran dalam kebijakan ekonomi nasional.
• Sidang Umum MPRS 1966 menghasilkan TAP MPRS No.
XXIII/MPRS/1966 yang menggariskan Pembaharuan Kebijaksanaan
Landasan Ekonomi dan Pembangunan Nasional.
• TAP MPRS No. XXIII/MPRS/1966 antara lain menetapkan bahwa:
– Kekayaan potensi alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat
dijadikan kekayaan ekonomi riil,
– Modal, teknologi, dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan
untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan
semesta,
– Perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai penanaman modal
asing dan modal domestik.
• UU No. 37 Prp Tahun 1960 perlu diganti untuk memungkinkan
masuknya Penanaman Modal Asing (PMA) ke dalam Pertambangan
Indonesia
Catatan Mengenai UU No.11/1967
• Pemerintahan Orde Baru mulai menata kebijakan
pertambangan nasional.
• Undang-undang pertambangan baru berhasil diterbitkan
bulan Desember 1967 sebagai UU No.11/1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
• Sesuai suasana dan keadaan saat penyusunan naskah RUU-
nya, semangat UU No.11/1967 masih mencerminkan
kebijaksanaan yang sentralistik.
• Perusahaan Negara masih diposisikan harus tetap memegang
peran utama dalam pertambangan Indonesia dan PMA
sebagai “pelengkap bila diperlukan”.
Perkembangan 1997 – 2000
• Krisis ekonomi dan politik 1997/1998 berakibat buruk pada
pertambangan Indonesia.
• Euforia reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang tidak
tertib menyebabkan rusaknya iklim investasi. Pertambangan
tanpa ijin meluas dan puluhan investor meninggalkan
Indonesia.
• Kegiatan “Grassroot Exploration” praktis terhenti sejak
1999/2000.
• PMA tidak ada lagi yang masuk dalam pertambangan
Indonesia.
Perioda Transisi Dalam Perundangan
Pertambangan Indonesia
• Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 dan berlakunya otonomi
pemerintahan daerah (sejak 2001), maka UU No. 11 Tahun 1967
tidak dapat diberlakukan lagi.
• Untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1967, pemerintah
menyiapkan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU PMB).
• Menunggu terbitnya UU Pertambangan baru, maka untuk mengisi
“kekosongan” perundangan, telah diterbitkan:
– 1. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Kepmen ESDM
No.1453.K/29/MEM/2000 tentang “Pedoman Teknis Penyelenggaraan
Tugas pemerintah di Bidang Pertambangan Umum”.
– 2. Peraturan Pemerintah No.75/2001 tentang “Perubahan Kedua atas
PP No.32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967”.
Catatan Dalam Penyusunan UU PMB
• Penyusunan naskah undang-undang pertambangan baru tidak
mudah karena tidak adanya kejelasan dan arahan kebijakan
yang hendak ditempuh pemerintah.
• Naskah RUU PMB hanya merujuk pada Pasal 33 UUD 1945
dalam mukadimah “Menimbang dan Mengingat”- nya. Tidak
ada rujukan pada sesuatu ketetapan MPR ataupun undang-
undang lain.
• Dalam banyak hal rumusan kebijakan dalam ketentuan RUU-
PMB sangat berbeda dengan apa yang tercantum dalam UU
No.11/1967.
Catatan Dalam Penyusunan UU PMB
• Hal-hal baru dalam RUU PMB yang sangat berbeda dengan
UU No.11/1967:
– Dasar hukum dan bentuk perijinan usaha pertambangan,
– Desentralisasi wewenang pengurusan/pengelolaan
pertambangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Daerah
– Penggolongan (pengelompokan) usaha pertambangan
– Pemberian perlakuan yang sama pada PMA dan PMDN
• RUU PMB cukup mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
lingkungan hidup, pengembangan masyarakat, pemberdayaan
masyarakat, dll., yang belum cukup ataupun “tidak sempat”
diatur dalam UU No.11/1967.

Anda mungkin juga menyukai