DISUSUN OLEH :
(12/333865/TK/40207)
(12/329888/TK/39112)
DOSEN PENGAMPU :
ANASTASIA DEWI TITISARI
YOGYAKARTA
APRIL
2015
Pendahuluan
Indonesia merupakan suatu negara
kepulauan yang dikenal dengan sumber daya
alamnya. Salah satu dari kekayaan alam itu
adalah kekayaan mineral dan batuannya.
Mineral merupakan substansi kristalin yang
massif/solid, yang terbentuk secara alami
dan prosesnya anorganik (Schuster, 19..).
Sedangkan batuan adalah suatu agregat
koheren dari 1 atau kumpulan mineral yang
terbentuk secara alami/natural di alam
(Bonewitz, 2008). Mineral dan batuan di
Indonesia ini beraneka ragam jenisnya dan
oleh masyarakat Indonesia dimanfaatkan
untuk
mengingkatkan
perekonomian,
contohnya industri. Perkembangan industri
yang menggunakan bahan dari batuan dan
mineral kini semakin banyak. Salah satu
industry batuan yang masih popular yaitu
batu kapur.
Batu kapur atau biasa disebut
keprus/watu keprus oleh orang Jawa
terutama Jogja, pada dasarnya merupakan
batuan sedimen karbonat yaitu batugamping
yang telah mengalami perubahan. Istilah
keprus tersebut adalah istilah local untuk
menyebutkan salah satu jenis batugamping
murni (chalky limestone), merupakan jenis
komoditi yang dibutuhkan dunia industry
kimia, sehingga banyak dieksploitasi
penduduk setempat (Nasution, 2003).
Batugamping sendiri terbentuk dari proses
organik di laut dangkal, yang memiliki
kondisi air yang hangat, cukup cahaya dan
salinitas
cukup.
Oleh
karenanya
batugamping ini banyak terbentuk di daerah
khatulistiwa yang memiliki iklim hangat.
Dari sejarahnya, Indonesia cukup lama
berada di daerah khatulistiwa, sehingga akan
banyak terbentuk batugamping di wilayahwilayah Indonesia. Batugamping ini apabila
mengalami proses diagenesis, maka bisa
terubah menjadi batu kapur (keprus). Batu
Genesa
Seperti yang telah dijelaskan di awal
tadi, bahwa batu kapur pada dasarnya adalah
batugamping
yang
telah
mengalami
diagenesis. Sehingga untuk mengetahui
bagaimana
terbentuknya,
kita
perlu
memahami dahulu bagaimana batugamping
itu terbentuk.
Batugamping adalah batuan sedimen
karbonat yang terbentuk secara organik,
kimia,
maupun
biokimia.
Proses
terbentuknya batugamping ini tidak seperti
batuan
sedimen
silisiklastik.
Pada
batugamping, terdapat pengaruh organisme
dalam pembentukannya. Jadi tiak hanya
semata-mata oleh factor ukuran butir dan
arus/gelombang. Sehingga hal itulah yang terdiagenesis. Air, baik air meteorik maupun
menyebabkan genesa dari batugamping ini air laut bisa melarutkan batuan karbonat
sangatlah kompleks dan rumit, karena factor terutama batugamping dan menyebabkannya
pengaruhnya ada bermacam-macam dan tiap terdiagenesis.
daerah
bisa
berbeda-beda.
Sehingga
Diagenesis pada batuan karbonat
diperlukan kehati-hatian dalam analisis umumnya terjadi pada saat batuan tersebut
batugamping.
sudah tersingkap di permukaan (tidak di
Ada beberapa klasifikasi batuan dalam lautan), namun bisa juga pada kondisi
karbonat, terutama untuk batugamping yang dibawah muka air laut ataupun burial.
bisa menjelaskan genesanya secara umum. Longmann (1980) membagi lingkungan
Salah satu klasifikasi tersebut adalah diagenesis batuan karbonat menjadi 4
klasifikasi batugamping milik Embry & kelompok besar, antara lain vadose zone,
Klovan (1971). Embry & Klovan membagi fresh water-phreatic zone, marine phreatic
batugamping menjadi 2 kelompok besar, zone, dan mixing zone. Pembagian
yaitu allochthonous dan autochthonous. lingkungan diagenesisnya dapat dilihat pada
Autochthonous merujuk pada batugamping Figure 2.
koral, yaitu yang terbentuk secara in situ
dengan komponen-komponennya yang saling
terikat satu sama lain. Sedangkan
allochthonous merujuk pada batugamping
klastika, yaitu batugamping yang terbentuk
dari rombakan klastika dari carbonate
factory. Biasanya terbentuk tidak jauh dari
sumbernya (carbonate factory). Selain itu,
batugamping juga bisa terbentuk secara
kimia yaitu oleh proses presipitasi air laut
yang jenuh akan karbonat. Unsur-unsur
Figure 2. Lingkungan diagenesis batuan karbonat oleh Longmann (1980)
karbonat akan terpresipitasi dan membentuk
batugamping yang massif.
Berdasarkan gambar yang dibuat oleh
Longmann (1970), vadose zone adalah
bagian yang tersingkap secara utuh di
permukaan. Pada lingkungan inilah aktivitas
diagenesis yang terjadi lebih dikontrol oleh
air meteoric dan mengkarstifikasi batuan
karbonat tersebut. Longmann (1970)
menyebutkan bahwa pada zona vadose
tersebut terbagi lagi menjadi sub-bagian
yaitu zona pelarutan (soil zone) dan zona
presipitasi
(capillary batugamping
fringe zone).
Zona
Figure 1. Klasifikasi batugamping oleh Embry & Klovan (1971). Kotak
merah menunjukkan
klastika
kotak hijau menun
pelarutan terletak di bagian atas sedangkan
zona presipitasi di bagian bawah, berbatasan
dengan fresh water-phreatic zone. Proses
yang terjadi di zona pelarutan yaitu pelarutan
Komposisi utama batugamping yaitu (leaching) CaCO3 oleh air meteorik. Apabila
material karbonat seperti kalsit (CaCO3), proses yang terjadi sangat luar biasa, maka
aragonite, dolomit, dan lain-lain. Material akan membentuk topografi karst. Proses
karbonat ini memiliki sifat yang mudah pelarutan inilah yang berperan dalam
terlarut oleh air. Sehingga batuan karbonat pembentukan batu kapur/keprus.
merupakan
batuan
yang
mudah
Figure 4. Semen yang terbentuk pada fresh water-phreatic zone. Semen berbentuk bladed dan saling merekatkan grain (Scholle &
Figure 6. Zona karstifikasi (kotak merah) kaitannya dengan lingkungan diagenesis (Moore, 1989)
menghilangkan
bikarbonat
sebagai
kekeruhan dalam air. Air kotor yang
mengandung banyak bakteri akan bersih
dalam waktu 24-48 jam apabila ditaburi
kapur dalam jumlah banyak.
Dalam
kehidupan
sehari-hari,
batukapur biasa digunakan sebagai bahan
penjernih air dalam bentuk kaporit. Ca(ClO)2.
Sedangkan pada penjernihan air untuk
keperluan industri, batukapur dipergunakan
bersamaan dengan soda abu dalam proses
kapur-soda. Proses ini selain menjernihkan
air juga mengurangi tingkat kesadahan air
yang akan digunakan untuk kebutuhan
industri.
Batu kapur juga umum dimanfaatkan
setelah diolah terlebih dahulu menjadi kapur
tohor (CaO). Kapur tohor merupakan hasil
pemanasan dari batukapur yang di
dagangkan dalam bermacam-macam hasil
pembakaran. Kapur tohor ini digunakan
sebagai bahan utama dalam industri
pembuatan karbid dengan persentase 60%
(Haryadi dalam Suhala, 1997).
Adapun kapur padam (Ca(OH)2)
yaitu bentuk hidroksida dari kalsium atau
magnesium yang dibuat dari kapur keras
yang diberi air sehingga bereaksi dan
mengeluarkan panas. Penggunaan kapur
padam terutama adalah sebagai bahan
pengikat dalam adukan bangunan.
Kapur padam dibuat dengan cara
mereaksikan kapur tohor (CaO) dengan air
sehingga terjadi reaksi kimia sebagai berikut;
CaO
kcal
(s)
+H2O
(l)
Ca(OH)2 (s)
H=15,9
murah
2. Dalam eksploitasi harus berhati-hati,
karena sebagian besar dalam morfologi
karst terdapat lubang-lubang di bawah
permukaan yang tak nampak
3. Diperlukan
waktu
lama
untuk
eksploitasi apabila dilakukan dengan
cara konvensional
4. Pabrik pengolahannya sebaiknya di
dekat sumber pertambangan, karena
akan
memakan
banyak
biaya
transportasi untuk mengangkut hasil
tambangnya
(berkaitan
dengan
kelimpahannya yang banyak)
Secara umum, kita ketahui bahwa
batukapur memiliki asosiasi terhadap
morfologi karst. Meskipun tidak selalu ada,
namun umumnya di mana ada karst, di situ
Figure 9. Peta persebaran morfologi karts di Indonesia (warna hitam). Bisa mengindikasikan adanya potensi batu kapur di
Bukitdidapatdengan
puncak
tumpul,
dari http://www.mongabay.co.id/)
sebaran formasi yangdaerah-daerah
memilikitersebut. (gambar
mengikuti
litologi batugamping yang secara sigifikan
terbilang cukup banyak dan telah mengalami
diagenesis. Di Daerah Istimewa Yogyakarta
ini, tempat penulis tinggal, memiliki potensi
batu kapur juga yang cukup melimpah.
Potensi yang paling banyak ada di
Kabupaten Gunungkidul. Apabila kita lihat
geologi
regionalnya,
Kabupaten
Gunungkidul tersusun didominasi oleh
Formasi Oyo-Wonosari, yang litologi
penyusunnya berupa batuan karbonat,
terutama batugamping. Maka tidaklah
mengherankan apabila potensi batu kapur di
Gunungkidul ini sangatlah banyak. Apalagi,
formasi ini telah mengalami karstifkasi,
dibuktikan dengan adanya kerucut karst,
dolina, uvala, dan juga sungai bawah tanah.
Lokasi pertambangan batu kapur yang
terkenal di Gunungkidul adalah di daerah
Kecamatan Ponjong, Semanu, dan Bedoyo.
Jejeran bukit-bukit kerucut karst di
Gunungkidul ini menyimpan cadangan batu
kapur yang banyak. Sehingga apabila
dieksploitasi semuanya, kemungkinan akan
membutuhkan
waktu
bertahun-tahun
lamanya.
Nasution,
Sukandarrumudi,
dan jugaKabupaten Gunungkidul (gambar diambil dari http://www.antarafoto.
Figure 8. Contoh tambang
batu kapur
di Kecamatan Ponjong,
Sudarno telah melakukan penelitian di
daerah Ponjong ini yaitu penentuan
batugamping
keprus
berdasarkan
kenampakan pada topografi karst. Dalam
penelitiannya, Nasution (2003) menyebutkan
bahwa bukit-bukit di daerah Ponjong yang
atas, maka
bisa dengan
di Indonesia
Figure 9. di
DAFTAR PUSTAKA
Bonewitz, Ronald Louis. 2008. Rocks and Minerals The Definitive Visual Guide. Singapore:
Tien Wah Press.
Cui, Huan. 2012. Carbonate Diagenesis (stories behind the microscopic images). University
of Maryland.
Flugel, Erik. 2010. Microfacies of Carbonate Rocks Analysis, Interpretation, and Application
Second Edition. Heidelberg: Springer.
James, Noel P. 1982. Limestone: Introduction. Department of Earth Science.
Longmann, Mark W. 1980. Carbonate Diagenetic Texture from Nearsurface Diagenetic
Environments. AAPG.
Nasution, Azhari Fithrah, Sukandarrumudi, Sudarno. 2003. Keterdapatan Batugamping
Keprus Berdasarkan Kenampakan Permukaan pada Topografi Karst di Daerah
Ponjong, Yogyakarta. Yogyakarta: Teknosains.
Suhala, Supriatna, M. Arifin. 1997. Bahan Galian Industri. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral.
Tucker, Maurice E. 2002. Carbonate Sedimentology. Great Britain: Blackwell Science.
Wright, Paul, Paul Harris. 2013. Carbonate Dissolution and Porosity Development in Burial
(Mesogenetic) Environment. Pennsylvania: AAPG Annual Convention and
Exhibition.