Anda di halaman 1dari 15

PERMASALAHAN PERPAJAKAN

SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL


DAN BATUBARA

SEMINAR PERPAJAKAN
OLEH:

KELAS VIII B REGULER KELOMPOK 2


Anggie Dento Pamungkas (02)
Arif Saputra (03)
Gentur Aji Satyananto (11)
Mohammad Syaeful Huda (15)
Tinantia Rohayati (26)

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA


2015

PERMASALAHAN PERPAJAKAN SEKTOR


PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA
A. PENDAHULUAN
Kontrak dalam pertambangan batubara ada 3, yaitu Kontrak Karya, Kontrak
Kerjasama, dan PKP2B. Masing-masing mempunyai perlakuan yang berbeda dari
segi objek pajak dan fasilitas yang diberikan. Secara umum Kontrak Karya dapat
dibagi kedalam 3 (tiga) Undang-undang Perpajakan yang berbeda. Kontrak Karya
Generasi I dan II berlaku ketentuan sesuai Ordonansi PPs 1925, Generasi III (kecuali
untuk tarif PPh Badan), IV, dan V berlaku ketentuan sesuai Undang-undang Pajak
Tahun 1983, dan Generasi VI dan VII berlaku ketentuan Undang-undang Pajak tahun
1994. Namun demikian dalam draft KK Generasi VIII untuk masalah perpajakan
berlaku ketentuan Undang-undang Pajak yang berlaku dari waktu ke waktu, artinya
bahwa untuk KK yang ditandatangani berdasarkan KK generasi VIII maka ketentuan
perpajakan untuk perusahaan pertambangan mineral dan batubara akan berlaku
ketentuan umum sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, jadi tidak
berlaku ketentuan khusus.
Secara umum ketentuan KKS dan PKP2B dapat dibagi kedalam 3 (tiga) Undangundang Perpajakan yang berbeda. KKS Generasi I yang ditandatangani sebelum
tahun 1983 berlaku ketentuan sesuai Ordonansi PPs 1925, KKS Generasi I yang
ditandatangani setelah tahun 1983 berlaku ketentuan sesuai Undang-undang Pajak
Tahun 1983, KKS Generasi II berlaku ketentuan sesuai Undang-undang Pajak Tahun
1983 sebagaimana diubah tahun 1991 dan PKP2B (BIII) berlaku ketentuan Undangundang Pajak tahun 1994.
Pada prinsipnya, pengenaan pajak pada industri pertambangan mineral dan
batubara dibedakan antara sebelum dan setelah terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebelum terbitnya UU Nomor 4 Tahun
2009, prinsip pengenaan pajak diatur dalam Kontrak Karya/ Kontrak Kerja Sama/
PKP2B yang ditandatangani antara pemerintah Republik Indonesia dan pengusaha.
Dalam kontrak-kontrak tersebut, terdapat dua prinsip pengenaan perpajakan yang
berbeda, yaitu:
a. Nailed down
Dalam prinsip ini, pengenaan pajak atas kegiatan pengusahaan pertambangan
dilakukan sesuai dengan klausul yang ditetapkan dalam kontrak. Hal ini termasuk
tapi tidak terbatas pada tarif, dasar pengenaan pajak, objek pajak, dan
mekanisme pemungutan. Dalam hal pengenaan pajak tidak secara eksplisit

diatur dalam kontrak, maka digunakan ketentuan pajak yang berlaku saat
kontrak tersebut ditandatangani.
b. Prevailing law
Dalam prinsip ini, pengenaan pajak atas kegiatan pengusahaan pertambangan
dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dari waktu ke
waktu.
Setelah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009, pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan didasarkan pada IUP/IUPK yang diberikan oleh pemerintah. Konsep
lex specialis yang tertanam dalam beberapa Kontrak Karya/PKP2B tidak sepenuhnya
mati, tentu jika klausul fasilitas fiskal dapat disetujui dalam IUP/IUPK. Sejauh ini,
tidak ada rincian tentang fasilitas pajak yang akan diberikan pemerintah terkait
investasi pada pertambangan. Selain itu, keabsahan sebuah klausul dalam IUP/IUPK
untuk mengabaikan perundang-undangan perpajakan juga masih menjadi
perdebatan.

B. PEMBAHASAN
Permasalahan Perpajakan Pertambangan Mineral dan Batubara
1. Ketentuan khusus (lex specialist) dari Kontrak Karya
Dalam Pasal 33A ayat 4 UU No. 10/1994 (UU Perubahan Kedua UU No. 7/1983)
tentang Pajak Penghasilan dijelaskan bahwa: "Wajib Pajak yang menjalankan
usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum,
dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya,
atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku
pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan
ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak
atau perjanjian kerjasama dimaksud."
Dalam UU PPN nomor 11 tahun 1994 Pasal II huruf b dijelaskan bahwa:
"Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan
umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak
Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih
berlaku pada pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung
berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan
Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan berakhir.
Surat Menteri Keuangan Nomor : S-1032/MK.04/1988 disebutkan bahwa:
Ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara
khusus (special treatment/lex specialist)
KUH Perdata pasal 1338 disebutkan bahwa : "Semua persetujuan yang dibuat
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan


oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik".
Setiap kontrak harus dibuat sesuai dengan ketentuan UU atau tidak boleh
bertentangan dengan UU. Karena kontrak karya bersifat lex specialist, maka dalam
kontrak karya tersebut harusnya dibuat secara jelas mengenai ketundukannya pada
UU perpajakan yang mana, apakah digunakan prinsip nail down atau prevailing
laws. Hal ini penting dikarenakan untuk menghindari perbedaan penafsiran antara
pengaturan dalam kontrak dan UU perpajakan.
2. Batubara bukan BKP
Pasal 1 huruf a PP Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang
Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan bahwa Barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya
bukan BKP dan diperjelas di Pasal 2 huruf e bahwa batubara yang belum
berbentuk briket digolongkan sebagai bukan BKP.
PP Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU PPN menjelaskan bahwa PP
Nomor 144 Tahun 2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, namun terkait
PPN batubara tetap merujuk pada pasal 4A UU PPN sebagaimana diubah
terakhir dalam UU Nomor 42 Tahun 2009. Disebutkan bahwa Barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya
adalah bukan BKP dan pengaturan lebih lanjut oleh PMK (sampai sekarang
PMK belum ada), sehingga secara umum tetap berlaku bahwa batubara yang
belum berbentuk briket dianggap sebagai bukan BKP.
Status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan
Barang Kena Pajak menyebabkan kontraktor pertambangan batubara tidak
dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak sehingga tidak dapat melakukan restitusi atas
kelebihan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan dan tidak dapat dimintakan restitusi ini menjadi beban bagi
kontraktor pertambangan batubara yang akan menaikkan harga pokok
produksi batubara. Kenaikan harga pokok produksi tentunya akan
mempengaruhi besarnya harga jual batubara.
Perubahan status batubara menjadi bukan Barang Kena Pajak membawa
masalah tersendiri khususnya bagi kontraktor pertambangan batubara
generasi I. Dalam kontrak karya dinyatakan bahwa pajak baru yang tidak
diatur dalam kontrak karya akan dimintakan pengembaliannya kepada
pemerintah. Oleh karena itu, PPN yang tidak diatur dalam kontrak karya
dianggap sebagai suatu pajak baru yang dapat dimintakan pengembaliannya.
Batubara yang belum diproses menjadi briket batubara seharusnya menjadi
Barang Kena Pajak karena sesungguhnya telah melalui suatu proses berupa
pemecahan, pencucian, dan pencampuran yang memberikan nilai tambah bagi
batubara tersebut.
Berdasarkan analisa juga diketahui bahwa jumlah restitusi yang tidak
dibayarkan oleh pemerintah karena perubahan status batubara yang belum
diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak untuk

tahun 2001 sampai dengan 2007 adalah sebesar Rp. 5.706.740.773.684,- dan
untuk tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar Rp.
4.895.425.655.831,-.
Hal ini perlu menjadi perhatian bagi DJP, apakah batubara yang dieksploitasi
tersebut tidak sekedar batubara yang diambil dari sumbernya tanpa proses apapun.
Karena jika terdapat proses yang menghasilkan nilai tambah terhadap batubara
hasil tambang, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai BKP karena terdapat
usaha untuk menambah nilai sesuai dengan konsep PPN.
3. Perlakuan Perpajakan terhadap Objek Pajak Pemotongan dan
Pemungutan
Kontrak Karya mengatur tentang kewajiban pemotongan, baik objek, tarif
maupun pengecualian-pengecualian pemotongan (pasal 21, 23, Final dan pasal
26). Sesuai kesimpulan kajian di atas seharusnya Kontrak Karya diakui sebagai
Lex Specialist dari UU Perpajakan sesuai dengan kuasa dari UU itu sendiri.
Sesuai ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-47/PJ.43/1998; SE34/PJ.22/1988 serta Surat Menteri Keuangan Nomor S-1032/MK.04/1998
tanggal 15-09-1988 atas kewajiban PPh Pemotongan dilakukan sesuai dengan
ketentuan kontrak (Nail Down).
Kuasa dari UU PPh diatur pada pasal 33A ayat 4 UU No. 10 tahun 1994 tentang
Pajak Pengahasilan, yang memberikan kuasa tentang Penghitungan Pajak bagi
wajib pajak yang menjalankan usaha berdasarkan Kontrak Karya. Dengan
demikian kuasa itu tidak untuk kewajiban pemotongan/pemungutan PPh.
Seharusnya pemotongan dan pemungutan PPh atas penghasilan pihak lain
(PPh pasal 21, 23, 4 ayat 2, 15, 26) dengan kajian hukum diatas hendaknya
menggunakan ketentuan prevailing laws.
4. Perlakuan Pajak Masukan terkait dengan biaya reklamasi
Dalam pertambangan mineral, diketahui bahwa wajib pajak terikat kewajiban
untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan tambang (work area). Yang
menjadi permasalahan adalah apakah Pajak Masukan sehubungan atas perolehan
BKP atau JKP sehubungan reklamasi dan rehabilitasi dapat dikreditkan?
Seharusnya dibuat penegasan terkait PPN perolehan BKP atau JKP untuk
reklamasi karena reklamasi termasuk dalam siklus usaha pertambangan
(closure). Sehingga pertimbangan bahwa reklamasi termasuk dalam kegiatan
usaha PKP2B perlu diperhatikan.
5. Data pengusaha tambang dan produksi batubara yang kurang akurat
Dari sekitar 3.826 pemegang usaha pertambangan hampir 25 persen atau 724
pengusaha tidak punya NPWP bahkan pemegang IUP (Izin Usaha Tambang)
yang statusnya 'clean and clear' tidak punya NPWP.
Perusahaan yang menandatangani kontrak PKPPB (Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara), setiap tahun wajib mendapat
pengesahan rencana produksi tahunan dari Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral (ESDM).
Jumlah produksi tahunan mungkin disetujui ESDM, tetapi adanya rencana
percepatan pelunasan bunga dan hutang, menuntut perusahaan menambah

produksi di luar rencana produksi tahunan. Modus ini mirip yang terjadi pada
perusahaan HPH, yang melakukan penebangan kayu di luar jumlah tebang di
RKT (Rencana Kerja Tahunan).
BPKP dan ESDM setiap tahun melakukan audit terhadap pemegang kontrak
PKPPB untuk menghitungan jumlah royalti dan deadrent yang harus dibayar
perusahaan PKPPPB. Menurut ESDM, jumlah total batubara nasional setiap
tahun sebesar 238 juta ton dari perusahaan PKPPB, dan 40 juta ton dari
perusahaan di luar PKPPB. Masih menjadi tanya tanya adalah produksi dari
perusahaan non PKPPB karena tidak di audit.
Data produksi menunjukkan perbedaan, misalnya data di Ditjen pajak minerba
pada 2012 data mencapai 228 juta dolar AS, tapi data World Coal Association
(WCA) mencapai 443 juta dolar AS, , sedangkan data US Energy Information
Administration (EIA) senilai 452 juta dolar AS. Penghasilan ekspor batubara
hanya Rp22 triliun padahal produksi batu bara ada 228 juta ton tapi karena
data yang berbeda-beda ada selisih Rp28,5 triliun yang harusnya menjadi
bagian dari pemasukan.
Data yang belum akurat menyebabkan penerimaan pajak atas pertambangan
Minerba tidak bisa dijamin kewajarannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu
pengawasan, aturan dan kerjasama dengan Pemda dengan cara pemberian insentif
pada Pemda agar ikut melakukan pengawasan pembayaran pajak karena Pemda
yang lebih dekat pada pelaku kegiatan usaha sehingga pengawasan bisa dilakukan
dengan ketat. Kewenangan pemberian IUP di Pemda dapat dimanfaatkan sebagai
sarana agar setiap pengusaha tambang yang dapat IUP harus punya NPWP. Selain
itu, kewajiban agar perusahaan tambang masuk dalam bursa pun dapat menjadi
sarana pengawasan yang efektif.
6. Indikasi Transfer Pricing
Modusnya dengan membuat anak perusahaan papan nama di luar negeri,
batubara kalori tinggi dijual dengan harga untuk batubara kalori rendah.
Nantinya dari perusahaan afiliasi ini, batubara dijual ke end user dengan harga
normal, sehingga pajak dari hasil penjualan ke anak perusahaan di luar negeri
hanya menghasilkan pendapatan yang kecil karena harga jual tidak sesuai
dengan kualitas batubara yang sebenarnya.
Perlu dicermati biaya penggalian tambang karena umumnya dialihdayakan
(outsourcing) serta biaya transportasi (pengapalan) hasil tambang kepada
perusahaan pelayaran. Beberapa perusahaan tambang memiliki anak usaha
pelayaran dan kereta api, sehingga dari sini perlu diteliti kewajaran
pembebanan biaya.
Membatasi indikasi TP tersebut, DJP dapat membuka kerjasama dengan otoritas
pelabuhan seperti BUMN PELINDO dan pelabuhan lainnya, untuk mengetahui data
cargo manifest dan stok pile hasil tambang. Pemerintah membuat standar harga
tambang baik batubara maupun mineral lainnya sehingga memudahkan
pengukuran kepatuhan dalam pelaporan pajak, seperti Indonesian Coal Index yang
dimiliki oleh instansi pemerintah. Dari indeks ini bisa ditentukan pajak penghasilan

yang harus dibayar maupun royalti yang wajib diserahkan oleh perusahaan
tambang.
7. Pembangunan Smelter di Indonesia
Kewajiban pembangunan Smelter di Indonesia ditujukan karena nilai yang
dihasilkan dari pengolahan tambang Minerba mentah dapat meningkat
beberapa kali lipat daripada mengekspor bahan mentah. Keberadaan smelter
bisa mengubah barang primer menjadi barang sekunder. Barang olahan
tersebut bakal memiliki nilai tambah tinggi, sehingga mampu meningkatkan
nilai ekspor.
Perusahaan yang membangun smelter seharusnya mendapat insentif
pembebasan PPN. Ini untuk mendukung program hilirisasi tambang mineral
dan perekonomian nasional. Selain itu, pembangunan smelter ini dapat
menghabiskan investasi miliaran dari pengusaha tambang sehingga akan
memberatkan jika masih dibebani PPN.
Insentif ini sesuai dengan penerapan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 Pasal
168 yang menyebutkan bahwa untuk meningkatkan investasi di bidang
pertambangan, Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali
ditentukan lain dalam IUP atau IUPK.
C. Kasus :
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-49931/PP/M.III/16/2014
Jenis Pajak
: Pajak Pertambahan Nilai
Tahun Pajak
: 2007
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan
banding terhadap
koreksi Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat
diperhitungkan sebesar
Rp.5.448.695.773,00.
Koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan
Rp.5.448.695.773,00
Menurut Terbanding : bahwa dalam Pasal 29 angka 5 Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara disebutkan bahwa kecuali konteksnya
menentukan lain, dalam hal referensi dalam Perjanjian ini
menunjukkan hukum atau peraturan perundang-undangan
Indonesia, maka referensi tersebut harus berarti hukum dan
perundang-undangan Indonesia yang berlaku secara umum dan
dari waktu ke wak tu bagi perusahaan-perusahaan batubara di
Indonesia. Bahwa Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1994
yang
disebutkan
dalam
Pasal
14
angka
6 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
adalah
referensi

mengenai peraturan perundang-undangan Indonesia, dan


dalam
Pasal
14
angka 6 tidak secara khusus mengatur ketentuan Pajak
Pertambahan
Nilai
atas
penyerahan
batubara,
sehingga
Undang-undang
Pajak
Pertambahan
Nilai
Tahun 1994 yang tercantum dalam pasal 14 angka 6 tersebut,
diartikan
sebagai Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku
secara
umum
dan dari waktu ke waktu.
Menurut Pemohon :
bahwa sesuai Surat Menteri Keuangan Nomor: S1032/MK.04/1988
tanggal
19 September 1988 tentang ketentuan perpajakan dalam
Kontrak
Karya
Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan hendaknya
diberlakukan
atau
dipersamakan dengan undang-undang, oleh karena itu
ketentuan
perpajakan
yang diatur dalam kontrak karya diberlakukan secara khusus
(lex
spexialis).
Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Surat Menteri
Keuangan
Nomor:
S1427/MK.01/1992 tanggal 25 November 1992 jo. Surat Edaran
Direktur
Jenderal Pajak Nomor: SE-14/PJ.321/1993 tanggal 9 Juni 1993.
Pendapat Majelis
: bahwa substansi koreksi yang dilakukan oleh Terbanding atas
Pajak
Masukan
yang dapat diperhitungkan sebesar Rp.5.448.695.773,00
karena
dalam
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
yang
ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
Pemohon
Banding tidak ada ketentuan khusus mengenai Pajak
Pertambahan
Nilai
atas
penyerahan batubara oleh Pemohon Banding dan juga tidak
terdapat
keterangan yang menjelaskan bahwa batubara yang dihasilkan
oleh
Pemohon
Banding telah melalui proses pengolahan lebih lanjut berupa
pemecahan,
disliming, konsentrasi, dan penyaringan dari bahan galian,
sehingga
perlakuan

Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan batubara tersebut


mengikuti
ketentuan umum yang berlaku saat ini, yaitu Undang-undang
Nomor
18
Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000
tanggal
22
Desember 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak
Dikenakan
Pajak
Pertambahan Nilai karena masa pajak yang disengketakan
adalah
Masa
Pajak
Januari sampai dengan Desember 2007.

Pajak Masukan cfm Terbanding


Pajak Masukan cfm Pemohon Banding
5.448.695.773,00
Koreksi
5.448.695.773,00

Rp.

0,00
Rp.

Rp.

bahwa Pemohon Banding mendalilkan, sesuai Surat Menteri


Keuangan
Nomor: S-1032/MK.04/1988 tanggal 19 September 1988
tentang
ketentuan
perpajakan dalam Kontrak Karya Pertambangan, Kontrak Karya
Pertambangan hendaknya diberlakukan atau dipersamakan
dengan undang-undang, oleh karena itu ketentuan perpajakan
yang diatur dalam kontrak karya diberlakukan secara khusus
(lex spexialis). Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Surat
Menteri Keuangan Nomor: S-1427/MK.01/1992 tanggal 25
November 1992 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor:
SE-14/PJ.321/1993
tanggal
9
Juni
1993.
bahwa Pemohon Banding mendalilkan, ketentuan perpajakan
untuk
kontraktor
PKP2B Generasi III tidak dapat mengikuti ketentuan umum
peraturan
perpajakan dan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain
mengikuti
ketentuan perubahan peraturan perpajakan, karena dasar
hukum,
yaitu
peraturan perpajakan, yang mengatur kewajiban Pajak
Pertambahan
Nilai
Pemohon Banding dalam hal ini sifatnya locking atau mengunci,

yaitu
sebatas
pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan
Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah
terakhir
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan peraturan
pelaksanaannya
dan tidak berlaku Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
terakhir
dengan
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2000.
bahwa Pemohon Banding menyatakan, sesuai ketentuan Pasal
14 ayat 6
PKP2B perihal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Barangbarang Mewah, disebutkan:

Dengan memperhatikan kewajiban umum yang dimaksud


dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1994 dan
peraturan pelaksanaannya,
Kontraktor berkewajiban untuk:
(i) melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena
Pajak,
(ii) memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai
atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dengan
tarif
10% (sepuluh persen) atau tarif lain, sesuia dengan
Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1994 dan peraturan
pelaksanaannya,
(iii) memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai
dan/atau
Pajak Penjualan atas Barang-barang Mewah, sebagai
Pemungut
Pajak
berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1994
dan

peraturan pelaksanaannya,
(iv) kontraktor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau
Pajak
Penjualan
atas Barang Mewah atas impor atau pembelian Barang
Kena
Pajak
atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang berdasarkan Undangundang
Pajak
Pertambahan Nilai 1994 dan peraturan pelaksanaannya
terutang
Pajak
Pertambahan Nilsi dan/atau Pajak Penjualan atas Barang
Mewah,
(v) dalam hal Pajak Masukan lebih besar dari pajak keluaran
untuk
suatu
masa pajak, maka kelebihan pajak masukan tersebut
dikompensasikan
dengan pajak keluaran untuk masa pajak berikutnya,
kecuali
kelebihan
pembayaran pajak masukan yang disebabkan ekspor
dan/atau
penyerahan kepada pemungut pajak pertambahan dapat
diajukan
permohonan pengembalian pada setiap masa Pajak.
bahwa setelah Majelis membaca Surat Banding, Surat Uraian
Banding,
Surat
Bantahan, Surat Tanggapan dari Terbanding, dan bukti-bukti
dan keterangan
dari para pihak yang terungkap dalam
persidangan, Majelis
berpendapat
sebagaiberikut:
bahwa substansi pokok sengketa adalah penerapan ketentuan
Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai pada Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan
Batubara atau (PKP2B) Generasi III yang menurut Pemohon
Banding
adalah
merupakan ketentuan yang bersifat khusus (nail down),
sehingga
dalam
kaitannya dengan kegiatan tambang batubara, Pemohon
Banding
mendalilkan
bahwa atas penyerahan batubara tidak termasuk dalam
negative
list,
sehingga
atas penjualan aktivanya Pemohon Banding membuka Faktur

Pajak.
bahwa menurut Pendapat Ahli (Prof. Hikmahanto Juwana, S.H.,
LL.M.,
Ph.D., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
berkaitan
dengan
Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai kontraktor PKP2B
tanggal
1
Agustus
2011 berpendapat sebagai berikut: Sesuai Pasal 1337 yang
menyebutkan
bahwa syarat Perjanjian tidak boleh melanggar undangundang/hukum
maka
pengaturan perpajakan dalam Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan
Batubara tidak dapat menyimpang dari peraturan perundangundangan
di
bidang perpajakan. Namun demikian dalam perjanjian PKP2B
tersebut
telah
disepakati bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian ini
tunduk
kepada
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan
Nilai
dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
terakhir
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994.
bahwa dalam azas Rechts Vinding disebutkan, dalam memutus
perkara
Hakim
berpegang pada Undang-undang dan hukum lainnya yang
berlaku
di
masyarakat. Apabila Undang-undang tidak jelas ia melakukan
penafsiran,
apabila ada ruang kosong Hakim melakukan konstruksi hukum
atau argument
a contrario, hakim juga melihat yurisprudensi.
bahwa Pengadilan Pajak adalah institusi yang menjalankan
judex
factie
dalam
memeriksa dan memutus perkara, artinya dalam memutus
perkara
Majelis
harus mendasarkan kepada fakta yang terungkap dalam
persidangan.

bahwa ketentuan Pasal 78 Undang-undang Nomor 14 tahun


2002
tentang
Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa: "Putusan
Pengadilan
Pajak
diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta
berdasarkan
keyakinan Hakim" serta dalam Memori Penjelasan Pasal 78
Undang-undang
Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang
menyatakan
bahwa
:
"Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan
sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan"

Memperhatikan

Mengingat :

Memutuskan

bahwa berdasarkan pertimbangan hukum a quo, Majelis


berkesimpulan
bahwa
tidak terdapat cukup alasan bagi Terbanding untuk melakukan
koreksi
terhadap Pemohon Banding, sehingga koreksi Terbanding atas
Pajak
Masukan
yang dapat diperhitungkan sebesar Rp.5.448.695.773,00 tidak
dapat
dipertahankan.
: Surat Banding Pemohon Banding, Surat Uraian Banding
Terbanding,
Surat
Bantahan Pemohon Banding, pemeriksaan dan pembuktian di
dalam
persidangan serta kesimpulan tersebut di atas.
1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak.
2. Ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan
hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini.
: Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding
Pemohon
Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP2046/WPJ.04/2010
tanggal 14 Juli 2010, tentang keberatan atas Surat Ketetapan
Pajak
Kurang
Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak
Januari
sampai
dengan Desember 2007 Nomor: 00024/207/07/063/09 tanggal
23
Juni
2009,

sehingga jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus


dibayar
Masa
Pajak Januari sampai dengan Desember 2007 harus dihitung
kembali
menjadi
sebagaiberikut:
Dasar Pengenaan Pajak
Rp.
0,00
Pajak Keluaran yang dipungut sendiri
Rp.
0,00
Jumlah pajak yang dapat diperhitungkan
Rp.
5.448.695.773,00
PPN Kurang/(Lebih) Dibayar
(Rp.
5.448.695.773,00)
Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan keMasa Pajak
berikutnya
Rp.
5.448.695.773,00
PPN yang Kurang/(Lebih) Dibayar
Rp.
0,00
Sanksi Administrasi
Rp.
0,00
Jumlah PPN yang masih harus dibayar
Rp.
0,00
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah
pemeriksaan
dalam persidangan dicukupkan pada hari Kamis tanggal 06
Oktober
2011
oleh
Hakim Majelis III Pengadilan Pajak dengan susunan Hakim
Majelis III dan
Panitera Pengganti sebagai berikut:
Indra J. Rivai, S.E., Ak., MSc
Drs.Mariman Sukardi
Drs.Aman Santosa, MBA
Aniek Andriani
Pengganti,

sebagai Hakim Ketua,


sebagai Hakim Anggota,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Panitera

dan Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum


oleh
Hakim
Ketua
Majelis III, pada hari Kamis, tanggal 16 Januari 2014 dengan
susunan Majelis
dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

M.Z. Arifin, S.H., M.Kn.


Sartono, S.H., M.H., M.Si.
Gunawan
Aniek Andriani

sebagai Hakim Ketua,


sebagai Hakim Anggota,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Panitera Pengganti,

dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti,


namun
tidak
dihadiri baik oleh Terbanding maupun oleh Pemohon Banding.
D. REFERENSI
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 144 tahun 2000 Tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak
Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Sebagaimana telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
http://kabar24.bisnis.com/read/20140423/16/221779/kpk-temukan-7-masalah-perpajakan-minerba
http://www.antaranews.com/berita/430812/kpk-minta-perbaikan-sistem-pajak-minerba
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/472570-uu-minerba-berpotensi-hilangkan-pendapatan-negara-rp14-t
http://nasional.kontan.co.id/news/insentif-ppn-smelter-tak-pengaruhi-pajak
http://energitoday.com/2015/01/28/pembangunan-smelter-harus-bebas-pajak/
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/08/04/pmk-terbaru-untuk-mendorong-pembangunan-smelte r

Anda mungkin juga menyukai