SEMINAR PERPAJAKAN
OLEH:
diatur dalam kontrak, maka digunakan ketentuan pajak yang berlaku saat
kontrak tersebut ditandatangani.
b. Prevailing law
Dalam prinsip ini, pengenaan pajak atas kegiatan pengusahaan pertambangan
dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dari waktu ke
waktu.
Setelah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009, pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan didasarkan pada IUP/IUPK yang diberikan oleh pemerintah. Konsep
lex specialis yang tertanam dalam beberapa Kontrak Karya/PKP2B tidak sepenuhnya
mati, tentu jika klausul fasilitas fiskal dapat disetujui dalam IUP/IUPK. Sejauh ini,
tidak ada rincian tentang fasilitas pajak yang akan diberikan pemerintah terkait
investasi pada pertambangan. Selain itu, keabsahan sebuah klausul dalam IUP/IUPK
untuk mengabaikan perundang-undangan perpajakan juga masih menjadi
perdebatan.
B. PEMBAHASAN
Permasalahan Perpajakan Pertambangan Mineral dan Batubara
1. Ketentuan khusus (lex specialist) dari Kontrak Karya
Dalam Pasal 33A ayat 4 UU No. 10/1994 (UU Perubahan Kedua UU No. 7/1983)
tentang Pajak Penghasilan dijelaskan bahwa: "Wajib Pajak yang menjalankan
usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum,
dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya,
atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku
pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan
ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak
atau perjanjian kerjasama dimaksud."
Dalam UU PPN nomor 11 tahun 1994 Pasal II huruf b dijelaskan bahwa:
"Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan
umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak
Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih
berlaku pada pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung
berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan
Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan berakhir.
Surat Menteri Keuangan Nomor : S-1032/MK.04/1988 disebutkan bahwa:
Ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara
khusus (special treatment/lex specialist)
KUH Perdata pasal 1338 disebutkan bahwa : "Semua persetujuan yang dibuat
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
tahun 2001 sampai dengan 2007 adalah sebesar Rp. 5.706.740.773.684,- dan
untuk tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar Rp.
4.895.425.655.831,-.
Hal ini perlu menjadi perhatian bagi DJP, apakah batubara yang dieksploitasi
tersebut tidak sekedar batubara yang diambil dari sumbernya tanpa proses apapun.
Karena jika terdapat proses yang menghasilkan nilai tambah terhadap batubara
hasil tambang, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai BKP karena terdapat
usaha untuk menambah nilai sesuai dengan konsep PPN.
3. Perlakuan Perpajakan terhadap Objek Pajak Pemotongan dan
Pemungutan
Kontrak Karya mengatur tentang kewajiban pemotongan, baik objek, tarif
maupun pengecualian-pengecualian pemotongan (pasal 21, 23, Final dan pasal
26). Sesuai kesimpulan kajian di atas seharusnya Kontrak Karya diakui sebagai
Lex Specialist dari UU Perpajakan sesuai dengan kuasa dari UU itu sendiri.
Sesuai ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-47/PJ.43/1998; SE34/PJ.22/1988 serta Surat Menteri Keuangan Nomor S-1032/MK.04/1998
tanggal 15-09-1988 atas kewajiban PPh Pemotongan dilakukan sesuai dengan
ketentuan kontrak (Nail Down).
Kuasa dari UU PPh diatur pada pasal 33A ayat 4 UU No. 10 tahun 1994 tentang
Pajak Pengahasilan, yang memberikan kuasa tentang Penghitungan Pajak bagi
wajib pajak yang menjalankan usaha berdasarkan Kontrak Karya. Dengan
demikian kuasa itu tidak untuk kewajiban pemotongan/pemungutan PPh.
Seharusnya pemotongan dan pemungutan PPh atas penghasilan pihak lain
(PPh pasal 21, 23, 4 ayat 2, 15, 26) dengan kajian hukum diatas hendaknya
menggunakan ketentuan prevailing laws.
4. Perlakuan Pajak Masukan terkait dengan biaya reklamasi
Dalam pertambangan mineral, diketahui bahwa wajib pajak terikat kewajiban
untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan tambang (work area). Yang
menjadi permasalahan adalah apakah Pajak Masukan sehubungan atas perolehan
BKP atau JKP sehubungan reklamasi dan rehabilitasi dapat dikreditkan?
Seharusnya dibuat penegasan terkait PPN perolehan BKP atau JKP untuk
reklamasi karena reklamasi termasuk dalam siklus usaha pertambangan
(closure). Sehingga pertimbangan bahwa reklamasi termasuk dalam kegiatan
usaha PKP2B perlu diperhatikan.
5. Data pengusaha tambang dan produksi batubara yang kurang akurat
Dari sekitar 3.826 pemegang usaha pertambangan hampir 25 persen atau 724
pengusaha tidak punya NPWP bahkan pemegang IUP (Izin Usaha Tambang)
yang statusnya 'clean and clear' tidak punya NPWP.
Perusahaan yang menandatangani kontrak PKPPB (Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara), setiap tahun wajib mendapat
pengesahan rencana produksi tahunan dari Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral (ESDM).
Jumlah produksi tahunan mungkin disetujui ESDM, tetapi adanya rencana
percepatan pelunasan bunga dan hutang, menuntut perusahaan menambah
produksi di luar rencana produksi tahunan. Modus ini mirip yang terjadi pada
perusahaan HPH, yang melakukan penebangan kayu di luar jumlah tebang di
RKT (Rencana Kerja Tahunan).
BPKP dan ESDM setiap tahun melakukan audit terhadap pemegang kontrak
PKPPB untuk menghitungan jumlah royalti dan deadrent yang harus dibayar
perusahaan PKPPPB. Menurut ESDM, jumlah total batubara nasional setiap
tahun sebesar 238 juta ton dari perusahaan PKPPB, dan 40 juta ton dari
perusahaan di luar PKPPB. Masih menjadi tanya tanya adalah produksi dari
perusahaan non PKPPB karena tidak di audit.
Data produksi menunjukkan perbedaan, misalnya data di Ditjen pajak minerba
pada 2012 data mencapai 228 juta dolar AS, tapi data World Coal Association
(WCA) mencapai 443 juta dolar AS, , sedangkan data US Energy Information
Administration (EIA) senilai 452 juta dolar AS. Penghasilan ekspor batubara
hanya Rp22 triliun padahal produksi batu bara ada 228 juta ton tapi karena
data yang berbeda-beda ada selisih Rp28,5 triliun yang harusnya menjadi
bagian dari pemasukan.
Data yang belum akurat menyebabkan penerimaan pajak atas pertambangan
Minerba tidak bisa dijamin kewajarannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu
pengawasan, aturan dan kerjasama dengan Pemda dengan cara pemberian insentif
pada Pemda agar ikut melakukan pengawasan pembayaran pajak karena Pemda
yang lebih dekat pada pelaku kegiatan usaha sehingga pengawasan bisa dilakukan
dengan ketat. Kewenangan pemberian IUP di Pemda dapat dimanfaatkan sebagai
sarana agar setiap pengusaha tambang yang dapat IUP harus punya NPWP. Selain
itu, kewajiban agar perusahaan tambang masuk dalam bursa pun dapat menjadi
sarana pengawasan yang efektif.
6. Indikasi Transfer Pricing
Modusnya dengan membuat anak perusahaan papan nama di luar negeri,
batubara kalori tinggi dijual dengan harga untuk batubara kalori rendah.
Nantinya dari perusahaan afiliasi ini, batubara dijual ke end user dengan harga
normal, sehingga pajak dari hasil penjualan ke anak perusahaan di luar negeri
hanya menghasilkan pendapatan yang kecil karena harga jual tidak sesuai
dengan kualitas batubara yang sebenarnya.
Perlu dicermati biaya penggalian tambang karena umumnya dialihdayakan
(outsourcing) serta biaya transportasi (pengapalan) hasil tambang kepada
perusahaan pelayaran. Beberapa perusahaan tambang memiliki anak usaha
pelayaran dan kereta api, sehingga dari sini perlu diteliti kewajaran
pembebanan biaya.
Membatasi indikasi TP tersebut, DJP dapat membuka kerjasama dengan otoritas
pelabuhan seperti BUMN PELINDO dan pelabuhan lainnya, untuk mengetahui data
cargo manifest dan stok pile hasil tambang. Pemerintah membuat standar harga
tambang baik batubara maupun mineral lainnya sehingga memudahkan
pengukuran kepatuhan dalam pelaporan pajak, seperti Indonesian Coal Index yang
dimiliki oleh instansi pemerintah. Dari indeks ini bisa ditentukan pajak penghasilan
yang harus dibayar maupun royalti yang wajib diserahkan oleh perusahaan
tambang.
7. Pembangunan Smelter di Indonesia
Kewajiban pembangunan Smelter di Indonesia ditujukan karena nilai yang
dihasilkan dari pengolahan tambang Minerba mentah dapat meningkat
beberapa kali lipat daripada mengekspor bahan mentah. Keberadaan smelter
bisa mengubah barang primer menjadi barang sekunder. Barang olahan
tersebut bakal memiliki nilai tambah tinggi, sehingga mampu meningkatkan
nilai ekspor.
Perusahaan yang membangun smelter seharusnya mendapat insentif
pembebasan PPN. Ini untuk mendukung program hilirisasi tambang mineral
dan perekonomian nasional. Selain itu, pembangunan smelter ini dapat
menghabiskan investasi miliaran dari pengusaha tambang sehingga akan
memberatkan jika masih dibebani PPN.
Insentif ini sesuai dengan penerapan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 Pasal
168 yang menyebutkan bahwa untuk meningkatkan investasi di bidang
pertambangan, Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali
ditentukan lain dalam IUP atau IUPK.
C. Kasus :
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-49931/PP/M.III/16/2014
Jenis Pajak
: Pajak Pertambahan Nilai
Tahun Pajak
: 2007
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan
banding terhadap
koreksi Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat
diperhitungkan sebesar
Rp.5.448.695.773,00.
Koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan
Rp.5.448.695.773,00
Menurut Terbanding : bahwa dalam Pasal 29 angka 5 Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara disebutkan bahwa kecuali konteksnya
menentukan lain, dalam hal referensi dalam Perjanjian ini
menunjukkan hukum atau peraturan perundang-undangan
Indonesia, maka referensi tersebut harus berarti hukum dan
perundang-undangan Indonesia yang berlaku secara umum dan
dari waktu ke wak tu bagi perusahaan-perusahaan batubara di
Indonesia. Bahwa Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1994
yang
disebutkan
dalam
Pasal
14
angka
6 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
adalah
referensi
Rp.
0,00
Rp.
Rp.
yaitu
sebatas
pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan
Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah
terakhir
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan peraturan
pelaksanaannya
dan tidak berlaku Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
terakhir
dengan
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2000.
bahwa Pemohon Banding menyatakan, sesuai ketentuan Pasal
14 ayat 6
PKP2B perihal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Barangbarang Mewah, disebutkan:
peraturan pelaksanaannya,
(iv) kontraktor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau
Pajak
Penjualan
atas Barang Mewah atas impor atau pembelian Barang
Kena
Pajak
atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang berdasarkan Undangundang
Pajak
Pertambahan Nilai 1994 dan peraturan pelaksanaannya
terutang
Pajak
Pertambahan Nilsi dan/atau Pajak Penjualan atas Barang
Mewah,
(v) dalam hal Pajak Masukan lebih besar dari pajak keluaran
untuk
suatu
masa pajak, maka kelebihan pajak masukan tersebut
dikompensasikan
dengan pajak keluaran untuk masa pajak berikutnya,
kecuali
kelebihan
pembayaran pajak masukan yang disebabkan ekspor
dan/atau
penyerahan kepada pemungut pajak pertambahan dapat
diajukan
permohonan pengembalian pada setiap masa Pajak.
bahwa setelah Majelis membaca Surat Banding, Surat Uraian
Banding,
Surat
Bantahan, Surat Tanggapan dari Terbanding, dan bukti-bukti
dan keterangan
dari para pihak yang terungkap dalam
persidangan, Majelis
berpendapat
sebagaiberikut:
bahwa substansi pokok sengketa adalah penerapan ketentuan
Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai pada Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan
Batubara atau (PKP2B) Generasi III yang menurut Pemohon
Banding
adalah
merupakan ketentuan yang bersifat khusus (nail down),
sehingga
dalam
kaitannya dengan kegiatan tambang batubara, Pemohon
Banding
mendalilkan
bahwa atas penyerahan batubara tidak termasuk dalam
negative
list,
sehingga
atas penjualan aktivanya Pemohon Banding membuka Faktur
Pajak.
bahwa menurut Pendapat Ahli (Prof. Hikmahanto Juwana, S.H.,
LL.M.,
Ph.D., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
berkaitan
dengan
Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai kontraktor PKP2B
tanggal
1
Agustus
2011 berpendapat sebagai berikut: Sesuai Pasal 1337 yang
menyebutkan
bahwa syarat Perjanjian tidak boleh melanggar undangundang/hukum
maka
pengaturan perpajakan dalam Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan
Batubara tidak dapat menyimpang dari peraturan perundangundangan
di
bidang perpajakan. Namun demikian dalam perjanjian PKP2B
tersebut
telah
disepakati bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian ini
tunduk
kepada
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan
Nilai
dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
terakhir
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994.
bahwa dalam azas Rechts Vinding disebutkan, dalam memutus
perkara
Hakim
berpegang pada Undang-undang dan hukum lainnya yang
berlaku
di
masyarakat. Apabila Undang-undang tidak jelas ia melakukan
penafsiran,
apabila ada ruang kosong Hakim melakukan konstruksi hukum
atau argument
a contrario, hakim juga melihat yurisprudensi.
bahwa Pengadilan Pajak adalah institusi yang menjalankan
judex
factie
dalam
memeriksa dan memutus perkara, artinya dalam memutus
perkara
Majelis
harus mendasarkan kepada fakta yang terungkap dalam
persidangan.
Memperhatikan
Mengingat :
Memutuskan