Anda di halaman 1dari 8

BABI

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian dari lapisan bumi
telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar
ekstraksi relatif tidak berubah, namun yang berubah adalah skala kegiatannya.
Mekanisasi peralatan penambangan telah menyebabkan skala penambangan
menjadisemakin besar. Perkembangan teknologi pertambangan menyebabkan
ekstraksi bahan tambang menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan
dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang
menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting
(Bapedal2001). Penambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan,
yaitu sebagai sumber kemakmuran, sekaligus perusak lingkungan yang sangat
potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor
ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak
lingkungan, terutama penambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah pola
iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang
disingkirkan.
Pertumbuhan industri yang cukup tinggi di Indonesia disatu sisi memberikan
kontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui penerimaan negara berupa
pajak, royalti dan pungutan lainnya. Disisi lain indikasi terjadi peningkatan
kebutuhan bahan baku mineral logam dimasa mendatang sehingga mendorong
eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Kondisi ini diperparah oleh
sistem otonomi daerah yang berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD). Implikasinya kewenangan daerah dalam memberikan izin dalam
penambangan relatif lebih mudah dengan semangat peningkatan PAD, sehingga
ekstraksi sumberdaya tambang menjadi tidak terkendali. Hal ini justru
menimbulkan masalah yang sangat memprihatinkan dimana eksploitasi yang
berlebihan justru menjadi bumerang yang menyebabkan peningkatan
kesejahteraan bersifat semu, artinya secara riil dengan semakin meningkatnya
ekstraksi sumberdaya alam namun tidak terjadi peningkatan kesejahteraan yang

1
 
nyata, bahkan lingkungan disekitar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi rusak
dan tercemar.
Pada industri pertambangan, pengorbanan yang diperhitungkan seringkali
belum mencakup biaya oportunitas, termasuk di dalamnya biaya kerusakan
lingkungan. Beberapa dampak negatif akibat penambangan menyebabkan
kerusakan lahan perkebunan dan pertanian, dan terbukanya kawasan hutan. Dalam
jangka panjang, penambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis
yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya, serta mencemari tanah, air
maupun udara. Pencemaran lainnya dapat berupa debu, gas beracun, bunyi,
kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir yang menyebabkan berkurang
dan lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati sehingga mengganggu mata
pencaharian nelayan. Air tambang asam yang beracun jika dialirkan ke sungai
yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut,
serta menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan, selain itu
sarana dan prasarana seperti jalan juga dapat rusak berat pada saat pengangkutan
bahan tambang (Noviana 2011).
Salah satu penambangan mineral yang sangat penting adalah penambangan
bahan dasar pembuatan besi, seperti pasir besi dan biji besi. Keberadaan pasir besi
di Indonesia cukup melimpah. Cadangan pasir besi dalam bentuk biji Indonesia
sekitar 1.014 milyar ton (Ishlah2009). Cadangan ini tersebar di beberapa provinsi
diantaranya Provinsi Jawa Barat sekitar 59 juta ton (BKPM 2010). Potensi ini
masih perlu dibuktikan agar cadangan yang tersedia terukur dengan jelas.
Umumnya semua lokasi penambangan pasir besi yang ada di Indonesia dilakukan
eksploitasi secara terbuka (open pit mining) dan berada pada wilayah pesisir
pantai (Miswanto et al.2008).
Jawa Barat merupakan provinsi dengan cadangan pasir besi cukup besar di
Indonesia, dengan cadangan terbukti sebesar hingga 59 juta ton yang tersebar di
beberapa kabupaten. Potensi ini tentunya akan menarik minat banyak investor
untuk melakukan eksploitasi pasir besi yang akan sangat bermanfaat untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah. Disisi lain, eksploitasi pasir besi jika tidak
terkelola dengan baik dapat menjadi bumerang terhadap kerusakan lingkungan
dan penurunan kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif yang banyak dirasakan


 
oleh masyarakat adalah meningkatnya kerusakan jalan akibat pengangkutan hasil
tambang melalui jalan umum.
Kerusakan jalan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh hampir
seluruh negara di dunia. Kerusakan jalan ini disebabkan oleh banyak faktor, salah
satunya disebabkan oleh beban muatan kendaraan yang melintas overcapacity.
Kemampuan jalan sebesar (muatan sumbu terberat) MST 8 ton dan MST 10 ton,
dilalui oleh kendaraan dengan MST hingga 20 ton. Pada tahun 2010 Kerusakan
jalan di Indosesia terbesar berada pada jalan kabupaten/kota. Jumlah total panjang
jalan 288.185 km,sekitar 31,14% jalan rusak ringan, kondisi baik hanya 22,46%
nya dan sisanya rusak cukup berat. Jalan provinsi dengan panjang total 48.681 km
kondisinya baik hanya sekitar 5,85%, sedangkan dari 39.310 km jalan nasional
sebanyak 13,34% dalam kondisi rusak ringan, dan 49,67% dalam kondisi baik
serta sisanya rusak berat. 1 Ini termasuk jalan strategis seperti jalur Lintas Timur
Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Diperkirakan ongkos sosial dan ekonomi yang
ditanggung masyarakat pengguna jalan sekitar 200 triliun rupiah per tahun,
sangat besar apabila dibandingkan dengan investasi pemerintah yang 3-6 triliun
rupiah pertahun (Widjonarko 2007).
Kawasan pesisir merupakan daerah pengembangan perekonomian yang
dapat mengalami degradasi serta penurunan produktivitas. Degradasi dapat
disebabkan oleh adanya abrasi pantai, pencemaran dan perusakan hutan pantai.
Abrasi ini selain dipicu oleh naiknya muka air laut juga disebabkan penambangan
pasir didaerah pesisir. Indonesia dengan 17.508 pulau mempunyai panjang garis
pantai 95.000 km dan 20% garis pantai di Indonesia mengalami kerusakan akibat
abrasi yang mengalami peningkatan setiap tahun (pu.go.id 2010). Diantara banyak
kegiatan yang mengakibatkan penurunan kualitas pesisir adalah penambangan
bahan galian C (pasir pantai), penebangan liar hutan pantai, tekanan gelombang
pada saat pasang yang mengakibatkan abrasi pantai (Sumartin 2011).
Beberapa pantai mengalami pencemaran yang cukup parah akibat berbagai
kegiatan yang dilakukan dipesisirnya. Kasus yang terjadi di daerah Balikpapan,
dimana pada tahun 2004 tercemar oleh limbah minyak. Contoh lain adalah kasus
                                                            
1
Seperti yang dinyatakan dalam judul “Sebagian Besar Jalan di Indonesia Kondisi Rusak”, 
www.poskota.co.id,  Desember 2011 
 

3
 
yang terjadi di sekitar Teluk Jakarta. Berbagai jenis limbah dan ribuan ton sampah
yang mengalir melalui 13 kali di Jakarta berdampak pada kerusakan pantai Taman
Nasional Kepulauan Seribu. Pada tahun 2006, kerusakan terumbu karang dan
ekosistem Taman Nasional itu diperkirakan mencapai 75 km. Kerusakan itu salah
satunya berdampak terhadap hasil perikanan tangkap (Sumartin 2011). Hal serupa
juga dapat terjadi pada penambangan pasir besi didaerah pantai, proses
penambangan dan pencucian pasir besi akan mencemari perairan dan menurunkan
kualitas air bagi kehidupan hewan air serta rusaknya terumbu karang.

1.2 Perumusan Masalah


Permasalahan umum yang terjadi di pantai Selatan Jawa Barat adalah
terjadinya, abrasi, akresi, intrusi air laut, kerusakan mangrove dan terumbu
karang, serta alih fungsi lahan untuk kegiatan penambangan pasir besi.
Penambangan ini juga didorong oleh cadangan pasir besi yang cukup tinggi di
Jawa barat, dan posisi geografis lebih dekat dengan jalur pemasaran pelabuhan
Cilacap. Tercatat 25 perusahaan penambangan pasir besi, baik berskala menengah
maupun kecil yang memiliki izin. Keberadaan perusahaan tersebut menyebabkan
terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya pasir besi di Kabupaten
Tasikmalaya. Besarnya eksploitasi saat ini tentunya akan mengurangi ketersediaan
pasir besi pada masa mendatang.
Eksploitasi yang berlebihan juga menyebabkan kerusakan dan pencemaran
lingkungan. Proses pengangkutan pasir besi menuju pelabuhan Cilacap Jawa
Tengah yang melintasi jalanan umum menyebabkan rusaknya akses jalan hingga
puluhan kilometer. Berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten
Tasikmalaya, panjang jalan kabupaten yang kondisinya rusak sepanjang 421,8
kilometer atau 32,3 persen dari total panjang jalan kabupaten sepanjang 1.303,3
kilometer yang beberapa ruas diantaranya dijadikan ruas jalan pengangkutan pasir
besi. 2 Kondisi ini menyebabkan terjadinya percepatan kerusakan jalan umum
yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan tetapi juga oleh
masyarakat umum. Kerugian bisa berupa semakin lamanya waktu tempuh dan

                                                            
2
Seperti yang dinyatakan dalam judul “32 Persen Jalan Tasikmalaya Rusak”, 
www.KOMPAS.com, Januari 2012  
 


 
peningkatan konsumsi bahan bakar minyak kendaraan. Pengangkutan menuju
Cilacap yang melewati jalur Tasik Selatan yaitu ruas Cipatujah - Cikalong -
Cimerak - Cilacap menempuh jarak sekitar 150 Km. Jarak tersebut harus
ditempuh 6 - 7 jam, padahal kondisi jalan pantura dengan jarak yang sama dapat
ditempuh dengan waktu 3 jam. Pada dasarnya pengangkutan melalui jalan umum
sangat sulit dihindari, namun kondisi berupa kerusakan jalan seperti berlubang,
retak akibat kegiatan pengangkutan seharusnya dapat dibebankan kepada
perusahaan penambangan pasir besi. Beban pemeliharaan jalan tidak harus
diserahkan pada pemerintah yang tidak selalu memiliki dana yang cukup untuk
melakukan pemeliharaan jalan.
Pada bagian hulu dengan adanya penambangan pasir besijuga telah
menurunkan pendapatan nelayan tangkap karena perubahan jumlah tangkapan
setiap tahunnya yang cenderung menurun. Proses pencucian dilakukan hanya
beberapa meter dari bibir pantai dan sempadan. Proses ini dilanjutkandengan
segregasi biji dari pasir melalui proses fisika dengan menggunakan magnetic
separator. Proses segregasi untuk pemurnian pasir besi ini menyebabkan
peningkatan kadar sulfur didaerah pantai dan sungai, ini terjadi karena air
buangan dalam proses pemisahan langsung dibuang tanpa perlakuan apapun.
Kadar sulfur tersebut membuat air laut dipantai menjadi asam sehingga dapat
merusak terumbu karang. Penggunaan pelumas dan bahan bakar untuk peralatan
mesin dan bengkel ditepi pantai juga menyebabkan pencemaran perairan disekitar
pesisir pantai Kabupaten Tasikmalaya. Pencemaran oleh limbah pencucian pasir
besi ini telah menuai protes berupa demonstrasi oleh masyarakat nelayan di
Kabupaten Tasikmalaya.
Aspek fisik lingkungan yang diabaikan membuat perusahaan pemegang izin
eksploitasi dapat menekan biaya produksi menjadi sangat rendah sehingga
mendorong eksploitasi berlebihan, ditambah lagi dengan relatif mudahnya izin
penambangan dari tangan bupati di era otonomi daerah ini. Merujuk pada
Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan dimana setiap kegiatan usaha harus melakukan pelestarian
lingkungan, maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat wajib melakukan
penilaian menggunakan instrumen ekonomi lingkungan, sehingga pemerintah

5
 
Kabupaten Tasikmalaya sebagai pemangku kepentingan mengeluarkan
moratorium untuk memberikan waktu penelaahan mendalam mengenai
3
penambangan pasir besi . Berapa nilai kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
kerusakan jalan (eksternalitas) dan turunnya produksi perikanan oleh kegiatan
penambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya belum dikuantifikasi dengan
baik. Oleh sebab itu diperlukan perhitungan nilai eksternalitas negatif
menggunakan instrumen ekonomi lingkungan yang tepat dan nantinya dapat
diterapkan dalam bentuk kebijakan fiskal berupa penetapan jumlah pajak
terhadap setiap output pasir besi. Hal ini bertujuan agar rente dari penambangan
dapat menginternalkan eksternalitas negatif dalam bentuk pajak lingkungan.
Diharapkan dengan telah dihitungnya eksternalitas negatif tersebut dapat
ditentukan estimasi semua biaya yang harus dikeluarkan untuk kompensasi
gangguan fungsi jalan dan menurunnya pendapatan nelayan, agar masyarakat
yang terkena dampak negatif akibat penambangan pasir besi tidak merasa
dirugikan. Penghitungan nilai eksternalitas ini akan memperkecil nilai rente
penambangan pasir besi karena meningkatnya biaya produksi yang harus
ditanggung oleh perusahaan akibat internalisasi ekstenalitas negatif dalam bentuk
pajak.
Sebagaimana setiap produk mineral pada umumnya, pasir besi mempunyai
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan mineral lain, yaitu ketersediaannya
terbatas dan akan habis (exhaustible resource) serta tidak dapat diperbaharui lagi
(non-renewable resource). Kabupaten Tasikmalaya dengan potensi pasir besi
cukup besar dapat kehilangan potensi penerimaan manfaat optimal untuk
kesejahteraan penduduknya. Kesejahteraan penduduk juga akan menurun akibat
kerusakan lingkungan. Memperhatikan kondisi ini maka dibutuhkan penilaian
yang tepat terhadap besaran nilai tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
penambangan pasir besi, sehingga dapat ditentukan tingkat pajak yang harus
diberlakukan terhadap perusahaan penambangan pasir besi. Pada tahap
selanjutnya ditambahkan dengan biaya pengambilan yang merupakan opportunity

                                                            
3
Seperti yang dinyatakan dalam judul “Gubernur Keluarkan Surat Edaran Moratorium Pasir 
Besi”,www.antarajawabarat.com, Januari 2011 
 


 
costdari pengambilan pasir besi saat ini,agar dapat diperkirakan alokasi
penambangan pasir besi yang paling optimal.
Dari uraian diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaiman pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi?
2. Berapa nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat penambangan
pasir besi ?
3. Berapa tingkat ekstraksi optimal dengan dan tanpa mempertimbangkan
eksternalitas negatif pada penambangan pasir besi?
4. Berapa nilai pajak akibat eksternalitas negatif yang muncul dari usaha
penambangan pasir besi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah diatas dapat dirinci tujuan penelitian sebagai
berikut :
1. Mengkaji pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi.
2. Mengestimasi nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat
penambangan pasir besi akibat pengangkutan pasir besi.
3. Menentukan laju ekstraksi optimal dengan dan tanpa eksternalitas negatif, yang
paling menguntungkan dari usaha penambangan pasir besi.
4. Mengestimasi nilai pajak yang harus dibayarkan pada setiap output pasir besi
dengan mempertimbangkan eksternalitas negatifnya.

Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai


pengelolaan dan pemanfaatan bidang penambangan terutama pasir besi sehingga dapat
memaksimalkan pendapatan asli daerah dan meminimalkan kerugian. Untuk
penambang akan sangat bermanfaat dalam rangka mencegah tuntutan pidana karena
pengelolaan penambangan yang merugikan lingkungan hidup, sedangkan bagi
masyarakat Tasikmalaya implementasi penelitian ini akan meningkatkan
kesejahteraan dalam pemanfaatan pasir besi.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang penelitian adalah menganalisis eksploitasi penambangan pasir besi
di wilayah pesisir Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji bagaimana pola eksploitasi pasir besi selama ini sehingga menimbulkan

7
 
dampak-dampak yang merugikan. Dalam penelitian ini diharapkan pembangunan
ekonomi berbasis lingkungan dapat berjalan dengan baik, sehingga pemanfaatan
sumberdaya tidak pulih dapat memberikan hasil optimal. Analisis sumberdaya
pasir besi dilakukan dengan valuasi ekonomi eksternalitas negatif untuk
mengetahui hubungan interaksi antara perikanan, gangguan fungsi jalan dan
penambangan. Dalam penelitian ini dampak eksternalitas negatif difokuskan pada
tiga bagian dampak yang sangat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat, pertama dampak kerusakan jalan pada proses pengangkutan yang
melalui jalan umum terhadap kehilangan waktu kerja, kedua dampak peningkatan
konsumsi bahan bakar bagi pengguna kendaraan bermotor, ketiga terpengaruhnya
produksi perikanan disekitar pantai dekat penambangan pasir besi, ketiga dampak
ini dipilih karena merupakan dampak yang paling dominan pada penambangan
pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya dengan menganggap faktor lain bersifat
tetap.
Dasar hukum pajak lingkungan adalah undang – undang nomor 32 tahun
2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pajak disini
dimaksudkan beban tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan penambangan
untuk setiap satu-satuan output yang dihasilkan. Pada penentuan laju ekstraksi
optimal, modelHotelling digunakan untuk mengetahui tingkat ekstraksi optimal
(Q*), tingkat keuntungan maksimal ( *) dan pada tahun berapa cadangan akan
habis (T*) yang kemudian dibandingkan dengan lama izin konsesi rata- rata
penambangan pasir besi pada pasar bersaing secara sempurna. Dalam model
sederhana ini diasumsikan tidak ditemukan cadangan baru.


 

Anda mungkin juga menyukai