1.2.1 MAKSUD
1.2.2 TUJUAN
1.4.2 KEBIJAKAN
A. Dimensi Ekologi
(0) Banyak;
Perubahan Keragaman
1 0;1;2 2 0 (1) Sedikit;
Habitat (X1)
(2) Tidak Ada
(0) Banyak;
Struktur Relung (1) Sedikit Perubahan;
2 0;1;2 2 0
Komunitas (X2) (2) Tidak Menunjukkan
Perubahan
Ukuran Populasi dan
(0) Sangat Berubah;
Struktur Demografi
3 0;1;2 2 0 (1) Sedikit Berubah;
kawasan cagar alam
(2) Tidak Berubah
(X3)
(0) Tidak Beragam (Hanya 1 – 3
Tingkat Keragaman
Jenis)
4 Kawasan cagar alam 0;1;2 2 0
(1) Cukup Beragam (4 – 9 Jenis;
(X4)
(2) Sangat Beragam (>9 Jenis)
(0) Ada;
5 Rehabilitas (X5) 0;1;2 2 0 (1) Sedang;
(2) Banyak
(0) Jarang (<1000 ind/Ha);
Kerapatan Vegetasi (1) Sedang (1000 – 1500
6 0;1;2 2 0
(X6) ind/Ha)
(2) Sangat Rapat (>1500 ind/Ha)
Kriteria Skor
No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan
Baik Buruk
B. Dimensi Ekonomi
(0) Rendah;
Pemanfaatan oleh
1 0;1;2 2 0 (1) Sedang;
Masyarakat (X7)
(2) Banyak
Keuntungan dari (0) Lebih Kecil;
2 Pemanfaatan 0;1;2 2 0 (1) Sama;
Langsung (X8) (2) Lebih Besar.
(0) Tidak Tersedia;
Zonasi Pemanfaatan (1) Tersedia Tapi Belum
3 0;1;2 2 0
Lahan (X9) Dipatuhi;
(2) Tersedia dan Dipatuhi
Trend Pendapatan (0) Trend Menurun;
4 Masyarakat di Sekitar 0;1;2 2 0 (1) Tetap;
(X10) (2) Trend Meningkat
Tabel 2. Indikator-indikator dan Skor Keberlanjutan Kawasan cagar alam
(Lanjutan)
Kriteria Skor
No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan
Baik Buruk
C. Dimensi Sosial
Akses Masyarakat Lokal (0) Tidak Punya Sama Sekali;
1 Terhadap Kawasan 0;1;2 2 0 (1) Rendah
(X11) (2) Tinggi;
Kesadaran Masyarakat
(0) < 25%;
Terhadap Pentingnya
2 0;1;2 2 0 (1) 25% - 75%
Kawasan Cagar Alam
(2) > 75%;
(X12)
(0) Rendah;
Tingkat Pendidikan
3 0;1;2 2 0 (1) Sedang
Masyarakat (X13)
(2) Tinggi;
(0) Rendah;
Tingkat Penghasilan
4 0;1;2 2 0 (1) Sedang
(X14)
(2) Tinggi;
Kerusakan Kawasan (0) Besar;
5 Cagar Alam oleh 0;1;2 2 0 (1) Sedang
Masyarakat (X15) (2) Kecil;
Pengetahuan
Masyarakat (0) < 25%;
6 tentang Peran 0;1;2 2 0 (1) 25% - 75%
kawasan cagar alam (2) > 75%;
(X16)
D. Dimensi Hukum / Kelembagaan
Keberadaan Aturan (0) Tidak Ada;
1 Pengelolaan Kawasan 0;1;2 2 0 (1) Ada, Tidak dilaksanakan
cagar alam (X17) (2) Ada Dilaksanakan;
Keberadaan Lembaga
(0) Tidak Ada;
Masyarakat Untuk
2 0;1;2 2 0 (1) Ada, Tidak Aktif
Pengelolaan Kawasan
(2) Ada, Aktif
cagar alam (X18)
(0) Tidak Ada;
Zonasi kawasan cagar
3 0;1;2 2 0 (1) Ada, Tidak dilaksanakan
alam (X19)
(2) Ada Dilaksanakan;
Penegakan Hukum (0) Tidak Ada;
4 oleh Aparat bagi 0;1;2 2 0 (1) Hanya Sebagian Kasus
Pelanggar (X20) (2) Seluruh Kasus;
(0) Tidak Ada;
Dukungan Stakeholder
5 0;1;2 2 0 (1) Ada, Belum Kolaboratif
(X21)
(2) Ada, Dukungan Besar
Sumber : FAO (1999), LEI dan CIFOR (1999); Pitcher dan Pereiskhot (2001); Trimulyani (2013),
Osmaleli (2014)
Selanjutnya nilai skor dari masing-masing indikator dianalisis secara
multidimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan kawasan
cagar alam yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan titik baik (good) dan buruk
(bad), untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi.
Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan kawasan cagar alam.
Penilaian status keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi dikategorikan
menurut Kavanagh (1999) sebagai berikut:
Nilai Indeks 0 – 24.99% (Kategori Tidak Berkelanjutan)
Nilai Indeks 25 – 49.99% (Kategori Kurang Berkelanjutan)
Nilai Indeks 50 – 74.99% (Kategori Cukup Berkelanjutan)
Nilai Indeks 75 – 100% (Kategori Berkelanjutan)
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat
divisualisasikan melalui sumbu horisontal dan sumbu vertikal dengan proses
rotasi. Posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horisontal dengan nilai indeks
keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang dikaji
mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50%, maka
sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable). Sistem tidak akan berkelanjutan jika
nilai indeks kurang dari 50%.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling
sensitive memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan kawasan cagar
alam. Peran masing-masing indikator terhadap nilai indeks dianalisis dengan
“attribute leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu
dihilangkan dari analisis. Peran (pengaruh) setiap indikator dilihat dalam bentuk
perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-X.
Indikator-indiktor yang memiliki tingkat kepentingan (sensitivitas) tinggi dari hasil
analisis ini, dianggap sebagai faktor pengungkit, yang apabila dilakukan perbaikan
pada atribut tersebut maka akan berpengaruh besar dalam mengungkit nilai indeks
keberlanjutan menjadi lebih baik. Perbaikan terhadap atribut sensitif, yang
merupakan faktor pengungkit tersebut, akan menjadi salah satu pertimbangan
dalam menyusun rekomendasi dalam pengelolaan kawasan cagar alam di
Tambrauw dan Pegunungan Arfak.
Secara umum metode Rap-Forest akan dimulai dengan mereview
indikator-indikator kawasan cagar alam berkelanjutan melalui studi literatur dan
pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang
didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Forest. Setelah
didapatkan hasil skoring maka setiap indikator dianalisis dengan menggunakan
Multidimensional Scaling (MDS) guna menentukan posisi relatif dari pengelolaan
hutan kawasan cagar alam terhadap ordinasi good dan bad. Langkah selanjutnya
menganalisis nilai stress dengan menggunakan ALSCAL logaritma. Dari hasil
ordinasi dengan MDS dan nilai stress melalui alogaritma ALSCAL dilakukan rotasi
untuk menentukan posisi pengelolaan kawasan cagar alam pada ordinasi bad dan
good. Langkah berikutnya adalah menggunakan analisis Monte Carlo untuk
menentukan aspek ketidakpastian dan analisis leverage untuk menentukan aspek
anomali dari indikator yang dianalisis
3.2 DEMOGRAFI
3.2.1 KOMPOSISI PENDUDUK
3.2.2 TINGKAT KESEJAHTERAAN PENDUDUK
3.2.3 KETENAGAKERJAAN
3.2.4 PENDIDIKAN
3.2.5 KESEHATAN
3.2.6 AGAMA
3.5 KLIMATOLOGI
3.6 HIDROLOGI
3.7 AKSESIBILITAS
3.10 KEHUTANAN
3.10.1 PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI
3.10.2 KAWASAN KONSERVASI
dan pemanfaatan hutan deswasa ini yang lebih berorientasi pada peningkatan nilai
ekologi untuk ditransfer menjadi nilai ekonomi, namun tidak berarti bahwa
pemanfaatan hutan dalam perspektif ekonomi sama sekali dilarang atau tidak
potensi hasil hutan berupa kayu di Kawasan hutan indonesia masih tergolong
Di sisi lain, hingga saat ini kebutuhan masyarakat baik domestik maupun
dengan bahan-bahan sintesis atau buatan. Karena itu, kayu masih merupakan
hasil hutan yang paling signifikan karena menghasilkan nilai ekonomi yang
terbesar dibandingkan dengan hasil hutan lainnya. Dalam sejarahnya hasil hutan
sumberdaya alam yang renewable resources yang hingga kini masih menjadi
primadona dalam kehidupan manusia sehingga memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi. Namun dalam mengeskploitasinya sering kali melupakan akan ketersediaan
kayu yang ada dalam hutan serta tanpa melihat dampak kerusakan hutan yang
diakibatkan oleh eksploitasi hasil hutan berupa kayu yang efek dominonya
mengenai segala sektor ekologi dan fungsi dari hutan tersebut, untuk itu diperlukan
yang ada di Papua Barat masih terbatas pada pemanfaatan oleh penduduk local
yang bermukim di sekitar Kawasan cagar alam. Pemanfaatan ini juga terbatas
pada pemanfaatan kayu untuk kayu bakar, pagar kebun, tiang dan dinding rumah,
hewan buruan dan jenis-jenis flora untuk obat-obatan tradisional oleh masyarakat
lokal. Hal ini juga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari belum untuk keperluan
komersil.
Untuk estimasi nilai ekonomi hasil hutan cagar alam yang ada di Papua
berada pada Kawasan cagar alam Papua Barat. Untuk potensi volume kayu
didasarkan pada kelas volume yang telah ditentukan oleh Departemen Kehutanan
cagar alam didominasi oleh potensi sedang dan tinggi yang mana kategori sedang
mencapai kurang lebih 52% dari total kawasan dan kategori tinggi sebanyak
potensial hasil hutan berupa kayu terbesar berada di kawasan cagar alam
tambrauw selatan dengan luas potensial hutan berupa kayu sebesar 478.049,33
ha dan terkecil adalah cagar alam pegunungan arfak yang hanya seluas 68.325,00
ha. Potensi hutan (kayu) tersebut menjadi dasar bagi perhitungan volume kayu di
valuasi ekonomi hutan dalam hal ini potensi kayu pada masing-masing cagar alam
yang ada di papua barat dengan asumsi bahwa untuk wilayah yang tidak
potensi hutan kayu. Harga yang digunakan adalah harga rata-rata harga kayu BPS
potensi kayu pada masing-masing cagar alam disajikan pada Tabel…. berikut.
Tabel … Estimasi Potensi Nilai Ekonomi Berdasarkan Potensi Kayu Di Kawasan Cagar Alam
Tahun, maka didapatkan nilai manfaat potensi kayu untuk Kawasan Cagar Alam
46.847013,00 atau Rp 1.338.486,00 per Ha per Tahun dan Kawasan Cagar Alam
Ha per Tahun. Nilai manfaat total untuk ketiga kawasan cagar alam tersebut
Arfak adalah kentang, kubis, sawi, wortel, bawang daun, labu siam, dan bawang
sepanjang tahun 2015, diikuti oleh kubis dengan 12.885 ton, sawi 12.820 ton,
wortel 12.365 ton, bawang daun 6.625 ton, bawang merah 1.235 ton, dan labu
siam 1.065 ton. Ada beberapa komoditi yang cukup menjanjikan, tetapi belum
terdata dengan baik seperti buah stroberi, tomat, markisa, kopi, dll (Gambar …)
permukiman. Hal ini sangatlah wajar adanya dikarenakan jumlah penduduk yang
berada pada Kawasan cagar alam masih tergolong sedikit (tidak padat) sehingga
dan utara terdiri atas tanaman pangan, Palawija seperti jagung, Ubi kayu, Ubi jalar,
Cabe, Bawang Merah dan Sayur lilin) dan buah-buahan seperti manga, pisang,
papaya, jeruk nipis, belimbing, melinjo, sawo, salak, nangka, jambu air, semangka
dan markisa. Untuk data potensi pertanian pada wilayah ini belum tersedia
(Gambar …).
sedikit jika dibandingkan dari luas wilayah kabupaten tambrauw yang begitu besar.
Disamping itu iklim pada kawasan cagar alam di tambrauw cukup mendukung
Kabupaten Tambrauw memiliki dua musim, yaitu musim Kemarau dan Penghujan,
pada musim kemarau biasanya berlangsung tidak terlalu lama karena di pengaruhi
oleh musim penghujan yang selalu terus-menerus sehingga daerah ini bisa di
termasuk iklim tropis, dengan keadaan curah hujan sangat bervariasi terpengaruh
oleh lingkungan alam sekitarnya. Inilah yang faktor yang dapat menjadi daya
55
51
45
39
16
7
TANAMAN PALAWIJA UBI KAYU UBI JALAR KACANG KELADI SAYURAN &
PANGAN TANAH BUAHAN
LUAS LAHAN PERTANIAN (HEKTAR)
oleh tanaman palawija berupa jagung yang mencapai jumlah produksi sekitar
3.016 ton per tahunnya. Dan untuk hasil pertanian yang paling sedikit adalah
tanaman pangan berupa padi hanya sebanyak 45 ton per tahun (Gambar …. Dan
Tabel …..).
3016
428
375
290
285
150
45
TANAMAN PALAWIJA UBI KAYU UBI JALAR KACANG KELADI SAYURAN &
PANGAN TANAH BUAHAN
PRODUKSI HASIL PERTANIAN (TON/TAHUN)
investasi pada sektor ini adalah pada intensifikasi lahan-lahan eksisting pertanian
turunan dan pemasarannya. Hal ini juga secara tidak langsung dapat mendukung
program ketahanan pangan bagi tambrauw dan provinsi papua barat secara
LUAS PRODUKSI
NAMA JENIS HASIL HASIL
LAHAN (TON) /
KAWASAN PERTANIAN (TON) / Ha
(Ha) THN
Labu Siam 90 1.065 11.83
Jagung 40 70 1.75
Kopi 0 0 0.00
Markisa 0 0 0.00
Pegunungan Arfak, maka nilai ekonomi dari hasil pertanian dengan acuan pada
harga pasar hasil pertanian, dengan asumsi bahwa kawasan cagar alam
mempengaruhi langsung atau tidak langsung sebersar 65% dari produksi hasil
Tabel….. Nilai Ekonomi Hasil Pertanian Kawasan Cagar Alam di Tambrau dan
Pegunungan Arfak
JENIS HARGA
NAMA PRODUKSI (KG) /
HASIL PASAR TOTAL
KAWASAN THN
PERTANIAN (Rp/KG)
Labu Siam 1,065 692,250 15,800 10,937,550,000
Wortel 12,365 8,037,250 25,000 200,931,250,000
Petsai/Sawi 12,820 8,333,000 15,000 124,995,000,000
Kubis 12,885 8,375,250 3,500 29,313,375,000
PENGUNU Kentang 13,885 9,025,250 25,000 225,631,250,000
NGAN Bawang
ARFAK 6,625 4,306,250 8,000 34,450,000,000
Daun
Bawang
1,235 802,750 50,000 40,137,500,000
Merah
Jagung 70 45,500 4,500 204,750,000
Ubi Jalar 689 447,850 3,500 1,567,475,000
SUB TOTAL 61,639 40,065,350 150,300 668,168,150,000
Biaya Produksi 334,084,075,000
Nilai Manfaat / Tahun 334,084,075,000
/ Ha /Tahun 91,857,046
Tanaman
45 29,250 15,000 438,750,000
Pangan
Palawija 3,016 1,960,400 4,500 8,821,800,000
Ubi Kayu 285 185,250 5,000 926,250,000
Ubi Jalar 375 243,750 3,500 853,125,000
TAMBRAUW
Kacang
150 97,500 35,000 3,412,500,000
Tanah
Keladi 428 278,200 15,000 4,173,000,000
Sayuran Dan
290 188,500 12,000 2,262,000,000
Buahan
SUB TOTAL 4,589 2,982,850 90,000 20,887,425,000
Biaya Produksi 6,266,227,500
Nilai Manfaat / Tahun 14,621,197,500
/ Ha /Tahun 28,171,864
TOTAL 66,228 43,048,200 240,300 689,055,575,000
Biaya Produksi 340,350,302,500
Nilai Manfaat / Tahun 348,705,272,500
/ Ha /Tahun 83,904,060
Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi hasil pertanian disekitar Kawasan
cagar alam pegunungan arfak dan tambrauw maka didapatkan bahwa nilai
165.797.780,00 per Ha per Tahun, dimana nilai potensi hasil pertanian untuk
dengan asumsi biaya produksi / operasional mulai dari pengolahan lahan sampai
ke pasar maka didapatkan nilai manfaat bersih hasil pertanian di Kawasan Cagar
91.857.045,00 per Ha per Tahun dan nilai manfaat bersih hasil pertanian di
atau Rp 28.171.864,00 per Ha per Tahun. Nilai manfaat hasil pertanian dari ketiga
Manfaat tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini adalah manfaat
hutan dalam menyerap karbon, manfaat konservasi tanah dan air, pengendalian
Indonesia memiliki hutan tropika yang produktif dan tinggi nilainya, baik dari
hasil kayunya maupun nilai flora dan faunanya. Pemanfaatan sumber daya hutan
yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan hasil padu serasi Tata Guna
Hutan Kesepakatan, peruntukkan hutan dibagi menjadi Hutan Suaka Alam yang
terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; Hutan
Lindung; Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi
ilustrasi nilai ekologi hutan Indonesia dapat disebut dari hasil penelitian Natural
Fungsi hutan sebagai pembentuk humus yang merupakan salah satu unsur
yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Humus terbentuk di lantai hutan dan
tersebar di tempat-tempat yang lebih rendah oleh aliran air yang teratur di atas
wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan. Selain itu, hutan
karbon dalam jumlah yang amat besar, dan oleh karena itu sering disebut sebagai
“wadah” karbon. Hutan menyerap dan menyimpan karbon dioksida yang berasal
dari atmosfer. Dari penutupan lahan Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak dan
Tambrauw, terdiri dari hutan primer dan Hutan sekunder. luas hutan primer dan
hutan primer seluas 724.721 Ha dan luas hutan sekunder seluas 169.565,13 Ha,
yang efektif untuk mengukur nilai serapan karbon di tiga Kawasan cagar alam.
Menurut Brown dan Peace (1994) hutan alam primer mempunyai kemampuan
menyimpan karbon 283 ton/hektar, hutan sekunder 94 ton/hektar dan hutan tersier
100 ton/hektar, sedangkan harga serapan karbon hutan Indonesia sebesar 5 US$
per Ha per Tahun dengan nilai kurs 1 US$ = Rp 13.800,00. Maka nilai manfaat
penyerapan karbon di ketiga Kawasan Cagar Alam adalah sebagai berikut (Tabel
…..):
didapatkan bahwa nilai manfaat dari penyerapan karbon di tiga Kawasan Cagar
Alam secara total adalah Rp 10.811.963.545.540,00 per Tahun atau Rp
demikian masih tetap timbul banyak pertanyaan yang mendasar tentang isu
emisi gas-gas rumah kaca, namun pelaksanaannya sampai saat ini masih terus
peraturan yang ada di Negara para pihak baik yang terdaftar di Annex 1 maupun
biomasa pohon untuk waktu yang ditentukan (20 tahun dengan 2 kali
perpanjangan atau satu periode selama 30 tahun saja) sesuai dengan definisi
hutan yang telah disepakati di Marrakech dan definisi kelayakan lahan untuk
kegiatan Afforestasi dan Reforestasi MPB yang telah disepakati di Kyoto tahun
1989 yang baru diberlakukan tahun 2005 setelah retrifikasi oleh Rusia tahun 2004
penanaman pada lahan yang sejak 50 tahun yang lalu sudah berupa bukan hutan,
dan Reforestasi adalah kegiatan penanaman pada lahan yang pada tanggal 31
Desember 1989 sudah berupa bukan hutan dan sampai dengan saat ini masih
berupa bukan hutan (tanah terbuka, alang-alang, semak, belukar, tanah pertanian
terlantar, kebun terlantar yang menurut definisi “bukan hutan” yang diadopsi oleh
Pemerintah Indonesia adalah penutupan tajuk vegetasi kurang dari 30%, tinggi
berjangka panjang sesuai dengan “nature” dari objek yang diperdagangkan, yakni
setempat dan aspek lingkungan. Jika ingin disederhanakan, sebenarnya inti dari
gas rumah kaca global dan pengurangan kandungan karbon di atmosfer sambil
kegiatan awal (business as usual) yang sudah berjalan baik. Nilai tambah yang
mekanisme lain Non Kyoto yang berkaitan dengan perdagangan karbon antara
lain Bio-Carbon Fund, Community Development Carbon Fund, Special Climate
Change Fund, Adaptation Fund, Prototype Carbon Fund, CERUPT, GEF, Private
Carbon Fund yang secara prinsip seluruh dana tersebut dapat dipakai untuk
Untuk itu Kawasan cagar alam memiliki pontensi untuk hal tersebut
Sumber daya utama baik tanah maupun air mudah mengalami kerusakan
atau degradasi. Dengan adanya kerusakan tersebut maka berdampak pada
penurunan tingkat produktivitas. Faktor - faktor yang menyebabkan
kerusakan tersebut antara lain: kehilangan unsur hara menyebabkan merosotnya
kesuburan tanah, salinitas dan penjenuhan tanah oleh air, dan erosi yaitu
hilangnya atau terkikisnya tanah dan bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang
diangkut oleh air ke tempat lain. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukannya
suatu usaha untuk tetap menjaga kestabilan tanah dan air yaitu melalalui
konservasi tanah dan air.
Keberadaan cagar alam dengan kondisi hutan yang masih alami, sangat
membantu dalam upaya konservasi tanah dan air di sekitar Kawasan cagar alam.
Berdasarkan PERMENLH-RI, Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi
Ekonomi Ekosistem Hutan, Nilai manfaat hutan cagar alam untuk konservasi tanah
dan air sebesar US$ 37.97 Per Ha per Tahun. Jadi nilai manfaat keberadaan cagar
alam sebagai berikut (Tabel …..):
Tabel ….. Nilai Manfaat untuk Konservasi tanah dan air di Kawasan Cagar Alam
Berdasarkan nilai manfaat konservasi tanah dan air pada Tabel …. di atas,
didapatkan bahwa nilai manfaat untuk konservasi tanah dan air dari keberadaan
Banjir dan longsor bukanlah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami,
dan gunung api meletus. Kejadian itu lebih tepat dinamakan bencana ekologi, yaitu
bencana yang disebabkan perilaku manusia yang tidak baik terhadap lingkungan
atau tidak memedulikan kaidah ekologi. Hutan, tanah, dan air.
Hutan, tanah, dan air memiliki hubungan sangat erat. Misalnya, hutan
campuran yang memiliki banyak serasah dan tumbuhan bawah, ketika turun hujan,
nilai erosi tanahnya hanya 0,03 kg per m2 per tahun. Akan tetapi, di kawasan hutan
campuran yang tidak memiliki tumbuhan bawah, erosi tanahnya 0,06 kg per m2
per tahun. Bahkan, pada kawasan hutan campuran yang tidak memiliki tumbuhan
bawah dan serasah, erosi tanahnya lebih tinggi, yaitu 4,39 kg per m2 per tahun
(Soemarwoto 2001).Dengan demikian, keberadaan serasah dan tumbuhan bawah
pada kawasan hutan berperan penting dalam melindungi tanah dari bahaya erosi.
Beberapa sistem agroforestri tradisional, seperti kebon tatangkalan/talun dan
pekarangan, yang memiliki struktur tajuk vegetasi berlapis-lapis dan banyak
serasah seperti ekosistem hutan, juga sangat baik melindungi tanah dari bahaya
erosi.
Selain itu, akibat penebangan hutan yang luas, jumlah air yang tersedia
menjadi besar karena evapotranspirasi dari tumbuhan menjadi kecil. Namun,
ketika turun hujan, biasanya sebagian besar air hujan akan mengalir di atas
permukaan tanah. Akibatnya, nilai aliran permukaan tanah sangat besar dan
mubazir karena air berlebihan langsung masuk ke sungai dan menimbulkan banjir,
terutama apabila sungainya dangkal akibat pelumpuran dari erosi tanah. Namun,
permukaan air tanah dapat menurun dan pengisian kembali air ke dalam tanah
oleh air hujan sangat sedikit. Karena itu, banyak mata air (cai nyusu) kering,
permukaan air sumur menurun, dan terjadi kekurangan air terutama pada musim
kemarau.
untuk perlindungan banjir dan longsor dari keberadaan Kawasan Cagar Alam
Pegunungan arfak memiliki beberapa obyek daya Tarik wisata yang sangat
manarik untuk dikunjungi diantaranya gua terdalam kedua di dunia, danau Anggi
Gida (Danau Perempuan) dan Anggi Jigi (Danau Laki), gua di Dohu, air terjun,
penangkaran kupu-kupu, penangkaran burung cendrawasih di Kuaw, pengamatan
burung, rumah adat kaki seribu, paralayang, dan jalur perlintasan bukit, serta
beberapa titik Spot selfie atau swafoto).
BIAYA
JUMLAH BIAYA BIAYA BIAYA
ASAL PERJA BIAYA TO
NO KUNJU KON PENGI JASA
PENGUNJUNG LANAN LAINNYA BIA
NGAN SUMSI NAPAN GUIDE
PP
1 MANOKWARI 53 1,000,000 300,000 200,000 200,000 500,000 116,6
2 SORONG 88 1,000,000 300,000 200,000 200,000 500,000 193,6
3 JAYAPURA 35 4,000,000 300,000 200,000 200,000 500,000 182,0
4 AMBON 49 4,500,000 300,000 200,000 200,000 750,000 291,5
5 MAKASSAR 67 5,000,000 300,000 200,000 200,000 1,000,000 448,9
6 DKI JAKARTA 46 6,000,000 300,000 200,000 200,000 1,200,000 363,4
7 DENPASAR 32 6,000,000 300,000 200,000 200,000 1,000,000 246,4
JUMLAH 370 PER TAHUN 1,842,
Dari Tabel ….. diketahui nilai manfaat ekonomi pengelolaan wisata alam
di Pegunungan Arfak, adalah Rp. 1.842.450.000,00. Nilai ekonomi wisata alam
merupakan nilai manfaat dari kualitas jasa lingkungan suatu lokasi wisata
yang berupa ekosistem alamiah keanekaragaman hayati, dan keindahan
panorama alam yang didukung berbagai fasilitas, sarana prasarana, dan
sumber daya manusia (Susmianto 1999 dalam Widada 2004). Jika kualitas
sumber daya alam dan fasilitas pendukungnya semakin meningkat maka jumlah
kunjungan akan semakin meningkat, sehingga nilai ekonomi wisata alamnya
dapat diharapkan akan meningkat.
4.3.1.3. NILAI PILIHAN
1. NILAI KEANEKARAGAMAN HAYATI
NILAI MANFAAT
NO JENIS PEMNAFAATAN
per Ha per Potensi
per Tahun % %
tahun Terhitung
A NILAI GUNA LANGSUNG 348,747,713,134 85,116,649
1 HASIL HUTAN 42,440,634 0.00% 1,212,590 1.23% 50.00%
2 HASI PERTANIAN 348,705,272,500 4.40% 83,904,060 85.40% 70.00%
Pearce dan Moran (1994) mengingatkan bahwa nilai ekonomi total yang
diapat dari formula yang ada, sebenarnya tidaklah benar-benar nilai ekonomi total,
masih jauh lebih besar lagi. Alasannya adalah pertama, nilai tersebut masih belum
mencakup seluruh nilai konservasi hutan kecuali nilai ekonominya saja, dan
kedua, banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat
dihitung dengan formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar
yang bersifat sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai fungsi tunggal.
Nilai ekonomi total potensi sumberdaya alam Cagar Alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak sendiri akan terus bertambah apabila terus digali secara
koprehensif mengingat masih banyak manfaat-manfaat lain yang belum
tereksploitasi dalam penelitian ini yang mungkin bila dikuantitatifkan akan
mengakibatkan meningkatkan nilai ekonomi total yang jauh lebih besar, dan
apabila pada kawasan Cagar Alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak dilakukan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi maka akan menyebabkan hilangnya nilai
potensi yang ada serta menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat
tergantikan bahkan dapat menimbulkan bencana.
Dari data hasil penelitian ini dapat dijadikan sebuah pertimbangan bagi
para stakeholders atau pengambil kebijakan tentang penetapan pengelolaan yang
baik, sehingga dapat meningkatkan manfaat kawasan tersebut secara maksimal
tanpa harus melakukan kegiatan pengrusakan hutan. Selama ini pengertian
pembangunan berkelanjutan di sektor kehutanan lebih condong melihatnya dari
sudut pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (overal growth of the economic).
Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai sustainable macro economic
growth, yaitu hanya melihat keuntungan ekonomi (berapa rupiah) yang akan
diperoleh apabila menanamkan investasi di sektor kehutanan. Kemudian
keuntungan dari usaha tersebut menjadi modal untuk investasi di bidang non-
kehutanan yang akan memberikan keuntungan lebih besar. Keuntungan investasi
di sektor kehutanan seharusnya dipergunakan untuk membangun atau
merehabilitasi hutan supaya tetap terjaga, kenyataanya hasil dari hutan hampir
seluruhnya diinvestasikan kembali ke sektor yang tidak ada kaitannya dengan
hutan. Sehingga tidak heran apabila kerusakan hutan semakin hari semakin
bertambah. Banyak studi dan kajian-kajian ilmiah membuktikan bahwa sebagian
besar pengelolaan hutan di Indonesia belum menerapkan prinsip-prinsip
kelestarian (sustainability).
Berdasarkan nilai manfaatnya didapatkan bahwa kedepannya dalam
pengembangan Kawasan cagar alam tambrauw dan pegunungan arfak perlu
mengutamakan pengembangan produktivitas hasil pertanian dan pengembangan
ekowisata dengan konsep pengelolaan berkelanjutan. Potensi sangat besar
terkandung di dalam kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak.
Kelestarian dari hutan kawasan cagar alam menjadi sesuatu yang sangat sensitive
untuk dijaga dengan baik karena perubahan yang terjadi akan berdampak sangat
besar pada perubahan nilai manfaat ekonomi lainnya. Penurunan kualitas potensi
kawasan cagar alam akan menyebabkan penurunan secara otomatis nilai manfaat
lainnya seperti nilai manfaat penyerapan karbon, konservasi tanah dan air,
penanggulangan banjir dan longsong, manfaat keanekaragaman hayati dan lain
sebagainya dalam fungsi ekologi dan biologis.
Berdasarkan nilai total ekonomi yang ada menandakan potensi yang ada
di kawasan cagar alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak yang cukup besar
nilainya dimana di dalamnya mengandung banyak fungsi yaitu fungsi ekologis,
fungsi ekonomi, fungsi sosial, fungsi pendidikan dan penelitian. Namun itu semua
belumlah keseluruhan dari nilai manfaat yang ada dari cagar alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak terutama yang intengible value. Bila melihat nilai TEV yang ada
masih jauh dari estimasi yang sebenarnya hal ini sebagaimana yang diutarakan
Pearce dan Moran (1994) tetap mengingatkan bahwa nilai ekonomi total yang
didapat dari formula diatas, sebenarnya tidaklah benar-benar nilai ekonomi total,
masih jauh lebih besar lagi. Alasannya adalah pertama, nilai tersebut masih belum
mencakup seluruh nilai konservasi hutan kecuali nilai ekonominya saja, dan
kedua, banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat
dihitung dengan formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar
yang bersifat sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai fungsi tunggal.
Dari sudut pandang ekologi, hutan mempunyai fungsi serbaguna yaitu
sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung kehidupan liar,
penghasil makanan, jasa lingkungan, penyerapan gas CO2, tempat wisata, dan
lain-lain. Hilangnya proses-proses alami yang tidak dapat diciptakan manusia juga
sulit untuk di ukur dan dinilai serta tergantikan seperti siklus hidrologi, siklus hara,
siklus oksigen, siklus karbon. Namun demikian semua ahli mengakui sangatlah
sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut satu sama lain secara tegas karena
fungsi tersebut berinteraksi secara dinamis. Intangible value sulit untuk diukur
misalnya pengaruh adanya kebakaran hutan terhadap kesehatan, terhadap gagal
panen akibat matinya bunga buah sebelum berkembang, hilangnya habitat para
satwa ataupun bahkan punahnya satwa yang ada dalam kawasan sehingga
memutus jaringan rantai makanan, Dari perihal tersebut maka diperlukan suatu
system pengelolaan yang harus dilakukan agar kawasan cagar alam Tambrauw
dan pegunungan arfak tetap terjaga atas dasar fungsi-fungsi yang ada, serta
merehabilitasi lahan dan pengayaan jenis tanaman perlu dilakukan dimana
nantinya akan mampu meningkatkan fungsi dan nilai ekonomi total Kawasan cagar
alam.
Dimensi Ekologi
Data Sekunder dan
1 Perubahan Keragaman Habitat (X1) 2
Survei
Data Sekunder dan
2 Struktur Relung Komunitas (X2) 1
Wawancara
Ukuran Populasi dan Struktur Demografi
3 2 Data Sekunder
Kawasan Cagar Alam (X3)
Tingkat Keragaman Kawasan Cagar
4 2 Data Sekunder
Alam (X4)
Data Survei dan Data
5 Rehabilitas Kawasan Cagar Alam (X5) 2
Sekunder
Kerapatan Vegetasi Kawasan Cagar Data Survei dan Data
6 2
Alam (X6) Sekunder
Nilai skor dari dimensi ekologi untuk kawasan cagar alam kemudian
dianalisis menggunakan analisis Rap-Forest. Hasil yang diperoleh dengan metode
Multi Dimensional Scaling (MDS) akan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan
kawasan cagar alam dari dimensi ekologi yang dapat dilihat pada Gambar …. Hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan kawasan cagar alam untuk
dimensi ekologi adalah 86.90%, yang artinya Berkelanjutan.
RAP-Forest Ordination
80
60
UP
40
20
Axis Title
0 BAD GOOD
0 50 100 150
-20 86.90
-40
DOWN
-60
-80
Axis Title
Gambar ... Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi pada Kawasan cagar alam
Tabel 28 Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap-Forest pada Dimensi Ekologi
No Indikator Statistik Nilai Statistik Persentase
2 R2 0.9393 93.93%
60
40
Other Distingishing Features
20
0
-20 0 20 40 60 80 100 120 140
-20
-40
-60
-80
Forest Sustainability
Gambar 21. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan cagar alam pada Dimensi
Ekologi
Leverage of Attributes
KERAPATAN VEGETASI 2.78
REHABILITAS 2.29
Attribute
STRUKTUR RELUNG
KOMUNITAS 13.10
PERUBAHAN KERAGAMAN
HABITAT 1.42
0 5 10 15
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 22. Hasil Analisis Sensitifitas Indikator untuk Kawasan cagar alam pada
Dimensi Ekologi
Dimensi Ekonomi
1 Pemanfaatan oleh Masyarakat (X7) 2 Identikasi Pemanfaatan
Keuntungan dari Pemanfaatan
2 2 Nilai Manfaat Ekonomi
Langsung (X8)
Zonasi Pemanfaatan Lahan
3 1 Data Sekunder
Kawasan Cagar Alam (X9)
Pendapatan Masyarakat di Sekitar
4 1 Hasil Analisis Data
Kawasan Cagar Alam (X10)
Nilai skor dari dimensi ekonomi untuk kawasan cagar alam kemudian
dianalisis menggunakan alat analisis Rap-Forest. Hasil yang diperoleh
dengan metode Multi Dimensional Scaling (MDS) menunjukkan nilai indeks
keberlanjutan kawasan cagar alam dari dimensi ekonomi yang bisa dilihat
pada Gambar 23. Hasil Analisis menunjukkan bahwa nilai indeks
keberlanjutan untuk dimensi ekonomi adalah 66.94% termasuk dalam
kategori Cukup Berkelanjutan (55 – 74.99%).
RAP-Forest Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20 66.94
0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Tabel 30. Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap-Forest pada Dimensi
Ekonomi
No Indikator Statistik Nilai Statistik Persentase
1 Stress (S) 0.1629 16.29%
2 R2 0.9330 93.30%
40
20
Other Distingishing Features
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
-60
Forest Sustainability
Gambar 24. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan Cagar Alam pada
Dimensi Ekonomi
Leverage of Attributes
PENDAPATAN
MASYARAKAT 10.05
ZONASI PEMANFAATAN
LAHAN 11.24
Attribute
KEUNTUNGAN
PEMANFAATAN LANGSUNG 9.10
PEMANFAATAN OLEH
MASYARAKAT 8.72
0 2 4 6 8 10 12
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
kawasan cagar alam. Jika hal ini bisa dilakukan maka akan mendorong
dimensi ekonomi.
Tabel …. Nilai Skor Indikator pada Dimensi Keberlanjutan Sosial untuk Kawasan
cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak
Dimensi Sosial
Akses Masyarakat Lokal
1 2 Hasil Analisis Data
Terhadap Kawasan Cagar Alam (X11)
Nilai skor dari dimensi sosial untuk kawasan cagar alam kemudian
dianalisis menggunakan alat analisis Rap-Forest. Hasil yang diperoleh
dengan metode MDS menunjukkan nilai indeks keberlanjutan kawasan
cagar alam dari dimensi sosial yang bisa dilihat pada Gambar 26. Hasil
Analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi
sosial adalah 71.65% termasuk dalam kategori Cukup Berkelanjutan.
RAP-Forest Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
-20
-40
DOWN
-60
Forest Sustainability
Tabel 32. Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap Forest pada Dimensi Sosial
40
20
Other Distingishing Features
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
-60
Forest Sustainability
Gambar 27. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan cagar alam pada
Dimensi Sosial
Leverage of Attributes
PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PERAN
KAWASAN CAGAR ALAM 5.57
0 5 10 15
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 28. Hasil Analisis Sensitifitas Indikator untuk Kawasan cagar alam
pada Dimensi Sosial
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan status keberlanjutan
dimensi sosial tergolong cukup berkelanjutan, maka dalam pengembangan
dan pengelolaannya diperlukan suatu kebijakan sosial yang mengarah
pada perbaikan indikator-indikator sensitif. Indikator yang memiliki tingkat
sensitifitas yang dominan berpengaruh pada keberlanjutan kawasan cagar
alam dimensi sosial adalah tingkat penghasilan dan tingkat pendidikan.
Berdasarkan hasil identifikasi didapatkan bahwa tingkat pengahasilan
masyarakat di sekitar arel kawasan cagar alam masih tergolong rendah
masih dominan dibawah nilai UMP Provinsi Papua Barat, maka langkah-
langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan indeks keberlanjutan
kawasan cagar alam dimensi sosial di Tambrauw dan Pegunungan Arfak
adalah dengan mengupayakan peningkatan penghasilan melalui
pemberdayaan masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat
terhadap pendidikan anak kedepannya, dan berupaya mengendalikan dari
awal kemungkinan penyebab kerusakan kawasan cagar alam oleh
masyarakat dengan berupaya menyusun kebijakan pengembangan
kawasan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan .
Lampiran 9). Hasil yang diperoleh dengan metode MDS menunjukkan nilai
20
-20
-40
DOWN
-60
Forest Sustainability
Gambar 29. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum / Kelembagaan pada
Kawasan cagar alam
Tabel 34. Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap-Forest pada Dimensi Hukum
/ Kelembagaan
No Indikator Statistik Nilai Statistik Persentase
1 Stress (S) 0.1669 16.69%
2 R2 0.9318 93.18%
40
20
Other Distingishing Features
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
-40
-60
Forest Sustainability
Gambar 30. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan cagar alam pada
Dimensi Hukum / Kelembagaan
Leverage of Attributes
DUKUNGAN STAKEHOLDER 2.02
KEBERADAAN LEMBAGA
MASYARAKAT 5.11
KEBERADAAN ATURAN
PENGELOLAAN 0.13
0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 31. Hasil Analisis Sensitifitas Indikator untuk Kawasan cagar alam
pada Dimensi Hukum / Kelembagaan
EKOLOGI
100.00
86.90
80.00
60.00
40.00
20.00
HUKUM DAN
0.00 EKONOMI
KELEMBAGAAN
54.92 66.94
71.65
SOSIAL
TOTAL 71.97
Dari tabel … dan gambar …. diatas dapat memberikan informasi berupa
pentingnya menjaga kawasan Cagar Alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak
tetap lestari. Kawasan Cagar Alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak memang
diharapkan kemampuannya untuk memberikan kinerja ekologi yang lebih besar
sehingga mampu memberikan layanan jasa lingkungan yang lebih besar kepada
keberlanjutan ekosistem serta kahidupan bagi masyarakat di wilayah sekitarnya.
Selain dimensi ekologi, pengelolaan kawasan dengan baik dan benar dapat
memberikan nilai positif bagi dimensi ekonomi masyarakat yang berada di
sekitarnya, kemudian dimensi kelembagaan juga dapat dikaji lebih lanjut lagi
dengan memberikan kepercayaan serta tetap membangun niat yang baik bagi
masyarakat adat serta masyarakat pendatang untuk tetap menjaga kelestarian
kawasan cagar alam lebih baik lagi.
Aturan adat serta norma yang ditetapkan, harus diikuti serta mendapat
kedudukan tertinggi oleh setiap masyarakat lokal di kawasan cagar alam. Kondisi
ini juga merupakan bagian terpenting dari penentuan dan pengakuan dari
kepemilikan batas lahan/tanah adat oleh suku atau adat yang berada disekitar
kawasan cagar alam. Selama ini masih terjadi konflik antar suku yang berada di
sekitar kawasan mengenai aturan dan pengakuan hak ulayat adat di kawasan
cagar alam. Seperti kondisi mengambil kayu di area yang telah ditentukan oleh
aturan adat, aturan ini harus diikuti oleh setiap masyarakat yang berada dalam
adat tersebut, tetapi masyarakat yang berada di luar adat (pendatang) tidak
merasa harus mengikuti adat tersebut, bahkan ada yang menentang aturan
tersebut. Oleh sebab itu, atribut mengenai aturan adat sangat penting dan perlu
ditegakkan dan diakui mengingat kawasan ini menuju pada suatu kehancuran
dengan tindakan-tindakan yang tidak teratur. Aturan ini perlu didukung oleh
pemerintah daerah, serta bersama-sama menegakkan aturan baik aturan negara
maupun aturan adat yang telah turun-temurun di jalankan.
1. Strategi kolaborasi
2. Strategi konservasi