Anda di halaman 1dari 96

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

1.2 MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN KEGIATAN

1.2.1 MAKSUD

1.2.2 TUJUAN

1.2.3 SASARAN KEGIATAN

1.3 RUANG LINGKUP PEKERJAAN

1.3.1 LINGKUP WILAYAH PERENCANAAN

1.3.2 LINGKUP SUBSTANSI PEKERJAAN

1.3.3 RUANG LINGKUP MATERI

1.4 DASAR HUKUM DAN KEBIJAKAN

1.4.1 DASAR HUKUM

1.4.2 KEBIJAKAN

1.4.2.1. KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH EKSTERNAL


1.4.2.2. KONSEP PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PROVINSI PAPUA
BARAT
1.4.2.3. STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI PAPUA BARAT

BAB II METODOLOGI PENELITIAN


2.1 WAKTU DAN LOKASI PELAKSANAAN PEKERJAAN

2.2 TAHAPAN PELAKSANAAN

2.3 METODE PELAKSANAAN PEKERJAAN

2.3.1 KEGIATAN PERSIAPAN

2.3.2 PENGUMPULAN DATA

2.3.3 KEGIATAN SURVEI LAPANGAN

2.3.3.1. SURVEI HIDROMETRI


2.3.3.2. SURVEI POTENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI
2.3.3.3. SURVEI POTENSI SUMBER DAYA ALAM

2.4 ANALISA DATA

2.4.1 PENDEKATAN METODOLOGI ANALISIS


2.4.2 ANALISIS PENILAIAN EKONOMI POTENSI SDA YANG ERSEDIA
2.4.3 ANALISIS PENGARUH SOSIAL EKONOMI TERHADAP KAWASAN

2.4.4 ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR


ALAM DAN KEBIJAKAN PRIORITAS PENGELOLAAN KAWASAN
CAGAR ALAM TAMBRAUW UTARA, TAMBRAUW SELATAN DAN
PEGUNUNGAN ARFAK

Pada hakekatnya, pengeloaan yang berkelanjutan merupakan konsep


yang dimunculkan bersama dengan pemanfaatan yang bertanggung jawab.
Sebelumnya, studi mengenai analisis penentuan keberlanjutan masih bersifat
parsial. Pengkajian keberlanjutan belum menerapkan analisis terpadu yang
komprehensif terhadap berbagai dimensi yang mempengaruhi kegiatan tersebut.
Rapid Appraisal Analysis adalah metode sederhana dan fleksibel yang
menampung kreatifitas dalam pendekatannya terhadap suatu masalah. Metode ini
memasukkan pertimbangan-pertimbangan melalui penentuan indikator yang
akhirnya menghasilkan skala prioritas (Fauzi dan Anna, 2005). Rapid Appraisal
analysis adalah teknik yang dikembangkan oleh University of British Columbia
untuk sumberdaya perikanan, untuk mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya
perikanan secara multidisipliner. Rapfish digunakan untuk menjelaskan dimensi
ekologi, ekonomi, sosial, hukum / kebijakan yang mencakup indikator-indikator
keberlanjutan (Pattimahu, 2010). Untuk menentukan status keberlanjutan
kawasan cagar alam bedasarkan dimensi berkelanjutan dilakukan modifikasi
Rapfish menjadi Rap-Forest (Kavanagh, 2004)

Berdasarkan data yang dikumpulkan sebelumnya, pengolahan dan


analisisnya akan dikerjakan dengan mengikuti prosedur yang lazim, baik untuk
penilaian dan pendugaan parameter sumberdaya ekosistem, maupun penentuan
status keberlanjutan kawasan cagar alam dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial,
dan hukum / kelembagaan, penentuan alternatif kebijakan, serta untuk
implementasi pengembangan pengelolaan Kawasan cagar alam yang
berkelanjutan (Pattimahu, 2010).

Secara singkat, analisis Rap-Forest digunakan untuk menentukan status


keberlanjutan dari keempat dimensi tersebut di atas, sedangkan untuk
menggambarkan kondisi aktual kawasan cagar alam dari masing-masing dimensi
tersebut, data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif, kemudian
penentuan skor pada indikator status keberlanjutan pada dimensi dari analisis
Rap-forest. Indikator-indikator sensitif hasil keluaran dari analisis leverage,
selanjutnya dianalisis dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan
program Expert Choice, yaitu menentukan alternatif kebijakan prioritas dalam
pengelolaan kawasan cagar alam berkelanjutan, selanjutnya diracang suatu
kegiatan yang terencana (implementasi) dalam pengembangan pengelolaan
kawasan cagar alam berkelanjutan di Tambrauw dan Pegunungan Arfak. Berikut
ini diuraikan analisis-analisis dimaksud:

1). Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Cagar Alam

Dalam menggambarkan keberlanjutan kawasan cagar alam di Tambrau


dan Pegunungan Arfak digunakan pendekatan Rap-forest yang merupakan
modifikasi dari program Rapfish (Pattimahu, 2010), untuk penilaian
kebeberlanjutan pengelolaan kawasan cagar alam yang terdiri dari tahapan
sebagai berikut:
1. Tahap penentuan indikator-indikator pengelolaan kawasan cagar alam
secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (Sosial, ekologi,
ekonomi, dan hukum-kelembagaan).
2. Tahap penilaian setiap indikator dalam skala ordinal berdasarkan
kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang
berbasis metode multidimensional scalling (MDS)
3. Tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan
kawasan cagar alam berkelanjutan di Tambrauw dan Pegunungan
Arfak

Kemudian dilanjutkan dengan skoring, yang didasarkan pada ketentuan


yang sudah ditetapkan Rap-Forest. Setelah itu, dilakukan MDS untuk menentukan
posisi relative dari perikanan terhadap ordinasi good dan bad. Untuk setiap
indikator pada masingmasing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi
keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan
kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan dan analisis data sekunder.
Rentang skor berkisar antara 0 - 2, tergantung pada keadaan masing-masing
indikator yang diartikan mulai dari buruk sampai baik, yakni nilai buruk diberi skor
0 (nol) nilai buruk, nilai antara diberi Skor 1 (satu), dan nlai baik diberi skor 2 (dua).
Nilai buruk mencerminkan kondisi paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan
kawasan cagar alam berkelanjutan, sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi
paling menguntungkan (Pattimahu, 2010).
Indikator-indikator dan skor yang akan digunakan untuk menilai kondisi
keberlanjutan pengelolaan kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan
Arfak diperoleh dari studi pustaka menyangkut sustainable forest management
(SFM), serta berdasarkan pengamatan di lapangan sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Indikator-indikator dan skor keberlanjutan disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Indikator-indikator dan Skor Keberlanjutan Kawasan cagar alam
Kriteria Skor
No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan
Baik Buruk

A. Dimensi Ekologi
(0) Banyak;
Perubahan Keragaman
1 0;1;2 2 0 (1) Sedikit;
Habitat (X1)
(2) Tidak Ada
(0) Banyak;
Struktur Relung (1) Sedikit Perubahan;
2 0;1;2 2 0
Komunitas (X2) (2) Tidak Menunjukkan
Perubahan
Ukuran Populasi dan
(0) Sangat Berubah;
Struktur Demografi
3 0;1;2 2 0 (1) Sedikit Berubah;
kawasan cagar alam
(2) Tidak Berubah
(X3)
(0) Tidak Beragam (Hanya 1 – 3
Tingkat Keragaman
Jenis)
4 Kawasan cagar alam 0;1;2 2 0
(1) Cukup Beragam (4 – 9 Jenis;
(X4)
(2) Sangat Beragam (>9 Jenis)
(0) Ada;
5 Rehabilitas (X5) 0;1;2 2 0 (1) Sedang;
(2) Banyak
(0) Jarang (<1000 ind/Ha);
Kerapatan Vegetasi (1) Sedang (1000 – 1500
6 0;1;2 2 0
(X6) ind/Ha)
(2) Sangat Rapat (>1500 ind/Ha)
Kriteria Skor
No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan
Baik Buruk

B. Dimensi Ekonomi
(0) Rendah;
Pemanfaatan oleh
1 0;1;2 2 0 (1) Sedang;
Masyarakat (X7)
(2) Banyak
Keuntungan dari (0) Lebih Kecil;
2 Pemanfaatan 0;1;2 2 0 (1) Sama;
Langsung (X8) (2) Lebih Besar.
(0) Tidak Tersedia;
Zonasi Pemanfaatan (1) Tersedia Tapi Belum
3 0;1;2 2 0
Lahan (X9) Dipatuhi;
(2) Tersedia dan Dipatuhi
Trend Pendapatan (0) Trend Menurun;
4 Masyarakat di Sekitar 0;1;2 2 0 (1) Tetap;
(X10) (2) Trend Meningkat
Tabel 2. Indikator-indikator dan Skor Keberlanjutan Kawasan cagar alam
(Lanjutan)

Kriteria Skor
No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan
Baik Buruk

C. Dimensi Sosial
Akses Masyarakat Lokal (0) Tidak Punya Sama Sekali;
1 Terhadap Kawasan 0;1;2 2 0 (1) Rendah
(X11) (2) Tinggi;
Kesadaran Masyarakat
(0) < 25%;
Terhadap Pentingnya
2 0;1;2 2 0 (1) 25% - 75%
Kawasan Cagar Alam
(2) > 75%;
(X12)
(0) Rendah;
Tingkat Pendidikan
3 0;1;2 2 0 (1) Sedang
Masyarakat (X13)
(2) Tinggi;
(0) Rendah;
Tingkat Penghasilan
4 0;1;2 2 0 (1) Sedang
(X14)
(2) Tinggi;
Kerusakan Kawasan (0) Besar;
5 Cagar Alam oleh 0;1;2 2 0 (1) Sedang
Masyarakat (X15) (2) Kecil;
Pengetahuan
Masyarakat (0) < 25%;
6 tentang Peran 0;1;2 2 0 (1) 25% - 75%
kawasan cagar alam (2) > 75%;
(X16)
D. Dimensi Hukum / Kelembagaan
Keberadaan Aturan (0) Tidak Ada;
1 Pengelolaan Kawasan 0;1;2 2 0 (1) Ada, Tidak dilaksanakan
cagar alam (X17) (2) Ada Dilaksanakan;
Keberadaan Lembaga
(0) Tidak Ada;
Masyarakat Untuk
2 0;1;2 2 0 (1) Ada, Tidak Aktif
Pengelolaan Kawasan
(2) Ada, Aktif
cagar alam (X18)
(0) Tidak Ada;
Zonasi kawasan cagar
3 0;1;2 2 0 (1) Ada, Tidak dilaksanakan
alam (X19)
(2) Ada Dilaksanakan;
Penegakan Hukum (0) Tidak Ada;
4 oleh Aparat bagi 0;1;2 2 0 (1) Hanya Sebagian Kasus
Pelanggar (X20) (2) Seluruh Kasus;
(0) Tidak Ada;
Dukungan Stakeholder
5 0;1;2 2 0 (1) Ada, Belum Kolaboratif
(X21)
(2) Ada, Dukungan Besar
Sumber : FAO (1999), LEI dan CIFOR (1999); Pitcher dan Pereiskhot (2001); Trimulyani (2013),
Osmaleli (2014)
Selanjutnya nilai skor dari masing-masing indikator dianalisis secara
multidimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan kawasan
cagar alam yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan titik baik (good) dan buruk
(bad), untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi.
Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan kawasan cagar alam.
Penilaian status keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi dikategorikan
menurut Kavanagh (1999) sebagai berikut:
 Nilai Indeks 0 – 24.99% (Kategori Tidak Berkelanjutan)
 Nilai Indeks 25 – 49.99% (Kategori Kurang Berkelanjutan)
 Nilai Indeks 50 – 74.99% (Kategori Cukup Berkelanjutan)
 Nilai Indeks 75 – 100% (Kategori Berkelanjutan)
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat
divisualisasikan melalui sumbu horisontal dan sumbu vertikal dengan proses
rotasi. Posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horisontal dengan nilai indeks
keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang dikaji
mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50%, maka
sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable). Sistem tidak akan berkelanjutan jika
nilai indeks kurang dari 50%.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling
sensitive memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan kawasan cagar
alam. Peran masing-masing indikator terhadap nilai indeks dianalisis dengan
“attribute leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu
dihilangkan dari analisis. Peran (pengaruh) setiap indikator dilihat dalam bentuk
perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-X.
Indikator-indiktor yang memiliki tingkat kepentingan (sensitivitas) tinggi dari hasil
analisis ini, dianggap sebagai faktor pengungkit, yang apabila dilakukan perbaikan
pada atribut tersebut maka akan berpengaruh besar dalam mengungkit nilai indeks
keberlanjutan menjadi lebih baik. Perbaikan terhadap atribut sensitif, yang
merupakan faktor pengungkit tersebut, akan menjadi salah satu pertimbangan
dalam menyusun rekomendasi dalam pengelolaan kawasan cagar alam di
Tambrauw dan Pegunungan Arfak.
Secara umum metode Rap-Forest akan dimulai dengan mereview
indikator-indikator kawasan cagar alam berkelanjutan melalui studi literatur dan
pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang
didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Forest. Setelah
didapatkan hasil skoring maka setiap indikator dianalisis dengan menggunakan
Multidimensional Scaling (MDS) guna menentukan posisi relatif dari pengelolaan
hutan kawasan cagar alam terhadap ordinasi good dan bad. Langkah selanjutnya
menganalisis nilai stress dengan menggunakan ALSCAL logaritma. Dari hasil
ordinasi dengan MDS dan nilai stress melalui alogaritma ALSCAL dilakukan rotasi
untuk menentukan posisi pengelolaan kawasan cagar alam pada ordinasi bad dan
good. Langkah berikutnya adalah menggunakan analisis Monte Carlo untuk
menentukan aspek ketidakpastian dan analisis leverage untuk menentukan aspek
anomali dari indikator yang dianalisis

2). Analisis Kebijakan Prioritas Pengelolaan Kawasan cagar alam

Perumusan kebijakan yang diinginkan berisikan upaya-upaya atau


strategi-strategi yang dapat ditempuh dalam pengembangan kawasan cagar alam
yang berkelanjutan di Tambrauw dan Pegunungan Arfak, sehingga kebijakan
tersebut akan lebih mampu untuk memecahkan permasalahan di bidang ekologi,
ekonomi, sosial, dan hukum / kelembagaan, agar pengelolaan kawasan cagar
alam yang bertanggung jawab dapat diwujudkan.
Analisis kebijakan prioritas pengembangan kawasan cagar alam bertujuan
untuk mendapatkan gambaran mengenai prioritas kebijakan pengelolaan kawasan
cagar alam meliputi kebijakan di bidang ekologi, bidang ekonomi, bidang sosial,
dan bidang hukum / kelembagaan guna pengembangan kawasan cagar alam yang
berkelanjutan di Tambrauw dan Pegunungan Arfak. Analisis ini merupakan
lanjutan dari analisis Rap-Forest sebagaimana tertuang pada pembahasan
analisis keberlanjutan kawasan cagar alam.
Secara keseluruhan, keluaran analisis Rap-Forest yaitu status
keberlanjutan kawasan cagar alam ditinjau dari berbagai dimensi ini nantinya
merupakan dasar untuk analisis selanjutnya (AHP) dan dalam menyusun kegiatan
yang terencana dalam pengembangan pengelolaan selanjutnya mengacu pada
atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi status perikanan pada masing-masing
aspek yang dianalisis.
Dengan demikian, alat analisis yang digunakan adalah Rap-Forest dan
Analitical Hierarchy Proses (program Expert Choice). Melalui analisis Rap-Forest,
dari berbagai dimensinya diperoleh permasalahan / kelemahan pengelolaan
kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak yang dikeluarkan
sebagai indikator sensitif sehingga menyebabkan rendahnya nilai indeks
keberlanjutannya. Dengan demikian pengambilan keputusan dan atau kebijakan
untuk peningkatkan atau mengembangkan status keberlanjutan dimaksud dapat
lakukan secara objektif dan ditetapkan berdasarkan proses hierarki analisis
(program Expert Choice).
Pengambilan keputusan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) atau
Proses Hirarki Analitik (PHA) dilakukan melalui pendekatan sistem. Pemahaman
terhadap situasi dan kondisi sistem membantu untuk melakukan prediksi dalam
mengambil keputusan. Prinsip-prinsip dasar dalam menyelesaikan persoalan
dengan menggunakan PHA yaitu: (1) menyusun hierarki, (2) menetapkan prioritas,
(3) konsistensi logis.
Untuk dapat memahami permasalahan yang kompleks, perlu memecah
persoalan tersebut ke dalam elemen-elemen pokoknya, kemudian elemen dibagi
ke dalam sub-sub elemennya seterusnya sampai membentuk suatu hierarki.
Dengan memecah permasalahan kedalam gugusan yang lebih kecil, dapat
dipadukan sejumlah besar informasi ke dalam struktur masalah yang membentuk
gambaran yang lengkap dari keseluruhan sistem.
Langkah selanjutnya adalah membuat skala perbandingan (matrik
berpasangan). Matrik berpasang ini dibuat dari puncak hierarki, kemudian satu
tingkat dibawahnya dan seterusnya dibuat untuk keseluruhan tingkatan hierarki.
Matriks banding berpasangan diperoleh berdasarkan nilai dari analisis Rap-Forest.
Langkah-langkah penggunaan AHP dengan Expert Choice yaitu:
1. Penentuan skor, bobot dan tingkat prioritas pada dimensi keberlanjutan
kawasan cagar alam (ekologi, ekonomi, sosial, dan hukum / kelembagaan.
Penentuan skor dan bobot berdasarkan nilai indeks keberlanjutan hasil dari
Rap-Forest. Semakin rendah indeks keberlanjutan, maka semakin tinggi skor
dan bobot, dengan target capaian nilai indeks keberlanjutan kategori
berkelanjutan (75 – 100%)
2. Penentuan indikator sensitif pada masing-masing dimensi keberlanjutan
kawasan cagar alam. Kemudian penentuan bobot dan tingkat prioritas pada
indikator sensitif tersebut. Penentuan bobot berdasarkan nilai sensitifitas dari
analisis leverage pada Rap-Forest.
3. Penentuan alternatif kebijakan berdasarkan pada penyelesaian masalah
indikator - indikator sensitifitas dimensi untuk mencapai keberlanjutan
kawasan cagar alam. Alternatif kebijakan dihubungkan dengan indikator -
indikator sensitif masing-masing dimensi keberlanjutan. Kemudian mengukur
pengaruh setiap alternatif dalam memperbaiki indikator-indikator sensitif.
Pengukuran pengaruh alternatif kebijakan dalam memperbaiki indikator
sensitif dilakukan oleh peneliti dengan berdasarkan skala penilaian, yaitu : 1
menunjukkan alternatif kebijakan tidak berpengaruh terhadap perbaikan
indikator; 2 menunjukkan alternatif kebijakan kurang berpengaruh terhadap
perbaikan indikator; 3 menunjukkan alternatif kebijakan cukup berpengaruh
terhadap perbaikan indikator; 4 menunjukkan alternatif kebijakan berpengaruh
terhadap perbaikan indikator; dan 5 menunjukkan alternatif kebijakan sangat
berpengaruh terhadap perbaikan indikator.
4. Hasil penentuan bobot dan prioritas setiap dimensi dan indikator sesnsitif;
beserta hasil penilaian hubungan alternatif kebijakan dalam memperbaikai
indikator sensitif dimasukan dalan program Expert Choice untuk menetukan
alternatif kebijakan yang paling prioritas.
5. Model assessment dalam pengimputan pada program Expert Choice dengan
menggunakan Direct yaitu nilai langsung masing-masing dimensi, indikator
dan alternatif kebijakan hasil Rap-Forest .
BAB III GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA BARAT

3.1 KARAKTERISTIK LOKASI DAN ADMINISTRASI WILAYAH

3.2 DEMOGRAFI
3.2.1 KOMPOSISI PENDUDUK
3.2.2 TINGKAT KESEJAHTERAAN PENDUDUK
3.2.3 KETENAGAKERJAAN
3.2.4 PENDIDIKAN
3.2.5 KESEHATAN
3.2.6 AGAMA

3.3 ADAT DAN BUDAYA TRADISIONAL


3.3.1 ADAT
3.3.2 BUDAYA TRADISIONAL

3.4 GEOLOGI DAN MORFOLOGI

3.5 KLIMATOLOGI

3.6 HIDROLOGI

3.7 AKSESIBILITAS

3.8 FASILITAS UMUM

3.9 EKONOMI WILAYAH

3.10 KEHUTANAN
3.10.1 PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI
3.10.2 KAWASAN KONSERVASI

3.11 PENGGUNAAN LAHAN

3.12 RAWAN BENCANA


BAB IV HASIL DAN ANALISIS
4.1 GAMBARAN UMUM KAWASAN
4.1.1 PEGUNUNGAN ARFAK
1. DEMOGRAFI
2. GEOLOGI
3. MORFOLOGI
4. KLIMATOLOGI
5. AKSESIBILITAS
6. FASILITAS UMUM
7. EKONOMI WILAYAH
8. KEHUTANAN
9. PENGGUNAAN LAHAN
10. KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
4.1.2 TAMBRAUW UTARA
1. DEMOGRAFI
2. GEOLOGI
3. MORFOLOGI
4. KLIMATOLOGI
5. AKSESIBILITAS
6. FASILITAS UMUM
7. EKONOMI WILAYAH
8. KEHUTANAN
9. PENGGUNAAN LAHAN
10. KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
4.1.3 TAMBRAUW SELATAN
1. DEMOGRAFI
2. GEOLOGI
3. MORFOLOGI
4. KLIMATOLOGI
5. AKSESIBILITAS
6. FASILITAS UMUM
7. EKONOMI WILAYAH
8. KEHUTANAN
9. PENGGUNAAN LAHAN
10. KONDISI SOSIAL MASYARAKAT

4.2 POTENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SUMBERDAYA ALAM


LAINNYA
4.2.1 KENEKARAGAMAN HAYATI FAUNA
4.2.1.1. PEGUNUNGAN ARFAK
4.2.1.2. TAMBRAUW UTARA
4.2.1.3. TAMBRAUW SELATAN

4.2.2 KENEKARAGAMAN HAYATI FLORA


4.2.2.1. PEGUNUNGAN ARFAK
4.2.2.2. TAMBRAUW UTARA
4.2.2.3. TAMBRAUW SELATAN
4.2.3 POTENSI SUMBERDAYA AIR
4.2.3.1. PEGUNUNGAN ARFAK
1. POTENSI SUNGAI
2. ANALISIS POTENSI PEMBANGUNAN LISTRIK TENAGA AIR
4.2.3.2. TAMBRAUW UTARA
1. POTENSI SUNGAI
2. ANALISIS POTENSI PEMBANGUNAN LISTRIK TENAGA AIR
4.2.3.1. TAMBRAUW SELATAN
1. POTENSI SUNGAI
2. ANALISIS POTENSI PEMBANGUNAN LISTRIK TENAGA AIR

4.2.4 POTENSI PENGEMBANGAN WISATA


4.2.4.1. PEGUNUNGAN ARFAK
4.2.4.2. TAMBRAUW UTARA
4.2.4.3. TAMBRAUW SELATAN

4.2.5 POTENSI UNGGULAN KAWASAN


4.2.5.1. PEGUNUNGAN ARFAK
4.2.5.2. TAMBRAUW UTARA
4.2.5.3. TAMBRAUW SELATAN
4.3 NILAI EKONOMI KAWASAN
4.3.1 NILAI EKONOMI POTENSI SUMBERDAYA ALAM KAWASAN

Pengukuran nilai ekonomi potensi sumberdaya alam Kawasan didasarkan

pada pemanfaan sebagai berikut :

4.3.1.1. NILAI MANFAAT LANGSUNG KAWASAN

1. NILAI HASIL HUTAN (POTENSI KAYU)

Meskipun telah terjadi pergeseran paradigma dalam praktek pengelolaan

dan pemanfaatan hutan deswasa ini yang lebih berorientasi pada peningkatan nilai

ekologi untuk ditransfer menjadi nilai ekonomi, namun tidak berarti bahwa

pemanfaatan hutan dalam perspektif ekonomi sama sekali dilarang atau tidak

dapat dilakukan. Sesuai dengan terminologinya, pemanfaatan hutan bagi

kepentingan ekonomi, khususnya produksi kayu masih dimungkinkan mengingat

potensi hasil hutan berupa kayu di Kawasan hutan indonesia masih tergolong

tinggi serta layak untuk diusahakan.

Di sisi lain, hingga saat ini kebutuhan masyarakat baik domestik maupun

internasional masih sangat tinggi bahkan cenderung mengalami peningkatan.

Sementara produk-produk kayu memiliki kelebihan berupa tidak dapat digantikan

dengan bahan-bahan sintesis atau buatan. Karena itu, kayu masih merupakan

hasil hutan yang paling signifikan karena menghasilkan nilai ekonomi yang

terbesar dibandingkan dengan hasil hutan lainnya. Dalam sejarahnya hasil hutan

kayu pernah memberikan sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak,

sehingga disebut sebagai “emas hijau”.

Kayu merupakan hasil hutan yang utama, dimana kayu merupakan

sumberdaya alam yang renewable resources yang hingga kini masih menjadi

primadona dalam kehidupan manusia sehingga memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi. Namun dalam mengeskploitasinya sering kali melupakan akan ketersediaan

kayu yang ada dalam hutan serta tanpa melihat dampak kerusakan hutan yang

diakibatkan oleh eksploitasi hasil hutan berupa kayu yang efek dominonya

mengenai segala sektor ekologi dan fungsi dari hutan tersebut, untuk itu diperlukan

suatu sistem perlidungan terhadap sumberdaya alam dengan cara penetapan

kawasan hutan konservasi.

Pada umumnya pemanfaatan potensi cagar alam di ketiga cagar alam

yang ada di Papua Barat masih terbatas pada pemanfaatan oleh penduduk local

yang bermukim di sekitar Kawasan cagar alam. Pemanfaatan ini juga terbatas

pada pemanfaatan kayu untuk kayu bakar, pagar kebun, tiang dan dinding rumah,

hewan buruan dan jenis-jenis flora untuk obat-obatan tradisional oleh masyarakat

lokal. Hal ini juga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari belum untuk keperluan

komersil.

Untuk estimasi nilai ekonomi hasil hutan cagar alam yang ada di Papua

Barat dilakukan dengan pendekatan penilaian pemetaan volume kayu yang

berada pada Kawasan cagar alam Papua Barat. Untuk potensi volume kayu

didasarkan pada kelas volume yang telah ditentukan oleh Departemen Kehutanan

tahun 1992 sebagaimana pada tabel berikut ini.

Tabel ….. Klasifikasi Potensi Volume Kayu

NO Kelas Volume Volume


3
1 Potensi Sangat Rendah < 20 m /ha
3 3
2 Potensi Rendah 20 m /ha − 40 m /ha
3 3
3 Potensi Sedang 40 m /ha − 80 m /ha
3
4 Potensi Tinggi > 80 m /ha
Nilai Ekonomi kayu Kawasan cagar alam dihitung berdasarkan potensi

kayunya bisa diperoleh melalui analisis tutupan vegetasi Kawasan dengan

menggunakan citra satelit …… Berdasarkan Hasil analisis pemetaan potensi

dengan normalized difference vegetation index diketahui bahwa pada Kawasan

cagar alam didominasi oleh potensi sedang dan tinggi yang mana kategori sedang

mencapai kurang lebih 52% dari total kawasan dan kategori tinggi sebanyak

35,58% seperti tampak pada Tabel …… dan Gambar …....

Tabel ….. Luas Potensial Hutan (Kayu) Kawasan Cagar Alam

Potensi Hutan (Kayu) (Ha)


Kawasan Wilayah Grand
Cagar Alam Sangat Total
Tertutup Rendah Sedang Tinggi
Rendah
Awan
CA Pegunungan
13,306.46 142,67 10.770,78 22.021,57 22.083,52 68,325.00
Arfak
CA Tambrauw
29,112.16 387,96 14.210,39 212.167,33 222.171,49 478,049.33
Selatan
CA Tambrauw 19,856.47
471,03 9.148,41 247.450,29 82.601,38 359,527.58
Utara
Grand Total 62,275.09 1.001,67 34.129,57 481.639,19 326.856,39 905,901.91
Hasil Analisis Citra Sentinel 2a ak. 10 m Tahun 2019.

Gambar …. Sebaran Potensi Hutan (Kayu) Cagar Alam

Dari Tabel… dan Gambar…. tersebut diatas diketahui bahwa untuk

potensial hasil hutan berupa kayu terbesar berada di kawasan cagar alam
tambrauw selatan dengan luas potensial hutan berupa kayu sebesar 478.049,33

ha dan terkecil adalah cagar alam pegunungan arfak yang hanya seluas 68.325,00

ha. Potensi hutan (kayu) tersebut menjadi dasar bagi perhitungan volume kayu di

tiap-tiap kawasan cagar alam sesuai dengan Tabel … berikut ini:

Tabel …. Volume Potensial Hutan (Kayu) Cagar Alam

Potensi Volume Hutan (Kayu) (m3)


Kawasan Grand
Cagar Alam Sangat Total
Awan Rendah Sedang Tinggi
Rendah
CA
Pegunungan - 2.711 215.416 880.863 1.766.682 2.865.671
Arfak
CA
Tambrauw - 7.371 284.208 8.486.693 17.773.719 26.551.992
Selatan
CA
Tambrauw - 8.950 182.968 9.898.012 6.608.111 16.698.040
Utara
Grand Total - 19.032 682.591 19.265.568 26.148.511 46.115.702
Hasil Analisis, 2019
Selanjutnya, berdasarkan luas potensial tersebut dapat diketahui nilai

valuasi ekonomi hutan dalam hal ini potensi kayu pada masing-masing cagar alam

yang ada di papua barat dengan asumsi bahwa untuk wilayah yang tidak

teridentifikasi (berawan) potensial volume kayunya tidak ada. Hasil perhitungan

yang dilakukan dengan menggunakan nilai minimun dari masing-masing kategori

potensi hutan kayu. Harga yang digunakan adalah harga rata-rata harga kayu BPS

KPH Kebonharjo tahun 2015-2018 seperti pada Tabel …. berikut ini.

Tabel … Rata-Rata Harga Kayu (Kayu Rimba/Jungle Wood) di KPH Kebonharjo,


2015-2018 (Update Terakhir : 14 Aug 2019)

Ukuran Kayu Potensi Kayu (Rp/M3)


KELAS A1 (< 19 cm) 277,779
KELAS A2 (20 cm - 29 cm) 542,340
KELAS A3 (30 cm - 49 cm) 1,081,960
KELAS A4 (> 50 cm ) 1,295,030
Sumber:https://rembangkab.bps.go.id/statictable/2017/08/01/357/rata-rata-harga-
kayu-menurut-jenisnya-di-kph-kebonharjo-2015-2018.html

Berdasarkan komponen harga tersebut di atas maka valuasi dari nilai

potensi kayu pada masing-masing cagar alam disajikan pada Tabel…. berikut.
Tabel … Estimasi Potensi Nilai Ekonomi Berdasarkan Potensi Kayu Di Kawasan Cagar Alam

Kawasan Cagar NILAI POTENSI KAYU (Rp) Grand Total


Alam KELAS A1 KELAS A2 KELAS A3 KELAS A4
CA Pegunungan
753,058,869 116,828,713,440 953,058,531,480 2,287,906,190,460 3,358,546,494,249
Arfak
CA Tambrauw
2,047,509,009 154,137,366,720 9,182,262,358,280 23,017,499,316,570 32,355,946,550,579
Selatan
CA Tambrauw Utara 2,486,122,050 99,230,865,120 10,709,253,063,520 8,557,701,988,330 19,368,672,039,020
Grand Total 5,286,689,928 370,196,945,280 20,844,573,953,280 33,863,107,495,360 55,083,165,083,848

Kawasan Cagar NILAI PRODUKSI (Rp) Grand Total


Alam KELAS A1 KELAS A2 KELAS A3 KELAS A4
CA Pegunungan
263,570,604 40,890,049,704 333,570,486,018 800,767,166,661 1,175,491,272,987
Arfak
CA Tambrauw
716,628,153 53,948,078,352 3,213,791,825,398 8,056,124,760,800 11,324,581,292,703
Selatan
CA Tambrauw Utara 870,142,718 34,730,802,792 3,748,238,572,232 2,995,195,695,916 6,779,035,213,657
Grand Total 1,850,341,475 129,568,930,848 7,295,600,883,648 11,852,087,623,376 19,279,107,779,347

Kawasan Cagar NILAI MANFAAT (Rp) Grand Total


Alam KELAS A1 KELAS A2 KELAS A3 KELAS A4
CA Pegunungan
489,488,265 75,938,663,736 619,488,045,462 1,487,139,023,799 2,183,055,221,262
Arfak
CA Tambrauw
1,330,880,856 100,189,288,368 5,968,470,532,882 14,961,374,555,771 21,031,365,257,876
Selatan
CA Tambrauw Utara 1,615,979,333 64,500,062,328 6,961,014,491,288 5,562,506,292,415 12,589,636,825,363
Grand Total 3,436,348,453 240,628,014,432 13,548,973,069,632 22,011,019,871,984 35,804,057,304,501
Nilai manfaat ekonomi dari potensi kayu di Kawasan cagar alam

didapatkan untuk Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak sebesar Rp

2.183.055.221.262,00, Kawasan Cagar Alam Tambrauw Selatan sebesar Rp

21.031.365.257.876,00 dan Kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara sebesar Rp

12.589.636.825.363,00 (Tabel ….). Dengan asumsi pemanfaatan potensi kayu

yang lestari dengan masa pemulihan / pegembalian potensi kayu selama 35

Tahun, maka didapatkan nilai manfaat potensi kayu untuk Kawasan Cagar Alam

Pegunungan Arfak sebesar Rp 39.678.538,00 per Tahun atau Rp 1.133.673,00

per Ha per Tahun, Kawasan Cagar Alam Tambrauw Selatan sebesar Rp

46.847013,00 atau Rp 1.338.486,00 per Ha per Tahun dan Kawasan Cagar Alam

Tambrauw Utara sebesar Rp 37.064.197,00 per Tahun atau Rp 1.058.977,00 per

Ha per Tahun. Nilai manfaat total untuk ketiga kawasan cagar alam tersebut

adalah sebesar Rp 42.440.634,00 per Tahun atau Rp 1.212.590,00 per Ha per

Tahun (Tabel ….).

Tabel ……. Nilai Manfaat Potensi Kayu Kawasan Cagar Alam

Kawasan Cagar NILAI MANFAAT (Rp)


Alam Nilai Satuan Nilai Satuan
CA Pegunungan
39,678,538 Per Tahun 1,133,673 Ha / Tahun
Arfak
CA Tambrauw
46,847,013 Per Tahun 1,338,486 Ha / Tahun
Selatan
CA Tambrauw Utara 37,064,197 Per Tahun 1,058,977 Ha / Tahun
Grand Total 42,440,634 Per Tahun 1,212,590 Ha / Tahun
2. NILAI HASIL PERTANIAN

Jenis tanaman hortikultura yang sangat banyak dibudidaya di Pegunungan

Arfak adalah kentang, kubis, sawi, wortel, bawang daun, labu siam, dan bawang

merah. Produksi hortikultura tertinggi adalah kentang dengan 13.075 ton

sepanjang tahun 2015, diikuti oleh kubis dengan 12.885 ton, sawi 12.820 ton,

wortel 12.365 ton, bawang daun 6.625 ton, bawang merah 1.235 ton, dan labu

siam 1.065 ton. Ada beberapa komoditi yang cukup menjanjikan, tetapi belum

terdata dengan baik seperti buah stroberi, tomat, markisa, kopi, dll (Gambar …)

Gambar … Komoditi Hasil Pertanian (Stroberi, Markisa, Bawang, dll) di


Kabupaten Pegunungan Arfak

Pada sektor pertanian, Pemanfaatan Kawasan Cagar Alam Tambrauw

Utara, Tambrauw Selatan dan Pegunungan arfak untuk kegiatan ekonomi

pertanian belum sepenuhnya termanfaatkan. Kegiatan-kegiatan pertanian oleh

masyarakat sekitar masih mengandalkan lahan perkarangan di sekitar

permukiman. Hal ini sangatlah wajar adanya dikarenakan jumlah penduduk yang

berada pada Kawasan cagar alam masih tergolong sedikit (tidak padat) sehingga

pemanfaatan lahan yang ada di sekitar permukiman masih mendukung.

Potensi Pertanian khususnya pada kawasan cagar alam tambrauw selatan

dan utara terdiri atas tanaman pangan, Palawija seperti jagung, Ubi kayu, Ubi jalar,

Kacang-kacangan dan Keladi. Pada umumnya masyarakat di sekitar kawasan

cagar alam tambrauw utara dan selatan melakukan proses-proses pertanian

dengan system holtikultura seperti tanaman sayuran Sawi, Kacang Buncis,


Kacang Panjang, Bayam Merah, Bayam Putih, Terong, Kol Kepala, gedi, Labu,

Cabe, Bawang Merah dan Sayur lilin) dan buah-buahan seperti manga, pisang,

nenas, alpukat, mangga, rambutan, duku/langsat, sirsak, jambu biji, durian,

papaya, jeruk nipis, belimbing, melinjo, sawo, salak, nangka, jambu air, semangka

dan markisa. Untuk data potensi pertanian pada wilayah ini belum tersedia

sepenuhnya namun untuk skala kabupaten, pemerintah daerah kabupaten

Tambrauw telah melakukan pendataan potensi terhadap sektor pertanian

(Gambar …).

Gambar … Beberapa komoditi pertanian tambrauw

Berdasarkan data dari pemerintah daerah melalui situs http://www.pidii.info/

diketahui bahwa Kabupaten Tambrauw memiliki luas lahan pertanian sebanyak


519 ha atau sekitar 4,5% darii total luas wilayah yang ada. hal ini masih sangat

sedikit jika dibandingkan dari luas wilayah kabupaten tambrauw yang begitu besar.

Disamping itu iklim pada kawasan cagar alam di tambrauw cukup mendukung

untuk kegiatan pertanian. Sebagai mana diketahui bahwa keadaan iklim

Kabupaten Tambrauw memiliki dua musim, yaitu musim Kemarau dan Penghujan,

pada musim kemarau biasanya berlangsung tidak terlalu lama karena di pengaruhi

oleh musim penghujan yang selalu terus-menerus sehingga daerah ini bisa di

sebut daerah lembab atau basah. Keadaan iklim di Kabupaten Tambrauw

termasuk iklim tropis, dengan keadaan curah hujan sangat bervariasi terpengaruh

oleh lingkungan alam sekitarnya. Inilah yang faktor yang dapat menjadi daya

dukung dalam pengembangan sektor pertanian pada kawasan cagar alam di

tambrauw (Gambar ….dan Tabel ….).


306

55
51
45
39

16
7

TANAMAN PALAWIJA UBI KAYU UBI JALAR KACANG KELADI SAYURAN &
PANGAN TANAH BUAHAN
LUAS LAHAN PERTANIAN (HEKTAR)

Gambar … Grafik Luas Lahan Pertanian Tambrauw

Sedangkan untuk hasil-hasil dari sektor pertanian di Tambrauw didominasi

oleh tanaman palawija berupa jagung yang mencapai jumlah produksi sekitar
3.016 ton per tahunnya. Dan untuk hasil pertanian yang paling sedikit adalah

tanaman pangan berupa padi hanya sebanyak 45 ton per tahun (Gambar …. Dan

Tabel …..).

3016

428
375

290
285

150
45

TANAMAN PALAWIJA UBI KAYU UBI JALAR KACANG KELADI SAYURAN &
PANGAN TANAH BUAHAN
PRODUKSI HASIL PERTANIAN (TON/TAHUN)

Gambar …. Grafik hasil produksi sector pertanian Tambrauw

Potensi pengembangan pertanian pada kawasan di sekitar cagar alam

tambrauw dan tambrauw selatan dapat dikatakan cukup menjanjikan. Peluang

investasi pada sektor ini adalah pada intensifikasi lahan-lahan eksisting pertanian

maupun lahan-lahan yang potensial, industri pasca-panen serta inovasi produk

turunan dan pemasarannya. Hal ini juga secara tidak langsung dapat mendukung

program ketahanan pangan bagi tambrauw dan provinsi papua barat secara

khusus dan nasional secara umum.


Tabel….. Hasil Produksi Pertanian di Tambrau dan Pegunungan Arfak

LUAS PRODUKSI
NAMA JENIS HASIL HASIL
LAHAN (TON) /
KAWASAN PERTANIAN (TON) / Ha
(Ha) THN
Labu Siam 90 1.065 11.83

Wortel 655 12.365 18.88

Petsai/Sawi 662 12.820 19.37

Kubis 677 12.885 19.03

Kentang 684 13.885 20.30


Pengunungan
Bawang Daun 639 6.625 10.37
Arfak
Bawang Merah 127 1.235 9.72

Jagung 40 70 1.75

Ubi Jalar 63 689 10.94

Kopi 0 0 0.00

Markisa 0 0 0.00

Tanaman Pangan 7 45 6.43

Palawija 306 3.016 9.86

Ubi Kayu 39 285 7.31

Tambrauw Ubi Jalar 45 375 8.33

Kacang Tanah 16 150 9.38

Keladi 51 428 8.39


Sayuran Dan
55 290 5.27
Buahan

Berdasarkan data hasil produksi pertanian di kawasan Tambrauw dan

Pegunungan Arfak, maka nilai ekonomi dari hasil pertanian dengan acuan pada

harga pasar hasil pertanian, dengan asumsi bahwa kawasan cagar alam
mempengaruhi langsung atau tidak langsung sebersar 65% dari produksi hasil

pertanian kabupaten arfak dan Tambrauw adalah sebagai berikut (Tabel….)

Tabel….. Nilai Ekonomi Hasil Pertanian Kawasan Cagar Alam di Tambrau dan
Pegunungan Arfak
JENIS HARGA
NAMA PRODUKSI (KG) /
HASIL PASAR TOTAL
KAWASAN THN
PERTANIAN (Rp/KG)
Labu Siam 1,065 692,250 15,800 10,937,550,000
Wortel 12,365 8,037,250 25,000 200,931,250,000
Petsai/Sawi 12,820 8,333,000 15,000 124,995,000,000
Kubis 12,885 8,375,250 3,500 29,313,375,000
PENGUNU Kentang 13,885 9,025,250 25,000 225,631,250,000
NGAN Bawang
ARFAK 6,625 4,306,250 8,000 34,450,000,000
Daun
Bawang
1,235 802,750 50,000 40,137,500,000
Merah
Jagung 70 45,500 4,500 204,750,000
Ubi Jalar 689 447,850 3,500 1,567,475,000
SUB TOTAL 61,639 40,065,350 150,300 668,168,150,000
Biaya Produksi 334,084,075,000
Nilai Manfaat / Tahun 334,084,075,000
/ Ha /Tahun 91,857,046
Tanaman
45 29,250 15,000 438,750,000
Pangan
Palawija 3,016 1,960,400 4,500 8,821,800,000
Ubi Kayu 285 185,250 5,000 926,250,000
Ubi Jalar 375 243,750 3,500 853,125,000
TAMBRAUW
Kacang
150 97,500 35,000 3,412,500,000
Tanah
Keladi 428 278,200 15,000 4,173,000,000
Sayuran Dan
290 188,500 12,000 2,262,000,000
Buahan
SUB TOTAL 4,589 2,982,850 90,000 20,887,425,000
Biaya Produksi 6,266,227,500
Nilai Manfaat / Tahun 14,621,197,500
/ Ha /Tahun 28,171,864
TOTAL 66,228 43,048,200 240,300 689,055,575,000
Biaya Produksi 340,350,302,500
Nilai Manfaat / Tahun 348,705,272,500
/ Ha /Tahun 83,904,060
Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi hasil pertanian disekitar Kawasan

cagar alam pegunungan arfak dan tambrauw maka didapatkan bahwa nilai

ekonomi hasil pertanian sebesar Rp 689.055.575.000,00 Per Tahun atau Rp

165.797.780,00 per Ha per Tahun, dimana nilai potensi hasil pertanian untuk

Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak adalah Sebesar Rp 668.168.150.000,00

per Tahun dan Kawasan Cagar Alam di Tambrauw sebesar Rp 20.887.425.00.

dengan asumsi biaya produksi / operasional mulai dari pengolahan lahan sampai

ke pasar maka didapatkan nilai manfaat bersih hasil pertanian di Kawasan Cagar

Alam pegunungan Arfak sebesar Rp 334.084.075.000,00 per Tahun atau Rp

91.857.045,00 per Ha per Tahun dan nilai manfaat bersih hasil pertanian di

Kawasan Cagar Alam di Tambrauw sebesar Rp 14.621.197.500,00 per Tahun

atau Rp 28.171.864,00 per Ha per Tahun. Nilai manfaat hasil pertanian dari ketiga

Kawasan cagar alam tersebut adalah Rp 348.705.272.500,00 per Tahun atau Rp

83.904.060,00 per Ha per Tahun.

4.3.1.2. NILAI MANFAAT TIDAK LANGSUNG KAWASAN

Manfaat tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini adalah manfaat

hutan dalam menyerap karbon, manfaat konservasi tanah dan air, pengendalian

longsor / erosi / banjir. Manfaat hutan dalam menyerap karbon dihitung

menggunakan metode nilai relative, sedangkan nilai ekonomi hutan dalam

mencegah erosi dihitung berdasarkan biaya kerugian akibat adanya erosi.

Indonesia memiliki hutan tropika yang produktif dan tinggi nilainya, baik dari

hasil kayunya maupun nilai flora dan faunanya. Pemanfaatan sumber daya hutan

yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan hasil padu serasi Tata Guna

Hutan Kesepakatan, peruntukkan hutan dibagi menjadi Hutan Suaka Alam yang

terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; Hutan
Lindung; Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi

yang dapat dikonversi. Setiap fungsi kawasan hutan tersebut mempunyai

spesifikasi pengertian, tujuan pengelolaan/pemanfaatan, dan kriteria. Sebagai

ilustrasi nilai ekologi hutan Indonesia dapat disebut dari hasil penelitian Natural

Resoures Management (NRM), USAID (1998) bahwa hutan konservasi

mempunyai nilai antara lain sebagaimana table …. berikut:

Tabel ….. Nilai Ekologi Hutan Indonesai

Macam Nilai US$ Per Hektar Per Tahun


Konservasi Tanah Dan Air 37.97
Serapan Karbon 5
Perlindungan Banjir / Longsor 48.64
Transportasi Air 5.30
Keanekaragaman Hayati 9.45
Sumber : PERMENLH-RI, Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi
Ekonomi Ekosistem Hutan

1. NILAI MANFAAT PENYERAPAN KARBON

Fungsi hutan sebagai pembentuk humus yang merupakan salah satu unsur

yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Humus terbentuk di lantai hutan dan

tersebar di tempat-tempat yang lebih rendah oleh aliran air yang teratur di atas

wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan. Selain itu, hutan

mempunyai nilai sebagai pengendali pemanasan global. Hutan mengandung

karbon dalam jumlah yang amat besar, dan oleh karena itu sering disebut sebagai

“wadah” karbon. Hutan menyerap dan menyimpan karbon dioksida yang berasal

dari atmosfer. Dari penutupan lahan Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak dan

Tambrauw, terdiri dari hutan primer dan Hutan sekunder. luas hutan primer dan

sekuder terdapat dalam tebel …

Tabel … Luasan Hutan Kawasan Cagar Alam Berdasarkan Jenisnya


Luasan Hutan (Ha)
Kawasan Cagar Alam
Luas CA Hutan Primer Hutan Sekunder
CA Pegunungan Arfak 68,325.00 54,660.00 2,049.75
CA Tambrauw Selatan 478,049.33 382,439.46 95,609.87
CA Tambrauw Utara 359,527.58 287,622.06 71,905.52
Grand Total 905,901.91 724,721.53 169,565.13

Berdasarkan data pada Tabel …. di atas, maka didapatkan bahwa luas

hutan primer seluas 724.721 Ha dan luas hutan sekunder seluas 169.565,13 Ha,

yang efektif untuk mengukur nilai serapan karbon di tiga Kawasan cagar alam.

Menurut Brown dan Peace (1994) hutan alam primer mempunyai kemampuan

menyimpan karbon 283 ton/hektar, hutan sekunder 94 ton/hektar dan hutan tersier

100 ton/hektar, sedangkan harga serapan karbon hutan Indonesia sebesar 5 US$

per Ha per Tahun dengan nilai kurs 1 US$ = Rp 13.800,00. Maka nilai manfaat

penyerapan karbon di ketiga Kawasan Cagar Alam adalah sebagai berikut (Tabel

…..):

Tabel … Nilai Manfaat Penyerapan Karbon di Kawasan Cagar Alam


NILAI MANFAAT SERAPAN KARBON
Kawasan Cagar Nilai
Alam Nilai Karbon Nilai Karbon Nilai Karbon / Manfaat
Primer Sekunder Tahun Karbon
(/Ha/Tahun)
CA Pegunungan
747,142,074,000 13,294,678,500 760,436,752,500 11,129,700
Arfak
CA Tambrauw
5,227,526,789,470 496,100,472,701 5,723,627,262,170 11,972,880
Selatan
CA Tambrauw
3,931,477,230,610 396,422,300,260 4,327,899,530,869 12,037,740
Utara
Grand Total 9,906,146,094,079 905,817,451,460 10,811,963,545,540 11,935,027

Berdasarkan nilai manfaat penyerapan karbon pada Tabel …. di atas,

didapatkan bahwa nilai manfaat dari penyerapan karbon di tiga Kawasan Cagar
Alam secara total adalah Rp 10.811.963.545.540,00 per Tahun atau Rp

11.935.027,00. per Ha per Tahun.

Isu perdagangan karbon sudah merebak cukup lama di Indonesia, namun

demikian masih tetap timbul banyak pertanyaan yang mendasar tentang isu

perdagangan karbon ini, khususnya mengenai mekanisme pembangunan bersih

(MPB) atau lebih dikenal dengan Clean Development Mechanism (CDM).

Kesepakatan Marakesh tahun 1997 menyatakan bahwa kegiatan kehutanan

diperbolehkan didalam mekanisme pembangunan bersih untuk pengurangan

emisi gas-gas rumah kaca, namun pelaksanaannya sampai saat ini masih terus

berpolemik. Hal ini semata-mata kembali kepada kesiapan kebijakan dan

peraturan yang ada di Negara para pihak baik yang terdaftar di Annex 1 maupun

Negara-negara berkembang sendiri (non Annex 1).

Jadi perdagangan karbon adalah menjual kemampuan pohon untuk

menyerap sejumlah karbon yang dikandung di atmosfer agar disimpan didalam

biomasa pohon untuk waktu yang ditentukan (20 tahun dengan 2 kali

perpanjangan atau satu periode selama 30 tahun saja) sesuai dengan definisi

hutan yang telah disepakati di Marrakech dan definisi kelayakan lahan untuk

kegiatan Afforestasi dan Reforestasi MPB yang telah disepakati di Kyoto tahun

1989 yang baru diberlakukan tahun 2005 setelah retrifikasi oleh Rusia tahun 2004

(dikenal kemudian dengan definisi Kyoto).

Sedangkan yang dimaksud dengan kegiatan Afforestasi adalah kegiatan

penanaman pada lahan yang sejak 50 tahun yang lalu sudah berupa bukan hutan,

dan Reforestasi adalah kegiatan penanaman pada lahan yang pada tanggal 31

Desember 1989 sudah berupa bukan hutan dan sampai dengan saat ini masih
berupa bukan hutan (tanah terbuka, alang-alang, semak, belukar, tanah pertanian

terlantar, kebun terlantar yang menurut definisi “bukan hutan” yang diadopsi oleh

Pemerintah Indonesia adalah penutupan tajuk vegetasi kurang dari 30%, tinggi

kurang dari 5 meter, dan luas minimal 0,25 ha).

Perdagangan karbon menjadi unik karena didalam tata cara

perdagangannya, pembeli menginginkan kepastian hukum dan produk yang

berjangka panjang sesuai dengan “nature” dari objek yang diperdagangkan, yakni

sebuah proses penyerapan karbon di atmosfer menjadi produk bahan organik

(biomasa) didalam pohon. Prosedur menjadi seolah-olah semakin rumit karena

dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dari

Negara peserta proyek khususnya untuk aspek sosial ekonomi masyarakat

setempat dan aspek lingkungan. Jika ingin disederhanakan, sebenarnya inti dari

perdagangan karbon adalah semata-mata partisipasi di dalam pengurangan emisi

gas rumah kaca global dan pengurangan kandungan karbon di atmosfer sambil

mendapatkan manfaat dari penjualan jasa lingkungan penyerapan karbon oleh

Negara berkembang sebagai sebuah kegiatan tambahan (additionality) dari

kegiatan awal (business as usual) yang sudah berjalan baik. Nilai tambah yang

disyaratkan adalah dalam bentuk nilai tambah untuk ekonomi masyarakat

setempat serta kondisi lingkungan yang lebih baik.

Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau CDM (Clean Development

Mechanism) adalah mekanisme menurut Protokol Kyoto yang bukan merupakan

satu-satunya mekanisme yang dapat diikuti oleh negara berkembang untuk

berpartisipasi didalam pengurangan (mitigasi) Gas Rumah Kaca. Masih ada

mekanisme lain Non Kyoto yang berkaitan dengan perdagangan karbon antara
lain Bio-Carbon Fund, Community Development Carbon Fund, Special Climate

Change Fund, Adaptation Fund, Prototype Carbon Fund, CERUPT, GEF, Private

Carbon Fund yang secara prinsip seluruh dana tersebut dapat dipakai untuk

melakukan kegiatan penanaman di lahan-lahan bukan hutan (alang-alang, semak

belukar, lahan terlantar, lahan kritis/marjinal), kegiatan mencegah terjadinya

deforestasi atau kegiatan untuk mengkonservasi ekosistem alami atau ekosistem

yang rentan terhadap perubahan iklim global serta konservasi keanekara-gaman

hayati yang rentan terhadap kepunahan.

Untuk itu Kawasan cagar alam memiliki pontensi untuk hal tersebut

sehingga dapat dijadikan sebagai sumber pendanaan untuk menjaga kelestarian

dan meningkatkan fungsinya sebagai kawasan lindung konservasi.

2. NILAI MANFAAT KONSERVASI TANAH DAN AIR

Konservasi tanah merupakan suatu bentuk upaya dalam mencegah erosi


tanah dan memperbaiki tanah yang sudah rusak oleh erosi. Hal ini terkait dengan
penempatan setiap bidang tanah dengan memperlakukan atau menggunakan
tanah tersebut sesuai dengan kemampuannya guna mencegah kerusakan tanah
oleh erosi. Konservasi air merupakan penggunaan air seefisien mungkin.
Misalnya, penggunaan air untuk pertanian yaitu dengan mengatur waktu aliran air
sehingga ketersediaan air dapat terjaga pada musim kemarau dan kelebihan air
pada musim penghujan dapat diatur sehingga lahan pertanian tidak rusak karena
terendam oleh air. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan
mempengaruhi tata air pada tempat tersebut dan tempat-tempat lain yang
dialirinya. Berbagai tindakan konservasi tanah adalah juga tindakan konservasi air.

Sumber daya utama baik tanah maupun air mudah mengalami kerusakan
atau degradasi. Dengan adanya kerusakan tersebut maka berdampak pada
penurunan tingkat produktivitas. Faktor - faktor yang menyebabkan
kerusakan tersebut antara lain: kehilangan unsur hara menyebabkan merosotnya
kesuburan tanah, salinitas dan penjenuhan tanah oleh air, dan erosi yaitu
hilangnya atau terkikisnya tanah dan bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang
diangkut oleh air ke tempat lain. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukannya
suatu usaha untuk tetap menjaga kestabilan tanah dan air yaitu melalalui
konservasi tanah dan air.

Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan


tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari
erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah,
serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi. Tanaman
ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya
pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan
(runoff), serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah.

Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah: penghutanan kembali


(reforestation), wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanaman
lorong (alley cropping), pertanaman menurut strip (strip cropping), strip rumput
(grass strip), barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop),
penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman (crop
rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping). Dalam
penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai
dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi
ini akan terus berkembang di lapangan.

Keuntungan yang didapat dari system vegetatif ini adalah kemudahan


dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan
menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian
bahan organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani dari hasil
sampingan tanaman konservasi tersebut. Pengelolaan tanah secara vegetatif
dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat:

a) Memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan


memperbesar granulasi tanah.
b) Penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi.
c) Di samping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang
mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah
infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.
d) Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah
pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah
penghasilan petani (Hamilton, et.al., 1997).

Keberadaan cagar alam dengan kondisi hutan yang masih alami, sangat
membantu dalam upaya konservasi tanah dan air di sekitar Kawasan cagar alam.
Berdasarkan PERMENLH-RI, Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi
Ekonomi Ekosistem Hutan, Nilai manfaat hutan cagar alam untuk konservasi tanah
dan air sebesar US$ 37.97 Per Ha per Tahun. Jadi nilai manfaat keberadaan cagar
alam sebagai berikut (Tabel …..):

Tabel ….. Nilai Manfaat untuk Konservasi tanah dan air di Kawasan Cagar Alam

Kawasan Cagar Nilai Manfaat Konservasi Tanah dan


Luas CA
Alam Air (Per Ha Per Tahun)
CA Pegunungan
68,325.00 21,480,806,070
Arfak
CA Tambrauw
478,049.33 150,294,693,738
Selatan
CA Tambrauw Utara 359,527.58 113,032,451,120
Grand Total 905,901.91 284,807,950,928

Berdasarkan nilai manfaat konservasi tanah dan air pada Tabel …. di atas,

didapatkan bahwa nilai manfaat untuk konservasi tanah dan air dari keberadaan

Kawasan Cagar Alam adalah sebesar Rp 284.807.950.928 per Ha per Tahun.

3. NILAI FUNGSI PENGENDALIAN LONGSOR DAN BANJIR

Banjir dan longsor bukanlah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami,
dan gunung api meletus. Kejadian itu lebih tepat dinamakan bencana ekologi, yaitu
bencana yang disebabkan perilaku manusia yang tidak baik terhadap lingkungan
atau tidak memedulikan kaidah ekologi. Hutan, tanah, dan air.

Hutan, tanah, dan air memiliki hubungan sangat erat. Misalnya, hutan
campuran yang memiliki banyak serasah dan tumbuhan bawah, ketika turun hujan,
nilai erosi tanahnya hanya 0,03 kg per m2 per tahun. Akan tetapi, di kawasan hutan
campuran yang tidak memiliki tumbuhan bawah, erosi tanahnya 0,06 kg per m2
per tahun. Bahkan, pada kawasan hutan campuran yang tidak memiliki tumbuhan
bawah dan serasah, erosi tanahnya lebih tinggi, yaitu 4,39 kg per m2 per tahun
(Soemarwoto 2001).Dengan demikian, keberadaan serasah dan tumbuhan bawah
pada kawasan hutan berperan penting dalam melindungi tanah dari bahaya erosi.
Beberapa sistem agroforestri tradisional, seperti kebon tatangkalan/talun dan
pekarangan, yang memiliki struktur tajuk vegetasi berlapis-lapis dan banyak
serasah seperti ekosistem hutan, juga sangat baik melindungi tanah dari bahaya
erosi.

Sementara itu, pengaruh evapotranspirasi tumbuhan dapat mengurangi


kadar air dalam tanah. Akibatnya, berat tanah menjadi berkurang. Sebaliknya,
akibat hujan, tanah yang jenuh air lebih mudah longsor karena ikatan antarpartikel
tanah berkurang. Pada umumnya, dalam kondisi tanah jenuh dengan air, akar
pepohonan dapat menahan longsoran tanah sekitar 80 persen. Karena itu, apabila
pepohonan hutan ditebang, akar pepohonan membusuk di dalam tanah dan
kekuatan menahan longsor berkurang. Akibatnya, pascapenebangan pepohonan
hutan, tanah kian rentan terhadap bahaya longsor.

Selain itu, akibat penebangan hutan yang luas, jumlah air yang tersedia
menjadi besar karena evapotranspirasi dari tumbuhan menjadi kecil. Namun,
ketika turun hujan, biasanya sebagian besar air hujan akan mengalir di atas
permukaan tanah. Akibatnya, nilai aliran permukaan tanah sangat besar dan
mubazir karena air berlebihan langsung masuk ke sungai dan menimbulkan banjir,
terutama apabila sungainya dangkal akibat pelumpuran dari erosi tanah. Namun,
permukaan air tanah dapat menurun dan pengisian kembali air ke dalam tanah
oleh air hujan sangat sedikit. Karena itu, banyak mata air (cai nyusu) kering,
permukaan air sumur menurun, dan terjadi kekurangan air terutama pada musim
kemarau.

Berdasarkan PERMENLH-RI, Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Panduan


Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan, Nilai manfaat hutan untuk fungsi pengendalian
banjir dan longsor adalah sebesar US$ 48,64 Per Ha per Tahun. Jadi nilai manfaat
Kawasan cagar alam dalam pengendalian banjir dan longsor adalah sebagai
berikut (Tabel ……)
Tabel ….. Nilai Manfaat perlindungan Bajir dan Longsor
Nilai Manfaat Perlindungan
Kawasan Cagar Alam Luas CA Banjir / Longsor (Per Ha Per
Tahun)
CA Pegunungan Arfak 68,325.00 27,517,155,840
CA Tambrauw Selatan 478,049.33 192,529,204,725
CA Tambrauw Utara 359,527.58 144,795,849,947
Grand Total 905,901.91 364,842,210,512

Berdasarkan nilai pada Tabel …. di atas, didapatkan bahwa nilai manfaat

untuk perlindungan banjir dan longsor dari keberadaan Kawasan Cagar Alam

adalah sebesar Rp 364.842.210.512 per Ha per Tahun.

4. NILAI PENGEMBANGAN WISATA

Provinsi Papua Barat sebagai provinsi pemekaran baru di Indonesia


memiliki obyek wisata alam yang tidak kalah dengan provinsi lain di Indonesia.
Obyek wisata alam yang dimiliki Provinsi Papua Barat tidak hanya yang berada di
dataran rendah, tetapi juga sampai ke dataran tinggi (pegunungan). Keberadaan
sejumlah kawasan konservasi di Provinsi Papua Barat juga menambah potensi
obyek wisata alam provinsi tersebut. Seperti diketahui bahwa daratan wilayah
Papua, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat memiliki sejumlah kawasan
konservasi yang memiliki keunikan sumber daya dan keindahan panorama
alamnya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat telah


membuka diri bagi kunjungan wisatawan Domestik maupun Mancanegara untuk
melihat secara langsung potensi pariwitasa di Kabupaten Tambrauw. Potensi
Pariwisata Tambrauw sangat menjanjikan untuk dunia sehingga Tambrauw yang
terletak di Kepala Burung itu telah ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi.
Kabupaten ini memiliki “Surga Dunia” yang sangat indah dan menarik bagi
kunjungan wisatawan dan tak kalah dengan Kabupaten Raja Ampat. Tambrauw
adalah salah satu kabupaten terluas di Papua Barat yang terdiri dari 29 distrik
dengan 216 kampung dan 32 ribu jiwa penduduk. Saat ini Tambrauw tengah
membuka diri untuk pariwisata dan untuk itulah segudang strategi telah
dipersiapkan oleh pemerintah daerah agar Tambrauw dapat menjadi destinasi
wisata unggulan.Tambrauw memiliki potensi pariwisata yang besar. Zona
pariwisata ini dibagi menjadi dua, Blue Wonder dan Green Wonder. Blue Wonder
merupakan potensi pariwisata yang berada di sekitar pesisir pantai, meliputi
peninggalan tank perang dunia ke II, habitat burung cendrawasih, pulau dua, serta
pantai Jeen Womom yang menjadi habitat terbesar penyu belimbing. Sedangkan
Green Wonder merupakan potensi pariwisata di sekitar pegunungan yang meliputi
Bukit Sontiri dengan fenomena ribuan jaring laba-laba di pagi hari, mata air panas
War Aremi, pemandangan matahari terbit di distrik Miyah, panorama air terjun
Anenderat, serta pengamatan Cendrawasih dan satwa lainnya.

Pegunungan arfak memiliki beberapa obyek daya Tarik wisata yang sangat
manarik untuk dikunjungi diantaranya gua terdalam kedua di dunia, danau Anggi
Gida (Danau Perempuan) dan Anggi Jigi (Danau Laki), gua di Dohu, air terjun,
penangkaran kupu-kupu, penangkaran burung cendrawasih di Kuaw, pengamatan
burung, rumah adat kaki seribu, paralayang, dan jalur perlintasan bukit, serta
beberapa titik Spot selfie atau swafoto).

Penilaian ekonomi pengembangan wisata di Kawasan Cagar Alam


Pegunungan Arfak dan Tambrauw dilakukan dengan metode biaya perjalanan
(Travel Cost Method; TCM) dengan asumsi dasar bahwa setiap individu, baik
aktual maupun potensial bersedia mengunjungi obyek daya tarik wisata untuk
berwisata dalam menggunakan pendekatan TCM ada dua asumsi penting yang
harus diikuti, sebagai berikut :

a) Pengunjung menempuh perjalanan dengan satu tujuan


b) Pengunjung tidak mendapatkan manfaat tertentu selama perjalanan, kecuali
manfaat ketika sampai di lokasi wisata. Dikatakan bahwa apabila ada
manfaat yang diperoleh selama perjalanan menuju lokasi tujuan, maka
manfaat tersebut dikatakan sebagai manfaat bersama (joint goods).

Penentuan nilai ekonomi wisata didasarkan pada pendekatan biaya


perjalanan wisata, yaitu jumlah uang yang dikeluarkan seseorang selama
melakukan kunjungan ke lokasi wisata. Biaya tersebut meliputi biaya transportasi
pulang pergi, biaya konsumsi, biaya dokumentasi, dan lain-lain termasuk biaya
karcis masuk. Biaya konsumsi yang dimaksud adalah biaya konsumsi yang
dikeluarkan selama melakukan kunjungan wisata dikurangi dengan rata-rata biaya
konsumsi harian. Perjalanan wisata yang didasarkan pada biaya-biaya tersebut
sangat tergantung pada masing-masing pengunjung dari masing-masing zona,
karena masing-masing bagian berbeda.

Berdasarkan kondisi lapangan yang ditemui saat melakukan penelitian


dengan segala keterbatasan, maka pendekatan yang dilakukan untuk menghitung
nilai ekonomi pengembangan wisata alam di Kawasan Cagar Alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak adalah dengan menggunakan pendekatan zonasi. Hal ini
sejalan dengan yang diungkapkan Fauzi (2006) bahwa, pendekatan zonasi dapat
digunakan apabila saat melakukan penelitian hanya terdapat data sekunder dan
beberapa data sederhana saja. Selanjutnya dikatakan bahwa dengan metode ini
pengunjung yang berkunjung ke wisata Kawasan Cagar Alam dijabarkan ke dalam
zona-zona berdasarkan asal pengunjung. Salah satu penghitungan nilai manfaat
ekonomi wisata di pegunungan arfak adalah sebagai berikut (Tabel ……):

Tabel …. Nilai Manfaat Ekonomi Pengembangan Wisata Alam Di Pegunungan


Arfak

BIAYA
JUMLAH BIAYA BIAYA BIAYA
ASAL PERJA BIAYA TO
NO KUNJU KON PENGI JASA
PENGUNJUNG LANAN LAINNYA BIA
NGAN SUMSI NAPAN GUIDE
PP
1 MANOKWARI 53 1,000,000 300,000 200,000 200,000 500,000 116,6
2 SORONG 88 1,000,000 300,000 200,000 200,000 500,000 193,6
3 JAYAPURA 35 4,000,000 300,000 200,000 200,000 500,000 182,0
4 AMBON 49 4,500,000 300,000 200,000 200,000 750,000 291,5
5 MAKASSAR 67 5,000,000 300,000 200,000 200,000 1,000,000 448,9
6 DKI JAKARTA 46 6,000,000 300,000 200,000 200,000 1,200,000 363,4
7 DENPASAR 32 6,000,000 300,000 200,000 200,000 1,000,000 246,4
JUMLAH 370 PER TAHUN 1,842,

Dari Tabel ….. diketahui nilai manfaat ekonomi pengelolaan wisata alam
di Pegunungan Arfak, adalah Rp. 1.842.450.000,00. Nilai ekonomi wisata alam
merupakan nilai manfaat dari kualitas jasa lingkungan suatu lokasi wisata
yang berupa ekosistem alamiah keanekaragaman hayati, dan keindahan
panorama alam yang didukung berbagai fasilitas, sarana prasarana, dan
sumber daya manusia (Susmianto 1999 dalam Widada 2004). Jika kualitas
sumber daya alam dan fasilitas pendukungnya semakin meningkat maka jumlah
kunjungan akan semakin meningkat, sehingga nilai ekonomi wisata alamnya
dapat diharapkan akan meningkat.
4.3.1.3. NILAI PILIHAN
1. NILAI KEANEKARAGAMAN HAYATI

Nilai pilihan kawasan cagar alam diestimasi dengan menggunakan metode


Benefit Transfer. Metode tersebut didekati dengan cara menghitung besarnya
nilaikeanekaragaman hayati (biodiversity) yang ada di ekosistem hutan Kawasan
cagar alam. Berdasarkan PERMENLH-RI, Nomor 15 Tahun 2012 Tentang
Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan, Nilai manfaat hutan untuk fungsi
keanekaragaman hayati adalah sebesar US$ 9,45 per Ha per Tahun. Estimasi nilai
guna pilihan dari kawasan cagar alam yaitu dengan mengalikan nilai biodiversitas
dengan luas hutan di Kawasan cagar alam Tambrau dan Pegunungan Arfak. Nilai
tukar dolar AS terhadap rupiah sebesar Rp. 13.800,00 (November 2019). Nilai
pilihan Kawasan cagar alam Tambrauw dan pegunungan arfak tahun 2019 dapat
dilihat pada tabel …..

Tabel….. Nilai Manfaat Pilihan Keragaman Hayati Kawasan Cagar Alam


Nilai Manfaat
Kawasan Cagar Alam Luas CA Keanekaragaman Hayati
(Per Ha Per Tahun)
CA Pegunungan Arfak 68,325.00 5,346,157,950
CA Tambrauw Selatan 478,049.33 37,405,447,875
CA Tambrauw Utara 359,527.58 28,131,595,025
Grand Total 905,901.91 70,883,200,850
Tabel nilai pilihan hutan Kawasan cagar alam berdasarkan nilai manfaat
keanekaragaman hayati di atas menunjukkan bahwa nilai pilihan hutan Kawasan
cagar alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak adalah Rp 70.883.200.850,00 per
Ha per Tahun

4.3.1.4. NILAI EKONOMI TOTAL

Nilai ekonomi total kawasan CA Tambrauw dan Pegunungan Arfak adalah


penjumlahan dari beberapa nilai ekonomi yang meliputi nilai manfaat langsung
hasil hutan (potensi kayu), nilai manfaat langsung hasil pertanian, nilai manfaat
tidak langsung (nilai penyerapan karbon, konservasi tanah dan air, pengendalian
banjir dan longsor, dan pengembangan wisata), dan nilai pilihan keanekaragaman
hayati, yang secara keseluruhan sebesar Rp 7.932.841.873.395,00 dalam
setahun. Sedangkan nilai per ha memberikan nilai sebesar Rp. 98.249.393,00.
Dari nilai manfaat ekonomi per tahun didapatkan bahwa nilai ekonomi manfaat
tidak langsung sebagai penyerapan karbon paling besar yaitu 86.50%, dan
pengendalian longsor dan banjir sebesar 4.60%, selanjutnya nilai manfaat
langsungnya hasil pertanian hanya 4.40%, sedangkan jika berdasarkan nilai
manfaat per Ha per Tahunnya, didapatkan bahwa nilai ekonomi pemanfaatan
langsung hasil pertanian sebesar 85.40% atau Rp 83,904,060,00 , selanjutnya nilai
manfaat tidak langsung sebagai penyerap karbon sebesar 7.71% atau Rp
7,574,461,00. Untuk lebih jelasnya nilai dan konstribusi masing-masing dapat
dilihat pada Tabel ….. berikut ini
Tabel …. Nilai Valuasi Ekonomi Total Kawasan Cagar Alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak

NILAI MANFAAT
NO JENIS PEMNAFAATAN
per Ha per Potensi
per Tahun % %
tahun Terhitung
A NILAI GUNA LANGSUNG 348,747,713,134 85,116,649
1 HASIL HUTAN 42,440,634 0.00% 1,212,590 1.23% 50.00%
2 HASI PERTANIAN 348,705,272,500 4.40% 83,904,060 85.40% 70.00%

B NILAI GUNA TIDAK LANGSUNG 7,513,210,959,410 13,002,334


1 PENYERAPAN KARBON 6,861,718,347,971 86.50% 7,574,461 7.71% 80.00%
2 KONSERVASI TANAH DAN AIR 284,807,950,928 3.59% 523,986 0.53% 80.00%
PENGENDALIAN LONGSOR DAN
3 364,842,210,512 4.60% 671,232 0.68% 80.00%
BANJIR
4 PENGEMBANGAN WISATA 1,842,450,000 0.02% 4,232,655 4.31% 10.00%

C NILAI PILIHAN 70,883,200,850 130,410


1 KEANEKARAGAMAN HAYATI 70,883,200,850 0.89% 130,410 0.13% 80.00%

NILAI TOTAL EKONOMI CAGAR ALAM 7,932,841,873,395 98,249,393


Besarnya nilai ekonomi total Kawasan cagar alam Tambrauw dan pegunungan
arfak belum menggambarkan nilai ekonomi total secara keseluruhan karena masih
ada beberapa nilai yang belum diperhitungkan antara lain manfaat warisan,
manfaat keberadaan, nilai manfaat kelestarian dan potensi yang ada belum
dihitung secara maksimal seperti nilai pengembangan wisata, hasil pertanian, dan
lain sebagainya.

Pearce dan Moran (1994) mengingatkan bahwa nilai ekonomi total yang
diapat dari formula yang ada, sebenarnya tidaklah benar-benar nilai ekonomi total,
masih jauh lebih besar lagi. Alasannya adalah pertama, nilai tersebut masih belum
mencakup seluruh nilai konservasi hutan kecuali nilai ekonominya saja, dan
kedua, banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat
dihitung dengan formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar
yang bersifat sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai fungsi tunggal.
Nilai ekonomi total potensi sumberdaya alam Cagar Alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak sendiri akan terus bertambah apabila terus digali secara
koprehensif mengingat masih banyak manfaat-manfaat lain yang belum
tereksploitasi dalam penelitian ini yang mungkin bila dikuantitatifkan akan
mengakibatkan meningkatkan nilai ekonomi total yang jauh lebih besar, dan
apabila pada kawasan Cagar Alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak dilakukan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi maka akan menyebabkan hilangnya nilai
potensi yang ada serta menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat
tergantikan bahkan dapat menimbulkan bencana.

Dari data hasil penelitian ini dapat dijadikan sebuah pertimbangan bagi
para stakeholders atau pengambil kebijakan tentang penetapan pengelolaan yang
baik, sehingga dapat meningkatkan manfaat kawasan tersebut secara maksimal
tanpa harus melakukan kegiatan pengrusakan hutan. Selama ini pengertian
pembangunan berkelanjutan di sektor kehutanan lebih condong melihatnya dari
sudut pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (overal growth of the economic).
Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai sustainable macro economic
growth, yaitu hanya melihat keuntungan ekonomi (berapa rupiah) yang akan
diperoleh apabila menanamkan investasi di sektor kehutanan. Kemudian
keuntungan dari usaha tersebut menjadi modal untuk investasi di bidang non-
kehutanan yang akan memberikan keuntungan lebih besar. Keuntungan investasi
di sektor kehutanan seharusnya dipergunakan untuk membangun atau
merehabilitasi hutan supaya tetap terjaga, kenyataanya hasil dari hutan hampir
seluruhnya diinvestasikan kembali ke sektor yang tidak ada kaitannya dengan
hutan. Sehingga tidak heran apabila kerusakan hutan semakin hari semakin
bertambah. Banyak studi dan kajian-kajian ilmiah membuktikan bahwa sebagian
besar pengelolaan hutan di Indonesia belum menerapkan prinsip-prinsip
kelestarian (sustainability).
Berdasarkan nilai manfaatnya didapatkan bahwa kedepannya dalam
pengembangan Kawasan cagar alam tambrauw dan pegunungan arfak perlu
mengutamakan pengembangan produktivitas hasil pertanian dan pengembangan
ekowisata dengan konsep pengelolaan berkelanjutan. Potensi sangat besar
terkandung di dalam kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak.
Kelestarian dari hutan kawasan cagar alam menjadi sesuatu yang sangat sensitive
untuk dijaga dengan baik karena perubahan yang terjadi akan berdampak sangat
besar pada perubahan nilai manfaat ekonomi lainnya. Penurunan kualitas potensi
kawasan cagar alam akan menyebabkan penurunan secara otomatis nilai manfaat
lainnya seperti nilai manfaat penyerapan karbon, konservasi tanah dan air,
penanggulangan banjir dan longsong, manfaat keanekaragaman hayati dan lain
sebagainya dalam fungsi ekologi dan biologis.

4.3.2 IMPLIKASI HASIL KAJIAN NILAI EKONOMI

Berdasarkan nilai total ekonomi yang ada menandakan potensi yang ada
di kawasan cagar alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak yang cukup besar
nilainya dimana di dalamnya mengandung banyak fungsi yaitu fungsi ekologis,
fungsi ekonomi, fungsi sosial, fungsi pendidikan dan penelitian. Namun itu semua
belumlah keseluruhan dari nilai manfaat yang ada dari cagar alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak terutama yang intengible value. Bila melihat nilai TEV yang ada
masih jauh dari estimasi yang sebenarnya hal ini sebagaimana yang diutarakan
Pearce dan Moran (1994) tetap mengingatkan bahwa nilai ekonomi total yang
didapat dari formula diatas, sebenarnya tidaklah benar-benar nilai ekonomi total,
masih jauh lebih besar lagi. Alasannya adalah pertama, nilai tersebut masih belum
mencakup seluruh nilai konservasi hutan kecuali nilai ekonominya saja, dan
kedua, banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat
dihitung dengan formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar
yang bersifat sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai fungsi tunggal.
Dari sudut pandang ekologi, hutan mempunyai fungsi serbaguna yaitu
sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung kehidupan liar,
penghasil makanan, jasa lingkungan, penyerapan gas CO2, tempat wisata, dan
lain-lain. Hilangnya proses-proses alami yang tidak dapat diciptakan manusia juga
sulit untuk di ukur dan dinilai serta tergantikan seperti siklus hidrologi, siklus hara,
siklus oksigen, siklus karbon. Namun demikian semua ahli mengakui sangatlah
sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut satu sama lain secara tegas karena
fungsi tersebut berinteraksi secara dinamis. Intangible value sulit untuk diukur
misalnya pengaruh adanya kebakaran hutan terhadap kesehatan, terhadap gagal
panen akibat matinya bunga buah sebelum berkembang, hilangnya habitat para
satwa ataupun bahkan punahnya satwa yang ada dalam kawasan sehingga
memutus jaringan rantai makanan, Dari perihal tersebut maka diperlukan suatu
system pengelolaan yang harus dilakukan agar kawasan cagar alam Tambrauw
dan pegunungan arfak tetap terjaga atas dasar fungsi-fungsi yang ada, serta
merehabilitasi lahan dan pengayaan jenis tanaman perlu dilakukan dimana
nantinya akan mampu meningkatkan fungsi dan nilai ekonomi total Kawasan cagar
alam.

Keberadaan masyarakat hendaknya dapat dipandang sebagai potensi


untuk melakukan pembangunan Kawasan cagar alam dengan cara mengaktifkan
peran serta masyarakat disekitar maupun dalam kawasan, dengan membekali
pengetahuan yang cukup dan juga menciptakan sistem pembangunan penguatan
ekonomi masyarakat sehingga ketergantungan hidup akan hutan berkurang
karena meningkatnya kesejahteraan mereka, dengan demikian kelestarian
Kawasan cagar alam akan tetap terjaga secara berkelanjutan.Penilaian peranan
konservasi ekosistem hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan pekerjaan
yang sangat kompleks, karena melibatkan berbagai faktor yang saling terkait satu
sama lain. Tidak hanya faktor teknis akan tetapi juga faktor sosial dan politik.
Menurut Munasinghe dan McNeely (1987), nilai kegiatan konservasi hutan sangat
tergantung pada model pengelolaannya. Dengan kata lain nilai konservasi hutan
tidak hanya ditentukan oleh faktor abiotik, biotik dan ekonomi,akan tetapi juga oleh
kelembagaan yang dibangun untuk mengelolanya.
4.3.3 ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN CAGAR ALAM

Status keberlanjutan pengelolaan kawasan cagar alam di Tambrauw dan


Pegunungan Arfak dinilai dengan menggunakan analisis Rapid Appraisal for
Status of Forest (Rap-Forest). Status keberlanjutan dalam penelitian ini
menggunakan empat dimensi yaitu, dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan
hukum/kelembagaan. Empat dimensi terdiri dari 21 atribut, diantaranya adalah
enam indikator ekologi, empat indikator ekonomi, enam indikator sosial, dan lima
indikator kelembagaan. Empat dimensi dan 21 indikator ini akan menggambarkan
status keberlanjutan dari pengelolaan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan
Arfak.

4.3.3.1. DIMENSI EKOLOGI

Dimensi ekologi merupakan salah satu faktor penting untuk keberlanjutan


kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak. Atribut yang
diperkirakan memberikan pengaruh terhadap dimensi ekologi terdiri dari 6
indikator yaitu:
a). Perubahan Keragaman Habitat

Perubahan keragaman habitat tidak terjadi karena kurangnya pemanfaatan


yang berlebihan pada kawasan yang dapat menyebabkan penurunan / kerusakan
ekosistem. Spesies flora dan fauna masih bertahan dengan baik, kondisi alami
masih terlihat jelas di Kawasan cagar alam, maka skor yang diberikan pada atribut
ini adalah 2 artinya belum terjadi perubahan keragaman habitat.
b). Struktur Relung Komunitas
Kondisi struktur relung komunitas dapat dilihat dari hasil pengamatan di
lokasi dan wawancara dengan masyarakat di sekitar, bahwa relung komunitas
menunjukkan adanya perubahan hanya sedikit, yang nampak terlihat jumlah
kelompok burung yang terlihat agak berunah sedikit di kawasan cagar alam
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena habitatnya akses kegiatan
penduduk yang mulai mengakses kawasan. Dengan demikian skor yang diberikan
adalah 1 yang artinya tidak terjadi struktur relung komunitas yang rusak akibat
adanya aktivitas manusia.
c). Ukuran Populasi dan Struktur Demografi Kawasan Cagar Alam
Berdasarkan hasil analisis citra sentinel 2a tahun 2019 menunjukkan
bahwa tidak terjadi penurunan luas kawasan dari tahun tahun sebelumnya.
sehingga ukuran populasi dan struktur demorafi kawasan cagar alam tidak
berubah. Dengan demikian skor yang diberikan adalah 2 yang artinya tidak terjadi
perubahan yang signifikan ukuran populasi dan struktur demografi kawasan cagar
alam.

d). Tingkat Keragaman Spesies Kawasan Cagar Alam

Berdasarkan hasil identifikasi dilapangan dan kajian literatur didapatkan


bahwa keragaman spesien baik flora dan fauna masih tinggi. Berdasarkan hasil
identifikasi skor yang diberikan pada pada indikator ini adalah 3 yang artinya
sangat beragam ( > 9 Jenis flora dan fauna dalam kawasan cagar alam)

e). Rehabilitasi Kawasan Cagar Alam

Berdasarkan pengamatan dilapangan dan wawancara dengan dengan


masyarakat didapatkan bahwa di sekitar kawasan cagar alam belum ada kawasan
dalam kondisi direhabilitasi karena kondisi kawasan masih baik. Sejak ditetapkan
kawasan menjadi kawasan cagar alam mengawasan dan pelestarian kawasan
menjadi semakin meningkat di bawah naungan BKSDA. Dengan demikian Skor
untuk indikator ini adalah 1, yang artinya pelaksanaan rehabilitasi dalam kondisi
sedang.

f). Kerapatan Vegetasi Kawasan Cagar Alam

Berdasarkan data lapangan dan analisis vegetasi berdasarkan citra


sentinel 2a tahun 2019, di dapatkan bahwa rata-rata kerapatan kawasan cagar
alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak masih tinggi, yang artinya kawasan
cagar alam memiliki kerapatan yang tinggi. Dengan demikian skor untuk indikator
ini adalah 2, yang artinya kawasan cagar alam memiliki kerapatan > 1500 ind/ha
Pemberian skor untuk dimensi ekologi, dengan skor untuk masing-masing
indikator dimensi ekologi yang diperoleh berdasarkan pengamatan, data hasil
analisis, kajian literatur dan wawancara dapat dilihat pada Tabel … yang disajikan
sebagai berikut.
Tabel …. Nilai Skor Indikator pada Dimensi Keberlanjutan Ekologi untuk Kawasan
cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak

No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan

Dimensi Ekologi
Data Sekunder dan
1 Perubahan Keragaman Habitat (X1) 2
Survei
Data Sekunder dan
2 Struktur Relung Komunitas (X2) 1
Wawancara
Ukuran Populasi dan Struktur Demografi
3 2 Data Sekunder
Kawasan Cagar Alam (X3)
Tingkat Keragaman Kawasan Cagar
4 2 Data Sekunder
Alam (X4)
Data Survei dan Data
5 Rehabilitas Kawasan Cagar Alam (X5) 2
Sekunder
Kerapatan Vegetasi Kawasan Cagar Data Survei dan Data
6 2
Alam (X6) Sekunder

Nilai skor dari dimensi ekologi untuk kawasan cagar alam kemudian
dianalisis menggunakan analisis Rap-Forest. Hasil yang diperoleh dengan metode
Multi Dimensional Scaling (MDS) akan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan
kawasan cagar alam dari dimensi ekologi yang dapat dilihat pada Gambar …. Hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan kawasan cagar alam untuk
dimensi ekologi adalah 86.90%, yang artinya Berkelanjutan.

RAP-Forest Ordination
80

60
UP
40

20
Axis Title

0 BAD GOOD
0 50 100 150
-20 86.90

-40
DOWN
-60

-80
Axis Title

Gambar ... Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi pada Kawasan cagar alam
Tabel 28 Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap-Forest pada Dimensi Ekologi
No Indikator Statistik Nilai Statistik Persentase

1 Stress (S) 0.1553 15.53%

2 R2 0.9393 93.93%

Selanjutnya untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ini, maka


dilakukan simulasi Monte Carlo, kestabilan nilai ordinasi dari Rap-Forest dengan
simulasi Monte Carlo ini menunjukkan bahwa pancaran plot biru cenderung
menyatu (Gambar 21). Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam pembuatan
skor pada setiap indikator dan kesalahan prosedur metode analisis adalah kecil,
hasil analisis Monte Carlo ini mendukung penentuan ordinasi status keberlanjutan
yang dikaji.
Keakuratan penentuan ordinasi ini diperkuat oleh nilai kuadrat korelasi (R2)
lebih besar dari 90% yaitu sebesar 93.93%. Secara ilmiah, nilai R2 ini sudah
termasuk tinggi yang mana berarti tingkat kepercayaan (koefisien determinasi)
terhadap analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya hasil pengukuran untuk melihat seberapa
tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya, nilai stress (S)
menunjukan hasil yang rendah yaitu lebih kecil dari 25% yaitu sebesar 15.53%.
Hal ini menunjukan bahwa analisis keberlanjutan dimensi ekologi dalam penelitian
ini, berada pada kondisi goodnes of fit dengan kualifikasi fair atau cukup. Dalam
model Rap-Forest, nilai stress yang diinginkan adalah lebih kecil 25 % (Fauzi dan
Anna 2005). Hasil analisis ini dapat dilihat pada Tabel 28.
Status keberlanjutan kawasan cagar alam pada dimensi ekologi adalah
Berkelanjutan. Indikator yang berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima,
yaitu : perubahan Keragaman Habitat (X1), struktur relung komunitas (X2), ukuran
populasi dan struktur demografi kawasan cagar alam (X3), tingkat keragaman
kawasan cagar alam (X4), rehabilitasi kawasan cagar alam (X5), dan kerapatan
vegetasi kawasan cagar alam (X6). Berdasarkan hasil analisis leverage pada Rap-
Forest pada dimensi ekologi memperlihatkan bahwa indikator struktur relung
komunitas kawasan cagar alam (X2) yang paling sensitif terhadap keberlanjutan
kawasan cagar alam. Indikator yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit
dalam dimensi ekologi, sehingga bila dilakukan perbaikan pada indikator tersebut
akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan kawasan cagar alam pada dimensi
ekologi secara keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis ini menunjukkan bahwa
indikator struktur relung komunitas kawasan cagar alam (X2) adalah merupakan
indikator sensitivenya. Hal ini menunnjukkan bahwa indikator struktur relung
komunitas kawasan cagar alam (X2) dengan indek sebesar 13.10 menjadi
indikator pengungkit dari keberlajutaan pengelolaan kawasan cagar alam, dimana
menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), apabila nilai indikator < 8%, maka ada
indikator yang dominan dalam dimensi itu. Berdasarkan hasil analisis indikator
struktur relung komunitas kawasan cagar alam (X2) memiliki nilai > 8%, hal ini
menunjukkan pada dimensi ekologi terdapat indikator yang memiliki sensitifitas
yang dominan mempengaruhi keberlanjutan kawasan cagar alam. Hasil analisis
dapat dilihat pada Gambar 22.

RAP-Forest Ordination - Monte Carlo Scatter Plot


80

60

40
Other Distingishing Features

20

0
-20 0 20 40 60 80 100 120 140
-20

-40

-60

-80
Forest Sustainability

Gambar 21. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan cagar alam pada Dimensi
Ekologi
Leverage of Attributes
KERAPATAN VEGETASI 2.78

REHABILITAS 2.29
Attribute

TINGKAT KERAGAMAN 2.87

UKURAN POPULASI DAN


STRUKTUR DEMOGRAFI 2.02

STRUKTUR RELUNG
KOMUNITAS 13.10

PERUBAHAN KERAGAMAN
HABITAT 1.42

0 5 10 15
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 22. Hasil Analisis Sensitifitas Indikator untuk Kawasan cagar alam pada
Dimensi Ekologi

Berdasarkan hasil ordinasi status keberlanjutan dimensi ekologi yang


tergolong Berkelanjutan, maka dalam pengembangan dan pengelolaannya
diperlukan suatu kebijakan ekologi yang mengarah pada perbaikan indikator-
indikator sensitif pada dimensi ekologi. Pada dimensi ini indikator yang memiliki
sensitifitas yang paling tinggi ada indikator struktur relung komunitas.

Kondisi struktur relung komunitas dapat dilihat dari hasil pengamatan di


lokasi dan wawancara dengan masyarakat di sekitar, bahwa relung komunitas
menunjukkan adanya perubahan hanya sedikit, yang nampak terlihat jumlah
kelompok burung yang terlihat agak berunah sedikit di kawasan cagar alam
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena habitatnya akses kegiatan
penduduk yang mulai mengakses kawasan. Dengan demikian skor yang diberikan
adalah 1 yang artinya tidak terjadi struktur relung komunitas yang rusak akibat
adanya aktivitas manusia.
Berdasarkan hasil identifikasi dilapangan didapatkan bahwa faktor yang
menyebabkan terganggunya indikator-indikator pada dimensi ekologi karena
mualai adanya aktivitas manusia disekitar wilayah cagar alam. Jadi untuk menjaga
keberlanjutan ekoistem kawasan cagar alam maka perlu secepatnya
mengendalikan adanya aktivitas berlebihan disekitar kawasan yang menyebab
terganggunya flora dan fauna yang ada di kawasan cagar alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak.

4.3.3.2. DIMENSI EKONOMI

Dimensi ekonomi merupakan dimensi yang sangat berpengaruh terhadap


keberlanjutan kawasan cagar alam. Masyarakat Tambrauw dan Pegunungan
Arfak ada yang tergantung hidupnya terhadap kawasan cagar alam. Sehingga
terjadi berbagai interaksi dalam pemanfaatan kawasan cagar alam untuk
keberlanjutan hidup masyarakat. Oleh karena itu penting untuk mengetahui
indikator apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi
dalam pengelolaan kawasan cagar alam yang berkelanjutan. Adapun indikator
yang akan dianalisis pada dimensi ekonomi adalah:
a). Pemanfaatan oleh Masyarakat

Berdasarkan hasil analisis nilai manfaat kawasan cagar alam,


didapatkan bahwa pemanfaatan kawasan cagar alam untuk memenuhi
kegiatan hidup dan kegiatan lainnya cukup tinggi. Pemanfaatan ini dalam
bentuk membuka lahan pertanian seperti sayur-sayuran, umbi-umbian,
buah-buahan, dan mengambil kayu untuk bahan pembuatan rumah.
Pemanfaatan yang banyak dilakukan tidak mengganggu kondisi kawasan
cagar alam. Oleh karena itu skor untuk atribut ini adalah 2 artinya
keberadaan kawasan cagar alam sangat membantu masyarakat disekitar
kawasan.

b). Keuntungan dari Pemanfaatan Kawasan cagar alam

Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi daii pemanfaatan


langsung (ML), didapatkan Nilai keuntungan langsung sebesar sangat
besar dari hasil potensi kayu dan hasil pertanian. Oleh karena itu skor untuk
atribut ini adalah 2 artinya keuntungan langsung yang didapat besar.
c). Zonasi Pemanfaatan Lahan Kawasan cagar alam

Berdasarkan data RTRW Tambrauw dan Pegunungan Arfak dan SK


kementerian lingkungan hidup bahwa kawasan hutan di Tambrauw dan
pegunungan arfak sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung cagar alam.
Tetapi rencana zonasi detal kawasan cagar alam belum disusun.
Kesadaran masyarakat terhadap keberadaan kawasan cagar alam sangat
baik yang dikuatkan dengan kearifan lokal yang ada, dimana masyarakat
sadar menjaga kelestarian hutan. Dengan demikian skor pada indikator ini
adalah 1 karena belum tersedia zonasi pemanfaatan kawasan cagar alam.

d). Pendapatan Masyarakat dari Pemanfaatan Kawasan cagar alam

Berdasarkan hasil wawancara persepsi masyarakat terhadap trend


pendapatan masyarakat dari pemanfaatan kawasan cagar alam di
dapatkan bahwa bahwa trend pendapatannya tetap. Pendapatan
didapatkan dari pemanfaatan hasil hutan berupa kayu untuk kayu bakar,
bahan bangunan dan pagar. Serta dari hasil pertanian sekitar kawasan
yang tanahnya subur untuk bercocok tanam. Dengan demikian skor untuk
indikator ini adalah 1, yang artinya bahwa trend pendapatan masyarakat
tetap.
Pemberian skor untuk dimensi ekonomi, dengan skor untuk masing-
masing indikator dimensi ekologi yang diperoleh berdasarkan data hasil
analisis persepsi masyarakat dapat dilihat pada Tabel…. Yang disajikan
sebagai berikut.
Tabel…… Nilai Skor Indikator pada Dimensi Keberlanjutan Ekonomi untuk
Kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak

No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan

Dimensi Ekonomi
1 Pemanfaatan oleh Masyarakat (X7) 2 Identikasi Pemanfaatan
Keuntungan dari Pemanfaatan
2 2 Nilai Manfaat Ekonomi
Langsung (X8)
Zonasi Pemanfaatan Lahan
3 1 Data Sekunder
Kawasan Cagar Alam (X9)
Pendapatan Masyarakat di Sekitar
4 1 Hasil Analisis Data
Kawasan Cagar Alam (X10)
Nilai skor dari dimensi ekonomi untuk kawasan cagar alam kemudian
dianalisis menggunakan alat analisis Rap-Forest. Hasil yang diperoleh
dengan metode Multi Dimensional Scaling (MDS) menunjukkan nilai indeks
keberlanjutan kawasan cagar alam dari dimensi ekonomi yang bisa dilihat
pada Gambar 23. Hasil Analisis menunjukkan bahwa nilai indeks
keberlanjutan untuk dimensi ekonomi adalah 66.94% termasuk dalam
kategori Cukup Berkelanjutan (55 – 74.99%).

RAP-Forest Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features

20 66.94

0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability

Gambar 23. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi pada Kawasan Cagar


Alam

Tabel 30. Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap-Forest pada Dimensi
Ekonomi
No Indikator Statistik Nilai Statistik Persentase
1 Stress (S) 0.1629 16.29%
2 R2 0.9330 93.30%

Selanjutnya untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinasi


ini, maka dilakukan simulasi Monte Carlo, Kestabilan nilai ordinasi dari Rap
Forest dengan simulasi Monte Carlo ini menunjukkan bahwa pancaran plot
cenderung menyatu (Gambar 24). Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan
dalam pembuatan skor pada setiap indikator dan kesalahan prosedur
metode analisis adalah kecil, hasil analisis Monte Carlo ini mendukung
penentuan ordinasi status keberlanjutan yang dikaji.
Keakuratan penentuan ordinasi ini diperkuat oleh nilai kuadrat
korelasi (R2) lebih besar dari 90% yaitu sebesar 93.30%. Secara ilmiah, nilai
R2 ini sudah termasuk tinggi yang mana berarti tingkat kepercayaan
(koefisien determinasi) terhadap analisis Multi Dimensional Scaling (MDS)
dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Selanjutnya hasil
pengukuran untuk melihat seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat
mencerminkan data aslinya, nilai stress (S) menunjukan hasil yang rendah
yaitu lebih kecil dari 25% yaitu sebesar 16.29%. Hal ini menunjukan bahwa
analisis keberlanjutan dimensi ekonomi dalam penelitian ini, berada pada
kondisi goodnes of fit dengan kualifikasi fair atau cukup. Dalam model Rap-
Forest, nilai stress (S) yang diinginkan adalah lebih kecil 25%. Hasil analisis
ini dapat dilihat pada Tabel 30.
Status keberlanjutan kawasan cagar alam pada dimensi ekonomi
menunjukan nilai indeks keberlanjutan dengan kategori tidak berkelanjutan.
Indikator yang berpengaruh pada dimensi ekonomi terdiri dari empat, yaitu
: pemanfaatan kawasan cagar alam oleh masyarakat (X7), keuntungan dari
pemanfaatan langsung kawasan cagar alam (X8); zonasi pemanfaatan
lahan kawasan cagar alam (X9), dan pendapatan masyarakat di sekitar
kawasan cagar alam (X10). Keempat atribut tersebut memiliki nilai yang
bervariasi antara 8.72% dan 11.24% kontribusinya pada ordinasi status
keberlanjutan dimensi ekonomi. Hal ini berarti bahwa nilai semua indikator
>8%, yang berarti bahwa keempat indikator dimensi ekonomi mempunyai
pengaruh yang dominan terhadap keberlanjutan kawasan cagar alam.
Indikator yang mempunyai nilai sensitifitas paling tinggi adalah zonasi
pemanfaatan lahan yaitu 11.24%, yang berarti indikator ini sangat dominan
berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan cagar alam. Jika terjadi
perubahan yang sedikit saja maka dapat berakibat terjadi perubahan indeks
keberlanjutannya, maka kalau zonasi pemanfaatan lahan bisa disusun bisa
diatur dan dikendalikan dengan baik maka indeks keberlanjutan kawasan
cagar alam bisa meningkat pada dimensi ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari
nilai root mean square change yang ditunjukkan oleh Gambar 25.

RAP-Forest Ordination - Monte Carlo Scatter Plot


60

40

20
Other Distingishing Features

0
0 20 40 60 80 100 120
-20

-40

-60
Forest Sustainability

Gambar 24. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan Cagar Alam pada
Dimensi Ekonomi

Leverage of Attributes
PENDAPATAN
MASYARAKAT 10.05

ZONASI PEMANFAATAN
LAHAN 11.24
Attribute

KEUNTUNGAN
PEMANFAATAN LANGSUNG 9.10

PEMANFAATAN OLEH
MASYARAKAT 8.72

0 2 4 6 8 10 12
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 25. Hasil Analisis Sensitifitas Indikator untuk Kawasan cagar


alam pada Dimensi Ekonomi
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan status keberlanjutan

kawasan cagar alam pada dimensi ekonomi tergolong Cukup

Berkelanjutan, maka dalam pengembangan dan pengelolaannya masih

diperlukan suatu kebijakan ekonomi yang mengarah pada perbaikan

indikator-indikator sensitif pada dimensi ekonomi. Didapatkan bahwa

keempat inikator pada dimensi memiliki tingkat sensitifitas yang dominan

terhadap keberlanjutan kawasan cagar alam, maka kebijakan harus

memprioritaskan indikator-indikator pada dimensi ekonomi untuk dilakukan

perbaikan demi keberlanjutan kawasan cagar alam. Indikator yang paling

prioritas dikendalikan adalah zonasi pemanfaatan lahan kawasan cagar

alam, penguatan pemanfaatan kawasan cagar alam oleh masyarakat,

keuntungan dari pemanfaatan langsung kawasan cagar alam; dan

pendapatan masyarakat di sekitar kawasan cagar alam. Indicator ini yang

mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap keberlanjutan

kawasan cagar alam. Jika hal ini bisa dilakukan maka akan mendorong

terjadinya peningkatan indeks keberlanjutan kawasan cagar alam pada

dimensi ekonomi.

4.3.3.3. DIMENSI SOSIAL


Dimensi sosial memiliki keterkaitan yang erat terhadap keberlanjutan
kawasan cagar alam. Terjadi berbagai interaksi sosial dalam pemanfaatan
kawasan cagar alam untuk keberlanjutan hidup masyarakat. Oleh karena itu
penting untuk mengetahui indikator apa saja yang berpengaruh terhadap
keberlanjutan dimensi sosial. Indikator yang akan dianalisis pada dimensi sosial
adalah :
a). Akses Masyarakat Lokal Terhadap Hutan Kawasan cagar alam
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa akses masyarakat lokal terhadap
hutan kawasan cagar alam cukup tinggi, tidak ada batasan selama tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merusak kelestarian kawasan cagar
alam. Masyarakat mengakses kawasan cagar alam hanya untuk keperluan
mengambil kayu bakar dan kayu untuk bahan bangunan, tetapi itupun dengan
seizin ketua adat atau kepala kampung. Skor yang diberikan pada indikator ini
adalah 2, artinya akses masyarakat lokal terhadap hutan kawasan cagar alam bisa
dilakukan.
b). Kesadaran Masyarakat terhadap Pentingnya Kawasan Cagar Alam
Berdasarkan hasil analisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan
kawasan cagar alam didapatkan masyarakat sangat menyadari pentingnya
menjaga keberadaan kawasan cagar alam. Kearifan lokal masyarakat sangat jaga
dalam menjaga kelestarian kawasan cagar alam. Masyarakat tidak berani
mengakses kawasan cagar alam tanpa seizin kepala kampung. Dengan demikian
skor yang diberikan indikator ini adalah 2, yang artinya >75% masyarakat
menyadari pentingnya menjaga keberadaan kawasan cagar alam.

c). Tingkat Pendidikan Masyarakat


Berdasarkan hasil analisis persepsi masyarakat didapatkan bahwa tingkat
pendidikan masyarakat di pesisir Tambrauw dan Pegunungan Arfak mulai
membaik dimana pada umumnya sudah mulai masyarakat menamatkan sekolah
mulai dari SD, SMP, dan SMA. Dengan demikian skor yang diberikan indikator ini
adalah 1, yang artinya tingkat pendidikan pada tingkatan sedang.

d). Tingkat Penghasilan Masyarakat


Berdasarkan hasil wawancara di dapatkan bahwa rata-rata pengahasilan
masyarakat masih dibawah dari UMP sebesar Rp 3.051.076. Dengan demikian
skor pada indikator ini adalah 0, yang artinya tingkat pendapatan masih rendah
dibawah nilai UMP Provinsi Papua Barat.

e). Kerusakan Kawasan cagar alam oleh Masyarakat


Kerusakan kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak
tergolong masih kecil. Berdasarkan hasil analisis citra satelit sentinel 2a tahun
2019 tidak nampak kerusakan, kondisi vegetasi masih baik. Dengan demikian skor
yang diberikan indikator ini adalah 2, yang artinya tingkat kerusakan kawasan
cagar alam akibat ulah manusia kecil.

f). Pengetahuan Masyarakat Terhadap Peran Kawasan Cagar Alam


Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat didapatkan
pengetahuan masyarakat tentang peran keberadaan kawasan cagar alam sudah
cukup baik. Masyarakat menganggap bahwa kawasan cagar alam adalah
merupakan tanah adat, sehingga komitmen mereka untuk menjaga kelestarian
masih sangat tinggi. Dengan demikian skor yang diberikan indikator ini adalah 2,
yang artinya masyarakat mengetahui peran keberadaan kawasan cagar alam
sebesar > 75.00%

Pemberian skor untuk dimensi sosial, dengan skor untuk masing-masing


indikator dimensi ekologi yang diperoleh berdasarkan data hasil analisis hasil
wawancara dengan masyarakat dapat dilihat pada Tabel…. yang disajikan
sebagai berikut.

Tabel …. Nilai Skor Indikator pada Dimensi Keberlanjutan Sosial untuk Kawasan
cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak

No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan

Dimensi Sosial
Akses Masyarakat Lokal
1 2 Hasil Analisis Data
Terhadap Kawasan Cagar Alam (X11)

Kesadaran Masyarakat Terhadap Pentingnya


2 2 Hasil Analisis Data
Kawasan Cagar Alam (X12)
3 Tingkat Pendidikan Masyarakat (X13) 1 Hasil Analisis Data

4 Tingkat Penghasilan (X14) 0 Hasil Analisis Data

Kerusakan Kawasan Cagar Alam oleh


5 2 Hasil Analisis Data
Masyarakat (X15)
Pengetahuan Masyarakat
6 2 Hasil Analisis Data
tentang Peran Kawasan Cagar Alam (X16)

Nilai skor dari dimensi sosial untuk kawasan cagar alam kemudian
dianalisis menggunakan alat analisis Rap-Forest. Hasil yang diperoleh
dengan metode MDS menunjukkan nilai indeks keberlanjutan kawasan
cagar alam dari dimensi sosial yang bisa dilihat pada Gambar 26. Hasil
Analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi
sosial adalah 71.65% termasuk dalam kategori Cukup Berkelanjutan.

RAP-Forest Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features

20

71.65 Real Fisheries


0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40
DOWN
-60
Forest Sustainability

Gambar 26. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial pada Kawasan Cagar


Alam

Tabel 32. Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap Forest pada Dimensi Sosial

No Indikator Statistik Nilai Statistik Persentase


1 Stress (S) 0.1472 14.72%
2 R2 0.9309 93.09%

Selanjutnya untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinasi


ini, maka dilakukan simulasi Monte Carlo. Kestabilan nilai ordinasi dari Rap-
Forest dengan simulasi Monte Carlo ini menunjukkan bahwa pancaran plot
biru cenderung menyatu. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam
pembuatan skor pada setiap indikator dan kesalahan prosedur metode
analisis adalah kecil, hasil analisis Monte Carlo ini mendukung penentuan
ordinasi status keberlanjutan yang dikaji. Hasil analisis bisa dilihat pada
Gambar 27.
Keakuratan penentuan ordinasi ini diperkuat oleh nilai kuadrat
korelasi (R2) lebih besar dari 90% yaitu sebesar 93.09%. Secara ilmiah, nilai
R2 ini sudah termasuk tinggi yang mana berarti tingkat kepercayaan
(koefisien determinasi) terhadap analisis multi dimensional dapat dipercaya
dan dipertanggungjawabkan. Selanjutnya hasil pengukuran untuk melihat
seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data
aslinya, nilai stress (S) menunjukan hasil yang rendah yaitu lebih kecil dari
25% yaitu sebesar 14.72%. Hal ini menunjukan bahwa analisis
keberlanjutan dimensi sosial dalam penelitian ini, berada pada kondisi
goodnes of fit dengan kualifikasi fair atau cukup. Dalam model Rap-Forest,
nilai stress (S) yang diinginkan adalah lebih kecil 25 %. Hasil analisis bisa
dilihat pada Tabel 32.
Status keberlanjutan kawasan cagar alam pada dimensi sosial
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dengan kategori kurang
berkelanjutan. Indikator yang berpengaruh pada dimensi sosial terdiri dari
enam, yaitu : akses masyarakat lokal terhadap hutan kawasan cagar alam
(X11), kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kawasan cagar alam
(X12), tingkat pendidikan masyarakat (X13), tingkat penghasilan (X14),
kerusakan kawasan cagar alam oleh masyarakat (X15), pengetahuan
masyarakat tentang peran kawasan cagar alam (X16). Keenam indikator
memiliki nilai bervariasi yaitu antara 5.45 – 13.39%. Empat indikator
memiliki nilai < 8%, dan ada dua indikator yang memiliki nilai > 8%. Indikator
yang memiliki nilai < 8% yaitu: akses masyarakat lokal terhadap hutan
kawasan cagar alam (X11), tingkat kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya kawasan cagar alam (X12), kerusakan kawasan cagar alam
oleh masyarakat (X15), dan pengetahuan masyarakat tentang peran
kawasan cagar alam (X16). Hal ini menunjukkan bahwa kelima indikator
tersebut memiliki tingkat sensitifitas yang tidak dominan berpengaruh pada
keberlanjutan kawasan cagar alam. Sedangkan indikator yang memiliki nilai
> 8% yaitu tingkat penghasilan (X14) dan tingkat pendidikan masyarakat
(X13), yang berarti indikator tingkat penghasilan dan tingkat Pendidikan
mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam mempengaruhi
keberlanjutan kawasan cagar alam pada dimensi sosial di Tambrauw dan
Pegunungan Arfak. Hal ini dapat dilihat dari nilai root mean square change
yang ditunjukkan oleh Gambar 28.

RAP-Forest Ordination - Monte Carlo Scatter Plot


60

40

20
Other Distingishing Features

0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

-60
Forest Sustainability

Gambar 27. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan cagar alam pada
Dimensi Sosial

Leverage of Attributes
PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PERAN
KAWASAN CAGAR ALAM 5.57

KERUSAKAN KAWASAN CAGAR ALAM OLEH


MASYARAKAT 7.60

TINGKAT PENGHASILAN 13.39


Attribute

TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT 9.81

TINGKAT KESADARAN MASYARAKAT 6.97

AKSES MASYARAKAT LOKAL TERHADAP


KAWASAN 5.45

0 5 10 15
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 28. Hasil Analisis Sensitifitas Indikator untuk Kawasan cagar alam
pada Dimensi Sosial
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan status keberlanjutan
dimensi sosial tergolong cukup berkelanjutan, maka dalam pengembangan
dan pengelolaannya diperlukan suatu kebijakan sosial yang mengarah
pada perbaikan indikator-indikator sensitif. Indikator yang memiliki tingkat
sensitifitas yang dominan berpengaruh pada keberlanjutan kawasan cagar
alam dimensi sosial adalah tingkat penghasilan dan tingkat pendidikan.
Berdasarkan hasil identifikasi didapatkan bahwa tingkat pengahasilan
masyarakat di sekitar arel kawasan cagar alam masih tergolong rendah
masih dominan dibawah nilai UMP Provinsi Papua Barat, maka langkah-
langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan indeks keberlanjutan
kawasan cagar alam dimensi sosial di Tambrauw dan Pegunungan Arfak
adalah dengan mengupayakan peningkatan penghasilan melalui
pemberdayaan masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat
terhadap pendidikan anak kedepannya, dan berupaya mengendalikan dari
awal kemungkinan penyebab kerusakan kawasan cagar alam oleh
masyarakat dengan berupaya menyusun kebijakan pengembangan
kawasan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan .

4.3.3.4. DIMENSI HUKUM DAN KELEMBAGAAN

Dimensi hukum / kelembagaan memiliki keterkaitan yang erat


terhadap keberlanjutan kawasan cagar alam. Ada berbagai kebijakan dan
aturan yang sebagai acuan dalam pengelolaan kawasan cagar alam, agar
keberadaan kawasan cagar alam bisa terjaga untuk kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu penting untuk mengetahui indikator apa saja
yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi Kelembagaan. Indikator
yang akan dianalisis pada dimensi kelembagaan adalah:
a). Keberadaan Aturan Pengelolaan Kawasan Cagar Alam

Aturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan cagar alam,


perda RTRW no. 4 Tahun 2013 kawasan hutan di Tambrauw dan
Pegunungan arfak adalah kawasan cagar alam, dan dalam surat keputusan
kementerian lingkungan hidup tentang penetapan kawasan cagar alam
Tambrauw Utara, Tambrauw Selatan dan Pegunungan Arfak. Dari
beberapa aturan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengatur
pemanfaatan kawasan cagar alam agar keberadaannya berkelanjutan.
Tetapi keberadaan strategi dan aturan yang terkait pengelolaan kawasan
cagar alam, membuat pengelolaan kawasan cagar alam berjalan dengan
baik. Masih dibutuhkan rencana detail zonasi kawasan cagar alam agar
ruang ruang pemanfaatannya lebih terpetakan dengan baik. Dengan
demikian skor yang diberikan indikator ini adalah 1, yang artinya ada aturan
pengeloaan tetapi belum dipatuhi secara utuh.

b). Keberadaan Lembaga Masyarakat untuk Pengelolaan Kawasan Cagar


Alam

Berdasarkan hasil hasil identifikasi dan wawancara mendalam


dengan masyarakat dan pihak terkait didapatkan bahwa keberadaan
lembaga masyarakat yang khusus menangani pengelolaan kawasan cagar
alam belum ada, tetapi semua pengawasan berada dalam pantauan kepala
kampung dan tokoh adat. Pengawasan dari pemerintah dibawah naungan
BKSDA Provinsi Papua Barat. Dengan demikian skor yang diberikan
indikator ini adalah 2, yang artinya ada lembaga masyarakat melalui kepala
kampung dan tokoh adat dalam mengontrol / mengawasi pengelolaan
kawasan cagar alam.

c). Zonasi Kawasan Kawasan cagar alam

Berdasarkan data RTRW Tambrauw dan Pegunungan Arfak dan


Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Tambrauw dan Pegunungan Arfak
didapatkan kawasan hutan di Tambrauw dan Pegunungan Arfak menjadi
kawasan cagar alam. Tidak boleh ada pemanfaatan yang berlebihan atau
merusak keberadaan kawasan cagar alam. Dengan demikian skor pada
indikator ini adalah 1 karena sudah ada zonasi kawasan cagar alam
sebagai kawasan lindung.
d). Penegakan Hukum oleh Aparat bagi Para Pelanggar

Penegakan hukum terhadap para pelanggar perusak lingkungan,


seperti kegiatan penebangan hutan secara illegal akan mendapatkan
sanksi dari kepala kampung dan bahwak akan dilaporkan ke kepolosian.
Pada beberapa undang-undang yang terkait dengan pengelolaan kawasan
cagar alam tidak membolehkan aktivitas berlebihan kawasan cagar alam.
Dengan demikian skor pada indikator ini adalah 1, yang artinya sudah ada
penegakan hukum yang berlangsung di kawasan cagar alam Tambrauw
dan Pegunungan Arfak bagi orang melakukan perusakan lingkungan.

e). Dukungan Stakeholder

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan wawancara


mendalam dengan pihak terkait menunjukkan bahwa dukungan stakeholder
(pemerintah, masyarakat, dan pihak lainnya) dalam upaya menjaga
kelestarian kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak
belum menunjukkan kolaborasi yang baik. Dengan demikian skor pada
indikator ini adalah 1, yang artinya sudah ada dukungan stakeholder namun
belum terjadi kolaboratif yang baik dalam upaya menjaga keberadaan
kawasan cagar alam.

Pemberian skor untuk dimensi kelembagaan, dengan skor untuk


masing-masing indikator dimensi kelembagaan yang diperoleh
berdasarkan data hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan
para pihak terkait, dapat dilihat pada Tabel …. yang disajikan sebagai
berikut.
Tabel ... Nilai Skor Indikator pada Dimensi Keberlanjutan Hukum / Kelembagaan
untuk Kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak

No. Dimensi dan Indikator Skor Keterangan

Dimensi Hukum / Kelembagaan


Keberadaan Aturan Pengelolaan
1 1 Data Sekunder
Kawasan cagar alam (X17)
Keberadaan Lembaga Masyarakat Hasil Identifikasi
2 Untuk Pengelolaan Kawasan cagar 2 Melalui Wawancara
alam (X18) Mendalam
Zonasi Kawasan Kawasan cagar alam
3 1 Data Sekunder
(X19)
Hasil Identifikasi
Penegakan Hukum oleh Aparat bagi
4 1 Melalui Wawancara
Pelanggar (X20)
Mendalam
Hasil Identifikasi
5 Dukungan Stakeholder (X21) 1 Melalui Wawancara
Mendalam

Nilai skor dari dimensi hukum / kelembagaan untuk kawasan cagar

alam kemudian dianalisis menggunakan alat analisis Rap-Forest (Data

Lampiran 9). Hasil yang diperoleh dengan metode MDS menunjukkan nilai

indeks keberlanjutan kawasan cagar alam dari dimensi hukum /

kelembagaan yang bisa dilihat pada Gambar 29. Hasil Analisis

menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi hukum /

kelembagaan adalah 54.92% termasuk dalam kategori Cukup

Berkelanjutan (50 – 74.99%).


RAP-Forest Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features

20

54.92 Real Fisheries


0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40
DOWN
-60
Forest Sustainability
Gambar 29. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum / Kelembagaan pada
Kawasan cagar alam

Tabel 34. Nilai Statistik dari Hasil Analisis Rap-Forest pada Dimensi Hukum
/ Kelembagaan
No Indikator Statistik Nilai Statistik Persentase
1 Stress (S) 0.1669 16.69%
2 R2 0.9318 93.18%

Selanjutnya untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinasi


ini, maka dilakukan simulasi Monte Carlo. Kestabilan nilai ordinasi dari Rap-
Forest dengan simulasi Monte Carlo ini menunjukkan bahwa pancaran plot
cenderung menyatu. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam
pembuatan skor pada setiap indikator dan kesalahan prosedur metode
analisis adalah kecil, hasil analisis Monte Carlo ini mendukung penentuan
ordinasi status keberlanjutan yang dikaji. Hasil ini dapat dilihat pada
Gambar 30.
Keakuratan penentuan ordinasi ini diperkuat oleh nilai kuadrat
korelasi (R2) lebih besar dari 90% yaitu sebesar 93.18%. Secara ilmiah, nilai
R2 ini sudah termasuk tinggi yang mana berarti tingkat kepercayaan
(koefisien determinasi) terhadap analisis Multi Dimensional Scaling (MDS)
dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Selanjutnya hasil
pengukuran untuk melihat seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat
mencerminkan data aslinya, nilai stress (S) menunjukan hasil yang rendah
yaitu lebih kecil dari 25% yaitu sebesar 16.69%. Hal ini menunjukan bahwa
analisis keberlanjutan dimensi hukum / kelembagaan dalam penelitian ini,
berada pada kondisi goodnes of fit dengan kualifikasi fair atau memadai.
Dalam model Rap Forest, nilai stress (S) yang diinginkan adalah lebih kecil
25 %. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 34.
Status keberlanjutan kawasan cagar alam pada dimensi hukum /
kelembagaan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dengan kategori
Cukup Berkelanjutan. Indikator yang berpengaruh pada dimensi sosial
terdiri dari lima, yaitu keberadaan aturan pengelolaan kawasan cagar alam
(X17), keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan kawasan cagar
alam (X18), zonasi kawasan kawasan cagar alam (X19), penegakan hukum
oleh aparat bagi pelanggar (X20), dan dukungan stakeholder (X21). Kelima
indikator tersebut memiliki nilai yang berkisar antara 0.13 – 5.11%, yang
artinya bahwa kelima indikator tidak ada yang memiliki sensitifitas yang
sangat dominan berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan cagar alam
pada dimensi hukum/kelembagaan. Indikator yang mempunyai sensitifitas
yang berpengaruh paling tinggi pada dimensi ini adalah indikator
keberadaan lembaga masyarakat. Berdasarkan hasil analisis leverage
didapatkan keberadaan lembaga masyarakat untuk mengelola kawasan
cagar alam, mempunyai sensitifitas yang cukup berpengaruh. Untuk
meningkatkan keberlanjutan kawasan cagar alam pada dimensi
hukum/kelembagaan, maka indikator tersebut di atas yang memiliki nilai
sensitifitas yang tinggi, perlu mendapat prioritas untuk diselesaikan. Hasil
ini dapat dilihat pada Gambar 31.
RAP-Forest Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
60

40

20
Other Distingishing Features

0
0 20 40 60 80 100 120
-20

-40

-60
Forest Sustainability

Gambar 30. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Kawasan cagar alam pada
Dimensi Hukum / Kelembagaan

Leverage of Attributes
DUKUNGAN STAKEHOLDER 2.02

PENEGAKAN HUKUM 2.34


Attribute

ZONASI KAWASAN 2.23

KEBERADAAN LEMBAGA
MASYARAKAT 5.11

KEBERADAAN ATURAN
PENGELOLAAN 0.13

0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 31. Hasil Analisis Sensitifitas Indikator untuk Kawasan cagar alam
pada Dimensi Hukum / Kelembagaan

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan status keberlanjutan


dimensi hukum / kelembagaan tergolong Cukup Berkelanjutan, maka dalam
pengembangan dan pengelolaannya diperlukan suatu kebijakan hukum /
kelembagaan yang mengarah pada perbaikan indikator-indikator
sensitifnya. Berdasarkan hasil analisis pada dimensi hukum / kelembagaan
ini, didapatkan bahwa keberadaan lembaga masyarakat untuk mengelola
kawasan cagar alam adalah indicator yang paling sensitif, maka langkah-
langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan indeks keberlanjutan
kawasan cagar alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak adalah dengan
penguatan lembaga kemasyarakat yang nantinya akan terkoneksi BKSDA
dalam melakukan pengawasan dan pengamanan kawasan dari tangan-
tangan yang tidak bertanggung jawab dalam memanfaatkan kawasan
hutan.
4.3.3.5. Status Keberlanjutan Kawasan Cagar Alam

Analisis dengan Multi Dimensional Scaling (MDS) ini menghasilkan


status dan indeks keberlanjutan Kawasan Cagar Alam di Tambrauw dan
Pegunungan Arfak. Status Keberlanjutan yang dimaksud adalah apakah
pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Cagar Alam saat ini telah efektif
dan akan berkelanjutan berdasarkan keempat dimensi pengelolaan yang
dikaji dan indeks yang diperoleh. Hasil analisis dengan menggunakan Rap-
Forest menghasil indeks keberlanjutan yang berbeda pada setiap dimensi
yang dapat dilihat pada Gambar 32.

Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Cagar Alam di


Tambrau dan Pegunungan Arfak

EKOLOGI
100.00

86.90
80.00

60.00

40.00

20.00

HUKUM DAN
0.00 EKONOMI
KELEMBAGAAN
54.92 66.94

71.65

SOSIAL

Gambar 32. Diagram Status Keberlanjutan Kawasan Cagar Alam

Tabel 35. Indeks Keberlanjutan Kawasan Cagar Alam pada Dimensi


Ekologi, Ekonomi, Sosial, dan Hukum / Kelembagaan
No Dimensi Indeks Status
1 Ekologi 86.90 Berkelanjutan
2 Ekonomi 66.94 Cukup Berkelanjutan
3 Sosial 71.65 Cukup Berkelanjutan
4 Hukum / Kelembagaan 54.92 Cukup Berkelanjutan
Hasil analisis dengan Rap-Forest diperoleh indeks keberlanjutan
untuk dimensi ekologi sebesar 86.90 dengan status Berkelanjutan, dimensi
ekonomi sebesar 66.94 dengan status Cukup Berkelanjutan, dimensi sosial
sebesar 71.65 dengan status Cukup berkelanjutan, dan dimensi hukum /
kelembagaan sebesar 35.64 dengan status Cukup Berkelanjutan, dapat
dilihat pada Gambar 29 dan Tabel 35. Indeks ini merupakan gambaran
keberlanjutan dari masing-masing dimensi berdasarkan pengelolaan saat
ini. Berdasarkan hasil analisis ini menunjukkan bahwa dimensi ekologi atau
pola pengelolaan dari aspek ekologi kawasan masih sangat baik atau masih
dalam kategori pemanfaatan yang berkelanjutan. Sedang berdasarkan
dimensi ekonomi, sosial, dan hukum / kelembagaan dalam kategori Cukup
Berkelanjutan. Dengan demikian dimensi ekonomi, sosial dan hukum /
kelembagaan masih perlu sedikit peningkatan untuk meningkatkan
keberlanjutan pengelolaan kawasan cagar alam di Tambrauw dan
Pegunungan Arfak. Untuk memperoleh peningkatan status menjadi
berkelanjutan, maka perlu langkah-langkah melalui perbaikan pada
indikator-indikator sensitif terhadap keberlanjutan Kawasan Cagar Alam
pada masing-masing dimensi.

Menurut Fausi dan Anna, 2010 bahwa analisis keberlanjutan


Kawasan Cagar Alam menggunakan Rap-Forest harus memperhatikan
aspek ketidakpastian, dimana hal ini dapat disebabkan oleh:
a. Dampak dari kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi
b. Dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian
c. Kesalahan dalam entri data
d. Tingginya nilai stress yang diperoleh dari algoritma ALSCAL
Melihat permasalahan diatas, maka analisis Monte Carlo merupakan
serangkaian proses simulasi yang berlangsung untuk menguji pengaruh
dari beragam kekeliruan (ketidakpastian), baik yang berkenaan dengan
skoring maupun dalam proses ordinasi status keberlanjutan Kawasan
Cagar Alam. Tabel 36 menyajikan perbandingan indeks keberlanjutan hasil
Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan hasil analisis Monte Carlo.
Tabel 36. Perbandingan Indkes Keberlanjutan hasil MDS dan Monte Carlo
(Selang Kepercayaan 95%) pada Kawasan Cagar Alam
Indeks Monte
No Dimensi Perbedaan
MDS Carlo
1 Ekologi 86.90 84.56 2.34
2 Ekonomi 66.94 65.23 1.71
3 Sosial 71.65 69.11 2.54
4 Hukum / Kelembagaan 54.92 54.61 0.31

Nilai indeks keberlanjutan yang didapat pada setiap dimensi tidak


banyak mengalami perbedaan yaitu < 5. Menurut Fauzi (2004) nilai
perbedaan < 5 mengindikasikan bahwa (1) kesalahan dalam pembuatan
skor pada setiap atribut relatif kecil, (2) ragam pemberian skor akibat
perbedaan opini relative kecil, (3) proses analisis yang dilakukan secara
berulang stabil, dan (4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang
dapat dihindari. Dengan demikian, didapatkan bahwa hasil analisis
keberlanjutan yang dilakukan dengan teknik Rap-Forest untuk Kawasan
Cagar Alam memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, seperti terlihat pada
Tabel 36.
Berdasarkan analisis leverage dari keempat dimensi, terlihat bahwa
dimensi ekologi mempunyai indikator sensitif, yang berpengaruh dominan
dan signifikan terhadap keberlanjutan pengelolaan Kawasan Cagar Alam
yaitu struktur relung komunitas. Selanjutnya dimensi ekonomi mempunyai
indikator yang sangat sensitif dengan pengaruh dominan dan signifikan
terhadap keberlanjutan pengelolaan Kawasan Cagar Alam yaitu
pemanfaatan Kawasan Cagar Alam oleh masyarakat, pendapatan
masyarakat dari pemanfaatan Kawasan Cagar Alam, zonasi pemanfaatan
lahan dan keuntungan dari pemanfaatan Kawasan Cagar Alam. Kemudian
dimensi sosial mempunyai indikator yang sangat sensitif dengan pengaruh
yang dominan dan signifikan terhadap keberlanjutan Kawasan Cagar Alam
yaitu tingkat penghasilan masyarakat disekitar kawasan cagar alam, dan
tingkat pendidikan. Sedangkan dimensi hukum/kelembagaan mempunyai
indikator yang sensitif, tetapi tidak ada yang berpengaruh dominan dan
signifikan terhadap keberlanjutan pengelolaan Kawasan Cagar Alam yaitu
keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan Kawasan Cagar Alam,
zonasi kawasan Kawasan Cagar Alam, dukungan stakeholder dan
penegakan hukum oleh aparat bagi perusak lingkungan.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar terkait penilaian terhadap atribut
keberlanjutan analisis penentuan bobot keberlanjutan (menggunakan Ekspert
Choice) kawasan cagar alam di Tambrauw Utara, Tambrauw Selatan dan
Pegunungan arfak diperoleh bahwa nilai bobot untuk masing-masing atribut
berdasarkan dimensi adalah dimensi ekologi 30.97%, ekonomi 23.87%, social
25.57% dan hukum / kelembagaan 19.59% seperti tertuang dalam tabel…...
Dimensi ekologi mempunyai bobot kepentingan tertinggi dalam pengelolaan
kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara, Tambrau Selatan dan Pegunungan Arfak
dan yang terendah adalah dimensi hukum / kelembagaan. Berdasarkan hasil
pembobotan dari keempat dimensi pengelolaan berkelanjutan tersebut maka
diperoleh nilai indeks keberlanjutan kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara,
Tambrau Selatan dan Pegunungan Arfak sebesar 71.97 (indeks terletak antara
50,00 - 74,99). Angka ini menggambarkan bahwa dimensi keberlanjutan secara
bersama-sama dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam termasuk kategori Cukup
Berkelanjutan .

Tabel …..Nilai Indeks Keberlanjutan Kawasan Cagar Alam Tambrauw dan


Pegunungan Arfak

No Dimensi Indeks MDS Bobot Indeks

1 Ekologi 86.90 30.97% 26.91

2 Ekonomi 66.94 23.87% 15.98

3 Sosial 71.65 25.57% 18.32

4 Hukum / Kelembagaan 54.92 19.59% 10.76

TOTAL 71.97
Dari tabel … dan gambar …. diatas dapat memberikan informasi berupa
pentingnya menjaga kawasan Cagar Alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak
tetap lestari. Kawasan Cagar Alam di Tambrauw dan Pegunungan Arfak memang
diharapkan kemampuannya untuk memberikan kinerja ekologi yang lebih besar
sehingga mampu memberikan layanan jasa lingkungan yang lebih besar kepada
keberlanjutan ekosistem serta kahidupan bagi masyarakat di wilayah sekitarnya.
Selain dimensi ekologi, pengelolaan kawasan dengan baik dan benar dapat
memberikan nilai positif bagi dimensi ekonomi masyarakat yang berada di
sekitarnya, kemudian dimensi kelembagaan juga dapat dikaji lebih lanjut lagi
dengan memberikan kepercayaan serta tetap membangun niat yang baik bagi
masyarakat adat serta masyarakat pendatang untuk tetap menjaga kelestarian
kawasan cagar alam lebih baik lagi.

Hasil analisis yang telah dilakukan berdasarkan atribut nilai indeks


keberlanjutan dari kawasan Cagar Alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak,
ditemukan bahwa nilai dari keempat dimensi sudah termasuk dalam kategori
Cukup Berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa model pengelolaan masih dalam batas
pengelolaan atau pemanfaatan yang lestari.

Hasil analisis dari atribut masing-masing dimensi ekologi, ekonomi, social,


dan hukum / kelembagaan didapatkan 12 atribut yang berperan sebagai faktor
pengungkit (leverage factor) yang berada di setiap dimensi secara parsial. Sebagai
faktor pengungkit, maka terhadap sejumlah 12 atribut tersebut sebagian perlu
ditingkatkan kualitasnya dan sebagian yang lain perlu dijaga kinerjanya dalam
pengelolaan kawasan Cagar Alam, sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan
menjadi lebih baik atau tetap bertahan pada kinerja yang baik. Sebagai faktor
pengungkit maka faktor-faktor ini berperanan secara sensitif penting terhadap
peningkatan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan kawasan Cagar Alam
Tambrauw dan Pegunungan Arfak.

Faktor pengungkit (leverage factor) perubahannya dapat mempengaruhi


secara sensitif terhadap peningkatan indeks tingkat keberlanjutan dari masing-
masing dimensi keberlanjutan. Faktor pengungkit yang telah dianalisis dan
menjadi atribut sensitif sebanyak 12 atribut. Ke-12 atribut berasal dari dimensi
ekologi 1 faktor, ekonomi 4 faktor, dimensi sosial 6 faktor, dan
hukum/kelembagaan 1 faktor. Terhadap 12 faktor pengungkit tersebut dapat
ditingkatkan kinerjanya dan atau dipertahankan kestabilannya guna meningkatkan
indeks keberlanjutan kawasan Cagar Alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak.
Faktor pengungkit tersebut disajikan pada table … berikut.

Tabel ….. Faktor pengungkit Keberlanjutan Cagar Alam

Dimensi No Faktor Pengungkit RMS


Ekologi 1 Struktur relung komunitas 13.10
2 Pendapatan masyarakat 10.05
3 Zonasi pemanfaatan lahan 11.24
Ekonomi
4 Keuntungan pemanfaatan langsung 9.10
5 Pemanfaatan oleh masyarakat 8.72
6 Tingkat penghasilan 13.39
7 Tingkat pendidikan masyarakat 9.81
Kerusakan kawasan cagar alam oleh
8 7.60
masyarakat
Sosial
9 Tingkat kesadaran masyarakat 6.97
Pengetahuan masyarakat tentang peran
10 5.57
kawasan cagar alam
11 Akses masyarakat lokal terhadap kawasan 5.45
Hukum /
12 Keberadaan lembaga masyarakat 5.11
Kelembagaan

Upaya peningkatan status keberlanjutan kawasan cagar alam Tambrauw


dan Pegunungan Arfak yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat melalui
pemerintah daerah maupun masyarakat adat melalui program konservasi. Pada
umumnya kawasan cagar alam tambrauw dan pegungan arfak masih tergolong
cukup lestari. Salah satu ancaman kedepan yang perlu menjadi perhatian adalah
pertumbuhan jumlah penduduk yang terkendali sehingga akses kekawasan
semakin terbuka, yang dapat menyebabkan desakan terhadap sumberdaya yang
ada dikawasan dari pemanfaatan yang berlebih. Menyikapi ancaman tersebut
dibutuhkan antisipasi dari awal untuk mengatur semua zonasi dan pola
pemanfaatan kawasan dengan baik, sehingga semua aktivitas masyarakat
kedapannya terkait ke kawasan cagar alam bisa terkontrol dengan baik dan
keberlanjutan pengelolaan, tetap bisa terjaga.

Bagi dimensi ekologi dalam analisis keberlanjutan, ditemukan struktur


relung komunitas menjadi yang harus dipertahankan agar tidak terjadi penurunan
kualitas sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu
kawasan cagar alam. Penurunan komposisi spesies dan kelimpahan akan sangat
berdampak pada penurunan kualitas kawasan yang akan menggangu
keberlanjutan pengelolaan kawasan. Sebagaimana ditetapkan Pasal 1 Angka (2)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dinyatakan
sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hasil hutan diartikan sebagai
benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari
hutan. Kedua pengertian tersebut mengacu pada pengertian biofisik hutan dengan
penekanan lebih sebagai penghasil kegiatan ekonomi dan pengelolaan suatu
ekosistem.

. Dalam rangka menunjang pembangunan berkelanjutan, pengelolaan


sumber daya alam dan lingkungan hidup diarahkan agar usaha
pendayagunaannya tetap memperhatikan keseimbangan serta kelestarian fungsi
dan kemampuannya, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kehidupan generasi mendatang. Upaya yang nyata dalam menahan
laju kerusakan yang terjadi dan tetap mempertahkan kualitas dari kawasan cagar
alam tambrau dan pegunungan arfak adalah dengan pemberian pengertian
kepada masyarakat lebih luas lagi. Selain pemberian pengertian akan pentingnya
kawasan cagar alam. Keterlibatan masyarakat adat yang berada di sekitar
kawasan cagar merupakan upaya yang baik dalam pemberian tanggungjawab
masyarakat adat untuk menjaga kawasan cagar alam. Pemberdayaan masyarakat
adat dengan aturan adat yang digunakan secara turun temurun disekitar hutan
lindung dapat dikolaborasikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan.

Proses mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan


adil,dilakukan pemberdayaan masyarakat lokal melalui pengembangan kapasitas
masyarakat dengan berbagai pengetahuan pengelolaan yang telah digunakan
dalam pengelolaan kawasan selama ini. Selain itu pemberian akses dan
kepercayaan kepada masyarakat merupakan upaya dalam proses memberi
tanggungjawab secara langsung kepada masyarakat adat dalam rangka
peningkatan kesejahteraan dan kelestarian sumber daya dan lingkungan kawasan
cagar alam.

Dengan adanya tanggung jawab dari setiap masyarakat dalam menjaga


kawasan tetap lestari dapat meningkatkan kondisi daya dukung kawasan. Daya
dukung kawasan juga merupakan faktor penting bagi kesimbangan dan
keberlanjutan kawasan Cagar Alam. Kondisi daya dukung kawasan juga
merupakan penunjang bagi keseimbangan dan keberadaan keanekaragaman
hayati yang berada di dalamnya. Dalam situasi seperti itu, potensi hutan terus
mengalami penurunan yang disertai dengan banyak pihak memanfaatkan hutan
secara tidak sah, akibatnya tidak ada kepastian bagi siapa pun untuk dapat
membangun hutan meskipun jasa lingkungannya penyerap karbon, pengendali
banjir dan kekeringan, dan lain-lain, yang dikehendaki oleh banyak orang. Di
samping berbagai kebijakan terkait dengan kepentingan masyarakat adat/lokal
dan usaha besar kehutanan di atas, berfungsinya KPH adalah salah satu upaya
untuk mengurangi terjadinya open akses tersebut, namun upaya ini juga
mempunyai hambatan. Hambatan itu antara lain, kebiasaan memberi izin
pemanfaatan hutan tanpa mengelola hutan telah memberikan upaya mudah untuk
menghasilkan manfaat ekonomi dari kawasan hutan, sedangkan membangun
KPH di beberapa lokasi masih dianggap sebagai upaya yang menggunakan
sumber daya secara sia-sia.

Pengelolaan kawasan cagar alam yang bertanggung jawab dan sadar


terhadap lingkungan akan memberi keuntungan tersendiri bagi masyarakat yang
melakukan kegiatan usaha tani pertanian/perkebunan. Dengan kegiatan pertanian
dan perkebunan yang ramah lingkungan serta berkolaborasi dengan pemerintah
daerah dapat memberikan manfaat dalam proses pengelolaan kawasan serta
memberikan nilai tambah bagi ekonomi dalam peningkatan pendapatan bagi
masyarakat setempat..

Bilamana kolaborasi antar pihak pihak pengelola (Pemerintah, masyarakat


dan LSM lingkungan) gagal mengendalikan atau meningkatkan faktor pengungkit
tersebut maka kondisi pengelolaan kawasan Cagar Alam kedapan dapat
menyebabkan kondisi hutan yang akan mengalami kerusakan. Kondisi demikian
dapat memberikan dampak yang negatif bagi kondisi ekosistem cagar alam secara
langsung. Kolaborasi yang gagal untuk pengelolaan kawasan disebabkan
beberapa alasan, seperti kurangnya kehadiran para petugas penyuluhan bagi
pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan yang memberikan arahan
kepada setiap masyarakat dalam pengelolaan lahan dan kebun yang baik, serta
pengelolahan lahan peternakan. Masih kurangnya pelatihan-pelatihan bagi pelaku
pertanian dalam hal ini rumah tangga yang beraktivitas disekitar kawasan cagar
alam, minimnya partisipasi karena bagi beberapa responden masih mereka tidak
tertarik terhadap pengelolaan kawasan kedepannya. Kondisi tersebut yang
membuat nilai keberlanjutan dari kawasan Cagar Alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak akan menurun. Oleh karena itu, diperlukan perhatian lebih dari
setiap pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Tambrau
dab Pegunungan Arfak kedepannya sehingga kawasan ini dapat lestari bagi anak
cucu mereka. Penetapan zonasi pemanfaatan akan lebih membantu masyarakat,
lembaga adat, dan kepala kampung dalam melakukan perencanaan pemanfaatan
lestari dalam mendukung pemenuhuhan kebutuhan masyarakat secara ekonomi.

Aturan adat serta norma yang ditetapkan, harus diikuti serta mendapat
kedudukan tertinggi oleh setiap masyarakat lokal di kawasan cagar alam. Kondisi
ini juga merupakan bagian terpenting dari penentuan dan pengakuan dari
kepemilikan batas lahan/tanah adat oleh suku atau adat yang berada disekitar
kawasan cagar alam. Selama ini masih terjadi konflik antar suku yang berada di
sekitar kawasan mengenai aturan dan pengakuan hak ulayat adat di kawasan
cagar alam. Seperti kondisi mengambil kayu di area yang telah ditentukan oleh
aturan adat, aturan ini harus diikuti oleh setiap masyarakat yang berada dalam
adat tersebut, tetapi masyarakat yang berada di luar adat (pendatang) tidak
merasa harus mengikuti adat tersebut, bahkan ada yang menentang aturan
tersebut. Oleh sebab itu, atribut mengenai aturan adat sangat penting dan perlu
ditegakkan dan diakui mengingat kawasan ini menuju pada suatu kehancuran
dengan tindakan-tindakan yang tidak teratur. Aturan ini perlu didukung oleh
pemerintah daerah, serta bersama-sama menegakkan aturan baik aturan negara
maupun aturan adat yang telah turun-temurun di jalankan.

Cagar Alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak merupakan kawasan


ekosistem yang berpengaruh terhadap kondisi ekosistem kawasan mulai dari atas,
wilayah tengah dan kaki pegunungan. Kondisi wilayah di dalam pengelolaan,
wilayah memiliki penekanan kepentingan dalam pengelolaannya yang disesuaikan
dengan kondisi kawasan Cagar Alam yaitu karakteristik wilayah, ketergantungan
dan pengaruhnya terhadap wilayah dan masyarakat di sekitarnya. Memperhatikan
kondisi kawasan Cagar Alam, maka masing-masing dalam pengelolaannya
memiliki bobot kepentingan yang berbeda dalam pengelolaannya.
4.3.4 ARAH PENGEMBANGAN KAWASAN CAGAR ALAM

Model pengembangan berdasarkan setiap variabel yang mempengaruhi


ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara, Tambrauw
Selatan dan Pegunungan Arfak yang telah dirumuskan dari perpaduan variabel
yang mempengaruhi, serta kemampuan setiap rumah tangga dalam
pemberdayaan ekonomi mereka, sehingga tercipta masyarakat yang berdaya,
berkekuatan atau berkemampuan dalam menolong dirinya sendiri. Dari analisis
menunjukkan bahwa variabel tersebut diperlukan upaya-upaya tertentu untuk lebih
mematangkan dan merumuskan setiap bentuk pemberdayaan masyarakat yang
berpotensi menguatkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas faktor-faktor
tersebut, sehingga tujuan terciptanya masyarakat berdaya dan hutan lestari dapat
tercapai lewat ekonomi yang terpenuhi oleh masyarakat disekitar kawasan.

Upaya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, tiap rumah tangga tidak


terlepas dari upaya untuk tetap bertahan hidup. Kegiatan ekonomi berupa strategi
nafkah merupakan upaya alternatif untuk menjaga kestabilan ekonomi rumah
tangga agar dapat bertahan hidup (survive). Pada dasarnya strategi nafkah
dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber nafkah. Aktivitas ekonomi
masyarakat merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih
yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi reaksi (Moen 1973 dalam
Souhuwat 2006).

Hasil analisis mengenai arah pengembangan kawasan cagar alam dalam


peningkatan ekonomi bagi setiap masyarakat disekitar kawasan Cagar Alam
Tambrauw Utara, Tambrauw Selatan dan Pegunungan Arfak, dengan konsep
“Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Terpadu Berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat” yaitu sebagai berikut.

1. Pengembangan potensi pariwisata di sekitar kawasan cagar alam

Wisata alam berkelanjutan / ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang


memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (ekologi) untuk
kepentingan saat ini dan untuk kepentingan yang akan datang. Keterkaitan antara
aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (ekologi) dalam pengembangan ekowisata
di Kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara, Tambrauw Selatan dan Pegunungan
Arfak disajikan pada Gambar sebagai berikut:
Kawasan pengembangan wisata Tambrauw dan Pegunungan Arfak menawarkan
estetika yang indah, potensi hayati dan non hayati serta didukung dengan
kemudahan aksesibilitas dan ketersediaan akomodasi sehingga menarik untuk
dikunjungi. Adapun obyek daya tarik wisata yang terdapat di Pegunungan Arfak
yaitu Danau kembar (Anggi Gida / perempuan dan Anggi Giji /laki-laki), pantai pasir
putih Anggi Gida, Bukit Kobrey (view danau kembar), Penangkaran kupu-kupu
sayap burung, Pengamatan burung endemik, Rumah kaki seribu (wisata budaya),
Wisata Paralayang, dan banyak titik untuk pengambilan gambar menikmati
panorama alam/photo hunting (swafoto / selfie) di sepanjang perjalanan menuju
puncak Pegunungan Arfak. Sedangkan di Tambrauw terdapat potensi wisata air
terjun anenderat (miyah), bukit sontiri / savanna kebar, telaga air panas kebar,
situs peninggalan perang dunia II distrik bikar, pantai jamursba medi distrik abun
(penyu), dan pantai werur sausaporss. Pemanfaatan potensi pariwisata belum
sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi dari kegiatan ekowisata di sekitaran
kawasan cagar alam karena belum terkelola dengan baik.

Gambar … Titik Potensi Pengembangan Pariwisata Kawasan Cagar Alam Tambarauw


dan Pegunungan Arfak
Masyarakat sekitar kawasan cagar alam sangat mendukung
pengembangan wisata alam di kawasan ini karena pengetahuan yang baik
terhadap fungsi kawasan cagar alam. Namun, hal penting yang juga harus
diperhatikan stakeholder dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini adalah
kearifan lokal masyarakat yang menganggap seuatu yang penting dan dijaga
kelestariannya. Masyarakat yang ingin memanfaatkan kawasan harus mendapat
izin dari ketua adat atau kepala kampung. Stakeholder harus melibatkan
masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata sebagai penerima manfaat
langsung dari kegiatan wisata, sehingga bisa menjaga dan meminimalisir
perambahan hasil alam di kawasan cagar alam.

Menurut Undang-undang nomor 10 Tahun 2009 disebutkan bahwa


ekowisata adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan kegiatan ekonomi
dan wisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
pengusaha, dengan upaya peningkatan perekonomian dengan beberapa tujuan
antara lain:
a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
b) meningkatkan kesejahteraan rakyat,
c) menghapus kemiskinan,
d) mengatasi pengangguran,
e) melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya,
Lima tujuan tersebut lebih bermotif ekonomi dan lingkungan yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

Kegiatan pariwisata yang berdampak kepada peningkatan ekonomi dapat


terdiri dari Efek Langsung (Direct Effects), Efek Tidak Langsung (Indirect Effects)
dan Efek Induksi (Induced Effects). Sementara itu, efek tidak langsung dan efek
induksi kadang disebutnya sebagai Efek Sekunder (Secondary Effects) yang
menyertai efek langsung selaku efek primer (Primary Effect). Dampak total
ekonomi wisata merupakan jumlah keseluruhan dampak yang terjadi baik
langsung, tidak langsung maupun induksi, yang masing-masing dapat diukur
sebagai keluaran bruto (gross output) atau penjualan (sales), penghasilan
(income), penempatan tenaga kerja (employment) dan nilai tambah (value added).
Secara nyata, kegiatan wisata memberikan manfaat pada penjualan, keuntungan,
lapangan kerja, pendapatan pajak dan penghasilan dalam suatu daerah atau
wilayah.

2. Peningkatan produktivitas pertanian, perkebunan dan peternakan


masyarakat sekitar kawasan cagar alam

Sistem pertanian yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan cagar alam


Tambrauw dan Pegunungan Arfak pada umum sistem pertanian lahan kering
(berladang/tegalan). Masyarakat terbiasa menanam tanaman pangan berupa
jagung, umbi - umbian, kacang - kacangan, sayur - syauran, tomat dan lain
sebagainya. Sistem pertanian dan perkebunan yang ada masih tergolong
tradisional dan skala kecil sehingga ke depannya diperlukan adanya campur
tangan dari pihak pemerintah pusat melalui pemerintah daerah (Pemerintah
provinsi Papua Barat, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Pegunungan Arfak)
untuk proses peningkatan produksi pertanian dan perkebunan berbasis
lingkungan serta pelibatan pihak lembaga swadaya masyarakat serta pihak swasta
(Penyediaan pasar lokal) agar usaha pertanian dan perkebunan masyarakat dapat
di distribusikan kepada pasar dan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat
itu sendiri.

Sasaran pertanian ladang harus di arahkan pada terciptanya sektor


pertanian ladang yang maju, efisien, dan tangguh. Proses pencapaian sasaran
tersebut diperlukan adanya peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas,
sarana dan prasarana yang mendukung serta tersedianya teknologi pertanian dan
perladangan yang tepat guna, sehingga masyarakat dapat melakukan kegiatan
perladangan dengan efisien, produktif, dan tidak merusak kawasan Cagar Alam.
Dengan demikian, masyarakat sekitar kawasan cagar alam yang bermata
pencaharian sebagai petani (peladang) akan memiliki kekuatan ekonomi dari hasil
ladangnya dan menjadikan ladangnya sebagai investasi ekonomi masa depan
yang menjanjikan serta dapat melestarikan kawasan cagar alam.

Masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam di samping memiliki ladang atau


tegalan juga hampir setiap kepala rumah tangga memiliki lahan perkebunan.
Tanaman perkebunan yang biasa di tanam oleh masyarakat adalah tanaman
jambu mete, coklat, kelapa, nangka, mangga, durian, matoa, pinang dan Tanaman
yang lagi dikembangkan yakni Vanili, Kopi, Markisa, dan lain sebagainya.
Tanaman perkebunan ini telah dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan
cagar alam. Wilayah potensi pengembangan pertanian dan perkebunan seperti
tertuang dalam gambar berikut ini

Gambar … Wilayah Potensi Produksi pertanian / perkebunan dan peternakan di


Kawasan Cagar Alam Tambarauw dan Pegunungan Arfak

Masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Tambrauw Utara, Tambrauw


Selatan dan Pegunungan Arfak memiliki kebiasan memelihara ternak dari turun
temurun. Ternak yang mereka pelihara umumnya adalah Babi, Ayam, Kambing,
Sapi. Sasaran pembangunan peternakan rakyat sebaiknya diarahkan agar usaha-
usaha rakyat dapat maju, efisien, dan tangguh.

Pencapaian sasaran tersebut perlu dilakukan langkah - langkah sebagai


berikut:

(1) meningkatkan kemampuan dan penguasaan masyarakat terhadap


teknologi peternakan, terutama tentang bibit unggul, pembuatan kandang,
pemberian pakan, pencegahan penyakit ternak, penyediaan pakan ternak
yang berkelanjutan, pemasaran telur dan daging yang efisien, dan cara
pengusahaan ternak untuk meningkatkan pendapatan peternak;
(2) menyediakan sarana dan prasarana transportasi dan pemasaran melalui
kerja sama antar peternak dalam koperasi ternak serta pengusaha;
(3) untuk ternak-ternak besar yang memerlukan lapangan pengembalaan
perlu disediakan lahan pengembalaan tertentu. Dengan demikian
diharapkan para peternak akan semakin berdaya dan berdampak pada
peningkatan kesejahteraan keluarganya.
Modal finansial rumah tangga masyarakat kawasan cagar alam
berasal dari hasil penjualan dari komoditi pertanian, perkebunan,
peternakan dan juga hasil hutan baik berupa kayu maupun bukan kayu,
serta hasil dari pekerjaan sambilan di luar sektor pertanian. Pada
masyarakat yang berada di sekitar kawasan cagar alam berdasarkan
pengamatan dan keikusertaan peneliti di lapangan, modal sosial pada
masyarakat terlihat jelas dari kegiatan adat yang dilakukan oleh
masyarakat. Hal inilah yang menimbulkan ikatan yang kuat antar
masyarakat adat yang berada disekitar kawasan cagar alam. Selain pola
ekonomi masyarakat yang di jalankan, masyarakat juga membuat aturan
dalam menjalankan pola nafkah guna melindungi kawasan tinggal mereka,
seperti hasil hutan yang dipungut oleh rumah tangga masyarakat di
kawasan cagar alam yang berasal dari dalam hutan antara lain kayu,
madu, buah, jamur, dan buah-buahan. Tapi tidak semua hasil hutan itu
dipungut dari dalam kawasan hutan lindung.

3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan cagar


alam

Perencanaan pemanfaatan sumber daya Cagar Alam harus


mengikutsertakan masyarakat di lingkungan hutan (forest base communities)
dalam arti yang seluas - luasnya. Bentuk pengelolaan hutan di kawasan Cagar
Alam Tambrauw Utara, Tambrau Selatan dan Pegunungan Arfak dilakukan
dengan pelibatan / partisipasi masyarakat setempat, Lembaga masyarakat adat
dan pemerintah daerah (BKSDA) dengan menerapkan system kemitraan.
Kemitraan merupakan tim kerja yang memiliki fungsi, peran, hak dan
tanggungjawab yang jelas. Pemerintah memberi kesempatan kepada masyarakat
adat yang ada sekitar kawasan Cagar Alam sebagai pelaku utama program
pengelolaan hutan seperti program penghijauan dan rehabilitasi di kawasan Cagar
Alam di lahan milik masyarakat adat. Oleh karena itu, Pemerintah pusat melalui
pemerintah daerah perlu menyiapkan sarana dan prasarana, biaya, tenaga ahli
dan prangkat hukum yang berpihak pada rakyat dalam proses kelestarian
lingkungan kawasan cagar alam. Bagi pihak swasta bermitra dengan masyarakat
dalam hal pemasaran serta penyediaan modal, tenaga ahli dan pembukaan
lapangan kerja baru.
4.4 STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN

4.4.1 STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR ALAM

Proses perencanaan strategis terdiri dari tiga tahap, yaitu formulasi


strategi, implementasi, dan evaluasi (David, 2006; Gambar 2). Strategi dirancang
dengan tetap mempertahankan status kawasan sebagai cagar alam.
Mempertahankan status sebagai cagar alam dianggap penting sebab keberadaan
cagar alam merupakan benteng pertahanan terakhir bagi keanekaragaman hayati
yang semakin terancam akibat peningkatan populasi manusia. Strategi
pengelolaan perlindungan yang dikembangkan di kawasan cagar alam Tambrauw
dan Pegunungan Arfak, yaitu: (1) strategi kolaborasi, (2) strategi konservasi, (3)
strategi pemanfaatan kawasan, dan (4) strategi pemberdayaan masyarakat.

1. Strategi kolaborasi

Merupakan strategi kelembagaan yang dikembangkan untuk


pengelolaan perlindungan kawasan cagar alam Tambrauw dan
Pegunungan Arfak. Strategi kolaborasi diperlukan untuk pengelolaan
kawasan yang akan dibangun menjadi jaringan kawasan konservasi
dengan melibatkan peran seluruh stakeholder yang memiliki
kepentingan di dalam kawasan. Pendekatan kolaboratif didasarkan
pada keyakinan bahwa dukungan masyarakat merupakan hal penting
agar usaha konservasi dapat berkelanjutan dengan cara memfasilitasi
perbedaan kepentingan diantara pihak pengelola dan masyarakat
melalui pembagian wewenang dan tanggung jawab di antara
stakeholder. Strategi tersebut telah diterapkan di beberapa taman
nasional di Indonesia, seperti di Taman Nasional Bunaken, Komodo,
dan Bali Barat dan telah berhasil memfasilitasi kepentingan konservasi
dan kebutuhan hidup masyarakat dengan baik (NRM/EPIQ, 2002).
Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menyamakan persepsi
diantara stakeholder mengenai upaya konservasi kawasan cagar alam
Tambrauw dan Pegunungan Arfak dan jaringannya serta untuk
membangun kesepakatan di antara stakeholder mengenai pemanfaatan
kawasan. Strategi kolaborasi terdiri dari tiga program, yaitu program
persiapan kolaborasi, pelaksanaan kolaborasi, serta monitoring dan
evaluasi.

2. Strategi konservasi

Strategi konservasi bertujuan untuk mengefektifkan perlindungan bagi


keanekaragaman hayati di cagar alam Tambrauw dan Pegunungan
Arfak. Untuk itu konservasi perlu dilakukan terhadap kawasan di dalam
dan luar cagar alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak, mengingat dua
kawasan yang saling berbatasan bersifat saling mempengaruhi
(MacKinnon et al., 1990). Konservasi di dalam kawasan dilakukan
dengan meningkatkan efektifitas perlindungan melalui peningkatan
partisipasi penduduk dalam setiap usaha perlindungan. Partisipasi
penduduk digalang melalui usaha penyuluhan informal di setiap desa
dan pada akhirnya diharapkan kegiatan perlindungan dapat dilakukan
oleh masyarakat secara mandiri.

Konservasi di luar kawasan dilakukan melalui upaya konservasi tanah


pada lahan pertanian yang berbatasan langsung dengan Tambrauw dan
Pegunungan Arfak. Konservasi tanah dilakukan melalui Sistem Usaha
Tani Konservasi (SUK) yang diharapkan dapat memperbaiki sistem
pertanian menjadi pertanian berkelanjutan untuk mendukung usaha
pelestarian cagar alam. Komponen teknologi SUK meliputi
pengendalian erosi tanah, penataan aliran air permukaan, introduksi
ternak dan hijauan pakan, serta penggunaan tanaman tahunan penguat
teras.
3. Strategi pemanfaatan kawasan
Strategi pemanfaatan kawasan dikembangkan sesuai dengan tujuan
penetapan kawasan sebagai cagar alam dimana pemanfaatan kawasan
hanya untuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan penunjang budidaya.
Diperlukan pendirian pusat informasi pendidikan konservasi dan
pariwisata untuk memfasilitasi pengunjung yang datang untuk tujuan
pendidikan. Selain mendirikan pusat informasi, diperlukan juga
pengadaan prasarana pendukung kegiatan penelitian, seperti pos
pengamatan dan menara pengintai. Keberadaan tenaga ahli di bidang
botani, zoologi, ekologi, dan geologi serta interpreter juga diperlukan
untuk mendukungkegiatan penelitian dan pendidikan. Perencanaan
pengembangan ekowisata yang berpotensi pada umumnya terletak
diluar kawasan cagar alam, tetapi pengembangan ekowisata bisa
menunjang perekonomian masayarakat untuk menekan intesvesi
masayarakat ke dalam kawasan cagar alam, sehingga cagar alam
terjaga kelestarian atau kealamiahannya sebagai cagar alam.

4. Strategi pemberdayaan masyarakat

Strategi pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan


produktivitas masyarakat melalui upaya menciptakan lapangan
pekerjaan yang tidak berbasiskan lahan. Pemberdayaan masyarakat
juga sebagai insentif atas berkurang akses masyarakat ke dalam Cagar
alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak. Strategi ini merupakan
pengembangan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat, namun
dilakukan dengan partisipatif sehingga bantuan yang diberikan dapat
memberikan manfaat bagi kepentingan konservasi dan ekonomi
masyarakat.

Kegiatan pemberdayaan ekonomi disesuaikan dengan pemanfaatan


sumber daya di tiap kampung. Kegiatan pertanian, perkebunan dan
peternakan lebih dikembangkan lagi agar bisa terjadi peningkatan
produktivitasnya. Diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik
dengan otoritas kawasan yang berbatasan dengan cagar alam
Tambrauw dan Pegunungan Arfak untuk dapat mengembangkan fungsi
kawasan agar dapat meningkatkan kesempatan berusaha bagi
masyarakat. Jenis kegiatan pengembangan usaha ekonomi masyarakat
yaitu mengembangkan hutan tanaman kayu bakar, penanaman sayur-
sayuran, umbi-umbian, jagung dan hijauan pakan ternak.
Pengembangan ekowisata juga bisa dilakukan melalui Lembaga
masyarakat di wilayah yang memiliki potensi wisata seperti pengamatan
burung, penangkaran kupu-kupu, dan obyek daya Tarik wisata lainnya.
Selain itu juga dilakukan pemberdayaan sosial melalui fasilitasi
kesehatan dan pendidikan. Hal tersebut dianggap perlu mengingat
sarana pendidikan dan kesehatan di desa sekitar cagar alam Tambrauw
dan Pegunungan Arfak sangat terbatas. Fasilitas tersebut sebagai
insentif atas pembatasan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan di
kawasan cagar alam Tambrauw dan Pegunungan Arfak, sehingga
penduduk dapat memperoleh manfaat tidak langsung dari keberadaan
cagar alam.

4.4.2 STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN

Berdasarkan pertimbangan perda RTRW No. 4 Provinsi Papua Barat


Tahun 2013, nilai ekonomi kawasan cagar alam, dan analisis keberlanjutan
kawasan cagar alam, maka untuk pengembangan pengelolaan Kawasan Cagar
Alam Tambrauw Utara, Tambrauw Selatan dan Pegunungan Arfak didapatkan:

Permasalahan pengelolaan berkelanjutan yaitu tingkat pendapatan dan


pendidikan masyarakat yang masih rendah, infrastruktur (jalan dan jembatan),
infastruktur penunjang pengembangan kawasan cagar alam belum terbagun
dengan baik, zonasi pemanfaatan kawasan yang lebih detail, ancaman tekanan
jumlah penduduk dan perlunya penguatan peran lembaga adat / masayarakat
dalam fungsi pengelolaan dan pengawasan. Potensi pengembangan kawasan
cagar alam cukup besar yaitu pengembangan potensi ekowisata, pengembangan
pertanian dan perkebunan yang lestari, keanekaragaman hayati masih baik,
tingkat kesadaran masyarakat pada pemanfaatan kawasan cagar alam yang
lestari, status ekologi pengelolaan kawasan cagar alam yang masih berkelanjutan,
nilai ekonomi kawasan cagar alam yang sangat besar. Berdasarkan atas
permasalahan dan potensi kawasan cagar alam, maka arah pengembangan
kawasan cagar alam Tambrauw Utara, Tambrauw Selatan dan Pegunungan Arfak
adalah Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Terpadu Berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat.

Beberapa langkah yang bisa menjadi fokus pengembangan dalam


peningkatan ekonomi masyarakat yaitu:
4. Pengembangan potensi pariwisata di sekitar kawasan cagar alam
5. Peningkatan produktivitas pertanian, perkebunan dan peternakan masyarakat
sekitar kawasan cagar alam
6. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawas cagar alam
7. Penyusunan rencana zonasi pemanfaatan kawasan cagar alam
8. Pemanfaatan peran akademisi dan Lembaga masyarakat dalam pengelolaan
kawasan cagar alam.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 KESIMPULAN
5.2 REKOMENDASI
BAB VI PENUTUP
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai