Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS PERKEMBANGAN KEBIJAKAN EKSPOR BENIH

LOBSTER DI INDONESIA

(Mata Kuliah Politik Hukum)

Nama : Nadia Ayu Wulandari


NPM : 216010101111027

Pascasarjana Fakultas Hukum


Program Magister Hukum
Universitas Brawijaya
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini merupakan salah satu
bidang yang menjadi pusat perhatian dimana hal ini disebabkan adanya dukungan
potensi dan keanekaragaman sumberdaya yang terkandung oleh bentang alam
yang berbentuk suatu gugusan kepulauan.1

Sebagai negara kepulauan, Indonesia telah diakui dunia secara internasional


(berdasarkan UNCLOS 1982) yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan
Undang- Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas
wilayah laut Indonesia seluas 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial
dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas tersebut belum termasuk landas
kontinen, hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia,2

Dua pertiga dari wilayah Indonesia merupakan laut dan merupakan salah satu
Negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Terdapat 17.508 pulau di
Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 dan luas sekitar 3,1 juta km2
(0.3 juta km2 perairan territorial dan 2.8 juta km2 perairan nusantara) atau 62% dari
luas teritorialnya.2 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki
sumber daya kelauatan yang sangat berlimpah.3

1
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 294 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603) (Indonesia,
2014). Pasal 1 angka 6.
2
Ridwan Lasabuda, “Jurnal Ilmiah Platax TINJAUAN TEORITIS DALAM PERSPEKTIF NEGARA KEPULAUAN
REPUBLIK INDONESIA Regional Development in Coastal and Ocean in Archipelago Perspective of The Republic of
Indonesia Jurnal Ilmiah Platax” I (2013): 92–101.
3
Zakky Fajari, Amiek Soemarmi, Untung Dwi Hananto,”Pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla
spp), Dan Rajungan (Portunus Pelagicus spp) Sebagai Upaya Pelestarian Sumber Daya Hayati Laut”, Diponegoro Law
Review, Volume 5, Nomor 2, Tahun 2006, hal. 2

1
Indonesia sebagai negara tropis, kaya akan sumber daya hayati, yang
dinyatakan dengan tingkat keaneka-ragaman hayati yang tinggi. Dari 7000 spesies
ikan di dunia, 2000 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Potensi lestari
sumberdaya perikanan laut Indonesia kurang lebih 6,4 juta ton per tahun, Dari
potensi tersebut jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebanyak 5,12 juta ton
per tahun, atau sekitar 80% dari potensi lestari.4

Melihat potensi perikanan Indonesia yang sangat melimpah, pengelolaan dan


pelestarian perikanan laut bagi bangsa Indonesia menjadi sangat penting dan perlu
diperhatikan lebih serius sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
sumber mata pencaharian yang dapat diandalkan rakyat Indonesia utamanya bagi
para nelayan.5

Prinsip pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan telah


diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan, yang menyatakan dengan tegas bahwa pengelolaan perikanan
ditujukan untuk tercapainnya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta
terjaminnya kelestarian sumber daya ikan.6 Beberapa tahun terakhir kegiatan
ekonomi ini menjadi pusat perhatian karena disinyalir telah terjadi proses
pemanfaatan sumberdaya laut yaitu Lobster.

Lobster (Panulirus sp.) merupakan komponen penting bagi perikanan udang di


Indonesia, dimana menurut catatat Statistik Indonesia tahun 2005, lobster
menempati urutan ke empat untuk komoditas ekspor dari bangsa Krustacea setelah
marga Penaeus, Metapeaneus dan Macrobrachium. Meningkatnya pasaran lobster
di dunia ditunjukkan oleh data dari FAO dan GLOBEFISH bahwa sejak tahun
1980an permintaan lobster oleh Jepang setiap tahunnya terus meningkat.
Pemenuhan kebutuhan tersebut sebagian besar dipasok dari negara-negara tropis

4
Ibid.
5
Ahmad Chotib dan Djauhari, “Perlindungan Sumber Daya Perikanan Untuk Menjamin Terwujudnya
Pembangunan Perikanan Berkelanjutan,” Jurnal Hukum Khaira Ummah 12, no. 3 (2017): 467–478.
6
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154 dan
Penjelasan Atas UU 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU 31 Tahun 2004 tentang Peri (Indonesia, 2009). Pasal
6 ayat(1).

2
di kawasan Pasifik terutama dari Taiwan, Filipina, Australia dan Indonesia. 7
Indonesia menjadi negara produsen Lobster yang selalu meningkat kuantitasnya
setiap tahun dan diharapkan terus berkembang.8

Sejak awal periode pemerintahan Presiden Joko Widodo beserta kabinetnya


segera mengambil langkah untuk melakukan percepatan pembangunan industri
perikanan nasional terutama dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
yang mana Susi Pudji Astuti sebagai Menteri pada periode kepemimpinan pertama
Presiden Jokowi. Yang selama kepemimpinanya di KKP telah membentuk regulasi
terkait larangan ekspor benih dan telur lobster yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau
Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

Pada priode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, menteri Susi tidak lagi
menjabat sebagai Menteri di KKP melainkan diganti oleh Menteri Edhy Prabowo.
Pergantian posisi menteri dalam kabinet ini turut serta membawa perubahan dalam
politik hukum dalam bidang kelautan dan perikanan terutama terkait pengaturan
tentang ekspor lobster.

Sebelumnya Mantan Menteri Susi melarang keras ekspor benih dan telur
(Benur) lobster akan tetapi menteri Edhy saat ini membuka keran izin ekspor
tersebut melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020
Tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di Indonesia hingga pada 24
Mei 2021 digantikan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17
Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan rajungan di wilayah negara
Republik Indonesia yang kembali menutup peluang atas ekspor benih lobster.

Perkembangan situasi ini menimbulkan pro dan kontra dalam implementasinya


di masyarakat menurut sejumlah pihak. Sehingga latar belakang isu ini yang

7
Z Junaidi, M Cokrowati, N Abidin, “Aspek Reproduksi Lobster (Panulirus sp.) Di Perairan Teluk Ekas Pulau
Lombok,” Jurnal Kelautan 3, no. 1 (2010): 29–35.
8
Graciela Pereira dan Helga Josupeit, The world lobster market, FAO Globefish Research Programme, vol.
123, 2017.

3
mendasari penulis tertarik untuk melakukan pembahasan mengenai politik hukum
terkait perkembangan kebijakan ekspor benih lobster di wilayah Indonesia.

B. Rumusan Masalah
a) Apa urgensi yang melatarbelakangi pembentukan kebijakan tentang ekspor
benih lobster ?
b) Bagaimana perkembangan kebijakan tentang ekspor benih lobster?
C. Tujuan Penulisan
a) Untuk mengetahui urgensi yang melatarbelakangi pembentukan kebijakan
tentang ekspor benih lobster
b) Untuk mengetahui perkembangan kebijakan tentang ekspor benih lobster.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Urgensi yang Melatarbelakangi Kebijakan Tentang Ekspor Benih


Lobster

Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang sangat potensial untuk


dikembangkan adalah udang karang (Lobster) . Harganya yang bernilai ekonomis
tinggi menjadikan lobster sebagai primadona bagi para penangkapnya untuk
mendapatkan keuntungan yang besar dengan tujuan pemasaran local maupun
luar negeri (ekspor).

Indonesia merupakan negara pengekspor utama benih lobster ke negara-


negara produsen lobster, terutama ke negara-negara tujuan ekspor seperti
Vietnam, Hongkong, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan Malaysia.9
Tingginya kuantitas dan frekuensi permintaan benih lobster dari luar Indonesia
menyebabkan harga benih lobster meningkat drastis yang berdampak pada
masyrakat yang cenderung memilih untuk langsung menjual benih hasil
tangkapan dari pada melakukan aktivitas

Beberapa dekade terakhir indonesia menghadapi tantangan permintaan yang


tinggi terhadap ekpor komoditas ekspor benih lobster untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Namun hasil tangkapan lobster di alam liar masih menjadi sumber utama
dari para nelayan untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Hal ini yang
menyebabkan menurunnya ketersediaan populasi lobster di alam liar dan
mengancam kelestarian lobster di alam bebas.10

Aktifitas penangkapan benih lobster yang berkesinambungan dan tanpa


batasan dalam beberapa tahun terakhir telah mengancam keberadaan biota laut

9
I Nyoman Radiarti “ Status Pengelolaan SUmberdaya Benih LObster untuk Mendukung Perikanan Budidaya
: Studi Kasus Perairan Pulau Lombok ,” Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia , Volume 8 no. 2 (2016): hal 85
10
Maskun et al., “Legal analysis of lobster export policies in Indonesia: The principle of sustainable
development approach,” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 564 (2020): 012067. Hlm, 34.

5
ini. Di beberapa daerah, hasil tangkapan komoditas ini semakin menurun
ukurannya, atau yang ditangkap masih terlalu muda. ditambah nilai produksi atau
penangkapan yang dilakukan Indonesia saat ini sudah melebihi stok yang ada di
alam.11
Belum adanya manajemen penangkapan yang baik dari nelayan,
pembudidaya dan para pengusaha yang mengelola bisnis komoditas laut ini,
membuat beberapa wilayah sudah masuk ke dalam kategori merah (jumlah
populasinya menurun) diantaranya Samudera Hindia bagian barat, pantai barat
Sumatera, pantai utara Papua, Laut Jawa, dan Laut Natuna.12
Populasi lobster yang terus menurun sudah sangat mengkhawatirkan. Jika
tidak dilakukan penanggulangan dengan segera maka beberapa tahun ke depan
dapat dipastikan komoditas ini akan menghilang dari laut Indonesia. Ditengah
semakin tingginya permintaan dan harga yang ditawarkan untuk komoditas ini,
Indonesia sudah tentu akan sangat dirugikan jika hal ini terjadi. Apalagi jika
nantinya Indonesia harus mengimpor dari Negara lain untuk memenuhi
permintaan dalam negeri baik untuk masyarakat local maupun wisatawan asing
yang berkunjung ke Indonesia.
Dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap kepunahan spesies lobster di
ekosistemnya yang disebabkan oleh eksploitasi dan tingginya permintaan
komoditas pasar terhadap lobster pemerintah saat itu menutup celah untuk
dilakukannya ekspor benih dan telur lobster hal ini bertujuan untuk tetap menjaga
keberadaan benur lobster di alam.

Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), estimasi


jumlah potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WWP),
khususnya jenis lobster telah berada pada zona tereksploitasi sepenuhnya dan
bahkan beberapa diantaranya telah dieksploitasi secara berlebihan. Sehingga
WWP yang telah masuk kategori overexploited perlu ada pengawasan ketat untuk

11
KKP Batasi Penangkapan Lobster Populasi Menurun diakses dari http://m.harnas.co pada 9 November
2021 Pukul 19.40 WIB
12
ibid

6
menghindari eksploitasi yang akan menggangu keberlangsungan lobster di
wilayah tersebut.

Hal ini bertujuan untuk menjamin keberlanjutan kegiatan perikanan dan


ketersediaan benih lobster yang berkelanjutan. Sebab keberadaan benih lobster
saat ini sepenuhnya berasal dari tangkapan dari alam dan bukan produksi
budidaya di pabrik.13 Permintaan komoditi ekspor yang tinggi ini juga mendorong
permintaan terhadap benih lobster dan pakan dengan jumlah yang sangat tinggi
dan sangat rentan terjadi eksploitasi berlebihan dalam kegiatan ini, mengingat
lobster merupakan komoditi yang sulit untuk dibudidayakan. Keuntungan dalam
nilai ekonomis ini tentu tidak sebanding dengan ancaman kepunahan lobster itu
yang otomatis akan menghilangkan manfaat lobster secara keseluruhan dan
mengganggu kestabilan ekosistem.

Maka dari itu, beberapa kebijakan dibuat pada dasarnya sebagai upaya
menjaga keberlanjutan ketersedian sumber daya perikanan, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya namun juga seimbang
sebagai pengembangan investasi, serta peningkatan devisa negara sesuai
dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang
berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

B. Perkembangan kebijakan tentang ekspor benih lobster


Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam kurung
waktu 6 (enam) tahun terakhir telah mengeluarkan beberapa regulasi tentang
ketentuan dalam tangkapan lobster, kepiting dan rajungan melalui Permen Nomor
56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan Dan/Atau Pengeluaran Lobster
(Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), Dan Rajungan (Portunus Spp.) Dari
Wilayah Negara Republik Indonesia, Permen KELAUTAN DAN PERIKANAN
Nomor 12 Tahun 2 020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting
(Scylla Spp.), Dan Rajungan (Portunus Spp.) Dari Wilayah Negara Republik

13
S. A. Adha Taridala et al., “Income and cost efficiency of lobster farming in Soropia, Southeast Sulawesi,
Indonesia,” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 382, no. 1 (2019).

7
Indonesia dan Permen KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor 17 Tahun 2021
tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), Dan
Rajungan (Portunus Spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kementerian P tentang ketentuan penangkapan Lobster,
Kepiting dan Rajungan pada tahun 2016 pada dasarnya berangkat dari
kekhawatiran menurunnya jumlah populasi spesies tersebut sehingga perlu ada
regulasi yang lebih ketat. Namun saat itu belum ada pengaturan secara spesifik
mengenai larangan ekspor benih lobster dan barulah pada tahun 2016 melalui
Permen Kelautan Dan Perikanan nomor 56 yang secara eksplisit melarang ekspor
benih lobster untuk budidaya.14
Pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebijakan dalam
rezim kelautan dan perikanan tidak lagi dijalankan oleh Menteri Susi melainkan
digantikan oleh Menteri Edhy Prabowo. Fokus kerja pemerintahan Joko Widodo
pada periode kedua ini salah satunya adalah terkait transformasi ekonomi dan
ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing dan layanan modern
yang meningkatkan nilai tambah ekonomi. Presiden juga mendorong
penyederhanaan regulasi agar tidak menghambat investasi dan mampu
menciptakan seluas-luasnya pekerjaan.15
Terhadap lobster, rezim baru Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengkaji ulang larangan kebijakan ekspor benih lobster. Hal ini didasarkan pada
maraknya penyeludupan benih lobster ke luar negeri yang dikhawatirkan dapat
menyebabkan terganggunya kelestarian kelestarian lobster di alam. Selain itu
banyak pula nelayan kecil yang bergantung pada perdagangan benih lobster.
Keberadaan bayi lobster di alam hingga dewasa dipertimbangkan memiliki tingkat
keberlangsungan hidup maksimal 1%, sehingga itu untuk memaksimalkan

14
Maskun et al., “Legal analysis of lobster export policies in Indonesia: The principle of sustainable
development approach.”
15
Sekretariat Presiden Biro PMI, “Lima Fokus Kerja di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi,” Kementerian
Kelautan dan Perikanan, last modified 2019, diakses November 11, 2010, https://kppip.go.id/siaran-pers/lima-
fokus-kerja-di-periode-kedua-pemerintahan-jokowi/.

8
pemanfaatannya diperlukan beberapa upaya untuk membudidayakan lobster
sehingga dapat meningkatkan nilai ekonominya.16
Sehingga akhirnya pada tahun 2020 Pemerintah memperbolehkan
dilakukannya ekspor benih lobster ke luar negeri dengan mengeluarkan Peraturan
Menteri Kelautan Dan Perikanan nomor 12 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting
dan Rajungan.
Dasar Pertimbangan Permen ini tidak hanya untuk menjaga kelestarian
sumber daya perikanan tetapi ketentuan ini juga untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pemerataan dalam bercocok tanam teknologi,
pengembangan investasi, peningkatan devisa. Karena itu regulasi ini dipandang
perlu mengatur kembali ketentuan penangkapan dan ekspor ketiga jenis itu
termasuk lobster.17. Sehingga dengan dikeluarkannya permen ini maka aturan
mengenai larangan ekspor benih lobster sebelumnya pada era menteri Susi
dicabut.
Permen Kelautan Dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 menyatakan bahwa
penangkapan dan atau pengeluaran lobster dari wilayah Negara Republik
Indonesia hanya dapat dilakukan ketika sedang Dalam Keadaan Tidak Bertelur
dan panjang kerapas diatas delapan centimeter atau berat diatas 200 gram per
ekor.18dan Setiap orang dilarang untuk menjual benih lobster untuk budidaya. 19
Pengawasan terhadap pengeluaran Lobster ini dilakukan oleh Direktorat Jendral
yang memiliki tugas teknis di bidang pengawasan sumber daya kelautan dan
perikanan dengan berkoordinasi dengan petugas karantina.20

16
Lili Apriliya Pregiwati, “Kaji Regulasi Pemanfaatan Benih Lobster, Menteri Edhy: Kelestarian Lingkungan
dan Mata Pencaharian Harus Seimbang,” Kementerian Kelautan dan Perikanan, last modified 2019, diakses
November 12, 2020, https://kkp.go.id/artikel/15874-kaji-regulasi-pemanfaatan-benih-lobster-menteri-edhy-
kelestarian-lingkungan-dan-mata-pencaharian-harus-seimbang.
17
Maskun et al., “Legal analysis of lobster export policies in Indonesia: The principle of sustainable
development approach.”
18
KKP RI, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan
dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah
Negara Republik Indonesia (Berita Negara Tahun 2016 , Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia, 2016.
Pasal 2.
19
Ibid. Pasal 7.
20
Ibid. Pasal 8.

9
Adapun kendala dalam permen ini adalah secara bahasa hukum, Pasal 2 tidak
disebutkan kepada siapa aturan tersebut disebutkan. Selain itu dalam tataran
Implementasi penangkapan terhadap lobster dalam keadaan bertelur masih terjadi
karena adanya permintaan dari pasal lokal ataupun pengepul menunggu hingga
lobster selesai menuntaskan telur untuk kemudian diekspor. Penangkapan lobster
konsumsi dengan panjang kerapas diatas 8 centimeter atau berat per ekor diatas
200gram sulit dilakukan oleh nelayan tradisional dengan alat tangkap jaring
bloon.21
Implementasi amanat pasal 7 ayat (1) juga sulit dilakukan di masyarakat
sebab permintaan untuk kegiatan penyeludupan benih lobster masih terjadi dan
harga yang ditawarkan justru mengalami peningkatan sehingga kondisi sosial-
ekonomi masyarakat dan nelayan tidak mendukung implementasi kebijakan ini.
Dalam Pasal 7 ayat (2) yang mana setiap orang yang melakukan penangkapan
lobster yang tidak sesuai wajib melepaskan atau jika dalam keadaan mati wajib
melaporkan kepada Direktur Jendral melalui kepala pelabuhan dan dalam
implementasinya sosialisasi dilakukan oleh pihak PNPP akan tetapi sampel
penelitian di Palabuhan ratu Kabupaten Sukabumi, kegiatan penangkapan lobster
ukuran konsumsi dilakukan oleh nelayan tradisional dengan menggunakan ban
dalam bekas mobil, sehingga tidak melibatkan pihak PPNP. Selanjutnya
penangkapan benih lobster dilakukan dengan bagan apung, dan bagan cangkrang
dengan ukuran panjang 7-9meter dan menjadi wewenang pihak Provinsi Jawa
Barat.22
Terhadap penegakan hukum dalam kasus penyeludupan lobster hukuman
yang sudah dijatuhkan yakni hanya delapan bulan kurungan, sedangkan ancaman
hukuman kurungan yakni selama enam tahun. Hukuman yang telah dijatuhkan
tersebut tidak sebanding dengan potensi nilai ekonomi yang didapatkan oleh para
terpidana sehingga tidak menimbulkan efek jera. Terhadap penelitian yang pernah
dilakukan di Palabuhan ratu nelayan meminta penangkapan benih lobster untuk

21
Furqan Furqan et al., “TINGKAT PEMAHAMAN NELAYAN TERKAIT DENGAN KEBIJAKAN PELARANGAN
PENANGKAPAN BENIH LOBSTER Panulirus spp.DI PALABUHANRATU,” ALBACORE Jurnal Penelitian Perikanan Laut 1,
no. 3 (2018): 297–308. Hlm, 301
22
Ibid.

10
dilegalkan kembali. Belum lagi personil satuan PSDKP tidak mencukupi untuk
implementasi kebijakan dengan wilayah kerja yang harus diawasi sangat luas.
Modus penyeludupan benih lobster kian mempersulit petugas karantina dalam
melakukan pengawasan dan penyeludupan tersebut sekarang juga dilakukan
dengan menggunakan jalur darat dan laut, sehingga sulit seluruhnya untuk dapat
terkawal oleh petugas karantina.23
Pengetahuan dan presepsi nelayan terhadap kebijakan dalam hal ini terkait
keberlanjutan sumberdaya lobster merupakan output akhir yang ingin dicapai
dalam implementasi kebijakan. Output yang diharapkan tentunya berupa
penerimaan kebijakan dan timbulnya kesadaran nelayan akan arti pentingnya
keberlanjutan sumber daya lobster itu sendiri. Terkait sampel penilitian lain yang
pernah dilakukan mayoritas nelayan Palabuhan ratu tidak setuju dengan
keberadaan permen ini, yang mungkin dikarenakan tingkat sosialisasi yang kurang
sehingga nelayan tidak mendapat informasi yang utuh tentang tujuan dari
kebijakan tersebut. Permasalahan lain yakni tidak adanya solusi lain dengan
kurangnya hasil tangkapan ikan, bahkan kondisi real di lapangan menunjukkan
bahwa kegiatan penangkapan benih lobster menjadi satu-satunya solusi bagi
nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sebab negara Indonesia juga menjamin pemenuhan kesejahteraan
masyarakat sebagai perwujudan Hak Asasi Manusia, sehingga paradigma rezim
ini dalam ekonomi dengan menerapkan pembangunan yang berkelanjutan namun
perlu dicari mekanisme lain untuk mengatasi kekurangan-kekurangan seperti
hilangnya mata pencaharian masyarakat karena Rechtstaat adalah rumah yang
ideal untuk penerapan penjaminan Hak Asasi Manusia.24
Hal ini tentu menjadi masalah lainnya pun jika ekspor benih lobster tidak
diizinkan. Disatu sisi meningkatnya nilai ekspor benih lobster akan meningkatkan
nilai devisa Negara serta secara langsung dapat membantu perekonomian
nelayan. Tapi disisi lain, nilai benih lobster yang menggiurkan menimbulkan

23
Ibid.
24
Todung Mulya Lubis, “Insearch of human rights: legal political dilemas of Indonesia new order 1966-
1990,” in Politik Hukum 2 Satya Arinanto (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2018).

11
terjadinya overfishing terhadap komoditas ini. Terdapat dua jenis overfishing,
pertama, terlampau banyaknya ikan ukuran kecil yang tertangkap, sehingga ikan
tidak cukup kesempatan untuk tumbuh menjadi ukuran yang layak tangkap yang
disebut dengan istilah growth overfishing. Kedua, banyaknya ikan yang sedang
matang dan tertangkap, sehingga jumlah indukan yang melakukan pemijahan
sangat terbatas, hal ini berakibat jumlah anakan baru (recruit) sangat sedikit, yang
dikenal sebagai recruitment overfishing. Dalam kasus lobster di Indonesia, kedua
jenis overfishing ini terjadi bersamaan, sehingga mempengaruhi keseimbangan
populasi dan ketersediaan stoknya di alam. 25
Seiring dengan perubahan kabinet baru pada tahun 2019 dengan susunan
yang berbeda, Menteri Edhy Prabowo membawa perubahan yang sangat
fundamental bahwa ekspor benih lobster kembali di legalkan. Dalam Pasal 5
menyebutkan:26
Pengeluaran Benih Bening Lobster dari wilayah Negara Republik Indonesia
hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:
a) kuota dan lokasi penangkapan Benih Bening Lobster sesuai hasil kajian dari
Komnas KAJISKAN yang ditetapkan oleh direktorat jenderal yang
menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap;
b) eksportir harus melaksanakan kegiatan Pembudidayaan Pembudidayaan
Lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau Pembudi Daya
setempat berdasarkan rekomendasi direktorat jenderal yang
menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya;
c) eksportir telah berhasil melaksanakan kegiatan Pembudidayaan Lobster di
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang
ditunjukkan dengan:
1) sudah panen secara berkelanjutan; dan

25
Khairani Hilal, “KEPENTINGAN INDONESIA MELARANG EKSPOR BENIH LOBSTER KE VIETNAM TAHUN
2015,” JOM FISIP UNRI 3, no. 1993 (2015): 24,
http://ridum.umanizales.edu.co:8080/jspui/bitstream/6789/377/4/Muñoz_Zapata_Adriana_Patricia_Artículo_201
1.pdf. Hlm, 8.
26
KKP RI, “Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang PENGELOLAAN
LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN RAJUNGAN (Portunus spp.) DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK
INDONESIA (Berita Negara Tahun 2020 Nomor 454),” Kkp Ri (2020).

12
2) telah melepas liarkan Lobster sebanyak 2 persen dari hasil
Pembudidayaan dan dengan ukuran sesuai hasil panen

Terhadap pengeluaran benih lobster dari wilayah NKRI berkewajiban membayar


Bea keluar dan/atau Penerimaan negara bukan pajak per satuan ekor 27 dan
distribusi komoditas benih lobster di luar instalasi karantina ikan dan di luar tempat
pemasukan dan/atau pengeluaran, dilakukan oleh menteri dan gubernur sesuai
kewenangannya secara bersama-sama dengan dalam pelaksanaannya dilakukan
oleh pengawas perikanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.28

Hingga pada tanggal 23 Desember 2020 di Istana Negara berdasarkan


Keppres Nomor 133/P Tahun 2020 tentang Pengisian dan Penggantian Beberapa
Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024, estafet
Menteri Kelautan dan Perikanan ke-delapan dilanjutkan oleh Sakti Wahyu
Trenggono. Kehadiran Sakti Wahyu Trenggono juga membawa arah baru bagi
kebijakan tentang ekspor benih lobster.
Melaksanakan perintah Presiden untuk mengelola sektor kelautan dan
perikanan Indonesia, Menteri Sakti Wahyu Trenggono mendorong tiga prioritas,
pertama, meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor
perikanan tangkap dari Rp600 miliar menuju Rp 12 triliun.Kemudian meningkatkan
kesejahteraan nelayan, termasuk salah satunya melalui asuransi dana pensiun
atau jaminan hari tua, dimana selama ini asuransi sebatas meliputi kesehatan dan
kecelakaan/kematian.Program ketiga mengembangkan perikanan budidaya
dalam negeri sebagai sumber ekonomi. Hal yang menjadi fokus yakni
membangun shrimp estate dan kampung-kampung perikanan berbasis komoditas
unggulan. Seperti Kampung Nila, Kampung Lele, Kampung Rumput Laut, dan
lainnya.29
Setiap pembangunan yang akan dilakukan dibarengi dengan studi
kelayakan dan perencanan bisnis yang matang, agar target pertumbuhan ekonomi

27
Ibid. Pasal 6
28
Ibid. Pasal 11 ayat (2)
29
KKP.RI. “Profil MKP”. Diakses 11 November 2021. https://kkp.go.id/page/4200-profil-mkp

13
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Selain
mengupayakan pertumbuhan ekonomi di sektor yang dipimpin, Menteri Sakti
Wahyu Trenggono berkomitmen menjaga keberlanjutan ekosistem perikanan.
Setiap kebijakan diambil berdasarkan kajian ilmiah, melibatkan ahli dan para
pemangku kepentingan.30
Sejalan dengan tiga prioritas yang dijalankan oleh menteri Sakti Wahyu
Trenggono, setelah berlaku selama 1 (satu) tahun kebijakan tentang ekspor benih
lobster kembali dievaluasi dan mengalami perkembangan melalui Permen
Kelautan Dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster
(Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), Dan Rajungan (Portunus Spp.) Dari
Wilayah Negara Republik Indonesia yang menghentikan ekspor Benih Bening
Lobster dan melakukan pembudidayaan di wilayah negara Republik Indonesia
secara terbatas dengan ketentuan:31
a. harus memperhatikan estimasi potensi sumber daya ikan
b. jumlah tangkapan yang diperbolehkan,
c. tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan masukan dan/ atau rekomendasi dari Komisi Nasional
Pengkajian Sumber Daya Ikan

lebih lanjutnya lagi pada kegiatan penangkapan dibatasi pada kuota dan lokasi
penangkapan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan masukan dan/atau
rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.

Penetapan kuota dan lokasi penangkapan berdasarkan rekomendasi dari


Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan dalam Penangkapan benur di
alam serta penggunakan alat tangkap ramah lingkungan salah satu cara untuk
tetap menjalankan prinsip ekonomi biru agar tidak terjadi eksploitasi pada biota
laut tersebut.

30
ibid
31
KKP RI, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster
(Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia (Berita
Negara Tahun 2016 , Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia, 2016. Pasal 2 ayat (1) dan (2)

14
Selain itu, perkembangan juga terjadi pada pihak yang dapat melakukan
penangkapan yaitu hanya oleh Nelayan Kecil yang terdaftar dalam kelompok
Nelayan di lokasi penangkapan Benih Bening Lobster dan telah ditetapkan oleh
dinas provinsi melalui pendaftaran kepada Lembaga Online Submission (OSS)
langkah ini sebagai salah satu dukungan bagi pertumbungan ekonomi nelayan-
nelayan kecil. 32

Permen Kelautan Dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 ini lebih


mendorong berkembangnya budidaya lobster dalam negeri yang bertujuan pada
pertumbuhan ekonomi masyarakat dan peningkatan devisa negara melalui
ekspor. Segmentasi usaha budidadya lobster di Indonesia terbagi dalam dua
segmen usaha meliputi Pendederan dan Pembesaran. Segmentasi tersebut lalu
terbagi dalam empat kategori yakni, Pendederan 1, dimana proses budidayanya
dimulai dari benur hingga ukuran 5 gram. Kemudian Pendederan II (di atas 5 gram
sampai dengan 30 gram), Pembesaran I (di atas 30 gram sampai dengan 150
gram), dan Pembesaran II (di atas 150 gram).33

Mengingat konstitusi mengamanatkan bahwa ekonomi didasarkan pada


pembangunan yang berkelanjutan maka pelarangan ekspor benih lobster ini salah
satu cara mencerminkan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam startegi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
depan.34 Pola pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia saat ini dirasakan oleh

32
KKP RI, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster
(Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia (Berita
Negara Tahun 2016 , Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia, 2016. Pasal 2.
33
KKP RI, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster
(Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia (Berita
Negara Tahun 2016 , Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia, 2016. Pasal 4.
34
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012). Hlm 57

15
berbagai pihak mencerminkan adanya suatu kesinambungan antara pengelolaan
lingkungan secara lestari dengan pencapaian kemakmuran.35

35
Deni Bram, Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup (Malang: Setara Press, 2014). Hlm, 93.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai upaya menjaga keberlanjutan ketersedian sumber daya perikanan,
peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya namun
juga seimbang sebagai pengembangan investasi, serta peningkatan devisa
negara adalah hal penting yang melatar belakangi pembentukan regulasi
mengenai Benih Lobster.
Pada kurun waktu tahun 2016 hingga 2021 arah kebijakan mengenai Benih
Lobster mengalami 3 (tiga) kali perubahan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau
Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Lobster,
Kepiting dan Rajungan di Indonesia dan yang terakhir Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan
rajungan di wilayah negara Republik Indonesia.
Permen Kelautan Dan Perikanan nomor 56 Tahun 2016 dibentuk didasarkan
atas kekhawatiran terhadap eksploitasi dan kerusakan ekosistem lobster oleh
karena itu pemerintah saat itu menutup celah untuk pelaku usaha mengekpor
benih lobster keluar dari wilayah Indonesia, akan tetapi setelah perubahan menteri
arah kebijakan dalam Permen Kelautan Dan Perikanan nomor 12 Tahun 2020 itu
turut berubah dimana ekpor benih lobster kembali dilegalkan atas dasar untuk
mendorong nilai investasi, kesejahteraan nelayan dan untuk menekan angka
penyeludupan benih lobster illegal namun arah kebijakan kembali berubah dengan
dikeluarkannya Permen Kelautan Dan Perikanan nomor 17 Tahun 2021 yang pada
akhirnya lebih fokus pada pembudidayaan Benih Bening Lobster.

B. Saran
Dalam menjalankan ekonomi dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
seyogyanya tetap perlu memperhatikan elemen masyarakat yang terkena

17
dampak langsung dari kebijakan tersebut. Oleh karena itu kebijakan pelarangan
ekspor benih lobster merupakan langkah yang baik untuk melestarikan
lingkungan namun seharusnya langkah yang perlu ditempuh oleh pemerintahan
yang baru ini adalah memperbaiki kekurangan yang ada pada rezim yang lama,
karena melegalkan ekspor benih lobster tidak mengatasi masalah pada
masyarakat mungkin yang perlu adalah dilakukan perubahan pola dimasyarakat
yang pada awalnya melakukan penjualan benih menjadi membudidayakan
sendiri sehingga tidak perlu bagi Indonesia untuk melakukan ekspor benih
lobster ke luar negeri. Sebaik-baiknya suatu regulasi diharapkan mengandung
unsur keseimbangan dan keadilan karena tiga unsur yang menjadi sistem dan
siklus yaitu Pengusaha, Nelayan dan Alam terjamin dan dijamin keberadaannya
oleh Negara

18
DAFTAR PUSTAKA
Buku

Arinanto, Satya. Constitutional Law and Democratization in Indonesia. Jakarta:


Publishing House Faculty of Law University of Indonesia, 2000.

Bram, Deni. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup. Malang: Setara Press, 2014

Kofi A, Annan. “Global value: the united nation and the rule of law in the 21st century.” In
Politik Hukum 3 Satya Arinanto. Jakarta: Program PAscasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2001
Lubis, Todung Mulya. “Insearch of human rights: legal political dilemas of Indonesia new
order 1966-1990.” In Politik Hukum 2 Satya Arinanto. Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
Siombo, Marhaeni Ria. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012
Jurnal
Adha Taridala, S. A., L. O. Muhammad Aslan, Yusnaini, dan Asriya. “Income and cost
efficiency of lobster farming in Soropia, Southeast Sulawesi, Indonesia.” IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science 382, no. 1 (2019)
Chotib, Ahmad, dan Djauhari. “Perlindungan Sumber Daya Perikanan Untuk Menjamin
Terwujudnya Pembangunan Perikanan Berkelanjutan.” Jurnal Hukum Khaira
Ummah 12, no. 3 (2017): 467–478
Furqan, Furqan, Tri Wiji Nurani, Eko Sri Wiyono, dan Deni Achmad Soeboer. “Tingkat
Pemahaman Nelayan Terkait Dengan Kebijakan Pelarangan Penangkapan Benih
Lobster Panulirus Spp.Di Palabuhanratu.” Albacore Jurnal Penelitian Perikanan
Laut 1, no. 3 (2018): 297–308
I Nyoman Radiarti “ Status Pengelolaan SUmberdaya Benih LObster untuk Mendukung
Perikanan Budidaya : Studi Kasus Perairan Pulau Lombok ,” Jurnal Kebijakan
Perikanan Indonesia , Volume 8 no. 2 (2016): hal 85
Junaidi, M Cokrowati, N Abidin, Z. “Aspek Reproduksi Lobster (Panulirus sp.) Di Perairan
Teluk Ekas Pulau Lombok.” Jurnal Kelautan 3, no. 1 (2010): 29–35.

19
Lasabuda, Ridwan. “Jurnal Ilmiah Platax TINJAUAN TEORITIS DALAM PERSPEKTIF
NEGARA KEPULAUAN REPUBLIK INDONESIA Regional Development in Coastal
and Ocean in Archipelago Perspective of The Republic of Indonesia Jurnal Ilmiah
Platax” I (2013): 92–101.
Maskun, Aminuddin Ilmar, Marthen Napang, Naswar, Achmad, dan Hasbi Assidiq. “Legal
analysis of lobster export policies in Indonesia: The principle of sustainable
development approach.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
564 (2020): 012067.
Pereira, Graciela, dan Helga Josupeit. The world lobster market. FAO Globefish
Research Programme. Vol. 123, 2017.
Zulham, Armen. “Kontruksi Sosial Dalam Membangun Bisnis Lobster Di Indonesia (Social
Construction On The Development Of Lobster Business In Indonesia).” Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia 10 (2018): 43–52
Internet
Biro PMI, Sekretariat Presiden. “Lima Fokus Kerja di Periode Kedua Pemerintahan
Jokowi.” Kementerian Kelautan dan Perikanan. Last modified 2019. Diakses
November 11, 2021. https://kppip.go.id/siaran-pers/lima-fokus-kerja-di-periode-
kedua-pemerintahan-jokowi/
KKP.RI. “Profil MKP”. Diakses 11 November 2021. https://kkp.go.id/page/4200-profil-mkp
Khairani Hilal. “KEPENTINGAN INDONESIA MELARANG EKSPOR BENIH LOBSTER
KE VIETNAM TAHUN 2015.” JOM FISIP UNRI 3, no. 1993 (2015): 24.
http://ridum.umanizales.edu.co:8080/jspui/bitstream/6789/377/4/Muñoz_Zapata_A
driana_Patricia_Artículo_2011.pdf.
Pregiwati, Lili Apriliya. “Kaji Regulasi Pemanfaatan Benih Lobster, Menteri Edhy:
Kelestarian Lingkungan dan Mata Pencaharian Harus Seimbang.” Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Last modified 2019. Diakses November 10, 2021.
https://kkp.go.id/artikel/15874-kaji-regulasi-pemanfaatan-benih-lobster-menteri-
edhy-kelestarian-lingkungan-dan-mata-pencaharian-harus-seimbang
Yunianto, Tri Kurnia. “Menjaga Keberlanjutan Sumberdaya dan Usaha Lobster” (2019).
http://suhana.web.id/wp-content/uploads/2020/02/2020.02.23-Kliping-Pendapat-
Suhana-Terkait-Ekspor-Benih-Lobster.pdf.

20
Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Republik. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603). Indonesia, 2014

Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 154 dan Penjelasan Atas UU 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
UU 31 Tahun 2004 tentang Peri. Indonesia, 2009

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang


PENGELOLAAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN
RAJUNGAN (Portunus spp.) DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Berita
Negara Tahun 2021 Nomor 627).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang


PENGELOLAAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN
RAJUNGAN (Portunus spp.) DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Berita
Negara Tahun 2020 Nomor 454).” Kkp Ri (2020).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan
Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.),
Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia (Berita
Negara Tahun 2016 . Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia, 2016.

21

Anda mungkin juga menyukai