Anda di halaman 1dari 12

Nama : Citra Zulmita Putri Mata Kuliah : AMDAL

NIM : 11170980000023 Dosen Pengampu : A. Silvan Erusani M.Sc

TUGAS 2
Berilah masing-masing contoh (lokasi) serta pembahasan detail terkait permasalahan
Lingkungan dalam bidang Pertambangan dibawah ini :

1. Berubah/rusaknya landscape alami (tepian sungai, danau, pantai, gunung);


2. Menyebabkan kekeringan;
3. Berkurangnya area resapan air;
4. Limbah: cair, padat, udara;
5. Struktur tanah menjadi labil;
6. Terganggunya bio-diversity;
7. Erosi tanah, land sliding;
8. Menyebabkan permasalahan sosial ekonomi / hilangnya pendapatan masyarakat;
9. Berubah/rusak/hilangnya warisan budaya/heritage properties (bangunan bernilai
sejarah);
10. Menyisahkan lahan kritis pasca perusahaan tambang selesai beroperasi.

TUGAS dikumpulkan dalam fomat word, setiap POIN penugasan wajib mencantumkan
referensi.

JAWABAN :

1. Kota Sawahlunto merupakan kota tambang batubara tertua di Indonesia. Salah satu
kawasan yang telah habis kegiatan pertambangan batubara adalah kawasan kandi,
dimana kawasan ini memiliki potensi lanskap danau bekas tambang dan potensi
topografi yang terbentuk akibat kegiatan pertambangan batubara. potensi lanskap
seperti pemandangan alam, lokasi bekas tambang juga dapat dimanfaatkan karena
kondisi alam dari bekas tambang tersebut memiliki struktur lanskap yang baik,
seperti terbentuknya danau pada lahan bekas tambang, tebing curam dari bekas
tambang (high wall) dan lahan yang telah hijau dari kegiatan reklamasi. Hal ini
menjadikan salah satu alasan untuk memanfaatkan area bekas tambang yang
cukup potensial untuk dimanfaatkan lanskap sebagai area wisata alam.
Secara umum kegiatan pertambangan terbuka (open pit mining) akan
mengakibatkan penurunan struktur muka tanah dan vegetasi. Permukaan tanah
(top soil) yang tempatkan di daerah pembuangan akan berpotensi mengakibatkan
masalah penggunaan lahan, seperti tanah longsor, perubahan bentuk batuan dan
ketidakstabilan lereng. Sebagai salah satu dampak eksplisit bahwa, penurunan
permukaan dapat menyebabkan perubahan struktur permukaan lahan dan vegetasi,
yang mempengaruhi penggunaan lahan permukaan dan lanskap Pemanfaatan
lahan pasca penambangan melalui kegiatan reklamasi ini mencakup kegiatan
perbaikan tingkat kesuburan tanah dan perbaikan kualitas air pada danau (void)
bekas tambang. Selain pemandangan alam, lokasi bekas tambang juga
dimanfaatkan karena kondisi alam dari bekas tambang tersebut memiliki struktur
lanskap yang baik, seperti terbentuknya danau pada lahan bekas tambang, tebing
curam dari bekas tambang (high wall) dan lahan yang telah hijau dari kegiatan
reklamasi. Hal ini menjadikan salah satu alasan untuk memanfaatkan area bekas
tambang yang cukup potensial untuk dimanfaatkan lanskap sebagai area wisata
alam.
Lanskap merupakan media dasar suatu perencanaan pengembangan wisata
alam yaitu kegiatan wisata dengan melakukan perjalan di alam dan tidak melakukan
perusakan dengan tujuan spesifik mempelajari, menikmati dan menikmati
pemandangan (tumbuhan, hewan dan budaya) (Dewi, 2011). Oleh karena itu dalam
melakukan perencanaan kawasan bentang alam perlu diinventarisasi berbagai data
dan informasi sifat dan gejala unsurnya, termasuk tata alam di sekitar kawasan
tersebut. Pendekatan perencanaan lanskap menjadi kawasan wisata alam sangat
potensial dalam meningkatkan kualitas dan menjaga kelestarian lingkungan
kawasan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ross dan Wall (1999) bahwa
wisata alam diharapkan dapat membantu untuk mencapai keseimbangan antara
konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan upaya reklamasi dan revegetasi pada lahan bekas tambang
yang telah dilakukan diperlukan perencanaan lanskap yang dapat mengoptimalkan
pemanfaatan lahan untuk mendukung keberlanjutan ekosistem, pelestarian dan
perlindungan lingkungan yang dapat memberikan kontribusi ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat sekitar daerah tambang. Maka dari itu perlu ada studi
kelayakan dalam perencanaan lanskap kawasan bekas tambang batubara menjadi
kawasan wisata alam.
(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/ArtikelLanskap.pdf)

2. Gara-gara kemarau dan kegiatan penggalian bahan tambang golongan C,


persawahan di empat desa Kabupaten Batang, Jawa Tengah mengalami
kekeringan karena aliran air Sungai Petung di Desa Donorejo, Kecamatan Limpung
menyusut.
Solopos.com, BATANG — Persawahan di empat desa Kabupaten Batang, Jawa
Tengah mengalami kekeringan karena aliran air Sungai Petung di Desa Donorejo,
Kecamatan Limpung menyusut akibat kemarau dan kegiatan penggalian bahan
tambang golongan C.
Berdasarkan hasil pemantauan, normalisasi Sungai Petung harus dilakukan supaya
aliran air untuk irigasi dari sungai itu bisa kembali normal. Wakil Bupati juga
meminta para penggalian bahan tambang golongan C membantu memulihkan
kondisi sungai.
"Selama ini ada anggapan Pemkab menerima sesuatu dari (pengelola tambang)
galian C. Ini kan memalukan sekali, pengelola harus bisa mengembalikan aliran
sungai agar normal lagi," katanya, “saya mengimbau rekan pengusaha galian C
tetap merawat irigasi dan membantu normalisasi, serta reklamasi dilaksanakan
sesuai jadwal yang menjadi tanggungannya."
Wakil Bupati mengatakan Pemerintah Kabupaten akan mengupayakan persawahan
petani mendapat aliran air supaya tidak sampai gagal panen. Menurut dia,
Bendungan Bibit Sungai Petung mestinya mampu mengairi sekitar 320 ha sawah di
Desa Sempu, Desa Donirejo, Limpung, dan Banyuputih.
"Kalau di Perda yang baru ada larangan mengambil batu di aliran sungai karena
untuk menjaga ekosistem alam. Saya juga berharap ada kerja sama rekan
pengusaha galian C bersama melindungi petani agar sebelum musim hujan
(sungai) segera dinormalisasi," katanya.
(https://www.solopos.com/kemarau-pertambangan-bikin-sawah-4-desa-
kabupaten-batang-kekeringan-1026443)

3. Salah satu masalah kerusakan dan konflik lingkungan yang banyak terjadi di Kota
Semarang adalah penambangan Galian C dengan pengeprasan bukit seperti yang
terjadi di Bukit Purwoyoso, di Sendang Mulyo juga di Bukit Mangunharjo. Yang
menjadi permasalahan dan perdebatan adalah kontroversi mengenai manfaat dan
dampak yang ditimbulkan dengan kegiatan tersebut.
Bergairahnya kegiatan penambangan sedikit banyak membuat denyut
kehidupan ekonomi masyarakat disekitar menjadi lebih baik; terutama yang
berprofesi petani, buruh tani atau bahkan pengangguran. Tetapi semua itu terbatas
pada kalangan masyarakat yang terlibat langsung sedangkan yang tidak, manfaat
ini tentu saja tidak berpengaruh, mereka hanya kebagian dampak yang ditimbulkan
akibat rusaknya lingkungan disekitarnya.
Sebagaimana yang terjadi di Mangunharjo, Tembalang, kota Semarang.
Pengeprasan Bukit Mangunharjo tersebut mengakibatkan terjadinya konflik antara
kepentingan ekonomi masyarakat dengan kepentingan lingkungan. Di satu sisi
masyarakat memperoleh keuntungan ekonomis dari kegiatan penambangan namun
disisi lain menimbulkan kerusakan lingkungan, baik jangka pendek maupun jangka
panjang; seperti rusaknya jalan, polusi (debu) maupun rawan terjadinya longsor dan
banjir. Padahal daerah Tembalang oleh pemerintah kota sudah ditetapkan sebagai
daerah konservasi (resapan air) yang seharusnya tidak boleh dilakukan kegiatan
penambangan.
(https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/viewFile/7779/637)

4. Dampak lingkungan dari industri batubara banyak mencakup pertimbangan isu-isu


seperti penggunaan lahan, pengelolaan sampah, dan air dan polusi udara yang
disebabkan oleh pertambangan batu bara, pengolahan dan penggunaan produk-
produknya. Selain polusi udara, pembakaran batubara menghasilkan ratusan juta
ton produk padat limbah setiap tahun, termasuk kabut, kabut yang menempel pada
permukaan tanah, dan gas buang desulfurisasi lumpur, yang mengandung merkuri,
uranium, thorium, arsenik, dan logam berat lainnya.
Perusahaan tambang batubara masuk, warga Dusun Padang Birau, Kelurahan
Gunung Kembang, Sarolangun, Jambi, hadapi berbagai masalah. Dari air sungai
tercemar, dan pencemaran udara dari debu yang berasal tempat pengumpulan
batubara maupun saat penangkutan batubara.
(https://www.mongabay.co.id/2018/05/03/pencemaran-air-udara-dan-masalah-
lain-muncul-setelah-tambang-batubara-masuk-padang-birau/)
5.

LIMAPULUH KOTA, HALUAN--Bencana banjir dan tanah Longsor yang melanda


Kabupaten Limapuluh Kota, Jumat (3/3), selain akibat curah hujan yang cukup pada
Kamis (2/3), tetapi disinyalir akibat aktivitas tambang. Sehingga menyebabkan 52
titik longsor.

Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan mengatakan, banjir yang melanda kali
adalah banjir yang terbesar yang dialami. Tahun lalu, tepatnya pada 8 Februari
2016 juga terjadi banjir.

"Tahun lalu juga terjadi banjir. Banjirnya tidak sebesar sekarang, dan dampak yang
ditimbulkan pun tidak banyak,"ucapnya saat menerima bantuan logistik dari Partai
Golkar dan Bank Nagari.

Lebih lanjut ia mengatakan, penyebab banjir dan longsor saat ini diakibatkan
aktivitas tambang. Aktivitas tambang yang ada di Kabupaten Limapuluh Kota
menyebabkan struktur tanah di perbukitan menjadi rusak.

"Aktivitas peledekan tambang batu menyebabkan stuktur tanah di perbukitan


menjadi labil. Sehingga pada saat diguyur hujan langsung menyebabkan longsor
parah,"ujarnya, Minggu (5/3).

Ferizal menambahkan, pihak Kabupaten akan segera menyurati Provinsi Sumatera


Barat untuk meninjau kembali izin tambang yang diberikan di Kabupaten Limapuluh
Kota. Dan pihak Kabupaten akan melakukan evaluasi kembali mengenai perusahan
tambang, yang melakukan peledekan.

"Izinnya kan di Provinsi, segera kita surati agar kedepannya tidak terjadi bencana
longsor yang lebih parah,"kata Ferizal.

Sementara itu, Ketua DPRD Sumbar Hendra Irwan Rahim mengatakan, dahulunya
izin tambang berada di bawah Kabupaten. Namun saat ini sudah berada di Provinsi,
untuk itu pihak DPRD Sumbar meminta agar segera melakukan evaluasi izin
tambang kembali.

Hendra menuturkan, perusahan tambang yang ada di Kabupaten Limapuluh Kota


harus didata kembali. Baik yang belum dan sudah memiliki izin. Jika belum memiliki
izin jangan biarkan beroperasi sebelum mendapatkan izin. Sedangkan yang sudah
memiliki izin harus ditinjau ulang bagaimana standarnya dalam melakukan aktivitas
tambang. Jika ditemukan fakta bahwa tidak sesuai dengan aturan dan malah
menyebabkan kerusakan, izin tambang yang telah diberikan harus dicabut.

"Harus segera dilakukan peninjauan kembali izin-izin perusahan tambang,"ucap


Hendra.

Lebih lanjut ia mengatakan, jangan sampai aktivitas penambangan yang ada di


Kabupaten Limapuluh Kota menimbulkan kerugian baik bagi masyarakat dan
pemerintah. Bagi pihak yang memberikan izin agar lebih teliti sebelum
mengeluarkan.

"Orang tambang melakukan aktivitas kemudian memperoleh uang, sedangkan


masyarakat yang akan memperoleh akibatnya. Jangan sampai aktivitas
pertambangan mengorbankan banyak orang,"kata Hendra. (h/mg-mel)
https://www.harianhaluan.com/news/detail/64116/banjir-dan-longsor-diduga-
dipicu--akitivitas-tambang

6. PROKAL.CO, KALIMANTAN  Timur adalah provinsi yang memiliki potensi kekayaan


alam yang melimpah. Kekayaan alam tersebut berasal dari hasil hutan, perkebunan,
pertanian, perikanan, dan pertambangan. Dan tidak dapat dimungkiri sektor
tambang menjadi penopang utama perekonomian Bumi Etam. Lebih dari 50 persen
pendapatan daerah didapat dari pertambangan dan migas.
Dengan potensi kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Kaltim, tentu akan
membawa kemaslahatan besar bagi negara dan rakyatnya jika dikelola dengan baik
dan benar. Namun, sebaliknya jika pengelolaannya tidak benar baik secara
manajemen atau eksplorasinya juga akan membawa implikasi negatif terhadap
negara dan rakyat tersebut.
Seperti yang terjadi belum lama ini, jalur utama penghubung Sanga-Sanga–
Samarinda putus akibat tanah longsor. Hasil investigasi inspektur tambang akhirnya
menyatakan PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) wajib bertanggung jawab
terhadap peristiwa tanah longsor tersebut.
Pemprov Kaltim telah menjatuhkan sanksi terhadap PTABN dengan menutup
aktivitas tambang di dekat permukiman, dan mewajibkan menuntaskan ganti rugi
dan recovery akibat longsor yang merusak fasilitas umum dan rumah warga Sanga-
Sanga.
Dampak ancaman dari kegiatan eksplorasi tambang tersebut tidak hanya terjadi di
Kecamatan Sanga-Sanga Kabupaten Kukar, ternyata masih ada ratusan desa di
Kaltim yang mengalami ancaman serupa.
Berdasarkan riset dari pemerhati lingkungan Niel Makinudin bersama The Nature
Conservancy (TNC) Kaltim ditemukan fakta setidaknya ada 224 desa dari total 841
desa di Kaltim yang masuk kategori beresiko tinggi. Dari data tersebut, secara
umum paling banyak berada di kawasan Kabupaten Kutai Kartanegara. Karena
berdasarkan catatannya, diketahui hampir 600 izin usaha pertambangan terdapat di
Kukar.
Eksploitasi tambang di Indonesia khususnya di Kalimantan Timur yang dilakukan
secara “gila-gilaan” tentu saja menyebabkan kerugian dan kerusakan lingkungan.
Pemerintah dengan segala bentuk kebijakan baik pusat maupun lokal tanpa sadar
telah menciptakan ruang hidup yang buruk hingga menakutkan bagi masyarakat.
Saat ini, 75 persen luas wilayah Kaltim sudah dikonversi menjadi pertambangan.
Sebagian sudah jadi kolam raksasa yang ditinggalkan pengeruknya. Jika hujan
turun, air pun memenuhi kolam tersebut, bahkan melimpah dan menggenangi
permukiman. Tak heran setiap tahun kawasan banjir semakin meluas. Tahun lalu
terdapat 29 titik, kini menjadi 35 titik.
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional 2018, ada 1.735
lubang bekas tambang batu bara di Kaltim. Lahan tambang di kawasan padat
permukiman mengakibatkan lubang-lubang eks tambang meninggalkan air beracun
dan logam berat. Kawasan yang membahayakan seperti ini telah menelan korban
anak-anak yang tenggelam di lubang eks tambang batu bara. Komnas HAM
menyebutkan setidaknya 31 orang yang tewas di kolam bekas tambang di Kaltim
sejak 2011.
Belum lagi, sejumlah ruas jalan perkotaan dan pedalaman mengalami kerusakan
karena dilintasi truk-truk bertonase tinggi terutama truk pengangkut batu bara yang
lalu-lalang melintas di jalan umum pada malam maupun siang hari.
Demikianlah sekelumit gambaran kerusakan yang ditimbulkan tambang. Kerusakan
lingkungan kian meradang dikarenakan berbagai pengerukan dilakukan tanpa
memedulikan aspek lingkungan maupun lahan. Hampir seluruh proses
penambangan terbuka melalui beberapa tahapan pengeboran, peledakan,
pemilahan, pengangkutan, dan penggerusan batuan bijih.
Parahnya lagi, pemerintah belum tertarik dengan kerugian yang diakibatkan
pertumbuhan eksploitasi SDA di Kaltim. Pemerintah terkesan hanya puas dengan
dana bagi hasil atas produksi eksploitasi SDA yang ada. 
Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan SDA yang
melimpah dan strategis sebagai kepemilikan yang dapat dikuasai swasta dan asing.
Sehingga dalam pengelolaannya hanya difokuskan untuk mengejar keuntungan
para kapital tanpa mempertimbangkan sisi lingkungan, apalagi kesejahteraan
rakyat. 
Dalam pandangan Islam, hutan, air dan energi yang berlimpah wajib dikelola negara
yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah
atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas
umum.
Sumber daya alam termasuk dalam kategori kepemilikan umum sehingga harus
dikuasai negara. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin Hamal: Abyad
diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola suatu tambang
garam.
Rasul semula meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan seorang sahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya?
Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u
al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak
dengan air yang mengalir. Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja
bukan “garam”, melainkan tambangnya. Penarikan kembali pemberian Rasul
kepada Abyadh adalah illat (alasan) dari larangan sesuatu milik umum.
Adapun dalam pelaksanaan pertambangan, maka harus berdasarkan proses dan
mekanisme yang ditentukan. Kegiatan pertambangan diawali dengan proses studi
kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders),
kemudian dilaksanakan dengan ramah lingkungan (green mining), tidak
menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui pengawasan
(monitoring) berkelanjutan, dan dilanjutkan dengan melakukan reklamasi, restorasi
dan rehabilitasi. 
Pelaksanaan pertambangan wajib menghindari kerusakan, antara lain: kerusakan
ekosistem darat dan laut, pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air),
menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada
di sekitarnya, menyebabkan polusi udara dan ikut mempercepat pemanasan global,
mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar, dan mengancam kesehatan
masyarakat.
Demikianlah Islam telah mengatur secara tegas dalam pengelolaan SDA dan
kerusakan yang ditimbulkan. Visi pengelolaannya didasarkan pada mindset bahwa
SDA adalah milik umum yang wajib dikelola oleh negara, dan hasilnya
diperuntukkan kesejahteraan rakyat
(https://kaltim.prokal.co/read/news/347708-akibat-tambang-kerusakan-
meradang)

7. PT. Adaro terutama di wilayah revegetasi Tutupan diketahui bahwa erosi yang
terjadi cukup intensif. Hampir semua jenis erosi terjadi, baik erosi permukaan
(sheet erosion) yang terjadi pada hampir semua wilayah revegetasi yang ada, erosi
alur (rill erosion) yang terjadi pada lereng-lereng yang curam akibat longsor dan
erosi parit (gully erosion) merupakan hasil kelanjutan dari aktivitas daya pengikisan
partikel-pertikel tanah pada alur yang sudah terbentuk.
Suatu revegetasi yang hampir bersifat alamiah, sehingga laju erosi yang
terjadi di wilayah tersebut tidak membawa dampak yang mengkhawatirkan. Pada
areal revegetasi Tutupan yang berumur lebih muda, dan kondisi tambang di
sebagian wilayah tutupan yang masih produktif menyebabkan revegetasi yang
kurang sempurna, hal ini yang ditanda dengan terjadinya longsoran pada tanah
disposal yang sudah direvegetasi. Kondisi erosi lereng yang besar dapat diatasi
dengan upaya-upaya teknis. Lahan yang terlindung oleh pepohonan merupakan
cara pencegahan yang efektif terhadap erosi lahan. Cara pengendalian erosi
dengan menutup tanah dengan pepohonan merupakan cara yang murah dan
mudah dilakukan. Usaha pengendalian erosi lahan yang umum dilakukan adalah
dengan cara vegetatif dan penggunaan konstruksi tambahan dengan menggunakan
batu atau beton atau kombinasi keduanya. Cara vegetatif mempunyai banyak
keterbatasan terutama untuk lahan dengan kemiringan lereng yang besar, yang
memerlukan cara proteksi terhadap bahaya erosi dan longsor dengan bangunan
khusus.
(https://media.neliti.com/media/publications/69801-ID-analisis-erosi-lahan-
pada-lahan-revegeta.pdf)

8. Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. Famiaterdio Nagara yang


menimbulkan dampak sosial pada masyarakat di daerah Seluma dilihat dari aspek
cara hidup: telah terjadi perubahan cara hidup, baik itu cara bekerja, bermain, dan
berinteraksi, masyarakat merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungan dan juga
tekanan akibat adanya pertambangan.
Dilihat dari aspek budaya (sistem nilai, norma dan kepercayaan): telah
terjadi perubahan budaya yang biasa dimplementasikan dalam sistem nilai dan
tradisi kerjasama, gotong royong, tolong menolong dan kegiatan keagamaan,
perubahan budaya tersebut disebabkan oleh adanya konflik internal di tengah
masyarakat. Dilihat dari aspek komunitas (struktur penduduk) belum terjadi
perubahan komunitas karena belum terjadi relokasi dan belum ada penduduk desa
Penago Baru yang benar-benar meninggalkan desa karena aktivitas pertambangan.
Dilihat dari aspek sosial ekonomi (perubahan pendapatan dan kesempatan
berusaha): telah terjadi perubahan pendapatan, masyarakat desa yang berprofesi
sebagai petani mengalami penurunan pendapatan akibat aktivitas pertambangan
yang menyebabkan kerusakan lahan pertanian dan matinya tanaman serta
berkurangnya hasil tangkapan ikan bagi masyarakat yang menjadikan nelayan
sebagai profesi sampingan, dengan demikian kesempatan berusaha Masyarakat
Desa Penago Baru yang menjadi nelayan hilang. Kesempatan untuk bekerja di PT.
Famiaterdio Nagara juga sulit dirasakan karena pekerja yang direkrut adalah orang-
orang dekat dengan pihak perusahaan. Dilihat dari aspek institusi (naiknya
permintaan akan fasilitas umum): fasilitas umum belum sesuai harapan, karena
pembangunan infrastruktur yang merupakan program pihak perusahaan belum
direalisasikan. Kesimpulan akhir penelitian ini adalah perlu adanya studi yang bukan
hanya mengkaji dampak lingkungan tapi juga dampak sosial yang akan terjadi,
pihak perusahaan hendaknya melakukan aktivitas pertambangan sesuai dengan
izin yang dimiliki dan dalam melakukan aktivitas pertambangan harus
mengutamakan kelestarian lingkungan, keselamatan dan kesehatan masyarakat
sekitar.
Y Yulyanengsi. 2013.http://repository.unib.ac.id/1783/

9. Pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua demi kelancaran


operasional Freeport telah terekam di banyak laporan dan penelitian.
“Kalian pasti telah mengorganisir 300 pemberontak itu. Lihat saja, ABRI akan
mencari siapapun yang terlibat. Kalau ketemu, tidak ada ampun. Dan kalian semua
harus melindungi diri kalian sendiri. Jangan coba-coba bekerja sama dengan
mereka di hutan. Kalau ada dari kalian yang terlibat, kalian harus memberi tahu
kami!” seorang komandan militer berteriak di dalam gereja.
“Tapi Tuan Komandan, bagaimana kami, orang biasa, bisa melindungi diri? Kami
tidak punya senjata!” seorang pemuda menjawab.

“Itu bukan urusanku. Ko bisa pakai panah dan busurmu atau pisau, atau apapunlah.
Yang paling penting kalian harus melakukan sesuatu,” si komandan mulai marah.

Percakapan itu terjadi pada 25 Desember 1994. Setelah tentara dan petugas
keamanan Freeport menembaki orang-orang Amungme dan Kamoro yang sedang
melakukan aksi dengan menari, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel di
Tembagapura.

Ia tertulis dalam laporan Australian Council for Overseas Aid berjudul Trouble At
Freeport. Laporan itu berisi tentang perlawanan Papua Barat ke tambang Freeport
dan represi militer Indonesia terhadap perlawanan tersebut.

Freeport dan militer Indonesia memang memiliki catatan panjang tentang


pembunuhan warga sipil. Sebelum laporan Australian Council itu dipublikasikan,
ada beberapa catatan yang merangkum perlawanan masyarakat dan kekerasan
yang mereka hadapi.

Ia bermula pada tahun 1967, setelah Freeport mengantongi kontrak karya.


Perusahaan tambang asal Amerika itu, bersama kontraktornya mulai menggusur
tanaman rakyat. Mereka membangun helipad dan basecamp di Lembah Waa dan
Banti, kawasan Gunung Nemangkawi.
Penduduk yang tinggal di lembah itu tak terima. Mereka kemudian melakukan
protes. Tuarek Nartkime, seorang tokoh adat suku Amungme—salah satu suku
pemilik lahan konsesi Freeport—memimpin protes itu. Tak ada catatan korban jiwa
pada protes yang pertama.

Lima tahun kemudian, Tuarek Nartkime kembali memimpin protes di Lembah


Tsinga. Menghadapi aksi ini, Freeport dan Pemerintah Indonesia mengirimkan TNI
angkatan darat ke Tsinga demi mengamankan aktivitas eksploitasi. Menurut Markus
Haluk dalam bukunya berjudul Menggugat Freeport, ada 60 orang suku Amungme
yang menjadi korban dalam insiden ini.

Setakat satu tahun, Freeport menggusur masyarakat suku Amungme untuk


membangun Kota Tembagapura. Kota itu akan dijadikan daerah pemukiman
pekerja tambang. Protes besar-besaran terjadi. Patok-patok silang dipasang warga
di lokasi yang akan dijadikan kota. Protes pada tahun 1973 itu menghasilkan
sebuah kesepakatan bernama January Agreement 1974 antara Freeport McMoran,
Pemerintah Indonesia, dan masyarakat suku Amungme.

Tetapi kemudian, Freeport dianggap tidak menjalankan seluruh kesepakatan yang


tertuang dalam perjanjian itu. Empat tahun setelah perjanjian ditandatangani, warga
suku Amungme melakukan protes di Agimuka. Mereka memprotes kehadiran
Freeport yang telah merampas tanah-tanah suku Amungme.

Menurut catatan Markus Haluk, tentara menghadapi protes itu dengan aksi
kekerasan, melakukan penembakan dan pengeboman. Keeseokan harinya,
bersama dengan OPM, warga suku Ammungme menyerang Freeport. Mereka
merusak instalasi milik Freeport, termasuk jalur pipa yang membawa konsentrat
emas dan tembaga dari area pertambangan ke kapal.

Di waktu bersamaan, masyarakat di Agimuka diserang tentara. Kampung Waa dan


Kwamki hancur total. Banyak penduduk yang ketakutan dan melarikan diri ke hutan.
Sepanjang 1977 sampai 1990, protes terus dilakukan warga suku Amungme.
Kekerasan dari tentara juga terus mereka hadapi.

Pada 25 Desember 1994, masyarakat dari lembah Bela, Jila, Owea, Tsinga, dan
Waa menggelar protes terhadap Freeport atas tindakan intimidasi, penahanan
sewenang-wenang, penyiksaan tanpa proses hukum, dan pembunuhan yang
menimpa orang-orang Amungme dan Kamoro.

Ada sekitar 300 orang terlibat dalam aksi yang kemudian dibubarkan tentara
Indonesia. Mereka dituduh OPM dan ditembak tanpa peringatan lebih dahulu. Dua
orang Amungme tewas, lima orang hilang, 35 orang ditahan dan disiksa, semuanya
dilakukan tanpa proses hukum.

Mei 1995, satu regu militer Indonesia yang sedang melakukan operasi di Kampung
Hoea menembak brutal warga yang sedang berdoa bersama dan mengadakan
pertemuan untuk menyepakati proses kembalinya sejumlah warga yang selama ini
lari ke hutan. 11 orang termasuk dua anak-anak, dua remaja, dan satu orang
pendeta tewas dalam serangan ini.

Australian Council bahkan sempat merilis nama-nama warga Papua yang menjadi
korban. Tetapi hanya korban-korban pada tragedi 1994 sampai 1995. (Lihat
infografik)

Menanggapi kebenaran nama-nama korban tersebut, Kapuspen TNI Mayjen TNI


Wuryanto belum bisa mengungkapkan kebenaran dokumen tersebut. "Masih saya
cek dulu ya. Kemarin saya sudah ke Asintel. Belum ada data. Masih dicari," ujar
Wuryanto kepada via telepon, Selasa (7/3) pagi.

Wuryanto mengatakan akan memberi jawaban pada sore hari. Namun, saat kembali
dimintai keterangan, ia tak bisa dihubungi. Pesan singkat yang dikirim pun hanya
dibaca.

Ada satu kutipan dari Tuarek Nartkime—seorang tokoh suku Amungme—yang


berulang kali dikutip oleh laporan-laporan soal Freeport. “Saya selalu bertanya pada
Tuhan, mengapa Ia meletakkan gunung yang indah itu di sini, karena orang-orang
Amungme tak mendapatkan apa-apa dari Freeport kecuali masalah-masalah.
(https://tirto.id/catatan-pembunuhan-demi-freeport-ckkc)
10.

LAHAN bekas galian tambang pasir di Kelurahan Cibunigeulis, Kecamatan


Bungursari, Kota Tasikmalaya, Jumat 28 Desember 2018. Upaya reklamasi bekas
lahan tambang minim dilakukan para pengusaha di Kota Tasikmalaya./BAMBANG
ARIFIANTO/PR
TASIKMALAYA, (PR).- Menjamurnya aktivitas penambangan pasir di Kota
Tasikmalaya tak diikuti upaya reklamasi lahan. Akibatnya, lahan kritis bermunculan
serta meningkatkan potensi bencana alam.
Pantauan "PR" lahan bekas galian dengan lubang menganga menjadi
pemandangan jamak yang bisa ditemui di tepi Jalan Mangkubumi-Indihiang
(Mangin), Kota Tasikmalaya. Tak hanya menyisakan lubang-lubang, beberapa bukit
bahkan terkelupas dan tertutupi rumput dan pepohonan liar akibat kegiatan
penambangan.
Tak terlihat  upaya reklamasi atau mengembalikan kembali bekas-bekas lahan
tambang melalui penghijauan guna memperbaiki kondisi ekologisnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya Dudi Mulyadi mengakui
mininmnya upaya reklamasi oleh para pengusaha tambang. Dia menyebut, hampir
semua pengusaha tambang tak melakukan reklamasi di bekas lahannya.
"Diantepkeun (dibiarkan)," kata Dudi di ruang kerjanya, Jalan Noenoeng
Tisnasaputra, Kota Tasikmalaya, Jumat 28 Desember 2018. 
Akibat pembiaran tersebut, potensi bencana pun mengintai. Area perbukitan atau
lahan bekas tambang rawan longsor dan menyebabkan genangan air atau banjir.
Pasalnya, lahan-lahan tersebut sudah tak memiliki pepohonan yang mampu
menyerap air hujan.  Dudi menambahkan, air hujan pun dari perbukitan yang
ditambah langsung mengalir ke wilayah kota. "Ketika tidak terserap, otomatis lari ke
dataran lebih rendah," ujar Dudi.
(https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01304888/tambang-tanpa-reklamasi-
lahan-kritis-bermunculan-di-kota-tasikmalaya)

Anda mungkin juga menyukai