Anda di halaman 1dari 8

ADAPTASI TERHADAP LINGKUNGAN RAWA MELALUI

PEMBANGUNAN RUMAH PANEN HUJAN*)


Supli Effendi Rahim1), Nurhayati Damiri2) dan Momon Sidik Imanudin2)
1)
Dosen PPS Univeristas Kader Bangsa Jalan MayJend Ryacudu no 88 kelurahan 7 Ulu Palembang
Sumatera Selatan
2)
Dosen Fakultas Pertanian UNSRI dan Program Doktor Ilmu Lingkungan PPS Universitas Sriwijaya
Palembang Sumatera Selatan
2)
Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNSRI Kampus Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan
Corr. author: suplirahim31760@gmail.com

ABSTRAK

Pembangunan perkotaan di kebanyakan kota di pantai timur pulau Sumatera dilangsungkan pada
lahan rawa, termasuk kota Palembang. Adaptasi terhadap lingkungan rawa adalah hal yang mesti
dilakukan supaya pembangunan yang dilaksanakan tidak menyebabkan bencana ikutan dari
pembangunan itu sendiri. Salah satu aspek yang mesti diperhatikan pada lahan rawa adalah fungsi
menampung air sehingga dalam kurun waktu tertentu mengalami genangan. Pembangunan rumah
panen hujan adalah alternatif upaya adaptasi terhadap lingkungan rawa dalam upaya membangun
Kawasan perkotaan. Sebagai Langkah awal adalah memastikan kawasan yang akan dibangun bukan
Kawasan rawa konservasi yang mesti dilestarikan. Diputuskan bahwa 25 persen lahan dijadikan kolam
ikan untuk digali, sisanya 252 m2 untuk areal bangunan rumah dan aksesori, 35 m2 untuk kolam
renang, 10 m2 untuk tangki penampung air hujan, 5 m2 untuk sumur resapan dan sisanya adalah
halaman untuk ditanami dan fasilitas olah raga. Setelah selesai dibangun dilakukan evaluasi ternyata
tidak ada air hujan dan luapan air dari luar yang tidak tertampung dalam kolam dan fasilitas
penampungan lain. Rumah panen hujan ini diyakini menjadi alternatif yang baik untuk adaptasi
terhadap lingkungan rawa. Adaptasi terhadap lingkungan rawa melalui pembangunan rumah panen
hujan merupakan alternatif yang paling bijaksana. Pada satu sisi pemanfaatan rawa untuk pemukiman
dapat dilaksanakan dengan baik, pada sisi lain fungsi rawa sebagai tempat menampung air pada
musim penghujan tetap lestari. Demikian juga pada musim kemarau yang sealama ini air menghilang
dari Kawasan rawa ternyata selalu ada dan mencukupi kebutuhan air bersih baik untuk menyiram
tanaman, membersihkan kendaraan dan sebagai media untuk hidupnya berbagai jenis ikan.

Kata kunci: adaptasi, lingkungan rawa, pembangunan perkotaan

PENDAHULUAN

Pembangunan perkotaan di kota-kota sepanjang pantai timur Sumatera dan bahkan di banyak
temnpat di Indonesia dilangsungkan di lahan rawa. Lahan rawa di kota Palembang saja meliputi 50
persen lebih dari luas kota yang dilaporkan mempunyai luas sekitar 40.000 hektar itu. Menurut
Nursito (2015) luas lahan rawa di kota Palembang pada tahun 2015 adalah 22.000 hektar. Sementara
itu hingga hari ini penimbunan lahan rawa untuk pembangunan perumahan, bangunan komersial,
rumah toko dan lain sebagainya masih berlangsung. Akibat derasnya laju pembangunan di kota
Palembang maka pada tahun 2010 dilaporkan bahwa luas lahan rawa tinggal 35 persen dari luas kota.

*)Paper disampaikan pada seminar pada Sabtu 12 Juni 2021 dengan topik Adaptasi terhadap
lingkungan rawa dalam derasnya laju pembangunan perkotaan yang diadakan oleh STUDY CLUB ON
LOWLAND DEVELOPMENT AND MANAGEMENT. Https://s.id/SCLowland.
Dampak ikutan dari semakin menyempitnya areal rawa adalah terjadi genangan atau banjir pada
musim penghujan. Bahkan setiap turun hujan lebat terjadi genangan air yang menyusahkan warga
yang berada di Kawasan yang selalu dilandar banjir. Proses kegiatan sosial dan ekonomi dilaporkan
oleh Adelekan (2010) sebagai penyebab peningkatan risiko terjadinya banjir di perkotaan. Perubahan
lingkungan secara global juga menyumbang terhadap tingginya risiko banjir di perkotaan (Coumou
dan Rahmstorf, 2012). Peningkatan risiko banjir selain karena kegiatan sosial dan ekonomi adalah
karena adaptasi masyarakat terhadap lingkungan rawa dilakukan tanpa memperhatikan
keseimbangan alam lahan rawa (Rahim, 2013).

Salah satu cara manusia perkotaan beradaptasi dengan lingkungan rawa di perkotaan antara lain
dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan alam lahan rawa sebagai tempat reasapan atau
penampungan air hujan dan juga air pasang air sungai sebagai konsekuensi naiknya air sungai karena
genangan dari hulu maupun akibat genangan dari air laut. Memanen air hujan di lahan rawa
merupakan alternatif adaptasi terhadap lingkungan raw aitu sendiri.

Di dunia internasional sejak beberapa dekade telah menjadi kesadaran bersama untuk memanen air
hujan dalam rangka menanggulangi kelebihan air pada waktu musim penghujan dan kekeringan pada
musim kemarau, kekurangan air bersih serta penanggulangan banjir dan kekeringan (Song et al., 2009;
Harsoyo, 2010; Rahim, Damiri dan Zaman, 2018). Kesadaran secara kelembagaan tentang pentingnya
merencanakan panen hujan telah dilaporkan oleh Nurrohman et al. (2015) ketika mereka melakukan
kajian dan perencanaan panen hujan di kampus Universitas Diponegoro Semarang. Para peneliti itu
menyadari bahwa pembangunan kampus yang mengubah hamper 50 persen areal kampus Universitas
tersebut menjadi bangunan menyebabkan perubahan ruang terbuka hijau untuk meresapkan air
hujan yang berkonsekuensi kepada terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan pada musim
kemarau.

Penggunaan air secara berkelanjutan dikenalkan oleh para ahli berupa penyediaan air kepada manusia
hendaknya dilakukan dengan jumlahj yang sesuai dengan kebutuhan. Prinsip pengelolaan sumber
daya air demikian dapat digunakan untuk mengidentifikasi alternatif sumber air yang dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dan tidak harus memenuhi standar air minum (Yulistyorini,
2011). Rawa merupakan areal yang tergenang pada musim hujan karena air hujan melimpah. Pada
banyak kasus justru air hujan disalahkan sebagai penyebab terjadinya bencana banjir (Afriyanto dan
Suskiyatno, 2015).

Di Palembang menurut Siregar et al. (2019), ditemukan sekitar 40 titik daerah rawan banjir seperti
jalan-jalan umum berada di 11 lokasi yakni Jalan Jenderal Sudirman depan Hotel Sintera, Jalan Basuki
Rahmat Simpang Polda, Jalan R Sukamto depan RM Pindang Meranjat, Jalan Demang Lebar Daun
antara Jalan Angkatan 45 - RS Siti Khodijah dan Sepanjang Jalan Macan Lindungan, Jalan R Suprapto
Depan Unsri, Jalan Yos Sudarso depan SPBU, Jalan RE Martadinata Depan Kantor Lurah 2 Ilir. Di wilayah
Seberang Ulu di Jakabaring, Jalan A Yani Naga Swidak, sepanjang 16 Ulu, Jl Sentosa dan antara
Jembatan Sungai Gerong ke Jembatan Kedukan. Di Kenten, sepanjang Jalan May Ruslan dan Pentolan
Bambang Utoyo dan di Sekolah Adawiyah. Kemudian di Jalan Veteran depan Dealer Mitsubishi, serta
di Jalan Kolonel H Burlian antara Jalan Kasnariansyah.

Salah satu penyebab banjir adalah masifnya pemanfaatan lahan rawa, untuk menjadi lahan terbangun
di kota Palembang. Jumlah rawa semakin berkurang seiring dengan upaya reklamasi setiap tahunnya,
sedangkan siklus air di kota Palembang tidak berjalan dengan lancar akibat banyaknya lahan yang
tertutup. Permasalahan yang disoroti dalam tulisan ini adalah rendahnya adaptasi semua pemangku
kepentingan di kota Palembang yang berakibat terganggunya keseimbangan dalam pemanfaatan
lahan rawa perkotaan, yang berdampak terhadap gangguan siklus air yang mengakibatkan timbulnya
banjir pada musim penghujan dan ketiadaan air pada musim kemarau. Tulisan ini menggambarkan
adaptasi terhadap lingkungan rawa melalui pembangunan rumah panen hujan.

ADAPASI TERHADAP LINGKUNGAN RAWA

Adaptasi terhadap lingkungan rawa dalam rangka membangun Kawasan rawa semestinya dilakukan
melalui serangkaian kegiatan: pertama, mentaati peraturan yang ada; kedua, memahami karakteristik
rawa; ketiga, menjaga keseimbangan lingkungan di lahan rawa dengan membangun rumah yang
ramah lingkungan.

Mentaati Peraturan

Dalam upaya mengelola Kawasan rawa, pemerintah Republik Indonesia sudah membuat
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 73 tahun 2013. Di dalam PP tersebut dikatakan bahwa: (1)
Upaya Pengendalian Daya Rusak Air pada Rawa ditujukan untuk mencegah, menanggulangi,
dan memulihkan kerusakan baik bagi Rawa itu sendiri maupun wilayah sekitarnya agar tidak
menimbulkan kerugian bagi kehidupan, (2) Penetapan Rawa harus menjamin bahwa kegiatan
pengembangan pada Rawa dengan fungsi budi daya tidak mempengaruhi Rawa dengan fungsi
lindung. Dengan demikian, keseimbangan dan keberlanjutan fungsi Rawa secara keseluruhan
dalam wilayah sungai, serta dalam kesatuan hidrologi Rawa tetap terjaga, (3) Untuk
mendukung pengelolaan Rawa diselenggarakan sistem informasi Rawa yang merupakan
bagian dari sistem informasi sumber daya air berupa jaringan informasi Rawa yang harus
diperbaharui sesuai kebutuhan dan bersifat terbuka, serta dapat diakses setiap orang.
Memahami karakteristik rawa

Rawa di kota Palembang semuanya termasuk kategori rawa lebak (non tidal swamp land), yang
berarti tidak secara langsung dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Berdasarkan lama dan
tingginya genangan, (Subagyo 2006) mengkalifikasikan lahan rawa lebak menjadi tiga tipe
(tipologi) lahan lebak, yaitu : (1) Lebak Pematang, (2) Lebak Tengahan, dan (3) Lebak Dalam.
Beberapa ciri rawa perlu dikenali supaya dapat membedakan yang mana rawa dan yang mana
sungai (Subagyo, 2006). Ciri khusus dari rawa ini menandakan bahwasannya rawa berbeda
dengan sungai. Beberapa ciri khusus rawa antara lain: 1) Rawa memiliki air yang berkisar dari
asam sampai tawar dan berwarna coklat, bahkan sampai kehitam- hitaman. 2) Rawa ada yang
terdapat di area pedalaman daratan, namun banyak pula yang terdapat di sekitar pantai. 3) Air
rawa yang berada di sekitar pantai sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.4)
Permukaan rawa pada saat terjadi terjadi air laut pasang akan tergenang banyak, sementara
ketika air laut surut, daerah ini akan nampak kering bahkan tidak ada air sama sekali. 5) Rawa
yang berada di tepian pantai banyak ditumbuhi oleh pohon- pohon bakau, sementara rawa yang
berada di pedalaman banyak ditumbuhi oleh pohon- pohon palem atau nipah.

Kondisi alam lebak pematang relatif lebih menguntungkan, dibandingkan dengan Lebak Tengahan dan
Lebak Dalam, walaupun kemungkinan terjadi kekeringan/ kekurangan air pada musim kemarau. Lahan
ini dimanfaatkan untuk permukiman, pekarangan, kebun buah buahan dan sawah di belakang
perkampungan dan merupakan sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran
rawa belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal satu bulan dalam
setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh karena genangan air banjir selalu dangkal,
maka bagian lebak ini sering juga disebut “Lebak Dangkal. Lebak tengahan adalah wilayah yang tidak
pernah kekeringan dimanfaatkan untuk sawah, tanaman palawija dan sayuran pada galengan-
galengan sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan. Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai
100 cm, selama kurang dari 3 bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah Lebak Tengahan,
apabila genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu genangannya relatif pendek, yaitu
kurang dari 3 bulan.

Gambar 1. Peta penggunaan lahan kota Palembang.

Lebak dalam adalah bagian lebak yang paling dalam airnya dan sukar mengering kecuali pada musim
kemarau panjang. Disebut juga “lebak lebung”, tempat memelihara ikan yang tertangkap, waktu air
banjir telah surut. Tinggi air genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari
6 bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal antara 50-100 cm, tetapi
lama genangannya kurang lebih dari enam bulan secara berturut-turut dalam setahun.

ADAPTASI TERHADAP LINGKUNGAN RAWA

Menurut Koentjaraningrat (1987) dan Aryadi (2011), adaptasi atau penyesuaian diri manusia terhadap
lingkungan termasuk lingkungan rawa mengandung pemahaman bahwa manusia dianugerahi empat
daya yaitu: 1). Daya tubuh yang menjadikan manusia memiliki kekuatan fisik (organ tubuh dan panca
indera). 2). Daya hidup yang menjadikan manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi
tantangan. 3). Daya akal yang menyebabkan manusia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. 4.
Daya qalbu yang memungkinkan manusia memiliki moral, dan merasakan keindahan.

Adaptasi terhadap lingkungan rawa yang jadi fokus dalam paper ini adalah melakukan upaya terpadu
untuk mempertahankan fungsi rawa sebagai pengendali keseimbangan air. Upaya adaptasi seperti ini
adalah membangun rumah panen hujan di lahan rawa. Berikut adalah pendekatan Rahim (2007) dan
Rahim, Damiri dan Zaman (2018) tentang tahapan adaptasi terhadap lingkungan rawa dengan
membangun rumah panen hujan.

Pertama, memastikan areal rawa yang akan dibangun tidak termasuk Kawasan rawa konservasi,
caranya adalah mendatangi Dinas Tata Kota Palembang. Setelah dinyatakan sebagai Kawasan yang
bisa dibangun, Langkah berikutnya adalah melakukan penataan lahan. Penataan lahan. Areal seluas
60 m x 23 m (1.380 m2). Lahan itu ditata meliputi 30 x 10 m2 (25 persen) di bagian depan digali dan
tanah galian digunakan untuk menimbun lahan yang luasnya 75 persen. Selanjutnya disiapkan lahan
untuk dibangun kolam renang dengan luas 35 m2, areal untuk tangka air (10 m2) dan areal untuk
sumur resapan 5 m2. Sisanya areal untuk pekarangan di belakang paling kanan, samping kanan, depan
dan sebelah kiri rumah. Semua dirancang agar mengalirkan air hujan yang jatuh ke kolam renang (100
m2), ke tangkI air hujan (100 m2) dan sumur resapan (50 m2). Untuk atap grasi dan atap teras depan
air yang jatuh di situ dikumpulkan atau jatuh di halaman dan dialirkan melalui pipa, got terbuka ke
kolam ikan di depan rumah.

Kedua, pembangunan rumah diselaraskan dengan sistem penampungan air hujan, Atap rumahj
terbuat dari genteng keramik dan seng. Telah dibuktikan berulang kali bahwa sistem pemanenan
hujan dari atap menuju kolam renang, kolam ikan, sumur resapan, tangka air hujan tidak pernah
melebihi kapasitas masing-masing alat pemanen air hujan. Kolam renang mampu menampung air
hujan yang jatuh dari atap pada bagian tengah dan belakang. Demikian juga tangki air hujan mampu
menampung air hujan dari atap samping kiri rumah. Sumur resapan mampu menampung dari atap
bangunan sebelah kanan dan atap dari bangunan dapur dan Gudang. Demikian juga air yang berasal
dari atap grasi, teras dan halaman depan mampu ditampung dengan baik oleh kolam renang.

Gambar 2. Tiga tempat penampungan air hujan di rumah panen hujan (diambil dari Rahim, Damiri
dan Zaman, 2018).

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan Rahim, Damiri dan Zaman (2018) terhadap runoff
dari areal atap dan halaman rumah dengan sistem panen hujan diperoleh hasil sebagai berikut. Curah
hujan yang diamati dalam penelitian ini ada empat yakni hujan dengan intensitas 5 mm, hujan dengan
intensitas 25 mm, hujan dengan intensitas 38 mm dan hujan dengan intensitas 72 mm/jam.

Dari hasil penelitian Rahim, Damiri dan Rahim (2018) terungkap bahwa hujan dengan intensitas
rendah, sedang sampai tinggi menghasilkan air hujan dengan ukuran yang banyak. Serendah apapun
intensitas hujan yang jatuh akan mengisi pundi-pundi hujan pada kolam renang, tangki dan kolam
ikan. Jumlah air hujan yang terakumulasi di kolam ikan dan seluruh penampung yang lain pada 4 kali
kejadian hujan adalah 96,5 m3 atau rata-rata 24 m3 per kejadian hujan. Jumlah ini tidak menyebabkan
membuat kolam penuh karena selalu ada penguapan setiap hari antara 3 hingga 5 persen per hari
(Tyas et al., 2014). Adanya penguapan menyebabkan air hujan yang ditampung pada semua metode

Tabel 1 Pertambahan mukan air pada tiga tempat penampungan air di rumah panen hujan

Curah hujan Area I (m3) Area II (m3) Area III (m3) Total (m3)
(mm)
5 1,25 0,75 5 7
25 6,25 1,75 15 23
38 9,25 3,1 38 51
72 18 6,5 72 96,5
Sumber: Rahim, Damiri dan Zaman (2018).

penampungan selalu berkurang setiap hari. Walaupun demikian rumah panen hujan itu tidak pernah
kekurangan air. Dengan sistem pemanenan air hujan ini terjadi penghematan air bersih tahunan
antara 30 sampai 50 persen.

Ada sejumlah alasan mengapa memanen air hujan penting untuk konservasi air (Worm and
Hattum, 2006). Pertama, adanya peningkatan kebutuhan terhadap air berakibat meningkatnya
pengambilan air bawah tanah sehingga mengurangi cadangan air bawah tanah. Pemanenan air
hujan merupakan alternatif yang bermanfaat. Kedua, keberadaan air dari sumber air seperti
danau, sungai, dan air bawah tanah sangat fluktuatif. Mengumpulkan dan menyimpan air hujan
dapat menjadi solusi saat kualitas air permukaan, seperti air danau atau sungai, menjadi rendah
selama musim hujan, sebagaimana sering terjadi di banyak tempat. Ketiga,
sumber air lain biasanya terletak jauh dari rumah atau komunitas pemakai. Mengumpulkan dan
menyimpan air di dekat rumah akan meningkatkan akses terhadap persediaan air dan
berdampak positif pada kesehatan serta memperkuat rasa kepemilikan pemakai terhadap
sumber air alternatif ini. Keempat, persediaan air dapat tercemar oleh kegiatan industri mupun
limbah kegiatan manusia misalnya masuknya mineral seperti arsenic, garam atau fluoride.
Sedangkan kualitas air hujan secara umum relatif baik.

Dari pemanenan hujan yang diuraikan di atas terbukti bahwa adaptasi terhadap lingkungan rawa
melalui pembangunan rumah panen hujan merupakan alternatif yang paling bijaksana. Pada satu sisi
pemanfaatan rawa untuk pemukiman dapat dilaksanakan dengan baik, pada sisi lain fungsi rawa
sebagai tempat menampung air pada musim penghujan tetap lestari. Demikian juga pada musim
kemarau yang sealama ini air menghilang dari Kawasan rawa ternyata selalu ada dan mencukupi
kebutuhan air bersih baik untuk menyiram tanaman, membersihkan kendaraan dan sebagai media
untuk hidupnya berbagai jenis ikan.

KESIMPULAN
Adaptasi terhadap lingkungan rawa adalah hal yang mesti dilakukan supaya pembangunan yang
dilaksanakan tidak menyebabkan bencana ikutan dari pembangunan itu sendiri. Salah satu aspek yang
mesti diperhatikan pada lahan rawa adalah fungsi menampung air sehingga dalam kurun waktu
tertentu mengalami genangan. Pembangunan rumah panen hujan adalah alternatif upaya adaptasi
terhadap lingkungan rawa dalam upaya membangun Kawasan perkotaan. Sebagai Langkah awal
adalah memastikan kawasan yang akan dibangun bukan Kawasan rawa konservasi yang mesti
dilestarikan. Diputuskan bahwa 25 persen lahan dijadikan kolam ikan untuk digali, sisanya 252 m2
untuk areal bangunan rumah dan aksesori, 35 m2 untuk kolam renang, 10 m2 untuk tangki penampung
air hujan, 5 m2 untuk sumur resapan dan sisanya adalah halaman untuk ditanami dan fasilitas olah
raga. Setelah selesai dibangun dilakukan evaluasi ternyata tidak ada air hujan dan luapan air dari luar
yang tidak tertampung dalam kolam dan fasilitas penampungan lain. Rumah panen hujan ini diyakini
menjadi alternatif yang baik untuk adaptasi terhadap lingkungan rawa. Adaptasi terhadap lingkungan
rawa melalui pembangunan rumah panen hujan merupakan alternatif yang paling bijaksana. Pada satu
sisi pemanfaatan rawa untuk pemukiman dapat dilaksanakan dengan baik, pada sisi lain fungsi rawa
sebagai tempat menampung air pada musim penghujan tetap lestari. Demikian juga pada musim
kemarau yang sealama ini air menghilang dari Kawasan rawa ternyata selalu ada dan mencukupi
kebutuhan air bersih baik untuk menyiram tanaman, membersihkan kendaraan dan sebagai media
untuk hidupnya berbagai jenis ikan.

DAFTAR PUSTAKA
Adelekan, 2010. Vulnerability of Poor Urban Coastal Communities to Floading in Lagos,
Nigeria. Environment and Urbanization, 22 (2): 433-450.
Afriyanto, S.STB. dan B. Suskiyatno. 2015. Metoda “Rain water harvesting” untuk kebutuhan
air bersih dormitory Unika Soegijapranata sebagai solusi teknologi yang ekologis.
Prosiding SNST ke-6 Tahun 2015. Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim
Semarang,
Aryadi, Mahrus. 2011. Hutan Rakyat, Fenomena Adaptasi Budaya Masyarakat. Malang: UPT
Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. http://
ummpress.umm.ac.id/katalog/detail/ atfenomenaadaptasibudayamasyarakat. html
Coumou and Rahmstorf, 2012. A Decade of Weather Extream. Nature Climate Change, 2(7):
491-496.
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitas & Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Nurrohman, F., S.W.E. Paksi, S. Sangkawati & Sugiyanto. 2015. Perencanaan panen air hujan
sebagai sumber air alternatif di Kampus Universitas Diponegoro. Jurnal Karya Teknil
Sipil, 4 (4) : 283-292.
Nursito, C. D. 2015. Hidrologi dan Lingkungan: Studi kasus di Kota Palembang, Sumatera
Selatan. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Hal. 12.
Peraturan Pemerintah no. 73 tahun 2013 tentang Rawa.
Rahim, SE. 2007. Rumah dengan sistem panen hujan. https://bebasbanjir2025.wordpress.com.
Rahim, SE. 2013. Pengendalian erosi tanah dalam rangka pelestarian lingkungan hidup.
Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Rahim, SE, N. Damiri dan Ch. Zaman. 2018. Pemanen air hujan dan prediksi aliran permukaan
dari atap dan halam rumah sebagai alternatif penyediaan air bersih. Prosiding Seminar
Nasional Hari Air Dunia 2018 Palembang 20 Maret 2018 e-ISSN: 2621-7449.
Siregar, S.M, M. I. Sakir, Helmizuryani, S.N. Aida, dan E. Saleh. 2019. Pengelolaan Rawa
Perkotaan (Kasus Banjir Di Kota Palembang). Prosiding Seminar Nasional Hari Air
Dunia 2019 Palembang 21 Maret 2019 e-ISSN : 2621-7469.
Subagyo, H. 2006. “Klasifikasi Dan Penyebaran Hutan Rawa.” In Karakteristik Dan
Pengelolaan Lahan Rawa, Pertama. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen PertanianPengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Tyas, M.W., A. T. Sutan Haji dan R. Wirosoedarmo. 2014. Analisis nomografi suhu, laju
penguapan dan tekanan udara pada alat desalinisasi tenaga surya dengan pengaturan
vakum. Jurnal sumberdaya alam dan Lingkungan. Universitas Brawijaya, Malang. 55-
61.
Yulistyorini, A. 2011. Pemanenan air hujan sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya air
perkotaan. Teknologi dan Kejuruan, 34 (1) : 105-114.
Worm, Janette and Hattum, Tim van. 2006. Rainwater harvesting for domestic use. First
edition. Agromisa Foundation and CTA, Wageningen.

Anda mungkin juga menyukai