Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Air merupakan sendi utama kehidupan manusia. Air bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan
mendasar manusia sebagai air minum, namun juga berfungsi untuk sumber penghidupan seperti
mengairi lahan pertanian, perikanan, hingga pembangkit listrik. Terdapat berbagai kegiatan
perekonomian lain juga sangat tergantung kepada ketersediaan air, bahkan air bisa menjadi salah
satu limiting factors dalam pertumbuhan ekonomi jika ketersediaannya sangat terbatas.
Kebutuhan air hampir dapat dipastikan mempunyai kecenderungan tidak sejalan dengan tingkat
ketersediannya baik terkait dengan dimensi waktu dan ruang, maupun jumlah dan kualitasnya.
Untuk itu manusia melakukan intervensi ke pola ketersediaan air melalui pembuatan tampungan
tampungan air melalui pembangunan bendungan. Dengan tampungan ini diharapkan kelebihan
air di musim hujan dapat disimpan untuk digunakan di musim kemarau yang mempunyai tingkat
kebutuhan air relatif tinggi.
Bendungan juga bermanfaat untuk melakukan konservasi air. Dengan menahan air lebih lama di
darat sebelum mengalir kembali ke laut akan memberikan waktu untuk meresap dan memberikan
kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah. Meskipun nilai manfaat yang besar tersebut,
pembangunan bendungan juga menyimpan berbagai potensi permasalahan.
Di dalam makalah ini akan dipaparkan potret kondisi bendungan di Indonesia saat ini untuk
menjadi masukan bagi rencana pembangunan bendungan baru yang akan datang. Selain itu juga
akan direkomendasikan kebijakan penanganan bendungan-bendungan yang telah ada untuk
meminimalkan
resiko dengan tetap mengoptimalkan keberlanjutan fungsinya. Sehingga mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya air.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumber Air Tawar

Air Permukaan

Air permukaan adalah air di sungai, danau atau air tawar lahan basah. Air permukaan secara
alami diisi oleh presipitasi dan alami yang hilang karena dibuang ke dalam lautan, penguapan,
dan sub-permukaan rembesan.

Aliran Bawah Sungai

Sepanjang sungai, total volume air diangkut hilir akan sering kombinasi yang terlihat air bebas
mengalir bersama-sama dengan kontribusi yang cukup besar mengalir melalui sub-permukaan
batu dan kerikil yang mendasari sungai dan dataran banjir disebut zona hyporheic. Bagi banyak
sungai-sungai di lembah-lembah yang besar, komponen yang tak terlihat ini aliran mungkin jauh
melampaui yang terlihat mengalir. Zona yang sering hyporheic bentuk antarmuka yang dinamis
antara air permukaan dan air tanah benar menerima air dari air tanah ketika aquifers yang terisi
penuh dan memberikan kontribusi air untuk tanah-air ketika air tanah yang terkuras. Hal ini
terutama penting dalam karst daerah di mana pot-lubang dan sungai-sungai bawah tanah sering
terjadi.

Air tanah

Air Sub-permukaan, atau air tanah, air segar terletak di pori-pori tanah dan ruang dari batu. Juga
air yang mengalir di dalam aquifers di bawah meja air. Kadang-kadang adalah berguna untuk
membuat perbedaan antara sub-permukaan air yang terkait erat dengan air permukaan dan dalam
sub-permukaan air dalam akuifer (kadang-kadang disebut "fosil air").

2
Desalinasi/ Penyulingan

Desalinasi adalah proses buatan yang air garam (biasanya air laut) dikonversikan ke air tawar.
Desalinasi yang paling umum proses penyulingan dan kebalikan osmosis. Desalinasi saat ini
mahal dibandingkan dengan sebagian besar sumber air alternatif, dan hanya sebagian kecil dari
total penggunaan manusia puas dengan Desalination. Hanya ekonomis praktis untuk
menggunakan bernilai tinggi (seperti rumah tangga dan industri menggunakan) di gersang
daerah. Yang paling luas digunakan di Teluk Persia.

Air Beku

Beberapa skema telah diajukan untuk memanfaatkan gunung es sebagai sumber air, namun
hingga saat ini baru dilakukan untuk tujuan kebaruan. Gletser limpasan dianggap sebagai air
permukaan.

Himalaya, yang sering disebut "Atap Dunia", berisi beberapa yang paling luas dan kasar daerah
dataran tinggi di Bumi serta daerah terbesar gletser dan permafrost di luar kutub. Sepuluh dari
sungai-sungai terbesar di Asia mengalir dari sini, dan lebih dari satu miliar orang tergantung
pada mata pencaharian mereka. Untuk memperumit masalah, suhu meningkat lebih cepat di sini
daripada rata-rata global. Suhu di Nepal telah meningkat dengan 0,6 derajat selama dekade
terakhir, sedangkan pemanasan global telah sekitar 0,7 selama seratus tahun terakhir.

2.2 Pengertian dan Maksud Pembangunan Bendungan

Dengan maksud memenuhi kebutuhan air maka diperlukan prasarana penyedia dan pengambil
airnya antara lain bangunan bending. Bendung adalah suatu bangunan yang dibangun melintang
sungai untuk meninggikan taraf muka air sungai dan atau membendung aliran sungai sehingga
aliran sungai bias disadap dan dialirkan secara gravitasi kedaerah yang membutuhkannya. Tipe
bending dapat dibedakan dengan bending tetap dari bahan pasangan batu, beton, bendung gerak
dengan pintu sorong atau pintu radial, dan kembang kempis dan sebagainya.

3
BAB III
ISI DAN PEMBAHASAN

3.1 Potret Kondisi dan Permasalahan Bendungan di Indonesia

Dari data yang telah dihimpun sebelumnya sejak tahun 1970-an, waduk di Indonesia terutama di
Pulau Jawa sudah mulai terganggu fungsinya. Dalam laporan Project Implementation Plan for
Dam Operational Improvement and Safety Project (DOISP) dijelaskan bahwa perubahan sangat
cepat terjadi pada kurun 1990-an sampai tahun 2000. Dari tiap 100 hektar lahan di kawasan
tangkapan air mengalami konversi sebanyak 60 persennya. Hal ini tentunya berakibat
meningkatkan sedimentasi di dasar waduk. Sebagai contoh; survei terhadap tingkat erosi dan
sedimentasi yang dilakukan tahun 1980-an terhadap Waduk Wonogiri sudah menunjukkan
tingkat sedimentasi yang sangat tinggi hingga mengakibatkan pendangkalan. Setiap tahun laju
sedimentasi akibat erosi di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri mencapai 3 juta m3. Bagian
penampung sedimen kini daya tampungnya berkurang dari 500 juta m3 menjadi 300 juta
m3.Pada Tabel 3 di bawah ini diperlihatkan nilai resiko kerusakan bendungan yang terjadi di
Indonesia (DPU, 2008). Besaran tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam tingkatan low,
moderate, high, dan extreme dimana penilaian low berkisar antara nilai 0 – 15, penilaian
moderate berkisar antara nilai 16 – 45, penilaian high berkisar antara nilai 46 – 75, dan penilaian
extreme berkisar antara nilai 76 - 90.
Faktor – faktor yang menjadi acuan dalam penilaian di atas mencakup penilaian terhadap
kapasitas eksisting volume tampung bendungan, ketinggian bendungan, persyaratan evakuasi
terhadap kerusakan bendungan, potensi kerusakan daerah hulu, catatan historis terhadap jadwal
pemeliharaan bendungan, kapasitas jagaan banjir, dan stabilitas struktur bendungan terhadap
potensi gempa bumi yang terjadi. Dari data ini dapat dilihat bahwa sebagian bendungan besar di
Indonesia telah termasuk kedalam resiko kerusakan tinggi, seperti Sermo dan Wonorejo. Dalam
laporan tersebut juga disebutkan bahwa Selorejo mempunyai tingkat resiko kerusakan paling
tinggi.

4
Tabel 1: Penilaian Resiko Bendungan di Indonesia
Sumber : Project implementation Plan for DAM Operational Improvement and Safety Project
(2008)

Waduk yang dirancang memiliki umur efektif pemanfaatan selama 100 tahun kini hanya
memiliki sisa waktu selama sekitar 10 tahun, dari 30 tahun sisa umur layanan rencananya.
Waduk Wonogiri dibangun mulai 1977 hingga selesai 1982. Artinya waduk telah beroperasi 25
tahun. Waduk Wonogiri memiliki daya tampung total 780 juta m3, meliputi 120 juta m3 untuk
penampungan sedimen, 440 juta m3 untuk menampung air baku, dan 220 juta m3 pengendalian
banjir dengan masa operasi 25 tahun. dari sumber informasi yang didapatkan dari Departemen
Pekerjaan Umum, saat ini sedimen telah terisi 58 juta m3 atau 49% dari daya tampung awal.
Pada Waduk Wonorejo terdapat delapan
sistem sungai yang masuk waduk, yaitu Keduang, Tirtomoyo, Temon, Solo Hulu, Alang,
Unggahan, Wuryantoro, dan Remnan, dimana penyumbang sedimen terbesar adalah DAS
Keduang karena

5
sebagian besar daerahnya merupakan permukiman, lahan pertanian, tegalan yang rentan
terjadinya erosi permukaan dan sumber sedimen.
Selain Gajah Mungkur nampak bahwa waduk-waduk lain di Jawa juga menghadapi masalah
yang sama, pendangkalan oleh sedimentasi akibat erosi di bagian hulu dan DAS. Waduk itu
antara lain adalah Kedung Ombo yang mengairi Pati, Kudus, dan Demak. Waduk Mrica untuk
wilayah Wonosobo dan Rawa Pening mengairi wilayah Ambarawa.

3.2 Analisa Permasalahan Bendungan di Indonesia

Potensi permasalahan pembangunan bendungan dapat dibagi menjadi dua hal utama yaitu
(1) dampak dari konstruksi bendungan, dan (2) paska konstruksi atau masa pemanfaatan dari
bendung. Pembangunan bendungan tidak bisa dipungkiri akan memberikan dampak yang besar
baik bagi lingkungan maupun sosial. Pembebasan lahan untuk daerah genangan dan lokasi tubuh
bendung telah menjadi isu yang sering kali mengemuka. Dengan mudahnya sharing informasi
sebagai konsekuensi majunya teknologi akan menempatkan isu pemindahan penduduk ini
menjadi isu global yang menjadi concern dunia internasional. Permasalahan yang sering
dikaitkan dengan isu hak asasi manusia ini akan menghambat pelaksanaan pekerjaan
pembangunan bendungan, bahkan bias menghasilkan keputusan pemberhentian pelaksanaan
pembangunan. Tidak sedikit pula protes dari para pemerhati lingkungan terhadap potensi
perubahan lingkungan yang akan ditimbulkan.
Potensi permasalahan tidak berhenti seiring dengan selesainya pelaksanaan konstruksi.
Masih terdapat isu-isu lain dalam tahap pemanfaatan bendungan ini, yaitu (1) potensi kegagalan
konstruksi yang akan mengancam masayarakat yang bermukim di hilir bendungan, dan (2)
permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan.
Mengingat sifatnya yang termasuk kedalam heavy construction maka bendungan menyimpan
potensi bahaya yang besar. Namun di sisi lain, pada saat ini pemeliharaan merupakan suatu
tahapan pasca konstruksi yang sering terabaikan bahkan terlupakan. Hasrat untuk membangun
terkadang tidak diimbangi oleh kemampuan dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder)
untuk memelihara apa yang telah dibangun. Potensi kegagalan dan kerusakan yang terjadi pada
bendungan di Indonesia sangat terkait dengan rendahnya tingkat pemeliharaan termasuk di

6
dalamnya sistem monitoring keamanan bendungan. Akibat minimnya biaya Operasi dan
Pemeliharaan (OP) yang dianggarkan oleh pemerintah saat ini yang tidak sebanding dengan
tingginya biaya pemeliharaan bendungan, maka tingkat resiko kerusakan bendungan akan
semakin tinggi. Meninjau permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi
bendungan, sedimen yang menyebabkan kritisnya kondisi bendungan diIndonesia pada
umumnya diakibatkan oleh tingginya tingkat erosi yang terjadi di daerah hulu bendungan, akibat
maraknya pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan permukiman penduduk atau areal
pertanian baru. Dengan adanya tumpukan sedimen dibeberapa wilayah tersebut, maka daya
tampung air waduk atau bendungan pada waktu musim hujan menjadi semakin berkurang yang
pada akibatnya mengakibatkan banjir, ditambah lagi pemenuhan kebutuhan air baku baik untuk
air minum, industri maupun air untuk irigasi tidak sesuai dengan desain layanan yang telah
direncanakan sebelumnya.
Seperti disampaikan di atas, yang menjadi penyebab utama pengurangan kapasitas tampungan
bendungan-bendungan di Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi yang disebabkan karena
adanya kerusakan hutan budidaya dan lahan pertanian di daerah hulu.

Oleh karena itu upaya upaya vegetasi dalam konservasi hutan harus dilakukan secepatnya .
Upaya vegetasi ini tidak bias langsung dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam jangka waktu
tersebut kebutuhan air semakin meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat maupun
pertambahan penduduk.
Upaya yang dilakukan pemerintah selama ini adalah bagaimana agar bagian penampung sedimen
tidak cepat penuh, antara lain dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun cekdam
penampung sedimen, dan mengonservasi areal penangkap air hujan di sekitar waduk, mencegah
erosi, yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak
menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali.

7
3.3 Belajar dari Pengalaman

Mengingat potensi permasalahan yang ada sekaligus melihat potret kondisi


bendunganbendungan di Indonesia saat ini, maka dapat diambil sebagai spelajaran dalam
memformulasikan kebijakan pembangunan dan penanganan bendungan ke depan. Dalam
paparan kami mencoba membagi kebijakan menjadi dua opsi utama, yaitu
(1) Kebijakan pembangunan bendungan baru, dan
(2) Kebijakan terhadap bendungan yang telah ada.

3.4 Kebijakan Pembangunan Bendungan Baru

Dalam kebijakan pembangunan bendungan baru, pemerintah harus lebih berhati – hati sesuai
dengan beberapa fakta kondisi bendungan di Indonesia seperti pada apa yang telah diuraikan di
atas.
Mengingat kebutuhan investasi yang sangat besar dalam pembangunan bendungan,
embungembung skala kecil dan menengah bisa menjadi salah opsi dalam menyediakan
tampungan air.
Selain itu, lebih luasnya kesempatan partisipasi masyarakat dalm operasi dan pemeliharaan
embung akan menjadi point tambahan dalam mempertimbangkan opsi ini.

Perlu diingat pula bahwa fungsi bendungan juga sekaligus untuk sarana konservasi guna
meningkatkan muka air tanah di daerah hulu dikarenakan air yang ditampung akan terserap ke
dalam tanah.
Oleh karena itu diharapkan pembangunan embung skala kecil dan medium dengan jumlah yang
lebih banyak akan meningkatkan distribusi peningkatan muka air tanah. Selain fungsi tersebut
hal ini juga dapat menurunkan dan meringankan kapasitas tampungan banjir yang harus dilayani
daerah hilir.
Debit banjir di daerah hulu akan dapat didistribusikan dan ditampung secara sementara oleh
bendungan- bendungan skala kecil dan menengah di daerah tersebut.

8
Berbeda halnya apa yang terjadi di Pulau Jawa. Melihat kenyataan karakteristik sungai – sungai
di pulau Jawa yang cenderung pendek dan tajam akan lebih cocok untuk pembangunan
bendungan.
Namun pembangunan bendungan baru akan memberikan dampak sosial tinggi terkait dengan isu
resettlement mengingat tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang sangat tinggi.
Baik dalam investasi pembangunan waduk maupun embung, pemerintah harus memperhatikan
aspek Integrated Water Resources Management (IWRM) mengingat bahwa intervensi ini
memberikan dampak yang cukup besar dan memerlukan penanganan yang menyeluruh.
Penanganan yang terintegrasi antara hulu-hilir, air permukaan dan air tanah, antar sector maupun
antar wilayah ini akan mendukung keberlanjutan fungsi dan mengoptimalkan manfaatnya.
Pengelolaan daerah hulu akan mempertahankan laju sedimentasi yang akan masuk ke tampungan
waduk sehingga dapat memperpanjang umur manfaat waduk. Konsolidasi antar wilayah dan
antar sector akan
meminimalkan konflik antar pengguna air dan sekaligus menentukan peran dan tanggungjawab
masing-masing pihak. Pembangunan bendungan juga harus didukung setting kelembagaan yang
mampu mengakomodasi tanggungjawab pengelolaan asset tersebut.
Pada akhirnya perlu ditekankan bahwa perencanaan pembangunan bendungan ke depan
membutuhkan:

• Perencanaan pembebasan lahan dan pemukiman penduduk yang matang dengan melibatkan
peran serta masyarakat untuk meminimalisasi gejolak sosial yang ditimbulkan. Selain itu
diperlukan penanganan keseluruhan DAS secara terintegrasi dan menyeluruh terutama di daerah
hulu untuk menjamin keberlanjutan fungsi bendungan.

• Perhitungan prediksi tingkat sedimentasi yang akurat dan tepat yang memperkirakan perubahan
tata guna lahan sampai dengan 25 - 50 tahun kedepan

• Perencanaan bangunan pengendali sedimen di hulu bendungan yang merupakan satu paket
perencanaan bendungan sehingga dapat mengurangi beban sedimen yang masuk ke tubuh
bendungan.

9
• Pedoman Operasi dan Pemeliharaan (SOP) yang sesuai dengan karakteristik setiap bendungan
sehingga bendungan yang telah direncanakan dapat memenuhi usia layanan bendungan sesuai
dengan apa yang telah menjadi perencanaan sebelumnya.

• Sosialisasi yang baik dalam proses pemeliharaan, berupa pengerukan sedimen bendungan,
rehabilitasi outlet dan inlet serta tindakan teknis lainnya, sehingga masyarakat dapat berperan
aktif dalam melaksanakan fungsi kontrol dan dapat lebih bersahabat dengan bendungan yang ada
di arealnya.

• Rencana Tindak Darurat (RTD), dalam setiap perencanaan bendungan harus didukung dengan
adanya suatu Rencana Tindak Darurat (RTD) yang disesuaikan dengan karakteristik setiap
bendungan, sebagai salah satu standar dalam pengamanan bendungan apabila terjadi kegagalan
bendungan. Pada RTD tersebut harus dapat tercantum Klasifikasi Tingkat Bahaya Bendungan
(Hazzard Classification) yang memuat tingkatan – tingkatan bahaya, potensi kerusakan, dan
upaya yang harus dilakukan dalam rangka mengeliminir kerugian dan korban jiwa. Setiap
bendungan yang dibagun harus memiliki permodelan bahaya (Hazzard Model) yang diketahui
dan dapat diakses oleh masyarakat atau stake holder yang terkait, sehingga setiap komponen
yang terlibat di dalamnya memiliki kesiagaan yang lebih baik dalam menghadapi kegagalan
bendungan yang terjadi di kemudian hari.

3.5 Kebijakan Penanganan Bendungan yang Sudah Terbangun

Untuk menangani bendungan yang telah ada, pertama-tama diperlukan penanganan yang cukup
mendesak untuk mengembalikan kapasitas tampungan yang pada akhirnya dapat meningkatkan
fungsi bendungan itu sendiri. Pembilasan kembali waduk – waduk dengan tingkat sedimen tinggi
bisa menjadi salah satu alternatif selain upaya pengerukan (dredging). Dalam hal ini perlu
adanya perancangan desain terhadap low level outlet sehingga waktu pengurasan sedimen dapat
dilakukan lebih cepat.

10
Pengerukan kembali waduk – waduk yang memiliki tumpukan sedimen besar perlu disertai
analisis mendalam terhadap dampak lingkungan hidup terkait dengan adanya kandungan
contaminated sludge.
Selain itu, pemerintah perlu merevisi kembali manual prosedur operasi dan pemeliharaan dari
bendungan yang ada di Indonesia, terutama yang memiliki tingkat resiko sedimen dan kerusakan
tinggi.
Dengan menerapkan sistem ini maka upaya yang dilaksanakan tidak hanya menyentuh sector
fisik semata, namun juga akan menyentuh sektor sosial yang turut menentukan dalam
keberlangsungan fungsi bendungan kedepan.
Dalam upaya mengimplementasikan IWRM perlu diingat kembali prinsip-prinsip dasar dalam
pendekatan terintegrasi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara pertumbuhan
ekonomi - economic growth, kesetaraan sosial -social equity, dan keberlanjutan lingkungan –
environmental sustainability (Gabbrielli, 2006). Permasalahan yang terjadi di catchment area
tidak hanya permasalahan lingkungan saja, tetapi mungkin justru berasal dari masalah-masalah
sosial. Isu konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, kemiskinan serta rendahnya
pendapatan penduduk di kawasan hulu dan sekitar areal bendungan harus menjadi perhatian
utama, dalam rangka mendukung pelaksanaan IWRM.
Selain itu, perlu ditekankan pula pentingnya monitoring dan pemeliharaan yang
berkesinambungan terhadap instrumen pemantau sedimen di setiap bendungan, sehingga
sedimen tersebut tidak tertumpuk terlalu lama di dasar bendungan yang mengakibatkan volume
pengerukan menjadi sangat besar di kemudian hari. Pengoptimalan kembali fungsi bangunan
cek-dam juga dapat dioptimalkan agar sedimen sudah dapat termitigasi sebelum masuk ke dalam
bendungan.
Operasi dan pemeliharaan cek dam ini dapat memanfaatkan kelembagaan komunitas penggali
pasir yang berbasis masyarakat sehingga dicapai bentuk kerjasama yang sinergis dan saling
menguntungkan.

11
3.6 Dampak Kebijakan Bandungan terhadap Optimalisasi Sumber Energi Primer

Mengingat potensi tenaga air dengan head yang besar, sangat disadari bahwa bendungan juga
berfungsi sebagai sumber energi primer melalui pembangkit listrik tenaga airnya (PLTA).
Kondisi kritis yang dialami bendungan-bendungan besar secara tidak langsung akan
mempengaruhi kapasitas listrik yang dihasilkan. Kabijakan terkait bendungan yang diterapkan
juga akan berdampak terhadap pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik.
Isu global warming maupun climate change akibat dari penumpukan green house gasses (GHGs)
ditambah harga minyak dunia yang semakin melonjak telah memaksa pemerintah untuk mencari
sumber energi primer yang lebih ramah lingkungan dan renewable. Keputusan pemerintah untuk
lebih berhati-hati dalam pembangunan bendungan baru akan mengarahkan kepada pencarian
alternative sumber energi primer yang lain dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional,
misalnya panas bumi. Dengan strategi pengelolaansumber daya air ke arah pembangunan
tampungan air skala kecil dan menengah akan menyebabkan potensi tenaga air tidak akan bisa
dimanfaatkan secara maksimal.
Tapi keputusan ini merupakan konsekuensi dari potensi permasalahan yang akan ditimbulkan
dalam pembangunan bendunganbesar. Di lain sisi, optimalisasi PLTA yang sudah terbangun
telah sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan fungsi bendungan melalui
rehabilitasi waduk dan penanganan kawasan tangkapan air.

12
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pemeliharaan bendungan merupakan suatu tahapan pasca konstruksi yang harus dilakukan
rutin.

2. Biaya Operasi Pemeliharaan (OP) harus sebanding dengan tingginya biaya pemeliharaan
bendung.

3. Upaya upaya vegetasi dalam konservasi hutan harus dilakukan secepatnya. Upaya vegetasi ini
tidak bias langsung dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam jangka waktu tersebut kebutuhan air
semakin meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat maupun pertambahan penduduk.

4. Dalam kebijakan pembangunan bendungan baru, pemerintah harus lebih berhati – hati sesuai
dengan beberapa fakta kondisi bendungan di Indonesia seperti pada apa yang telah diuraikan di
atas.
5. Diharapkan pembangunan skala kecil dan medium dengan jumlah yang lebih banyak akan
meningkatkan distribusi peningkatan muka air tanah. Selain fungsi tersebut hal ini juga dapat
menurunkan dan meringankan kapasitas tampungan banjir yang harus dilayani daerah hilir.
6. Pemerintah harus memperhatikan aspek Integrated Water Resources Management (IWRM)
mengingat bahwa intervensi ini memberikan dampak yang cukup besar dan memerlukan
penanganan yang menyeluruh.
7. Pembangunan bendungan juga harus didukung setting kelembagaan yang mampu
mengakomodasi tanggungjawab pengelolaan asset tersebut.
8. Di perlukannya kebijakan penanganan bendungan yang sudah terbangun.
9. Keputusan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam pembangunan bendungan baru akan
mengarahkan kepada pencarian alternative sumber energi primer yang lain dalam pemenuhan
kebutuhan listrik nasional, misalnya panas bumi.

13
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Sungai Bengawan Solo. (2008). Dipresentasikan di Departemen Pekerjaan Umum
tanggal
11 Januari 2008.
Balai Keamanan Bendungan. (2006) Kegagalan Bendungan di Indonesia. Direktorat Sungai,
Danau
dan Waduk, Departemen Pekerjaan Umum
Balitbang Pekerjaan Umum. (2003). Bendungan Besar di Indonesia. Proyek Pembinaan Teknis
Pembangunan dan Pengamanan Waduk, Direktorat Jendral Pengairan, Departemen
Pekerjaan Umum
Departemen Pekerjaan Umum (2008) Project Implementation Plan for Dam Operational
Improvement
and Safety Project (DOISP). Water Resources and Irrigation Sector Management Project
(WISMP)
Dinas Infokom Jatim. (2004). Minimalkan Resiko, Pemerintah Susun Operasi Pemeliharaan Dan
Pengamanan Bendungan. Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.d-infokomjatim.
go.id/news.php?id=1148. Surabaya: Pemda Jatim
Gabbrielli, E. (2006) Why Integrated Water Resources Management is relevant to water utilities.
Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.adb.org/water/operations/2006/ Gabbrielli.pdf.
Kemitraan Air Indonesia. (2008). Bendungan di Indonesia dalam Kondisi Kritis Akibat
Sedimentasi.
Diakses 11 Juni 2008, dari www.inawater.com/news/ wmview.php. Jakarta : KAI
Kuswardono, T. (2006). Bendungan Jatigede, Pengulangan Sejarah Kegagalan. Diakses 11 Juni
2008,
dari http://www.walhi.or.id/kampanye/air/bendungan/061026_ jatigede_li/ . Jakarta:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Maryono, E., et al. (2004). Atasi Krisis Air, Haruskah Dengan Bendungan Besar ? Diakses 11
Juni
2008, dari http://www.suarapublik.org/index.php?option=com_content&task
=view&id=67&Itemid=26 .Jakarta: Suara Publik, Jaringan Informasi Kebijakan Publik
Washington Departemen of Ecology. (2005) Dam Safety Guidelines. Washington

14
15

Anda mungkin juga menyukai