Anda di halaman 1dari 45

-1-

HIDRAULIKA RAWA PASANG SURUT


TATA AIR MAKRO DAN PENERAPANNYA

OLEH :
ASEP SYAEFUDIN DAN L. BUDI TRIADI
BALAI RAWA

1. PENDAHULUAN

Luas lahan rawa di Indonesia ± 33.316.770 ha, terdiri dari 20.096.800 ha rawa
pasang surut dan 13.316.770 ha rawa non pasang surut yang tersebar di pulau
Sumatera 10.873.000 ha, Kalimantan 10.560.000 ha, Sulawesi 1.457.000 ha dan
Papua 10.523.000 ha ( Sumber Balai Rawa dan Pantai 2001 ). Lahan rawa yang
sangat luas tersebut 9 juta ha diantaranya potensial untuk dikembangkan
menjadi lahan budidaya pertanian tanaman pangan, holtikultura, perkebunan,
peternakan dan pertambakan. Selebihnya diperuntukkan untuk konservasi air,
tumbuhan dan hewan rawa.

Lahan rawa akan memiliki peranan penting dan strategis bagi pengembangan
pertanian yang sekaligus mampu mendukung ketahanan pangan nasional
terutama bila dikaitkan dengan perkembangan penduduk dan berkurangnya
lahan subur untuk berbagai penggunaan non pertanian. Di Kalimantan Selatan
terdapat lahan rawa pasang surut seluas 172.117 Ha yang tersebar di
Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin dan Tanah Laut,
dimana sampai saat ini sudah dimanfaatkan seluas 150.335 Ha ( 81 % ).

Rawa merupakan lahan yang mempunyai kemiringan yang relatif datar dan
hampir selalu tergenang air dalam waktu yang relatif lama, mempunyai sistem
drainase yang buruk serta mempunyai ciri khas secara fisik, kimia dan biologis.
Sebagian rawa air genangannya dipertahankan oleh air tanah yang sangat
dangkal, sebagian lagi terjadi karena menampung penyaluran air permukaan
(run off), atau luapan air sungai yang berlangsung secara berkala,tebal air
genangan rawa ini berfluktuasi menurut pergantian musim hujan atau kemarau.

Lahan rawa pasang surut pada umumnya sering diidentikan dengan keberadaan
jenis tanah yang belum matang dengan kandungan unsur racun yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman yang berakibat rendahnya produktivitas
usaha pertanian. Oleh karena itu perlu pertimbangan dan langkah yang cermat
untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki.

Pengembangan lahan rawa pasang surut dilandasi pendekatan pengembangan


yang berkeseimbangan antara pendayagunaan sumber daya lahan disatu sisi
dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis di sisi lainnya. Pendekatan ini
-2-

merupakan prinsip konservasi yang secara konsisten dipenuhi melalui


perwujudan zonasi kawasan, dimana dibedakan zona konservasi dan kawasan
yang menyandang fungsi sumber daya lahan yang memenuhi kelayakan untuk
dikembangkan.

Gambar 1.1. Peta Lahan Rawa Di Indonesia

Pengelolaan tata air di lahan rawa pasang surut dibagi menjadi dua tingkatan,
yaitu :
- pengelolaan air ditingkat jaringan petak tersier (Tata Air Mikro),
merupakan pengelolaan air di lahan usaha tani yang menentukan secara
langsung kondisi lingkungan bagi pertumbukan tanaman;

- pengelolaan air di tingkat jaringan utama (Tata Air Makro), berfungsi


menciptakan kondisi yang memenuhi kesesuaian bagi terlaksananya
pengelolaan air di petak tersier (Tata Air Mikro). Fungsi lain dari tata air makro
diantaranya adalah untuk melayani transportasi air dan kebutuhan air baku
untuk rumah tangga (khususnya mandi dan cuci).
-3-

Kedua tingkatan tersebut perlu diintegrasikan seusai dengan reformasi arah


kebijakan pengelolaan sumber daya air, pengelolaan jaringan utama dan
bangunan air yang ada di jaringan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah,
sedangkan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) bertanggung jawab untuk
pengelolaan air di tingkat tersier dan lahan usaha tani.

Salah satu faktor kunci keberhasilan pengembangan lahan rawa adalah teknik
pengelolaan tanah dan tata air yang tepat, sehingga tercipta media tumbuh yang
baik bagi tanaman. Pengelolaan air dalam kegiatan pertanian di lahan rawa
pasang surut dapat berhasil dengan baik jika dilakukan secara hati-hati, karena
pengelolaan air tidak mungkin dapat dicapai secara langsung serta tidak
mungkin dapat dilakukan segera setelah lahan rawa direklamasi.

Dengan memperhatikan aspek teknis, sosio agro-ekonomi dan lingkungan, maka


pengembangan daerah rawa dilakukan secara bertahap ( gradually ) yang terdiri
dari dua tahap pengembangan dengan waktu yang relatif lama antara 20 – 30
tahun sehingga diperlukan suatu strategi dan pola kebijakan pengembangan
yang baik dan terarah, sehingga tujuan pengembangan lahan rawa dapat dicapai
seoptimal mungkin.

Tahap pengembangan pertama dimana jaringan salurannya masih berupa


sistem terbuka untuk memfasilitasi terjadinya pematangan tanah dan membuang
air yang berlebihan ke luar dari lahan serta belum dilengkapi bangunan pintu
pengatur air. Tahap pengembangan berikutnya merupakan tahap lanjutan
dengan sistem terkendali secara penuh, dimana sistem jaringan telah dilengkapi
bangunan pengatur air baik di jaringan saluran sekunder maupun saluran tersier,
sehingga memungkinkan untuk dapat mengatur muka air sesuai yang
dikehendaki termasuk suplai air irigasi dan drainasenya dengan catatan jaringan
saluran dan bangunan pengatur air dipelihara dan dioperasikan dengan benar.

Bangunan pintu pengatur air di jaringan sekunder umumnya berupa pintu klep
dikombinasikan dengan pintu geser, sedangkan di jaringan tersier biasanya
berupa pintu geser, pintu klep atau stoplog. Masalah utama adalah bagaimana
mempertahankan taraf muka air yang optimal baik selama musim hujan maupun
musim kemarau dan bagaimana memenuhi kebutuhan irigasi dan drainase
sebaik-baiknya.

2. KONDISI BATAS HIDRAULIK

Pada umumnya yang menjadi kondisi batas hidraulik ditentukan oleh berbagai
yang ingin dicapai dalam pengelolaan air. Faktor-faktor penentu kondisi batas
hidraulik pada umumnya dalah sungai yang berdekatan dengan kawasan
reklamasi dan fluktuasi pasang surut harian maupun musiman, intrusi air asin,
-4-

kualitas air dan draianse dari lahan di sekitarnya. Kondisi batas hidraulik dapat
mengalami perubahan apabila ada perubahan skala besar dalam hal
penggunaan lahan di daerah aliran sungai, pembangunan reservoir, maupun
konstruksi tanggul pengamanan banjir.

2.1 Sungai

2.1.1 Fluktuasi Pasang Surut Harian

Muka air tinggi harian bersifat relatif terhadap elevasi lahan, menentukan
peluang terjadinya irigasi pasang surut dan proses drainase. Pada irigasi pasang
surut luapan air ke lahan berlangsung paling sedikit rata-rata selama 4 atau 5
hari selama siklus pasang surut (Euroconsult, at.al, 1996). Agar air pasang dapat
mengalir secara gravitasi, maka taraf muka air saat pasang purnama di sungai
harus jauh lebih tinggi dibandingkan elevasi permukaan lahan dengan terlebih
dahulu memperhitungkan kehilangan tinggi tekan (head) yang terjadi di
sepanjang ruas saluran diantara sungai dan lahan sawah. Muka air tertinggi
dapat dipakai untuk menentukan tinggi elevasi tanggul yang diperlukan untuk
pengamanan dari luapan banjir.

Muka air rendah harian dan muka air rerata menentukan peluang terjadinya
drainase dan penggelontoran air saluran.

- Drainase, yang menjadi dasar penentuan level drainase adalah muka air
rendah di sungai, level drainase terendah berada diantara muka air rendah
dan muka air rerata. Sebagai estimasi awal dari kemampuan berdrainase
seringkali muka air rerata diasumsikan sebagai basis drainase, dengan durasi
drainase efektif antara 2 sampai 6 jam perhari. Dengan elevasi lahan
kebanyakan berada di sekitar elevasi muka air pasang tinggi, makin besar
kisaran fluktuasi pasang surutnya, maka semakin besar pula selisih antara
elevasi lahan dengan muka air rendah dan muka air rerata, hal itu berarti
peluang drainasenya makin baik.

- Penggelontoran Air Saluran, makin besar kisaran pasang surut, maka


semakin besar pula potensi kecepatan aliran di saluran, hal itu berarti
semakin baik pula peluang terjadinya penggelontoran air di saluran selama
surut rendah. Kecepatan aliran yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
terjadinya erosi badan saluran dan tanggul.
-5-

Fluktuasi Muka Air Sungai Terusan Raya (BM. 01)


Selama 18 hari (tgl. 19 Juni - 6 Juli 2008)
3,00

2,50

2,00
Level (Meter)

1,50

1,00

0,50

0,00
0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 432

Waktu (jam)

Gambar 2.1 Contoh Fluktuasi Pasang Surut

2.1.2 Fluktuasi Musiman

Fluktuasi musiman pada sungai yang sepenuhnya dipengaruhi gerakan pasang


surut air laut umumnya relatif kecil, perbedaan level pasang surut di musim
kemarau dan musim hujan biasanya hanya beberapa sentimeter saja.
Perbedaan ini jelas menunjukkan adanya perbedaan antara musim hujan dan
musim kemarau khususnya yang berkaitan dengan peluang irigasi pasang surut,
penggelontoran maupun drainase.

Di daerah transisi antara regime sungai pasang surut dan regime sungai non
pasang surut, fluktuasinya semakin tinggi, indikasinya adalah meningginya
elevasi muka air rendah di musim hujan sehingga semakin membatasi peluang
berdrainase.

Pada ruas sungai non pasang surut, hampir tidak ada pengaruh pasang surut di
musim hujan, fluktuasi musiman umumnya besar dan drainase lahan rendah
menjadi semakin terhambat atau bahkan tidak mungkin didrainase selama muka
air sungai tinggi.
-6-

2.1.3 Intrusi Air Asin

Intrusi air asin mencapai jarak terjauh pada saat puncak pasang tinggi, tepat
sebelum air mulai mengalir ke luar lagi dn mencapai jarak terdekat pada saat
surut terendah tepat sebelum air mulai mengalir masuk ke sungai. Karena air
asin sedikit lebih berat dari pada air tawar, maka air tawar akan berada di
permukaan sedangkan air asin berada di bagian yang lebih dalam, peristiwa ini
disebut intrusi air asin berlapis. Meskipun demikian, secara umum air asin dan
air tawar bercampur dengan baik dan disebut air asin campuran.

Jika kandungan garamnya melebihi 5μS/cm, maka air sungai tidak dapat
digunakan untuk irigasi. Sedangkan air dengan kadar garam melebihi 1μS/cm
tidak layak untuk dikonsumsi sabagai air baku. Pada kawasan yang jauh dari
pantai intrusi air asin hanya terjadi pada saat musim kemarau dan agak kurang
berpengaruh terhadap airtanah.

2.1.4 Kualitas Air

Kualitas air sungai yang berada di kawasan pasang surut pada umumnya
memenuhi kelayakan sebagai air irigasi untuk pertanian.

2.2 Drainase dari Lahan Sekitarnya

Run off dari lahan rawa yang belum direklamasi biasanya tidak mengakibatkan
banjir, Lapisan gambut yang tebal berfungsi sebagai spons berukuran raksasa,
melepaskan kelebihan air secara gradual. Air tersebut bisa disimpan dan
dimanfaatkan sebagai reservoir untuk digunakan sebagai pasokan air selama
musim kemarau walaupun kualitas airnya bisa saja kurang baik. Jumlah air yang
tersedia hanya bisa diperkirakan dari neraca air di wilayah sungai. Untuk
mencegah agar air limpasan curah hujan dari lahan tinggi di sekelilingnya tidak
mengakibatkan luapan pada lahan yang lebih rendah, perlu dibuat saluran
drainase interseptor yang bermuara ke sungai ataupun ke saluran primer.

Run off dari lahan kering bisa mengakibatkan banjir dan oleh karena itu harus
dicegah dengan mengalirkannya lewat saluran pengelak langsung ke sungai.
Untuk keperluan perhitungan dan perencanaannya, besarnya banjir maksimum
bisa diperkirakan dengan memperhitungkan curah hujan dan karakteristik
wilayah sungai dengan metode hidrologi konvensional.
-7-

3. HIDROTOPOGRAFI DAN TATA AIR

Kondisi hidrotopografi didefinisikan sebagai perbandingan relatif antara elevasi


lahan dengan elevasi muka air sungai atau muka air saluran terdekat. Kondisi ini
sangat penting dalam menentukan potensi lahan untuk pengembangan
pertanian. Umumnya dikenal 4 (empat) kategori hidrotopografi lahan rawa
pasang surut seperti pada gambar 3.1.

Kategori A. (areal yang terluapi air pasang)


Lahan dapat diluapi oleh air pasang paling sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari
siklus pasang purnama, baik musim hujan maupun musim kemarau. Umumnya
areal ini terletak di lahan cekungan atau dekat dengan muara sungai.

Kategori B. (arealnya secara periodik terluapi air pasang)


Lahan dapat diluapi oleh air pasang paling sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari
siklus pasang purnama, hanya di musim hujan saja.

Kategori C. (arealnya di atas elevasi muka air pasang tinggi)


Lahan tdak dapat terluapi air pasang secara reguler, tetapi air pasang masih
mempengaruhi muka air tanah. Elevasi lahan yang relatif tinggi dapat
mengakibatkan banyaknya kehilangan air lewat rembesan yang akan
menyebabkan sulitnya atau tidak mungkinnya upaya menahan lapisan air di
-8-

lahan persawahan. Budidaya tanaman palawija dan tanaman keras lebih cocok
dilahan ini.

Kategori D. (lahan kering)


Lahan ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh air pasang surut, sangat cocok
untuk budidaya palawija dan tanaman keras.

3.1 Peluang Irigasi Pasang Surut

Berdaskan kondisi hidrotopografi lahan, peluang irigasi pasang surut dapat


diklasifikasikan sebagai berikut :

Klas 1 : kedalaman irigasi pasang surut lebih dari 0,25 m baik di musim hujan
maupun musim kemarau

Klas 2 : kedalaman irigasi pasang surut antara 0,00 - 0,25 m baik di musim
hujan maupun musim kemarau

Klas 3 : tidak ada irigasi pasang surut.

3.2 Drainabilitas

Drainabilitas didefinisikan sebagai kedalaman dasar drainase yang harus


ditetapkan berdasrkan kondisi topografi lahan, muka air rata-rata pada saluran
terbuka dan potensi kehilangan air hidraulis dari lahan pertanian sampai pada
sistem saluran sebagai berikut :

Klas 1 : dasar drainase di atas muka tanah

Klas 2 : dasar drainase antara 0,00 – 0,20 m di bawah muka tanah

Klas 3 : dasar drainase antara 0,20 – 0,60 m di bawah muka tanah

Klas 4 : dasar drainase lebih dari 0,60 m di bawah muka tanah.

4. PENGARUH PASANG SURUT TERHADAP ALIRAN DI SUNGAI

Rambatan pasang surut dari laut ke sungai merupakan faktor yang menentukan
dalam penatagunaan sumber daya air di lahan rawa pasang surut. Adanya
pasang surut menimbulkan pengaruh terhadap aliran sungai.
-9-

4.1 Muka Air Laut Rata-rata (MALR)

Muka air laut rata-rata (MALR) adalah ketinggian rata-rata muka air laut selama
periode yang cukup panjang (satu tahun atau lebih). Fluktuasi muka air laut
musiman disebabkan oleh oleh faktor-faktor iklim (variasi tekanan udara, arah
dan kecepatan angin dikombinasikan dengan morfologi dasar laut dan garis
pantai) serta pengaruh aliran sungai. Fluktuasi musiman ini mengakibatkan
perbedaan yang nyata peluang irigasi pasang surut dan drainabilitas antara
musim hujan dan musim kemarau.

MALR harus digunakan sebagai referensi dalam pemetaan topografi. Untuk


tujuan tersebut pengamatan muka air laut harus diikatkan ke benchmark (BM)
tetap melalui pengukuran topografi dan elevasi BM terhadap MALR harus
ditetapkan. Seluruh pengukuran topografi yang lain harus diikatkan terhadap BM
tersebut, walaupun demikian jika tidak tersedia referensi terhadap MALR
setempat, referensi lain dapat digunakan sebagai referensi temporer untuk
memperoleh ketinggian lahan.

4.2 Karakteristik Pasang Surut

Karakteristik pasang surut di sepanjang pantai Indonesia bervariasi dari satu


tempat ke tempat lainnya. Di Sumatera Selatan dan Kaliamantan Barat
mempunyai pasanag surut diurnal yaitu sekali pasang dan sekali surut setiap
hari. Di Sumatera Utara dan Kalimantan Timur mempunyai pasang surut semi
diurnal yaitu dua kali pasangg dan dua kali surut setiap harinya. Di tempat
lainnya mempunyai pasang surut campuran dimana kadang-kadang didominasi
oleh pasang surut diurnal maupun semi diurnal. Karateristik pasang surut
berpengaruh terhadap kecepatan aliaran dan waktu yang tersedia untuk
navigasi, drainase dan pemberian air.

4.3 Kisaran Pasang Surut dan Peluang Drainase

Kisaran pasang surut merupakan perbedaan antara muka air pasang dan muka
air surut harian. Kisarannya bervariasi secara tetap setiap dua minggu dan
mencapai maksimum pada pasang purnama (spring tide) dan minimum pada
pasang mati (neap tide). Kisaran ini dipengaruhi oleh perubahan musiman.
Kisaran pasang surut bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya, di pantai
utara Jawa hanya sekitar 1,00 m, di pantai timur Sumatera dan pantai selatan
Kalimantan bervariasi antara 2,00 – 3,00 m dan di pantai selatan Papua dapat
mencapai sekitar 6,00 m.

Dengan memperhatikan elevasi lahan rawa pasang surut yang pada umumnya
sekitar elevasi muka air pasang purnama, kisaran pasang surut pada pasang
- 10 -

purnama memberikan indikasi kedalaman muka air surut di bawah muka lahan d
an peluang maksimum kedalaman drainase. Semakin ke arah hulu dari mulut
sungai, fluktuasi pasang surut semakin dipengaruhi oleh aliran sungai, walaupun
di beberapa sungai berdasarkan pengamatan pada awalnya terjadi sedikit
penambahan kisaran pasang surut yang diakibatkan oleh adanya penyempitan
penampang sungai baik secara vertikal maupun horisontal. Setelah air
memasuki saluran, fluktuasi pasang surut menjadi berkurang.

5. PENGELOLAAN TANAH DAN AIR

Secara umum tanah di lahan reklamasi rawa pasang surut mengalami


pematangan selama tahap I, meskipun pada pengembangan tahap II bebrapa
perubahan sifat fisik dan kimia tanah juga masih berlangsung. Perubahan ini
tergantung kepada bagaimana pengelolaan air di kawasan pengembangan rawa
itu dilakukan. Beberapa masalah pokok yang implikasinya relevan dengan hal itu
adalah pematangan tanah, tanah gambut, tanah sulfat masam dan tanah ”muck”.

5.1 Pematangan Tanah

Setelah reklamasi, tanah di daerah rawa pasang surut mengalami proses


pematangan yang mengakibatkan berkurangnya kandungan air dan volume
ruang pori (kepadatan tanah meningkat), berkurangnya kandungan bahan
organik dan perubahan struktur tanah dan kation yang dapat dipertukarkan.
Permeabilitas yang tinggi pada tanah yang belum matang merupakan faktor
yang dapat mengakibatkan pengendalian lapisan air di atas muka lahan sulit
dilakukan, sehingga penjenuhan tanah menjadi tidak mungkin dilakukan. Dengan
adanya proses drainase yang baik, akan mengakibatkan terjadinya pematangan
tanah dan juga mencegah terjadinya kondisi anaerobik yang berkelanjutan dan
akan menstimulir terjadinya oksidasi serta lenyapnya bahan organik.

Dalam kasus dimana pematangan tanah belum tuntas prosesnya, maka proses
itu dapat distimulir melalui saluran drainase yang memadai :

- drainase dangkal, kedalamannya antara 0,20 – 0,30 cm, jarak antar


saluran 8 – 12 meter;
- menurunkan muka air tanah selama musim kemarau dengan drainase
terkendali, walaupun hal ini dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi
lapisan pirit;
- penggelontoran saluran pada saat pasang tinggi;
- pencucian keasaman dan unsur racun dengan curah hujan, dilakukan
pada awal musim hujan.
- 11 -

Pada tanah yang belum matang, penanaman padi tidak dapat dilakukan dengan
cara normal, karena tidak mungkin untuk bisa efektif mempertahankan lapisan
air di atas lahan. Yang dapat dilakukan adalah mempertahankan kedalaman air
tanah antara 0,10 – 0,20 m dari muka tanah dan memanfaatkan head yang
tersedia antara muka air tanah dengan muka air di saluran untuk proses
pencucian tanah. Dengan cara ini pencucian tanah dapat berlangsung secara
gradual bersamaan dengan terbuangnya keasaman tanah dan pada akhirnya
akan mengarah kepada terbentuknya tanah yang normal.

5.2 Tanah Sulfat Masam

Kebanyakan tanah sulfat masam di lahan rawa pasang surut mengandung


bahan pirit atau lapisan yang mengandung bahan sulfat masam yang letaknya di
bawah permukaan tanah. Sepanjang kandungan bahan pirit ini terendam air,
maka tidak akan membahayakan tanaman. Dalam kondisi seperti ini, tanahnya
disebut tanah sulfat masam potensial. Pada waktu lahannya direklamasi dan
drainasenya berkembang baik, bahan pirit ini mulai teroksidasi. Tanah sulfat
masam (PASS, Potencial Acid Sulphate Soil) berubah menjadi tanah sulfat
masam aktual. Ini adalah masalah yang cukup kompleks yang harus dihadapi
petani, ditandai dengan rendahnya pH tanah, dan tingginya racun Fe 2+ dan Al3+.
Keseriusan masalah tergantung kepada seberapa dalam kandungan sulfat asam
tersebut berada. Bila kedalamannya lebih dari 1 meter dari muka tanah,
keberadaan tanah sulfat masam tersebut biasanya tidak membahayakan
tanaman. Tanah dapat diperlakukan sebagai tanah normal, tanah non sulfat
asam. Jika kandungan sulfat masamnya cukup dngkal, maka dapat
mengakibatkan tanahnya tidak cocok untuk digarap sebagai lahan pertanian.

Setelah reklamasi, keasaman tanah kebanyakan sudah hilang selama


berlangsungnya pengembangan tahap I. Jikapun masalah keberadaan tanah
sulfat masam masih dianggap membahayakan, maka strategi pengelolaan air di
kawasan itu berbeda dengan cara-cara yang normal. Umumnya muka air di
saluran dipertahankan tetap tinggi dan penggelontoran harus sering dilakukan.

5.3 Tanah Gambut

Pada lahan rawa yang sudah direklamasi biasanya lapisan tanah gambut akan
lenyap, sebagai konsekuensinya hanya lahan dengan lapisan gambut tipis saja
yang cocok untuk direklamasi. Kebanyakan tanah gambut akan hilang selama
periode pengembangan tahap I. Jikapun masih tersisa hal itu tidak terlampau
berpengaruh penting dalam cara-cara pengelolaan airnya.
- 12 -

Jika lapisan gambutnya tebal, maka proses subsiden hampir mustahil dapat
dihentikan, cepat atau lambat penggunaan pompa untuk keperluan drainase
tidak dapat dihindarkan, sehingga budidaya pertaniannya tidak akan layak.

5.4 Tanah ”Muck”

Tanah ”muck” adalah tanah mineral yang kaya dengan kandungan bahan
organik, tanahn ini dibedakan dari tanah gambut karena kandungan kadar
abunya yang berbeda. Kadar abu, adalah residu dinyatakan dalam % berat
terhadap tanah kering aslinya, setelah tanah dipanaskan sampai 600 oC. Tanah
dengan kadar abu di atas 25% biasanya disebut sebagai tanah muck, tanah
dengan kadar abu yang lebih rendah dengan ketebalan lapisann organiknya 0,40
sampai 0,50 m disebut sebagai tanah gambut.

Taah muck seringkali mengandung bahan pirit. Dalam kondisi tergenang, bahan
organik melepaskan asam organiknya yang pada gilirannya akan memperburuk
kadar racun besi. Karena pertimbangan itu, dari segi pengelolaan air , tanah
muck memunculkan masalah yang sama dan memerlukan perlakuan
pengelolaan air yangs erupa dengan tanah sulfat masam.

5.5 Tanah Lahan Kering

Dikawasan lahan reklamasi rawa pasang surut biasanya ditemukan juga jenis
tanah yang sudah disebutkan sebelumnya, umumnya hanya didapati pada areal
yang tidak luas. Ini utmanya menyangkut bekas lahan kering. Kesuburannya
berkisar rendah ke sangat rendah, sifat fisiknya tidak begitu berbeda dengan
tanah lahan kering pada umumnya. Dari segi pengelolaan airnya, perlakuannya
serupa dengan tanah lahan kering. Biasanya tanah ini memiliki permeabilitas
rendah dan kapasitas menahan air yang buruk, sehingga tanah ini sangat rentan
terhadap kekeringan.

6. SISTEM TATA AIR DI LAHAN PASANG SURUT

Upaya reklamasi lahan rawa pasang surut menjadi lahan pertanian telah
dilaksanakan sejak lama oleh masyarakat petani Bugis dari Sulawesi Selatan
dan Banjar dari Kalimantan Selatan. Mereka dengan cara swakarsa dan
swadaya membuka lahan rawa di sepanjang hilir tepian sungai-sungai besar
untuk budidaya tanaman padi, kelapa dan palawija. Teknologi yang dipakai
masih sangat sederhana dimana mereka hanya membuat saluran-saluran (parit)
- 13 -

langsung berhubungan dengan sungai tanpa adanya saluran cabang dan


bangunan-bangunan pengatur air.

Berdasrkan bentuk dari sistem jaringan tata air yang telah dikembangkan di
Indonesia, terdapat empat sistem jaringan pengelolaan air yaitu sistem handil
(tradisional), sistem anjir, sistem garpu dan sistem sisir.

Gambar 6.1 Jaringan Tata Air di Rawa Pasang Surut


- 14 -

6.1 Sistem Handil

Sistem handil merupakan sistem tata air tradisional dengan rancangan yang
sangat sederhana berupa saluran yang menjorok dan masuk dari muara sungai.
Kata handil berasal dari kata anndeel dalam bahasa Belanda yang berarti
kerjasama atau gotong royong. Di Sumatera dikenal dengan istilah parit kongsi.
Handil dalam masyarakat suku Banjar diartikan sebagai suatu luasan lahan atau
areal yang dibuka sekaligus pembuatan saluran yang menjorok masuk ke
pedalaman dari pinggiran sungai besar. Sistem ini hanya cocok dikembangkan
untuk skala pengembangan yang relatif kecil. Sebuah handil umumnya digali dan
dimanfaatkan secara gotong royong sekitar 7 – 10 orang.

Sistem handil ini mengandalkan apa yang dinerikan oleh alam berupa tenaga
pasang surut untuk mengalirkan air sungai ke saluran-saluran handil atau parit
kongsi, kemudian dikeluarkan kembali pada saat surut. Bentuk jaringan handil
menyerupai bangunan sirip ikan atau tulang daun nagka. Salurannya dapat
difungsikan sebagai jalur navigasi. Permasalahan yang sering timbul pada
sistem ini adalah timbulnya titik aliran mati pada aujung saluran.

6.2 Sistem Anjir

Sistem anjir disebuut juga dengan sistem kanal yaitu sistem tata air makro
dengan pembuatan saluran besar yang menghubungkan dua sungai besar yang
dikembangkan sekaligus sebagai sistem transportasi petani. Saluran yang dibuat
dimaksudkan untuk dapat mengalirkan dan membagikan air yang masuk dari
sungai untuk pengairan jika terjadi pasang dan sekaligus menampung air
limpahan (pengatusan) jika surut melalui handil-handil yang dibuat sepanjang
anjir sehingga air sungai dapat dimanfaatkan untuk keperluan pertanian secara
lebih luas dan leluasa.

Perbedaan waktu pasang dari dua sungai yang dihubungkan oleh sistem anjir ini
diharapkan akan diikuti oleh perbedaan muka air sehingga dapat tercipta suatu
aliran dari sungai yang muka airnya lebih tinggi ke sungai yang rendah.
Kelemahan dari sistem anjir ini adalah ternyata harapan di atas tidak dapat
sepenuhnya tercapai. Bahkan, terjadi aliran balik dari air yang semestinya
dibuang mengalir masuk kembali akibat didorong oleh gerakan pasang, dan
akumulasi asam di saluran sehingga menimbulkan keracunan pada tanaman dan
biota air lainnya.

Dengan dibuatnya anjir, maka daerah yang berada di kiri dan kanan saluran
dapat diairi dengan membangun handil-handil (saluran tersier) tegak lurus kanal.
Adanya anjir ini menimbulkan lalu lintas transportasi air antara dua kota menjadi
lebih ramai sehingga mendorong pembangunan daerah karena terjadinya
peningkatan arus pertukaran barang dan jasa.
- 15 -

6.3 Sistem Garpu

Sistem garpu adalah sistem tata air yang dirancang dengan saluran-saluran
yang dibuat dari pinggir sungai masuk menjorok ke pedalaman berupa saluran
navigasi dan saluran primer, kemudian disusul dengan saluran sekunder yang
dapat terdiri atas dua saluran bercabang sehingga jaringan berbentuk
menye¬rupai garpu. Ukuran lebar saluran primer antara 10 m - 20 m dan dalam
sebatas di bawah batas pasang minimal. Ukuran lebar saluran sekunder antara 5
m -10 m. Kolam berfungsi untuk menampung sementara unsur dan senyawa
beracun pada saat pasang, kemudian diharapkan keluar mengikuti surutnya air.
Pada setiap jarak 200 m - 300 m sepanjang saluran primer/sekunder dibuat
saluran tersier. Sistem garpu ini dikembangkan oleh Tim Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S) yang di Universitas Gadjah Mada (1969 -1982)
untuk wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Wilayah
yang menerapkan sistem garpu, khususnya Kalimatan Selatan dan Kalimantan
Tengah, mencapai sekitar 150 ribu hektar.

6.4 Sistem Sisir

Sistem sisir merupakan pengembangan sistem anjir yang dialihkan menjadi satu
saluran utama atau dua saluran primer yang membentuk sejajar sungai. Pada
sistem sisir ini panjang saluran sekunder dapat mencapai 10 km, sedangkan
pada sistem garpu hanya 1 - 2 km. Perbedaan lain, pada sistem sisir tidak dibuat
kolam penampung pada ujung-ujung saluran sekunder sebagaimana pada
sistem garpu. Sistem saluran dipisahkan antara saluran pemberi air dan
pengatusan.
Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang bersifat otomatis
(aeroflapegate). Pintu bekerja secara otomatis mengatur bentuk muka air sesuai
dengan pasang dan surut. Sistem garpu ini dikembangkan oleh Tim Proyek
Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di Institut Teknologi Bandung
(1969 -1982) untuk wilayah Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah yang menerapkan system sisir,
mencapai sekitar 600 ribu hektar.

6.5 Jenis Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut

Berdasarkan cara pembangunannya, lengkapnya fasilitas pengatur aliran air,


jaringan reklamasi rawa dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan yaitu jaringan
rekalmasi rawa sederhana, semi-teknis, atau teknis.
- 16 -

6.5.1 Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut Sederhana

Sistem handil adalah contoh jaringan reklamasi rawa sederhana. Di dalam


proyek-proyek relamasi rawa sederhana ini (lihat gambar 6.1a), pembuangan air
saat surut dan supply air saat pasang tidak diatur, air lebih akan mengalir
saluran. Petani tergabung dalam satu kelompok sosial yang sama, dan tidak
diperlukan keterlibatan pemerintah di dalam organisasi jaringan reklamasi rawa
semacam ini. Persediaan air saat pasang biasanya melimpah dan kategori type
luapan lahan berkisar antara type A dan B. Oleh karena itu hampir-hampir tidak
diperlukan teknik yang sulit untuk pembagian air.

Jaringan reklamasi rawa yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi
memiliki kelemahan-kelemahan serius. Pertama-tama, pendeknya saluran
menyebabkan air pasang tidak selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih
subur yang umumnya agak jauh dari sungai. Kedua, tidak terdapatnya bangunan
pengatur air saat musim kemarau sering kali air pasang tidak dapat meluapi
lahan dan meyebabkan kekeringan. Kalaupun ada bangunan pengatur air,
namun karena bangunannya bukan berupa bangunan tetap/permanen, maka
umurnya mungkin pendek.

6.5.2 Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut Rawa Semi – Teknis

Sistem anjir adalah contoh reklamasi semi-teknis (lihat Gambar 6.1b), Anjir
umumnya dibangun dan dipelihara oleh pemerintah, sedang handil-handil yang
terhubung dengan anjir dibangun secara swadaya oleh masyarakat). Dalam
kebanyakan hal, perbedaan pokok antara jaringan reklamasi rawa sederhana
dan jaringan reklamasi rawa semi-teknis adalah bahwa yang belakangan ini
saluran drainase utamanya dibangu oleh pemerintah. Mungkin juga dibangun
beberapa bangunan permanen di jaringan saluran.

Jaringan pada tingkat petani biasanya sama dengan jaringan reklamasi


sederhana yang dibangun secara swadaya. Kemungkinan bahwa saluran primer
(anjir) dipakai untuk melayani daerah yang lebih luas daripada daerah layanan
jaringan sederhana dan teknis. Daerah rawa reklamasi yang lebih luas
membutuhkan biaya yang lebih besar, sehingga keterlibatan pemerintah sulit
dihindakan.

6.5.3 Jaringan reklamasi Rawa Pasang Surut Teknis

Sistem Garpu dan Sisir adalah dua contoh jaringan reklamasi rawa yang sejak
awal direncanakan menjadi jaringan rawa teknis (lihat Gambar 6.1c. walaupun
bangunan pengatur air belum sepenuhnya dibangun). Salah satu prinsip dalam
perencanaan jaringan teknis adahlah adanya jaringan primer dan sekunder yang
direncanakan dan dibangun oleh pemerintah, serta adanya pemisahan antara
- 17 -

saluran pembawa dan pembuang yang meyebabkan terjadinya aliran satu arah
yang sangat membantu proses pencucian tanah.

Adanya pemisahan ini berarti bahwa baik saluran pembawa maupun pembuang
bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, dari pangkal hingga ujung.
Saluran pembawa rawa mengalirkan air sungai ke sawah-sawah dan saluran
pembuang mengalirkan air lebih dari sawah-sawah ke saluran sekunder
pembuang yang kemudian akan membuangnya ke saluran primer. Pada tingkat
saluran primer, fungsi saluran sebagai pembawa dan pembuang tidak
dipisahkan.

7. SISTEM TATA AIR MAKRO

7.1 Zonasi Pengelolaan Air

Pemilihan pengelolaan air di lahan rawa pasang surut pada dasarnya ditentukan
oleh kondisi hidrotopografi. Jika dikombinasikan dengan strategi pengelolaan air,
maka akan memungkinkan kita dapat membagi suatu area ke dalam zona-zona
kesesuaian lahan yang berbeda atas dasar kondisi tata air yang kurang lebih
identik. Hal ini disebut sebagai Land Suitability zones (LSZ), yang akan menjadi
suatu indikator untuk membuat delineasi lahan berdasrkan kesamaan dlam hal
pengelolaan airnya. Untuk mendapatkan zona kesesuaian lahan pada daerah
rawa pasang surut kita dpat menggunakan sistem informasi geografis (GIS).

Zona kesesuaian lahan harus bisa sekurang-kurangnya membedakan antara


kategori hidrotopografi (A sampai D) dan karakteristik tanah yang paling utama.
Drainabilitas juga penting tetapi sulit ditentukan secara akurat.

7.2 Pengelolaan Air di Sistem Utama (Tata Air Makro)

Infrastruktur hidraulik dikebanyakan lahan reklamasi rawa pasang suruut pada


awalnya berupa sistem saluran terbuka, yaitu suatu sistem tanpa bangunan pintu
pengatur air baik di tersier maupun di tingkat yang lebih tinggi. Pengelolaan air
pada sistem terbuka hanya mungkin dilakukan di petak tersier atau ditingkat
lahan usaha tani. Pematang mengelilingi sawah dan gorong-gorong kecil di parit
kuarter sangat dianjurkan untuk dibangun.

7.2.1 Ketentuan Umum Untuk Jaringan Saluran Dengan Bangunan Pintu

Pintu klep yang dipasang di saluran sekunder dan pintu pintu klep maupun pintu
geser di saluran tersier memungkinkan pengelolaan air dapat dilakukan secara
- 18 -

efektif, asalkan pengoperasiannya dilakukan dengan benar (Schultz dan Suryadi,


2001). Ada perbedaan antara pengoperasian pada musim hujan dengan musim
kemarau, dan juga selama kondisi normal dan kondisi ekstrim. Kondisi ekstrim
adalah periode terlampau basah di musim hujan dan periode sangat kering di
musim kemarau. Kondisi terlampau basah dapat disebabkan oleh intensitas
curah hujan berlebihan di musim penghujan. Pada umumnya dalam kasus
seperti ini kelebihan curah hujan harus dibuang secepat mungkin, tetapi harus
dicegah agar tidak sampai terjadi over drainage . uraian berikut didasrkan pada
data dan kriteria yang termuat dalam Tabel 7.1, 7.2 dan 7.3, data tersebut
memberi pengaruh dan konsekuensi dalam pengoperasian terhadap bangunan
pintu air.

Opsi pengelolaan air harus didasarkan kepada permukaan air rata-rata di blok
sekunder, pada prinsipnya akan menghasilkan ketentuan sebagai berikut :

- Padi Musim Hujan : drainase

Ketentuan pengoperasian pintu klep di saluran sekunder dan pintu klep atau
pintu geser di saluran tersier harus didasarkan kepada kebutuhan agar terjadi
pertumbuhan tanaman padi secara optimal, ini berarti kondisi di lahan sawah
dan muka air di saluran tersier dan sekunder seperti ditunjukkan pada Tabel
6.1. Hal ini menghasilkan ketentuan pengoperasian sebagai berikut :

☻ Pengolahan Tanah ;

* tersier : areal A dan B : semua pintu geser/klep dibuka


areal C dan D : semua pintu geser/klep ditutup, kecuali jika
terjadi keasaman, maka sebaiknya pintu segera dibuka.
* Sekunder : areal A dan B : pintu klep dan pintu geser dibuka
areal C dan D: pintu geser ditutup, keculai jika terjadi
keasaman, maka sebaiknya pintu segera dibuka .

☻ Tahap Pembibitan :

* tersier : pintu geser berada minus 10-20 cm dari muka tanah


* Sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang dikehendaki (minus 50 – 60 cm dari muka tanah) :
pertahankan agar pintu klep dan pintu geser terbuka bila
muka air di saluran primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-
waktu lainnya. Jika muka air di saluran sekunder lebih tinggi
dari minus 50 – 60 cm dari muka tanah, biarkan pintu klep
beroperasi sesuai dengan fluktuasi pasang surut.
- 19 -

☻ Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif

♦ Kondisi Normal :

* tersier : pintu geser berada 10 cm di bawah muka tanah


* sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang dikehendaki (minus 50 – 60 cm dari muka tanah) :
pintu klep dan pintu geser dibuka bila muka air di saluran
primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-waktu lainnya.
Jika muka air di saluran sekunder tebih tinggi dari minus 50 -
60 cm dari muka tanah : biarkan pintu klep beroperasi
mengikuti fluktuasi pasang surut.

♦ Hujan ekstrim :

* tersier : pintu geser dibuka


* sekunder : biarkan pintu klep beroparasi mengikuti fluktuasi pasang
surut.

☻ Tahap Pemasakan

* tersier : pintu geser minus 50 cm dari muka tanah


* sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang dikehendaki (minus 50 – 60 cm dari muka tanah) :
pintu klep dan pintu geser dibuka bila muka air di saluran
primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-waktu lainnya.
Jika muka air di saluran sekunder tebih tinggi dari minus 50 -
60 cm dari muka tanah : biarkan pintu klep beroperasi
mengikuti fluktuasi pasang surut.

☻ Persyaratan Tambahan

* tersier : jika diperlukan, 3 atau 4 jam sebelum pasang tinggi turunkan


muka air di saluran tersier sebanyak mungkin dengan
membuka pintu geser
* sekunder : setiap 3 atau 4 jam sebelum pasang tinggi turunkan muka
air di saluran sekunder sebanyak mungkin dengan
mengoperasikan pintu klep sesuai fluktuasi pasang surut.
- 20 -

- Padi Musim Kemarau : retensi (menahan) air dan penggelontoran.

Catatan : ♦ kondisi lahan sawah dan muka air yang dikehendaki di saluran
tersier dan sekunder sebagaimana ditunjukan pada Tabel 7.2

♦ hanya untuk lahan kategori A dan B masa tanam paling lambat


dimulai bulan Maret

♦ untuk lahan kategori C dan D dianjurkan menanam palawija..

Ketentuan pengoperasian untuk pintu klep dan pintu geser di saluran sekunder
dan pintu geser di saluran tersier harus diusahakan agar pertumbuhan tanaman
padi bisa optimal. Hal tersebut akan menghasilkan ketentuan pengopersian
sebagai berikut :

☻ Pengolahan Tanah

* tersier : pintu geser ditutup


* sekunder : pintu geser ditutup

☻ Tahap Pembibitan

* tersier : pintu geser minus 10 – 20 cm dari muka tanah


* sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang diinginkan (minus 50 – 60 cm dari muka tanah),
pertahankan pintu klep dan pintu geser terbuka pada saat
muka air di saluran primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-
waktu lainnya. Jika muka air di saluran sekunder lebih tinggi
dari minus 50 – 60 cm dari muka tanah, biarkan pintu klep
beroperasi sesuai fluktuasi pasang surut.

☻ Tahap Pertumbuhan Vegetatif dan Reproduktif

* tersier : pintu geser minus 10 cm dari muka tanah


* sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang diinginkan (minus 50 – 60 cm dari muka tanah),
pertahankan pintu klep dan pintu geser terbuka pada saat
muka air di saluran primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-
waktu lainnya. Jika muka air di saluran sekunder lebih tinggi
dari minus 50 – 60 cm dari muka tanah, biarkan pintu klep
beroperasi sesuai fluktuasi pasang surut.
- 21 -

☻ Tahap Pemasakan

* tersier : pintu geser minus 50 cm dari muka tanah


* sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang diinginkan (minus 50 – 60 cm dari muka tanah),
pertahankan pintu klep dan pintu geser terbuka pada saat
muka air di saluran primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-
waktu lainnya. Jika muka air di saluran sekunder lebih tinggi
dari minus 50 – 60 cm dari muka tanah, biarkan pintu klep
beroperasi sesuai fluktuasi pasang surut.

☻ Persyaratan Tambahan

* tersier : tidak ada


* sekunder : setiap 3 atau 4 jam sebelum pasang tinggi turunkan muka
air di saluran sekunder sebanyak mungkin dengan
mengoperasikan pintu klep sesuai fluktuasi pasang surut.

- Palawija di Musim Kemarau : Drainase

Catatan : ♦ hanya di areal kategori C dan D dengan drainase dangkal dan


intensif (lebar dasar 20 – 30 cm, kedalaman 25 – 30 cm, jarak
antara 25 – 50 m)

☻ tujuannya adalah mempertahankan muka air tanah minus 40 – 60 cm dari


muka tanah;

* tersier : pintu geser minus 40 – 60 cm dari muka tanah


* sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang diinginkan (minus 80 – 100 cm dari muka tanah),
pertahankan pintu klep dan pintu geser terbuka pada saat
muka air di saluran primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-
waktu lainnya. Jika muka air di saluran sekunder lebih tinggi
dari minus 80 – 100 cm dari muka tanah, biarkan pintu klep
beroperasi sesuai fluktuasi pasang surut.

- Palawija di Musim Kemarau : retensi (menahan) air dan penggelontoran

Catatan : ♦ hanya di areal kategori C dan D


- 22 -

☻ tujuannya adalah mempertahankan muka air tanah minus 40 – 60 cm dari


muka tanah;

* tersier : pintu geser minus 40 – 50 cm dari muka tanah


* sekunder : jika muka air di saluran sekunder lebih rendah dari muka air
yang diinginkan (minus 60 – 80 cm dari muka tanah),
pertahankan pintu klep dan pintu geser terbuka pada saat
muka air di saluran primer lebih tinggi dan tutup pada waktu-
waktu lainnya. Jika muka air di saluran sekunder lebih tinggi
dari minus 60 – 80 cm dari muka tanah, biarkan pintu klep
beroperasi sesuai fluktuasi pasang surut.

Dalam prakteknya adalah tidak mungkin untuk mempertahankan muka air tepat
seperti digambarkan di atas, biasanya toleransinya berkisar kurang lebih 10 cm
di atas atau di bawah level yang dikehendaki.

Dengan menerapkan ketentuan pengoperasian, atau ketentuan lainnya dengan


prinsip yang sama, pengelolaan air yang memadai dapat dilaksanakan
sepanjang tahun.
- 23 -
Tabel 7.1 pengelolaan air untuk tanaman padi musim hujan
Pertumbuhan tanaman Pengelolaan air di sawah Tersier Sekunder
Jika perlu, 3 atau 4 hari sebelum Jika perlu, 3 atau 4 hari
pasang purnama, turunkan muka air sebelum pasang purnama,
di sal. Tersier sebanyak mungkin turunkan muka air di sal.
Sekunder sebanyak mungkin
Pengolahan tanah Pembajakan: tanah di bawah Areal A dan B:semua pintu beser, Areal A dan B: klep dan pintu
kapasitas jenuh lapang dibuka geser dibuka.
Penjenuhan: genangan 0 – 5 Areal C dan D: semua pintu geser Areal C dan D: pintu geser
cm ditutup. ditutup, kecuali jika terjadi
Perataan : genangan 5 cm Kecuali jika terjadi pengasaman, pintu pengasaman, pintu harus dibuka
harus dibuka
Pembibitan Tanah jenuh air / tidak ada Pertahankan muka air > 20 cm di bawah Pertahankan muka air < 50 -60
penggenangan muka tanah cm di bawah muka tanah
Pertumbuhan Vegetatif Genangan 5 – 10 cm, Normal: Normal:
pergantian air, keluarkan air  Areal A dan B: pertahankan muka air  Pertahankan muka air < 50 -
pada waktu pemupukan 10 – 20 cm di bawah muka tanah 60 cm di bawah muka tanah
 Areal C dan D pertahankan muka air Hujan ektrim: muka air serendah
10 cm di bawah muka tanah mungkin
Hujan ektrim: muka air serendah
mungkin
Pertumbuhan reproduktif Genangan 5 – 10 cm, Normal: Normal:
pergantian air, keluarkan air  Areal A dan B: pertahankan muka air  Pertahankan muka air < 50 -
pada waktu pemupukan 10 – 20 cm di bawah muka tanah 60 cm di bawah muka tanah
 Areal C dan D pertahankan muka air Hujan ektrim: muka air serendah
10 cm di bawah muka tanah mungkin
Kecuali waktu pergantian air,
pertahankan muka air < 40 cm di bawah
muka tanah, maks selama 3 hari.
Hujan ektrim: muka air serendah
mungkin
Tahap pematangan Tanah dalam kondisi jenuh pertahankan muka air < 40 cm di bawah pertahankan muka air < 50 - 60
lapang muka tanah cm di bawah muka tanah
- 24 -
Tabel 7.2 pengelolaan air untuk tanaman padi musim kemarau
Pertumbuhan tanaman Pengelolaan air di sawah Tersier Sekunder
Catatan : Catatan :
 Hanya untuk area A+B paling  Hanya untuk area A+B
lambat dimulai bulan maret; paling lambat dimulai bulan
 Untuk area C+D dianjurkan maret;
bertanam palawija (lihat Tabel 5.6)  Untuk area C+D dianjurkan
bertanam palawija (lihat
Tabel 5.6)
 Setiap 3 atau 4 hari sebelum
pasang purnama, turunkan
muka air Sekunder
serendah mungkin
Pengolahan tanah  Tanah kering: prosedur Areal A dan B:semua pintu beser, dibuka Pintu geser dibuka
sama seperti musim hujan. Utk Area B, pompa mungkin diperlukan.
 Tanah basah: hanya perlu Dalam hal itu, muka air dipertahankan
penjenuhan dan perataan setinggi mungkin.
Pembibitan Tanah jenuh air / tidak ada  Areal A: pertahankan muka air 10 – 20  Areal A: pertahankan muka
penggenangan cm di bawah muka tanah air < 50 - 60 cm di bawah
 Areal B: pertahankan muka air 10 cm muka tanah
di bawah muka tanah  Areal B: pertahankan muka
air < 50 - 60 cm di bawah
muka tanah.
Pertumbuhan Vegetatif Genangan 5 – 10 cm,  Areal A: pertahankan muka air 10 – 20  Areal A: pertahankan muka
pergantian air, keluarkan air cm di bawah muka tanah air < 50 - 60 cm di bawah
pada waktu pemupukan  Areal B: pertahankan muka air 10 cm muka tanah
di bawah muka tanah  Areal B: pertahankan muka
air < 50 - 60 cm di bawah
muka tanah.
Pertumbuhan Genangan 5 – 10 cm, Pertahankan muka air 10 cm di bawah Pertahankan muka air 50 - 60
reproduktif pergantian air, pembuangan air muka tanah cm di bawah muka tanah
pada waktu pemupukan
Tahap pematangan Tanah Pertahankan muka air < 40 cm di bawah pertahankan muka air 50 - 60
muka tanah cm di bawah muka tanah
- 25 -

Tabel 7.3 pengelolaan air untuk palawija, musim hujam dan musim kemarau

Musim Pengelolaan air di sawah Tersier Sekunder

Musim hujan Catatan: Normal: 60 – 80 cm di bawah Normal: 80 - 100 cm di bawah


Hanya di areal dan D dengan muka tanah. muka tanah.
drainase dangkal dan intensif Periode Hujan ektrim: muka Periode Hujan ektrim: muka
(lebar dasar 20 – 30 cm, dalam 25 air serendah mungkin air serendah mungkin
– 50 cm, jarak 8 – 10 m)

Muka air tanah 40 – 60 cm di bawah


muka tanah

Musim kemarau Catatan : Hanya di Areal C dan D Normal: 30 - 40 cm di bawah Normal: 60 – 80 cm di bawah
April, Mei dan Juni muka tanah. muka tanah.
Muka air tanah 40 -50 cm di bawah Periode Hujan ektrim: Periode Hujan ektrim: setinggi
muka tanah setinggi mungkin mungkin

Pengecualian untuk lapisan sulfat


masam yang lebih tinggi, maka muka
air tanah > 10 cm di bawah lapisan
tsb, termasuk perlu drainase intensif.
- 26 -

8. ASPEK LAINNYA DARI PENGELOLAAN AIR

- Persyaratan Kelembagaan ( O&P, P3A)


- Konflik dalam Pengelolaan Air
- Pemantauan Pengoperasian Pintu Air
- Tugas Mengenai Pengopersian Pintu
- Kualitas Lahan di Lahan Rawa Pasang Surut (Hidrologi dan Tanah) untuk -
Asesmen Dalam Rangka Pelaksanaan TAM
- 27 -
9. CONTOH APLIKASI SISTEM TATA AIR DAERAH RAWA DANDA BESAR

Gambar 1. Lokasi Studi


- 28 -

PROBLEMA

Lahan persawahan pasang surut Danda Besar secara umum dibudidayakan


dengan tanaman padi yang terletak disebagian besar petak kanan maupun
petak kiri saluran Tersier seluas 2061 ha atau sebesar 84,6 % dari luas lahan
keseluruhan. Walaupun sebagian besar adalah persawahan, namun sawah
hanya dapat panen 1 ( satu ) kali di musim hujan saja, sementara di musim
kemarau lahan tidak dapat diberdayakan.
Masalah ini terjadi karena pengetahuan akan kondisi-hidro-topografi lokal
kurang mendapat perhatian sehingga budi daya dilakukan tanpa melihat
batasan-batasan dari masing-masing kategori/kelas hidro-topografi.

HIPOTESA

Permasalahan rendahnya produktivitas padi di lahan jaringan reklamasi rawa


Danda Besar disebabkan antara lain adalah teknik pengelolaan air yang tidak
memperhitungkan/disesuaikan dengan kondisi hidro-topografi lahan setempat.
Hampir seluruh luasan lahan diperuntukkan untuk budidaya tanaman padi.
Permasalahan ini semestinya dapat dieliminasi dengan adanya pemahaman
yang cukup akan ketinggian/elevasi lahan dan air setempat yang diwakili oleh
kategori/kelas hidro-topografi.

TINJAUAN PUSTAKA

Pustaka yang digunakan dan berkaitan langsung dengan studi ini, yaitu :
1. Laporan Supervisi dengan Model Matematik Pekerjaan Desain
Pemeliharaan Khusus Unit Pasang Surut Puntik Danda besar Kalimantan
Selatan, Puslitbang Pengairan, tahun 1988
2. Laporan Akhir Penerapan Pintu Klep Otomatis Di Rawa Pasang Surut
Kalimantan Selatan, Puslitbang SDA, tahun 2007
3. Penilaian Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pendukung Sistem Jaringan
Tata Air di Rawa Pasang Surut , PT. DDC Consultants, Jakarta, tahun 2007
Ketiga literatur tersebut memberikan gambaran tentang sistem jaringan dan
kondisi hidro-topografi areal studi sehingga dapat memberikan arahan dalam
proses analisis selanjutnya.
Kondisi hidrotopografi kawasan merupakan salah satu faktor yang menjadi
pertimbangan dalam membuat perencanaan kegiatan operasi dilahan rawa
pasang surut. Kondisi hidrotopografi didefinisikan sebagai perbandingan relatif
antara elevasi lahan dengan elevasi muka air sungai atau muka air disaluran
terdekat.
- 29 -
KETINGGIAN LAHAN

Data topografi yang digunakan dalam studi ini adalah data hasil pengukuran
pada bulan Maret – Mei 2006 yang dilakukan oleh Balai Rawa Pantai,
Puslitbang Sumber Daya Air, Bandung. Data topografi yang dimaksud berupa
spot level yang diukur dengan metode Poligon Tertutup untuk seluruh kawasan
studi.

SIMULASI MUKA AIR

Simulasi jaringan dilakukan dengan menggunakan data profil saluran Primer


dan Sekunder dan pengamatan muka air di saluran yang sama yang diukur dan
diamati oleh Tim Konsultan DDC pada 21 Agustus s/d 04 September 2007.
PENGUKURAN DI SALURAN PRIMER & SKUNDER

Foto 1. Pengukuran S. Primer dan Sekunder

PENGAMATAN MUKA AIR


PERMASALAHAN

Foto 2. Pengamatan Muka Air


- 30 -

HIDRO-TOPOGRAFI

Peta hidro-topografi diperoleh dengan melakukan analisis Sistem Informasi


Geografi (SIG) berdasarkan peta titik-titik ketinggian (spot level) yang telah
dibuat dan berdasarkan elevasi muka air yang diperoleh dari simulasi numerik.
Analisis dilakukan dengan cara interpolasi spasial kontur dari peta titik-titik
ketinggian berdasarkan angka-angka ketinggian muka air sehingga
dimungkinkan pembuatan peta baru, yaitu peta hidro-topografi yang
memberikan batasan dari masing-masing kelas hidro-topografi.
Dari Peta Hidro-topografi tersebut, kemudian juga dengan SIG dilakukan
analisis statistik sehingga dapat dicari luasan dari masing-masing kelas
hidrotopografi.

ANALISIS

KETINGGIAN LAHAN

Pengukuran ketinggian lahan diukur pada sisi tanggul kanan dan kiri secara
berantai dari hulu sampai hilir saluran dengan interval 100 m. Pengukuran ini
menggunakan alat Digital Theodolit (DT). Salah satu BM yang digunakan untuk
mengikat ketinggian adalah BM PDB 01 dengan ketinggian +10.000.
Sementara itu pengukuran penampang melintang saluran dilakukan setiap 200
m dengan menggunakan alat yang sama.

INFORMASI MUKA AIR

Pengamatan muka air dilakukan dengan papan duga di sepanjang saluran


primer dan sekunder dengan pengikatan elevasi pada BM setempat yang
berdekatan dengan lokasi pengamatan. Secara keseluruhan pengamatan pada
saluran primer dan sekunder disajikan pada gambar sebagai berikut :
- 31 -

T 27

T 17

T 12

T6

T3
T1

Gambar 3. Lokasi Pengamatan Muka Air di Saluran Primer dan Sekunder


- 32 -
Hasil pengamatan muka air di atas disajikan sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 4. di bawah ini :

Gambar 4. Kurva Muka Air di Saluran Primer dan Sekunder

KLASIFIKASI HIDRO-TOPOGRAFI

Kondisi hidrotopografi kawasan merupakan salah satu faktor yang menjadi


pertimbangan dalam membuat perencanaan kegiatan operasi dilahan rawa
pasang surut. Kondisi hidrotopografi didefinisikan sebagai perbandingan relatif
antara elevasi lahan dengan elevasi muka air sungai atau muka air disaluran
terdekat. Secara umum dikenal ada 4 kategori hidrotopografi yaitu :
Kategori/Kelas A, B, C dan D. Adapun penjelasan untuk masing-masing
kategori seperti disajikan pada gambar 5.
- 33 -

lahan
Muka
Muka air pasang musim hujan (MH)

Muka air pasang musim kemarau (MK)

Lahan terluapi
Muka air surut MH Lahan terluapi minimum
minimum Lahan tidak Lahan tidak
4-5 kali per
4-5 kali per terluapi oleh air terluapi oleh air
siklus pasang
Muka air surut MK siklus pasang pasang. pasang.
purnama hanya
purnama baik Tetapi muka air Tidak ada
musim hujan
musim hujan tanah masih pengaruh pasang
hujan
maupun dipengaruhi air surut pada
musim kemarau pasang surut air tanah

Salur Katagori D
Katagori C
Katagori A Katagori B
a

n tersier

Gambar 5. Klasifikasi hidrotopografi

Kondisi hidrotopografi kawasan merupakan pertimbangan yang perlu


diperhatikan dalam pelaksanaan studi, dikarenakan sangat berperanan dalam
membuat perencanaan bagi pengelolaan air dilahan rawa pasang surut.
Secara umum dikenal ada 4 kategori hidrotopografi sebagai berikut :

Kategori A : Lahan terluapi pasang surut


Lahan terluapi oleh air pasang paling sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari siklus
pasang tinggi, baik musim hujan maupun musim kemarau. Kebanyakan dari
lahan yang masuk dalam kategori A adalah lahan rendah disepanjang sungai
dan dekat dengan saluran utama, atau secara alamiah merupakan lahan
cekungan. Pada lahan kategori ini sangat dimungkinkan tanam padi dua kali
setahun. Padi jenis unggul dapat dibudidayakan asalkan muka air dapat
dikendalikan untuk mencegah genangan yang terlalu tinggi dan juga untuk
menjamin agar drainase air berlangsung baik.

Kategori B : Lahan terluapi air pasang yang hanya pada waktu tertentu
saja
Lahan terluapi air pasang sekurang-kurangnya 4 atau 5 hari selama 14 hari
siklus pasang purnama, dan hanya terjadi dimusim penghujan saja. Tanam padi
dua kali setahun kemungkinan bisa tidak berhasil karena akan mengalami
kekurangan air pada musim kemarau. Disamping mengalami defisit air dimusim
- 34 -
kemarau, kehilangan air akibat perkolasi lebih besar dibandingkan pada lahan
kategori A, dan lapisan genangan air diatas permukaan tanah sulit
dipertahankan.

Kategori C : Lahan diatas muka air pasang


Lahan tidak terluapi air pasang secara reguler, akan tetapi air pasang masuk
dalam saluran tersier atau masih mempengaruhi muka air tanah. Elevasi lahan
yang relatif tinggi dapat mengakibatkan banyaknya kehilangan air lewat
rembesan dan sulit atau tidak mungkin menahan lapisan air di dalam lahan
persawahan. Oleh karena itu, tanaman palawija dan tanaman keras lebih
cocok dari pada tanaman padi.

Kategori D : Lahan yang elevasinya jauh diatas level pasang (lahan


kering)
Lahan dengan elevasi jauh lebih tinggi dari muka air pasang, pengelolaan
airnya sama dengan yang dilakukan dilahan kering (up land).

Peta hidro-topografi dipersiapkan dengan data sebagai berikut :


a. Peta elevasi muka lahan (peta titik-titik ketinggian lahan)
b. Data muka air pasang purnama pada musim penghujan
c. Data muka air pasang purnama pada musim kemarau
Data pada butir a) dan b) tersebut di atas merupakan data sekunder yang
diukur pada bulan Maret – Mei 2006 oleh Balai Rawa dan Pantai, Puslitbang
Sumber Daya Air, Bandung, sedangkan data pada butir c) diamati oleh
Konsultan DDC, Jakarta pada tanggal 4 s/d 22 September 2007.
Selanjutnya untuk membuat peta kelas hidrotopografi ini diperlukan simulasi
HECRAS. Dari simulasi HECRAS selanjutnya akan diketemukan batas-batas
elevasi tertinggi untuk lahan dari masing-masing kelas hidro-topografi. Batas-
batas ketinggian untuk masing-masing kelas hidrotopografi tersebut kemudian
di analisis dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan menggunakan peta
kontur yang telah dibuat, sehingga dapat digambarkan peta sebaran kelas
hidrotopografi daerah penelitian.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)

Untuk pembuatan peta hidro-topografi perlu dibuat terlebih dahulu peta dasar
dengan menggunakan peta titik-titik ketinggian yang kemudian diuji dengan
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Lembar Belawang (1712-53) skala 1:50.000
dan kompilasi peta sket daerah penelitian hasil pengukuran terestrial serta
pengukuran koordinat di lapangan dengan menggunakan GPS. Tahapan-
tahapan yang dilakukan sebagai berikut :
1. Scanning/ Penyiaman peta RBI Lembar Belawang dan peta sket daerah
penelitian hasil pengukuran terestrial, sehingga diperoleh peta berstruktur
raster
- 35 -
2. Digitasi peta hasil sanning, dengan menggunakan software R2V, dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
 Input koordinat/ titik ikat peta
 Manajemen Layer/ lapis informasi
 Digitasi dan pelabelan data spasial titik, data spasial garis, dan
data spasial poligon
3. Editing hasil digitasi, baik untuk digitasi data spasial titik, garis, maupun
poligon, sehingga diperoleh data spasial yang benar
4. Export vektor (transformasi format data)
5. Pembentukan topologi kotor, pembentukan topologi bersih dengan program
Arc View
6. Penayangan data data spasial (titik, garis, dan poligon) hasil digitasi ke
dalam program Arc View

Peta dasar yang diperoleh melalui tahap di atas, digunakan untuk menguji peta
titik-titik ketinggian lahan di daerah studi. Data yang digunakan untuk
penyusunan peta, diperoleh melalui pengukuran lapangan. Penyusunan peta
tematik hidro-topografi dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografi / Geographic Information System (GIS), sementara itu penayangan,
pengolahan dan analisis peta menggunakan software Arc View versi 3.3.
Selanjutnya peta yang dihasilkan, diperoleh melalui tahapan sebagai berikut :
 Input Data
Pengumpulan dan persiapan data spasial dan atribut dari berbagai sumber ,
sekaligus konversi atau transformasi format-format data asli ke format yang
dapat diterima dan dapat dipakai dalam GIS.
- Data spasial berstruktur raster (misalnya citra satelit), input data
melalui proses penyiaman / scanning
- Data spasial berstruktur vektor (misalnya peta analog), input data
melalui digitasi
- Data atribut, input melalui proses tabulasi
 Pengelolaan Data
Penyusunan hasil input data ke dalam data base komputer, semua data
tersebut bereferensi geografi
 Analisis dan Simulasi Data
Pengolahan dan analisis data, antara lain dengan menggunakan analisis
interpolasi spasial
 Penayangan/ Keluaran peta tematik , yaitu penampilan data hasil
analisis dalam bentuk peta yang memenuhi kaidah kartografis untuk
pembuatan peta hidro-topografi
- 36 -
HASIL DAN PEMBAHASAN

MORFOLOGI DAN TOPOGRAFI

Lokasi studi secara fisiografis termasuk sistem dataran aluvial. Sebagaian


besar daerah mempunyai bentuk wilayah datar sampai berombak. Tidak
tampak adanya bentuk wilayah yang bergelombang. Morfologi wilayah Danda
Besar merupakan dataran rendah dengan elevasi ketinggian antara 7,0 sampai
dengan 13,0 meter dari permukaan laut. Kemiringan lereng didominasi oleh
kelas lereng datar (0–3%) dan sebagian kecil berkelas lereng agak miring (4-
8%). Namun karena lokasi ini berupa lahan pemukiman transmigrasi maka
lahan dengan kelas lereng datar sudah diubah menjadi lahan sawah.
Secara morfologis permukaan lahan (relief mikro) adalah datar. Perbedaan
relief bukan lagi terlihat sebagai kelas lereng, tetapi berupa beda elevasi antara
petak yang satu dengan yang lain (teras). Sementara lahan yang mempunyai
kelas lereng (4-8)% diperuntukkan sebagai lahan permukiman yang juga telah
banyak mengalami perubahan morfologi lahan oleh karena campur tangan
penghuninya.
Dengan demikian untuk memilahkan wilayah ini berdasarkan bentuk lahannya
adalah sangat sulit. Demikian pula untuk membuat peta kelas kemiringan
lereng, karena wilayah ini sudah banyak mengalami perubahan morfologi
karena pengaruh campur tangan manusia. Oleh karena itu untuk membedakan
bentuk lahan di daerah semacam ini akan lebih mengena jikalau lahan ini
dibedakan berdasar kelas hidro-topografinya. Kondisi hidrotopografi kawasan
merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam membuat
perencanaan kegiatan operasi dilahan rawa pasang surut.
Hasil simulasi HECRAS menunjukkan bahwa :
a. Elevasi tertinggi lahan kelas hidrotopografi A = 8,71 m dpal
b. Elevasi tertinggi lahan kelas hidrotopografi B = 9,34 m dpal
c.Elevasi tertinggi lahan kelas hidrotopografi C > 9,34 m dpal
Di kawasan studi tidak ditemukan lahan kelas hidrotopografi D. Selanjutnya
dapat digambarkan peta sebaran kelas hidrotopografi daerah penelitian
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6.
- 37 -

Gambar 6. Peta Hidrotopografi


- 38 -

Dari Peta Hidro-topografi tersebut, kemudian dengan analisis SIG dapat dicari
luasan masing-masing kelas hidrotopografi yang hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut :

Tabel 1. Luas dan Penyebaran lahan kelas hidrotopografi

No Kelas Luas
lokasi penyebaran
. Hidrotopografi (Ha) (%)
di bagian dalam dan luar Tka serta
1 A 800.20 32.85
di bagian tengah Tki
di bagian tengah Tka sebelah
2 B 820.78 33.69
timur & di bagian luar Tki
di bagian dalam dan luar Tka Seb.
3 C 815.17 33.46
timur serta bagian dalam Tki
Total 2436.15 100.00
Sumber : Analisis Peta Hidro-topografi

KESIMPULAN

1. Dari hasil analisis ditemukan bahwa kawasan studi memiliki kelas hidro-
topografi A, B, dan C. Kawasan tidak memiliki kelas hidro-topografi D
2. Pembagian luas dari ketiga kelas hidro-topografi di atas hampir berimbang,
dengan luasan terkecil, yaitu sebesar 800 ha adalah kelas A
3. Sementara itu kelas hidro-topografi B dan C memiliki luasan yang hampir
berimbang, yaitu berturut-turut 821 dan 815 ha atau 34 dan 33 % dari luas
total kawasan studi sebesar 2436 ha

SARAN

Mengingat akan keterbatasan data yang digunakan dalam studi ini maka
diperlukan suatu analisis lanjutan dengan data yang lebih akurat. Sebaiknya data
yang digunakan merupakan data yang diukur dan diamati pada waktu yang
sama.
- 39 -
- 40 -
- 41 -
- 42 -
- 43 -

SKETSA PROTOTIPE PINTU KLEP DI DANDA JAYA


- 44 -
- 45 -

Anda mungkin juga menyukai