OLEH :
ASEP SYAEFUDIN DAN L. BUDI TRIADI
BALAI RAWA
1. PENDAHULUAN
Luas lahan rawa di Indonesia ± 33.316.770 ha, terdiri dari 20.096.800 ha rawa
pasang surut dan 13.316.770 ha rawa non pasang surut yang tersebar di pulau
Sumatera 10.873.000 ha, Kalimantan 10.560.000 ha, Sulawesi 1.457.000 ha dan
Papua 10.523.000 ha ( Sumber Balai Rawa dan Pantai 2001 ). Lahan rawa yang
sangat luas tersebut 9 juta ha diantaranya potensial untuk dikembangkan
menjadi lahan budidaya pertanian tanaman pangan, holtikultura, perkebunan,
peternakan dan pertambakan. Selebihnya diperuntukkan untuk konservasi air,
tumbuhan dan hewan rawa.
Lahan rawa akan memiliki peranan penting dan strategis bagi pengembangan
pertanian yang sekaligus mampu mendukung ketahanan pangan nasional
terutama bila dikaitkan dengan perkembangan penduduk dan berkurangnya
lahan subur untuk berbagai penggunaan non pertanian. Di Kalimantan Selatan
terdapat lahan rawa pasang surut seluas 172.117 Ha yang tersebar di
Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin dan Tanah Laut,
dimana sampai saat ini sudah dimanfaatkan seluas 150.335 Ha ( 81 % ).
Rawa merupakan lahan yang mempunyai kemiringan yang relatif datar dan
hampir selalu tergenang air dalam waktu yang relatif lama, mempunyai sistem
drainase yang buruk serta mempunyai ciri khas secara fisik, kimia dan biologis.
Sebagian rawa air genangannya dipertahankan oleh air tanah yang sangat
dangkal, sebagian lagi terjadi karena menampung penyaluran air permukaan
(run off), atau luapan air sungai yang berlangsung secara berkala,tebal air
genangan rawa ini berfluktuasi menurut pergantian musim hujan atau kemarau.
Lahan rawa pasang surut pada umumnya sering diidentikan dengan keberadaan
jenis tanah yang belum matang dengan kandungan unsur racun yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman yang berakibat rendahnya produktivitas
usaha pertanian. Oleh karena itu perlu pertimbangan dan langkah yang cermat
untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki.
Pengelolaan tata air di lahan rawa pasang surut dibagi menjadi dua tingkatan,
yaitu :
- pengelolaan air ditingkat jaringan petak tersier (Tata Air Mikro),
merupakan pengelolaan air di lahan usaha tani yang menentukan secara
langsung kondisi lingkungan bagi pertumbukan tanaman;
Salah satu faktor kunci keberhasilan pengembangan lahan rawa adalah teknik
pengelolaan tanah dan tata air yang tepat, sehingga tercipta media tumbuh yang
baik bagi tanaman. Pengelolaan air dalam kegiatan pertanian di lahan rawa
pasang surut dapat berhasil dengan baik jika dilakukan secara hati-hati, karena
pengelolaan air tidak mungkin dapat dicapai secara langsung serta tidak
mungkin dapat dilakukan segera setelah lahan rawa direklamasi.
Bangunan pintu pengatur air di jaringan sekunder umumnya berupa pintu klep
dikombinasikan dengan pintu geser, sedangkan di jaringan tersier biasanya
berupa pintu geser, pintu klep atau stoplog. Masalah utama adalah bagaimana
mempertahankan taraf muka air yang optimal baik selama musim hujan maupun
musim kemarau dan bagaimana memenuhi kebutuhan irigasi dan drainase
sebaik-baiknya.
Pada umumnya yang menjadi kondisi batas hidraulik ditentukan oleh berbagai
yang ingin dicapai dalam pengelolaan air. Faktor-faktor penentu kondisi batas
hidraulik pada umumnya dalah sungai yang berdekatan dengan kawasan
reklamasi dan fluktuasi pasang surut harian maupun musiman, intrusi air asin,
-4-
kualitas air dan draianse dari lahan di sekitarnya. Kondisi batas hidraulik dapat
mengalami perubahan apabila ada perubahan skala besar dalam hal
penggunaan lahan di daerah aliran sungai, pembangunan reservoir, maupun
konstruksi tanggul pengamanan banjir.
2.1 Sungai
Muka air tinggi harian bersifat relatif terhadap elevasi lahan, menentukan
peluang terjadinya irigasi pasang surut dan proses drainase. Pada irigasi pasang
surut luapan air ke lahan berlangsung paling sedikit rata-rata selama 4 atau 5
hari selama siklus pasang surut (Euroconsult, at.al, 1996). Agar air pasang dapat
mengalir secara gravitasi, maka taraf muka air saat pasang purnama di sungai
harus jauh lebih tinggi dibandingkan elevasi permukaan lahan dengan terlebih
dahulu memperhitungkan kehilangan tinggi tekan (head) yang terjadi di
sepanjang ruas saluran diantara sungai dan lahan sawah. Muka air tertinggi
dapat dipakai untuk menentukan tinggi elevasi tanggul yang diperlukan untuk
pengamanan dari luapan banjir.
Muka air rendah harian dan muka air rerata menentukan peluang terjadinya
drainase dan penggelontoran air saluran.
- Drainase, yang menjadi dasar penentuan level drainase adalah muka air
rendah di sungai, level drainase terendah berada diantara muka air rendah
dan muka air rerata. Sebagai estimasi awal dari kemampuan berdrainase
seringkali muka air rerata diasumsikan sebagai basis drainase, dengan durasi
drainase efektif antara 2 sampai 6 jam perhari. Dengan elevasi lahan
kebanyakan berada di sekitar elevasi muka air pasang tinggi, makin besar
kisaran fluktuasi pasang surutnya, maka semakin besar pula selisih antara
elevasi lahan dengan muka air rendah dan muka air rerata, hal itu berarti
peluang drainasenya makin baik.
2,50
2,00
Level (Meter)
1,50
1,00
0,50
0,00
0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 432
Waktu (jam)
Di daerah transisi antara regime sungai pasang surut dan regime sungai non
pasang surut, fluktuasinya semakin tinggi, indikasinya adalah meningginya
elevasi muka air rendah di musim hujan sehingga semakin membatasi peluang
berdrainase.
Pada ruas sungai non pasang surut, hampir tidak ada pengaruh pasang surut di
musim hujan, fluktuasi musiman umumnya besar dan drainase lahan rendah
menjadi semakin terhambat atau bahkan tidak mungkin didrainase selama muka
air sungai tinggi.
-6-
Intrusi air asin mencapai jarak terjauh pada saat puncak pasang tinggi, tepat
sebelum air mulai mengalir ke luar lagi dn mencapai jarak terdekat pada saat
surut terendah tepat sebelum air mulai mengalir masuk ke sungai. Karena air
asin sedikit lebih berat dari pada air tawar, maka air tawar akan berada di
permukaan sedangkan air asin berada di bagian yang lebih dalam, peristiwa ini
disebut intrusi air asin berlapis. Meskipun demikian, secara umum air asin dan
air tawar bercampur dengan baik dan disebut air asin campuran.
Jika kandungan garamnya melebihi 5μS/cm, maka air sungai tidak dapat
digunakan untuk irigasi. Sedangkan air dengan kadar garam melebihi 1μS/cm
tidak layak untuk dikonsumsi sabagai air baku. Pada kawasan yang jauh dari
pantai intrusi air asin hanya terjadi pada saat musim kemarau dan agak kurang
berpengaruh terhadap airtanah.
Kualitas air sungai yang berada di kawasan pasang surut pada umumnya
memenuhi kelayakan sebagai air irigasi untuk pertanian.
Run off dari lahan rawa yang belum direklamasi biasanya tidak mengakibatkan
banjir, Lapisan gambut yang tebal berfungsi sebagai spons berukuran raksasa,
melepaskan kelebihan air secara gradual. Air tersebut bisa disimpan dan
dimanfaatkan sebagai reservoir untuk digunakan sebagai pasokan air selama
musim kemarau walaupun kualitas airnya bisa saja kurang baik. Jumlah air yang
tersedia hanya bisa diperkirakan dari neraca air di wilayah sungai. Untuk
mencegah agar air limpasan curah hujan dari lahan tinggi di sekelilingnya tidak
mengakibatkan luapan pada lahan yang lebih rendah, perlu dibuat saluran
drainase interseptor yang bermuara ke sungai ataupun ke saluran primer.
Run off dari lahan kering bisa mengakibatkan banjir dan oleh karena itu harus
dicegah dengan mengalirkannya lewat saluran pengelak langsung ke sungai.
Untuk keperluan perhitungan dan perencanaannya, besarnya banjir maksimum
bisa diperkirakan dengan memperhitungkan curah hujan dan karakteristik
wilayah sungai dengan metode hidrologi konvensional.
-7-
lahan persawahan. Budidaya tanaman palawija dan tanaman keras lebih cocok
dilahan ini.
Klas 1 : kedalaman irigasi pasang surut lebih dari 0,25 m baik di musim hujan
maupun musim kemarau
Klas 2 : kedalaman irigasi pasang surut antara 0,00 - 0,25 m baik di musim
hujan maupun musim kemarau
3.2 Drainabilitas
Rambatan pasang surut dari laut ke sungai merupakan faktor yang menentukan
dalam penatagunaan sumber daya air di lahan rawa pasang surut. Adanya
pasang surut menimbulkan pengaruh terhadap aliran sungai.
-9-
Muka air laut rata-rata (MALR) adalah ketinggian rata-rata muka air laut selama
periode yang cukup panjang (satu tahun atau lebih). Fluktuasi muka air laut
musiman disebabkan oleh oleh faktor-faktor iklim (variasi tekanan udara, arah
dan kecepatan angin dikombinasikan dengan morfologi dasar laut dan garis
pantai) serta pengaruh aliran sungai. Fluktuasi musiman ini mengakibatkan
perbedaan yang nyata peluang irigasi pasang surut dan drainabilitas antara
musim hujan dan musim kemarau.
Kisaran pasang surut merupakan perbedaan antara muka air pasang dan muka
air surut harian. Kisarannya bervariasi secara tetap setiap dua minggu dan
mencapai maksimum pada pasang purnama (spring tide) dan minimum pada
pasang mati (neap tide). Kisaran ini dipengaruhi oleh perubahan musiman.
Kisaran pasang surut bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya, di pantai
utara Jawa hanya sekitar 1,00 m, di pantai timur Sumatera dan pantai selatan
Kalimantan bervariasi antara 2,00 – 3,00 m dan di pantai selatan Papua dapat
mencapai sekitar 6,00 m.
Dengan memperhatikan elevasi lahan rawa pasang surut yang pada umumnya
sekitar elevasi muka air pasang purnama, kisaran pasang surut pada pasang
- 10 -
purnama memberikan indikasi kedalaman muka air surut di bawah muka lahan d
an peluang maksimum kedalaman drainase. Semakin ke arah hulu dari mulut
sungai, fluktuasi pasang surut semakin dipengaruhi oleh aliran sungai, walaupun
di beberapa sungai berdasarkan pengamatan pada awalnya terjadi sedikit
penambahan kisaran pasang surut yang diakibatkan oleh adanya penyempitan
penampang sungai baik secara vertikal maupun horisontal. Setelah air
memasuki saluran, fluktuasi pasang surut menjadi berkurang.
Dalam kasus dimana pematangan tanah belum tuntas prosesnya, maka proses
itu dapat distimulir melalui saluran drainase yang memadai :
Pada tanah yang belum matang, penanaman padi tidak dapat dilakukan dengan
cara normal, karena tidak mungkin untuk bisa efektif mempertahankan lapisan
air di atas lahan. Yang dapat dilakukan adalah mempertahankan kedalaman air
tanah antara 0,10 – 0,20 m dari muka tanah dan memanfaatkan head yang
tersedia antara muka air tanah dengan muka air di saluran untuk proses
pencucian tanah. Dengan cara ini pencucian tanah dapat berlangsung secara
gradual bersamaan dengan terbuangnya keasaman tanah dan pada akhirnya
akan mengarah kepada terbentuknya tanah yang normal.
Pada lahan rawa yang sudah direklamasi biasanya lapisan tanah gambut akan
lenyap, sebagai konsekuensinya hanya lahan dengan lapisan gambut tipis saja
yang cocok untuk direklamasi. Kebanyakan tanah gambut akan hilang selama
periode pengembangan tahap I. Jikapun masih tersisa hal itu tidak terlampau
berpengaruh penting dalam cara-cara pengelolaan airnya.
- 12 -
Jika lapisan gambutnya tebal, maka proses subsiden hampir mustahil dapat
dihentikan, cepat atau lambat penggunaan pompa untuk keperluan drainase
tidak dapat dihindarkan, sehingga budidaya pertaniannya tidak akan layak.
Tanah ”muck” adalah tanah mineral yang kaya dengan kandungan bahan
organik, tanahn ini dibedakan dari tanah gambut karena kandungan kadar
abunya yang berbeda. Kadar abu, adalah residu dinyatakan dalam % berat
terhadap tanah kering aslinya, setelah tanah dipanaskan sampai 600 oC. Tanah
dengan kadar abu di atas 25% biasanya disebut sebagai tanah muck, tanah
dengan kadar abu yang lebih rendah dengan ketebalan lapisann organiknya 0,40
sampai 0,50 m disebut sebagai tanah gambut.
Taah muck seringkali mengandung bahan pirit. Dalam kondisi tergenang, bahan
organik melepaskan asam organiknya yang pada gilirannya akan memperburuk
kadar racun besi. Karena pertimbangan itu, dari segi pengelolaan air , tanah
muck memunculkan masalah yang sama dan memerlukan perlakuan
pengelolaan air yangs erupa dengan tanah sulfat masam.
Dikawasan lahan reklamasi rawa pasang surut biasanya ditemukan juga jenis
tanah yang sudah disebutkan sebelumnya, umumnya hanya didapati pada areal
yang tidak luas. Ini utmanya menyangkut bekas lahan kering. Kesuburannya
berkisar rendah ke sangat rendah, sifat fisiknya tidak begitu berbeda dengan
tanah lahan kering pada umumnya. Dari segi pengelolaan airnya, perlakuannya
serupa dengan tanah lahan kering. Biasanya tanah ini memiliki permeabilitas
rendah dan kapasitas menahan air yang buruk, sehingga tanah ini sangat rentan
terhadap kekeringan.
Upaya reklamasi lahan rawa pasang surut menjadi lahan pertanian telah
dilaksanakan sejak lama oleh masyarakat petani Bugis dari Sulawesi Selatan
dan Banjar dari Kalimantan Selatan. Mereka dengan cara swakarsa dan
swadaya membuka lahan rawa di sepanjang hilir tepian sungai-sungai besar
untuk budidaya tanaman padi, kelapa dan palawija. Teknologi yang dipakai
masih sangat sederhana dimana mereka hanya membuat saluran-saluran (parit)
- 13 -
Berdasrkan bentuk dari sistem jaringan tata air yang telah dikembangkan di
Indonesia, terdapat empat sistem jaringan pengelolaan air yaitu sistem handil
(tradisional), sistem anjir, sistem garpu dan sistem sisir.
Sistem handil merupakan sistem tata air tradisional dengan rancangan yang
sangat sederhana berupa saluran yang menjorok dan masuk dari muara sungai.
Kata handil berasal dari kata anndeel dalam bahasa Belanda yang berarti
kerjasama atau gotong royong. Di Sumatera dikenal dengan istilah parit kongsi.
Handil dalam masyarakat suku Banjar diartikan sebagai suatu luasan lahan atau
areal yang dibuka sekaligus pembuatan saluran yang menjorok masuk ke
pedalaman dari pinggiran sungai besar. Sistem ini hanya cocok dikembangkan
untuk skala pengembangan yang relatif kecil. Sebuah handil umumnya digali dan
dimanfaatkan secara gotong royong sekitar 7 – 10 orang.
Sistem handil ini mengandalkan apa yang dinerikan oleh alam berupa tenaga
pasang surut untuk mengalirkan air sungai ke saluran-saluran handil atau parit
kongsi, kemudian dikeluarkan kembali pada saat surut. Bentuk jaringan handil
menyerupai bangunan sirip ikan atau tulang daun nagka. Salurannya dapat
difungsikan sebagai jalur navigasi. Permasalahan yang sering timbul pada
sistem ini adalah timbulnya titik aliran mati pada aujung saluran.
Sistem anjir disebuut juga dengan sistem kanal yaitu sistem tata air makro
dengan pembuatan saluran besar yang menghubungkan dua sungai besar yang
dikembangkan sekaligus sebagai sistem transportasi petani. Saluran yang dibuat
dimaksudkan untuk dapat mengalirkan dan membagikan air yang masuk dari
sungai untuk pengairan jika terjadi pasang dan sekaligus menampung air
limpahan (pengatusan) jika surut melalui handil-handil yang dibuat sepanjang
anjir sehingga air sungai dapat dimanfaatkan untuk keperluan pertanian secara
lebih luas dan leluasa.
Perbedaan waktu pasang dari dua sungai yang dihubungkan oleh sistem anjir ini
diharapkan akan diikuti oleh perbedaan muka air sehingga dapat tercipta suatu
aliran dari sungai yang muka airnya lebih tinggi ke sungai yang rendah.
Kelemahan dari sistem anjir ini adalah ternyata harapan di atas tidak dapat
sepenuhnya tercapai. Bahkan, terjadi aliran balik dari air yang semestinya
dibuang mengalir masuk kembali akibat didorong oleh gerakan pasang, dan
akumulasi asam di saluran sehingga menimbulkan keracunan pada tanaman dan
biota air lainnya.
Dengan dibuatnya anjir, maka daerah yang berada di kiri dan kanan saluran
dapat diairi dengan membangun handil-handil (saluran tersier) tegak lurus kanal.
Adanya anjir ini menimbulkan lalu lintas transportasi air antara dua kota menjadi
lebih ramai sehingga mendorong pembangunan daerah karena terjadinya
peningkatan arus pertukaran barang dan jasa.
- 15 -
Sistem garpu adalah sistem tata air yang dirancang dengan saluran-saluran
yang dibuat dari pinggir sungai masuk menjorok ke pedalaman berupa saluran
navigasi dan saluran primer, kemudian disusul dengan saluran sekunder yang
dapat terdiri atas dua saluran bercabang sehingga jaringan berbentuk
menye¬rupai garpu. Ukuran lebar saluran primer antara 10 m - 20 m dan dalam
sebatas di bawah batas pasang minimal. Ukuran lebar saluran sekunder antara 5
m -10 m. Kolam berfungsi untuk menampung sementara unsur dan senyawa
beracun pada saat pasang, kemudian diharapkan keluar mengikuti surutnya air.
Pada setiap jarak 200 m - 300 m sepanjang saluran primer/sekunder dibuat
saluran tersier. Sistem garpu ini dikembangkan oleh Tim Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S) yang di Universitas Gadjah Mada (1969 -1982)
untuk wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Wilayah
yang menerapkan sistem garpu, khususnya Kalimatan Selatan dan Kalimantan
Tengah, mencapai sekitar 150 ribu hektar.
Sistem sisir merupakan pengembangan sistem anjir yang dialihkan menjadi satu
saluran utama atau dua saluran primer yang membentuk sejajar sungai. Pada
sistem sisir ini panjang saluran sekunder dapat mencapai 10 km, sedangkan
pada sistem garpu hanya 1 - 2 km. Perbedaan lain, pada sistem sisir tidak dibuat
kolam penampung pada ujung-ujung saluran sekunder sebagaimana pada
sistem garpu. Sistem saluran dipisahkan antara saluran pemberi air dan
pengatusan.
Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang bersifat otomatis
(aeroflapegate). Pintu bekerja secara otomatis mengatur bentuk muka air sesuai
dengan pasang dan surut. Sistem garpu ini dikembangkan oleh Tim Proyek
Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di Institut Teknologi Bandung
(1969 -1982) untuk wilayah Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah yang menerapkan system sisir,
mencapai sekitar 600 ribu hektar.
Jaringan reklamasi rawa yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi
memiliki kelemahan-kelemahan serius. Pertama-tama, pendeknya saluran
menyebabkan air pasang tidak selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih
subur yang umumnya agak jauh dari sungai. Kedua, tidak terdapatnya bangunan
pengatur air saat musim kemarau sering kali air pasang tidak dapat meluapi
lahan dan meyebabkan kekeringan. Kalaupun ada bangunan pengatur air,
namun karena bangunannya bukan berupa bangunan tetap/permanen, maka
umurnya mungkin pendek.
Sistem anjir adalah contoh reklamasi semi-teknis (lihat Gambar 6.1b), Anjir
umumnya dibangun dan dipelihara oleh pemerintah, sedang handil-handil yang
terhubung dengan anjir dibangun secara swadaya oleh masyarakat). Dalam
kebanyakan hal, perbedaan pokok antara jaringan reklamasi rawa sederhana
dan jaringan reklamasi rawa semi-teknis adalah bahwa yang belakangan ini
saluran drainase utamanya dibangu oleh pemerintah. Mungkin juga dibangun
beberapa bangunan permanen di jaringan saluran.
Sistem Garpu dan Sisir adalah dua contoh jaringan reklamasi rawa yang sejak
awal direncanakan menjadi jaringan rawa teknis (lihat Gambar 6.1c. walaupun
bangunan pengatur air belum sepenuhnya dibangun). Salah satu prinsip dalam
perencanaan jaringan teknis adahlah adanya jaringan primer dan sekunder yang
direncanakan dan dibangun oleh pemerintah, serta adanya pemisahan antara
- 17 -
saluran pembawa dan pembuang yang meyebabkan terjadinya aliran satu arah
yang sangat membantu proses pencucian tanah.
Adanya pemisahan ini berarti bahwa baik saluran pembawa maupun pembuang
bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, dari pangkal hingga ujung.
Saluran pembawa rawa mengalirkan air sungai ke sawah-sawah dan saluran
pembuang mengalirkan air lebih dari sawah-sawah ke saluran sekunder
pembuang yang kemudian akan membuangnya ke saluran primer. Pada tingkat
saluran primer, fungsi saluran sebagai pembawa dan pembuang tidak
dipisahkan.
Pemilihan pengelolaan air di lahan rawa pasang surut pada dasarnya ditentukan
oleh kondisi hidrotopografi. Jika dikombinasikan dengan strategi pengelolaan air,
maka akan memungkinkan kita dapat membagi suatu area ke dalam zona-zona
kesesuaian lahan yang berbeda atas dasar kondisi tata air yang kurang lebih
identik. Hal ini disebut sebagai Land Suitability zones (LSZ), yang akan menjadi
suatu indikator untuk membuat delineasi lahan berdasrkan kesamaan dlam hal
pengelolaan airnya. Untuk mendapatkan zona kesesuaian lahan pada daerah
rawa pasang surut kita dpat menggunakan sistem informasi geografis (GIS).
Pintu klep yang dipasang di saluran sekunder dan pintu pintu klep maupun pintu
geser di saluran tersier memungkinkan pengelolaan air dapat dilakukan secara
- 18 -
Opsi pengelolaan air harus didasarkan kepada permukaan air rata-rata di blok
sekunder, pada prinsipnya akan menghasilkan ketentuan sebagai berikut :
Ketentuan pengoperasian pintu klep di saluran sekunder dan pintu klep atau
pintu geser di saluran tersier harus didasarkan kepada kebutuhan agar terjadi
pertumbuhan tanaman padi secara optimal, ini berarti kondisi di lahan sawah
dan muka air di saluran tersier dan sekunder seperti ditunjukkan pada Tabel
6.1. Hal ini menghasilkan ketentuan pengoperasian sebagai berikut :
☻ Pengolahan Tanah ;
☻ Tahap Pembibitan :
♦ Kondisi Normal :
♦ Hujan ekstrim :
☻ Tahap Pemasakan
☻ Persyaratan Tambahan
Catatan : ♦ kondisi lahan sawah dan muka air yang dikehendaki di saluran
tersier dan sekunder sebagaimana ditunjukan pada Tabel 7.2
Ketentuan pengoperasian untuk pintu klep dan pintu geser di saluran sekunder
dan pintu geser di saluran tersier harus diusahakan agar pertumbuhan tanaman
padi bisa optimal. Hal tersebut akan menghasilkan ketentuan pengopersian
sebagai berikut :
☻ Pengolahan Tanah
☻ Tahap Pembibitan
☻ Tahap Pemasakan
☻ Persyaratan Tambahan
Dalam prakteknya adalah tidak mungkin untuk mempertahankan muka air tepat
seperti digambarkan di atas, biasanya toleransinya berkisar kurang lebih 10 cm
di atas atau di bawah level yang dikehendaki.
Tabel 7.3 pengelolaan air untuk palawija, musim hujam dan musim kemarau
Musim kemarau Catatan : Hanya di Areal C dan D Normal: 30 - 40 cm di bawah Normal: 60 – 80 cm di bawah
April, Mei dan Juni muka tanah. muka tanah.
Muka air tanah 40 -50 cm di bawah Periode Hujan ektrim: Periode Hujan ektrim: setinggi
muka tanah setinggi mungkin mungkin
PROBLEMA
HIPOTESA
TINJAUAN PUSTAKA
Pustaka yang digunakan dan berkaitan langsung dengan studi ini, yaitu :
1. Laporan Supervisi dengan Model Matematik Pekerjaan Desain
Pemeliharaan Khusus Unit Pasang Surut Puntik Danda besar Kalimantan
Selatan, Puslitbang Pengairan, tahun 1988
2. Laporan Akhir Penerapan Pintu Klep Otomatis Di Rawa Pasang Surut
Kalimantan Selatan, Puslitbang SDA, tahun 2007
3. Penilaian Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pendukung Sistem Jaringan
Tata Air di Rawa Pasang Surut , PT. DDC Consultants, Jakarta, tahun 2007
Ketiga literatur tersebut memberikan gambaran tentang sistem jaringan dan
kondisi hidro-topografi areal studi sehingga dapat memberikan arahan dalam
proses analisis selanjutnya.
Kondisi hidrotopografi kawasan merupakan salah satu faktor yang menjadi
pertimbangan dalam membuat perencanaan kegiatan operasi dilahan rawa
pasang surut. Kondisi hidrotopografi didefinisikan sebagai perbandingan relatif
antara elevasi lahan dengan elevasi muka air sungai atau muka air disaluran
terdekat.
- 29 -
KETINGGIAN LAHAN
Data topografi yang digunakan dalam studi ini adalah data hasil pengukuran
pada bulan Maret – Mei 2006 yang dilakukan oleh Balai Rawa Pantai,
Puslitbang Sumber Daya Air, Bandung. Data topografi yang dimaksud berupa
spot level yang diukur dengan metode Poligon Tertutup untuk seluruh kawasan
studi.
HIDRO-TOPOGRAFI
ANALISIS
KETINGGIAN LAHAN
Pengukuran ketinggian lahan diukur pada sisi tanggul kanan dan kiri secara
berantai dari hulu sampai hilir saluran dengan interval 100 m. Pengukuran ini
menggunakan alat Digital Theodolit (DT). Salah satu BM yang digunakan untuk
mengikat ketinggian adalah BM PDB 01 dengan ketinggian +10.000.
Sementara itu pengukuran penampang melintang saluran dilakukan setiap 200
m dengan menggunakan alat yang sama.
T 27
T 17
T 12
T6
T3
T1
KLASIFIKASI HIDRO-TOPOGRAFI
lahan
Muka
Muka air pasang musim hujan (MH)
Lahan terluapi
Muka air surut MH Lahan terluapi minimum
minimum Lahan tidak Lahan tidak
4-5 kali per
4-5 kali per terluapi oleh air terluapi oleh air
siklus pasang
Muka air surut MK siklus pasang pasang. pasang.
purnama hanya
purnama baik Tetapi muka air Tidak ada
musim hujan
musim hujan tanah masih pengaruh pasang
hujan
maupun dipengaruhi air surut pada
musim kemarau pasang surut air tanah
Salur Katagori D
Katagori C
Katagori A Katagori B
a
n tersier
Kategori B : Lahan terluapi air pasang yang hanya pada waktu tertentu
saja
Lahan terluapi air pasang sekurang-kurangnya 4 atau 5 hari selama 14 hari
siklus pasang purnama, dan hanya terjadi dimusim penghujan saja. Tanam padi
dua kali setahun kemungkinan bisa tidak berhasil karena akan mengalami
kekurangan air pada musim kemarau. Disamping mengalami defisit air dimusim
- 34 -
kemarau, kehilangan air akibat perkolasi lebih besar dibandingkan pada lahan
kategori A, dan lapisan genangan air diatas permukaan tanah sulit
dipertahankan.
Untuk pembuatan peta hidro-topografi perlu dibuat terlebih dahulu peta dasar
dengan menggunakan peta titik-titik ketinggian yang kemudian diuji dengan
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Lembar Belawang (1712-53) skala 1:50.000
dan kompilasi peta sket daerah penelitian hasil pengukuran terestrial serta
pengukuran koordinat di lapangan dengan menggunakan GPS. Tahapan-
tahapan yang dilakukan sebagai berikut :
1. Scanning/ Penyiaman peta RBI Lembar Belawang dan peta sket daerah
penelitian hasil pengukuran terestrial, sehingga diperoleh peta berstruktur
raster
- 35 -
2. Digitasi peta hasil sanning, dengan menggunakan software R2V, dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
Input koordinat/ titik ikat peta
Manajemen Layer/ lapis informasi
Digitasi dan pelabelan data spasial titik, data spasial garis, dan
data spasial poligon
3. Editing hasil digitasi, baik untuk digitasi data spasial titik, garis, maupun
poligon, sehingga diperoleh data spasial yang benar
4. Export vektor (transformasi format data)
5. Pembentukan topologi kotor, pembentukan topologi bersih dengan program
Arc View
6. Penayangan data data spasial (titik, garis, dan poligon) hasil digitasi ke
dalam program Arc View
Peta dasar yang diperoleh melalui tahap di atas, digunakan untuk menguji peta
titik-titik ketinggian lahan di daerah studi. Data yang digunakan untuk
penyusunan peta, diperoleh melalui pengukuran lapangan. Penyusunan peta
tematik hidro-topografi dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografi / Geographic Information System (GIS), sementara itu penayangan,
pengolahan dan analisis peta menggunakan software Arc View versi 3.3.
Selanjutnya peta yang dihasilkan, diperoleh melalui tahapan sebagai berikut :
Input Data
Pengumpulan dan persiapan data spasial dan atribut dari berbagai sumber ,
sekaligus konversi atau transformasi format-format data asli ke format yang
dapat diterima dan dapat dipakai dalam GIS.
- Data spasial berstruktur raster (misalnya citra satelit), input data
melalui proses penyiaman / scanning
- Data spasial berstruktur vektor (misalnya peta analog), input data
melalui digitasi
- Data atribut, input melalui proses tabulasi
Pengelolaan Data
Penyusunan hasil input data ke dalam data base komputer, semua data
tersebut bereferensi geografi
Analisis dan Simulasi Data
Pengolahan dan analisis data, antara lain dengan menggunakan analisis
interpolasi spasial
Penayangan/ Keluaran peta tematik , yaitu penampilan data hasil
analisis dalam bentuk peta yang memenuhi kaidah kartografis untuk
pembuatan peta hidro-topografi
- 36 -
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari Peta Hidro-topografi tersebut, kemudian dengan analisis SIG dapat dicari
luasan masing-masing kelas hidrotopografi yang hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut :
No Kelas Luas
lokasi penyebaran
. Hidrotopografi (Ha) (%)
di bagian dalam dan luar Tka serta
1 A 800.20 32.85
di bagian tengah Tki
di bagian tengah Tka sebelah
2 B 820.78 33.69
timur & di bagian luar Tki
di bagian dalam dan luar Tka Seb.
3 C 815.17 33.46
timur serta bagian dalam Tki
Total 2436.15 100.00
Sumber : Analisis Peta Hidro-topografi
KESIMPULAN
1. Dari hasil analisis ditemukan bahwa kawasan studi memiliki kelas hidro-
topografi A, B, dan C. Kawasan tidak memiliki kelas hidro-topografi D
2. Pembagian luas dari ketiga kelas hidro-topografi di atas hampir berimbang,
dengan luasan terkecil, yaitu sebesar 800 ha adalah kelas A
3. Sementara itu kelas hidro-topografi B dan C memiliki luasan yang hampir
berimbang, yaitu berturut-turut 821 dan 815 ha atau 34 dan 33 % dari luas
total kawasan studi sebesar 2436 ha
SARAN
Mengingat akan keterbatasan data yang digunakan dalam studi ini maka
diperlukan suatu analisis lanjutan dengan data yang lebih akurat. Sebaiknya data
yang digunakan merupakan data yang diukur dan diamati pada waktu yang
sama.
- 39 -
- 40 -
- 41 -
- 42 -
- 43 -