Anda di halaman 1dari 49

BAB 10.

PENGELOLAAN CEKUNGAN AIRTANAH BERBASIS


AKIFER
DALAM SATU SISTEM CEKUNGAN HIDROGEOLOGI
SASARAN :

1) Memahami konsep dasar pengelolaan cekungan


hidrogeologi
2) Mempunyai wawasan aspek legal/httkum dalam pengelolaan
airtanah
10.1. AIR SEBAGAI PARAMETER KENDALI
Pentingnya untuk mengkaji lebih dalam permasalahan air dalam suatu konsep
pengembangan wilayah telah dikemukaan oleh Legget (1973). Legget telah
memformulasikan enam parameter fisik/alam biotik dan abiotik yang mempengaruhi
kehidupan manusia di dalam suatu lingkungan binaan, yaitu sudut lereng,
batuanitanali, air. vegetasi, bahan galian, bencana alam geologi, dan sekaligus
membuat urutan dan pembobotan dari setiap parameter yang diperlukan.
Landasan utamanya yaitu dengan cara mengenali sebaik mungkin potensi alam di
suatu daerah sebelum melakukan program pengembangan di suatu lingkungan
daerah binaan ersebut.

Dalam urutan tersebut air telah dimunculkan sebagai parameter penting ke tiga,
setelah parameter bentang alam dan tanah, sebagai parameter penentu di
dalam penilaian kelayakan lahan dalam pengembangan lingkungan binaan.

Salah satu permasalahan yang ada adalah keterbatasan informasi tentang


ketersediaan(kuantitas dan kualitas)air, khususnya airtanah, bilamana harus
memperhatikan jenis media (porous atau non porous) termasuk di mana
sebenarnya airtanah itu terperangkap.

Mengingat pentingnya air untuk kelangsungan kehidupan manusia sehari-hari,


seperti : pertanian, industri sarana transportasi, dan energi, maka sudah
seharusnya faktor kesediaan dan kebutuhan air dijadikan parameter kendali
secara eksplisit.
Dua gambar berikut memberikan ilustrasi riil akan keterdapatan air dalam suatu
sistem hidrologi dan hidrogeologi media berbutir (porous) seperti pada Gambar 10.1.

Pada Gambar 10.1, air hujan yang jatuh, sebagian besar masuk ke dalam sungai dan
meresap ke dalam tanah, yang dibatasi oieh wilayah air sungainya (WAS). Garis
wilayah air sungai berperan adalah garis pemisah air topografi, yaitu suatu garis
yang rnenghubungkan puncak-puncak gunung/hukit. Pada gambar tersebut terlihat
pula adanya beberapa lapisan akifer, beberapa sistem aliran airtanah, darimana
sumber airtanahnya serta bagaimana aliran antar akifer yang terjadi, sampai ke
pantai. Konstribusi air sungai ke dalam akifer atau sebaliknya dapat ditihat pula pada
ilustrasi tersebut. Khususnya mengenai kajian airtanah maka diperlukan
pemahaman geometri akifer untuk pengelolaannya . Selaniutnya, ilustrasi Gambar
10.2 merupakan akifer media celahan, umumnya terdapat pada daerah
berbatugamping/lava/granit. Pada media ini perbedaan yang terlihat adalah perilaku
sungai yang bersifat intermiten (tidak mengalir sepanjang tahun) di mana sungai
bawah tanah sering ditemukan, muncul menghilangnya aliran sungai sering terjadi.
:idol...441 m o d i f i e d , ■ 9 9 1 ) m o d i f i e d ,
■991)

Gambar 10.1. Cekungan Hidrologi Dan Hidrogeologi (Sumber : S. Mande1,1981)

Aliran sungai yang berkembang tidak berhubungan dengan garis pemisah air
topografi seperti halnya pada daerah lain umumnya. Perangkap airtanah pun
bersifat acak tetapi dapat ditelusuri polanya. Old) karena itu karakteristik airtanah
pada kawasan seperti ini sangat berbeda dengan pada media porous.
1
/ 4

Gambar 10.2 Sistim drainase air daerah Kano! Perhatikan mama1 clan menghilangnya aliran sungai Strahler, 1979)

Mengingat ketersediaan airtanah perlu diketahui sedini mungkin, maka sebelum pelaksanaan
petnbukaan lahan, diperlukaa rekonstruksi, dan analisis potensi sumberdaya air di suatu wilayah.
Kajian ini menjadi rnutlak diketahui sebelumnya agar memudahkan penanganannya. Dengan
demikian maka konsepsi dasar penanganan dan pengelolaan sumberdaya air meliputi dua hal :

a. Aspek air permukaan, berbasis cekungan hidrologi permukaan atau dikenal pula pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS).

b. Aspek airtanah, berbasis cekungan hidrogeologi atau dikenal juga BasinlCekungan


airtanah.Oleh karena itu, kajian sumberdaya air tersebut hams dilakukan sedini mungkin serta
memperhatikan aspek sisternnya di alam.
Pengelolaan airtanah menjadi hal yang niengemuka dalam 10 tahun terakhir ini
antara lain disebabkan berbagai perrnasalahan lingkungan yang bersumber pada
kegiatan eksploitasi airtanah, berikut ini

1. Penurunan muka airtanah yang tidak terkendali akibat pembangunan pemukiman


dan industri yang pesat,Pesatnya pertumbuhan sektor tersebut tentunya
memerlukan pasokan air yang sangat besar.

2. Penurunan permukaan tanah (land subsidence), yang salah satu penyebabnya,


adalah eksploitasi airtanah yang tanpa perencanaan.

3. Bencana banjir yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah air permukaan.


Peningkatan jumlah air pennukaan secara tidak alamiah tersebut disebabkan
karena berkurangnya volume air hujan yang diserap akifer.

4. Bencana tanah longsor akibat terganggunya kestabilan lereng. Hal ini disebabkan
tahapan perencanaan wilayah berm memperhatikan potensi bencana karena
airtanah.

Beberapa persoalan di alas dapat diakibatkan karena kurangnya pemahaman


mengenai sistem akifer, keberadaan airtanah, dan potensi airtanah yang
efelctif/nyata.
10.1.1 Pengelolaan Airtanah Saat Ini
Saat ini, pengelolaan airtanah telah dilakukan, namun belum
mencerminkan tahapan pengelolaan airtanah sebagai sumberdaya (resource).
Berikut ini beberapa kondisi pengelolaan airtanah saat ini:

• Pengelolaan airtanah hanya memperhatikan besar kecilnya debit


eksploitasi pada suatu sumur atau kelompok sumur. Sementara, masih
berbasis pengelolaan sumur, potensi airtanah pada setiap akifer yang ada
belum dikenali dengan baik.

• Beim terinteg,rasi : belum memandang airtanah sebagai suatu bagian dari


suatu sistem hidrologi di alarn, yang melibatkan aspek padatan dan aspek
fluida.

• Belum mengedepankan prinsip kesinambungan (sustainability)

ketersediaan airtanah, balk secara kuantitas maudun kualitas.


10.1.2. Konsep Cekungan Airtanah Berbasis Akifer
Selama ini, yang dikenal adalali Cek-ungan Air Permukaan (Daerah Aliran Sungai).
Cekungan air perrnukaan (DAS) dibatasi oleh tinggian topografi (Topographic
Boundary). Kajian airtanah tidak hanya mempertimbangkan batas-batas
cekungan air permukaan, karena airtanah sendiri tersimpan dan rnengalir di
bawah permukaan (subsurface).

Untuk itu diperkenalkan konsep Cekungan Airtanah (Groundwater Basin).


Cekungan airtanah, ialah satuan hidrogeologi yang dibatasi oleh kondisi geologi
tertentu yang mertyebabkan kondisi tidak adanya aliran airtanah (no flow
boundary). Pada cekungan tersebut terjadi proses hidrogeologi: pengimbuhan,
pengaliran dan pelepasan air tanah berlangsung dalam skala regional. Proses
hidrogeologi dapat dilihat pada Gambar 10.3 berikut ini.

Pola pikir dalam Analisis Cekungan Airtanah adalah kajian aspek padatan (batas
cekungan permukaan, sistem akifer dan syarat batas hidrogeologi) dan aspek air
(perilaku airtanah dalam akifer).
Memandang suatu Cekungan Airtanah sebagai kesatuan kawasan recharge
(sebagai kawasan resapan airtanah) dan discharge (sebagai kawasan tempat
airtanah diek.T1Jitasi;. Pengelolaan airtanah sebagai bagian dari siklus hidrologi,
sehingga perlu dikaji pula interaksi airtanah dengan air hujan (yang berpetan
sumber resapan airtanah) dan airtanah dengan air permukaan (interaksi airtanah
dan air sungai). Untuk itu periu diketahui penyebaran akifer dan kondisi geologi
yang rnernbatasi aliran airtanah dalam suatu cekungan airtanah. Oleh
karenanya, batas cekungan airtanah tidak berimpit dengan batas
administrasi. Gambar 10.4 berikut ini,
Oleh karenanya, batas cekungan airtanah tidak berimpit dengan batas
administrasi. Gambar 10.4 berikut ini, menggambarkan batas cekungan
airtanah yang letaknya tidak berimpit dengan batas administrasi.

Pengelolaanimanajemen airtanah dilakukan berbasis terutama kepada


manajemen suplai, yaitu rnenyesuaikan kepada kemamptian suatu Sistem
Cekungan Airtanah untuk dapat menyuplai debit airtanah secara aman dengan
prinsip kesinambungan (sustainability).
10.1.3. Tahapan Utnum Pengelalaan cekungan Airtanah
Menurut Mandel (1981), studi cekungan airtanah umumnya memiliki empat
tahapan, yaitu :

1. Tahap Perencanaan Eksplorasi: Identifikasi potensi sumberdaya airtanah menuju


penilaian sumberdaya air potensial.

2. Tahap Perencanaan Eksploitasi : pemilihan teknologi pengambilan dan distribusi


sumberdaya airtanah.
3. Tahap Konservasi :

· Perencanaan upaya teknologi atau upaya biologi/vegetatif guna menjamin


ketersediaan sumberdaya airtanah yang berkesinambungan.

· Pada tahapan ini hendaknya telah diketahui secara pasti kawasan imbuhan
(recharge area) dan kawasan pengambilan (discharge area), serta sifat
imbuhan rata airnya.
4. Tahap Optimasi : Optimasi kegiatan eksploitasi berbasiskan kepada:
• Manajemen cekungan airtanah (groundwater basin management)
• Kesinambungan neraca airtanah (groundwater balance budget)
10.2. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN
AIRTANAH

10.2.1. Pendahuluan
Kebutuhan manusia akan air tidak dapat disangkal, baik untuk kepentingan
air minuet, membersihkan badan, mencuci dan sebagainya, atau yang disebut
pemakaian "domestik", maupun untuk kepentingan industri dan irigasi.
Kebutuhan air bersih untuk kepentingan domestik saja per orang per hari
berkisar sekitar 80 sampai 100 liter bagi sedang bagi penduduk kota besar di
negar-negara itu kebutuhan totalnya dapat mencapai sampai 5 kali lipat.

Di daerah pedesaan Indonesia kebutuhan air bersih diperkirakan mencapai


60 liter per orang per hari. Di kota- kota besar angka ini mencapai antara 80
sampai 100 liter. Malahan ada pula yang menduga sampai 150 liter per
orang per hari. Karena kebutuhan yang makin meningkat itu maka di
beberapa tempt di dunia air telah menjadi komoditi yang langka. Di kota-kota
besar di Indonesia, gejala ini mulai dirasakan
Kebutuhan akart air bersih yang makin hari makin meningkat itu disebabkan karena
pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup. Pada tahun 2000
diperkirakan kebutuhan air bersih untuk kepentingart domestik bagi kota-kola besar
di Indonesia dapat mencapai 200 liter per orang per hari. Kebutuhan ini telah
memacu pengambilan dan pemanfaatan air sebanyak-banyaknya. Di lain pihak,
pengelolaan air, haik air permukaan mattpun airtanah, belum dapat mengimbangi
Iaju kecepatan pemanfaatan air tersebut, sehingga seringkali dikhawatirkan terjadi
kepincangan neraca air dan menyebabkan kekurangan air.

Pulau Jawa misalkan, seringkali dikhawatirkan pada- suatu waktu harus


mcndatangkan air bersih dan pulau lainnya, bilamana pengelolaan air tidak
berhasil rnencapai sasaran pelestarian.

Di tempat-tempa± yang sering mengalami kekeringan, harapan satu-satunya untuk


memperoleb air bersih adalah dari airtanah. Daerah-daerah Nusa Tenggara Timur
dan Timor-Timur, menaruh harapan yang besar untuk dapat memanfaatkan air tanah
tersebut. Demikian pula halnya di kota-kota besar di Indonesia walaupun air
permukaan tersedia dalam jumlah yang cukup, namun telah banyak tercemar.
10.2.2. Air di Tanah

Kelebihan-kelebihan yang menonjol dari airtanah terhadap air perrnukaan, antara


lain adalah bahwa airtanah terdapat pada reservoir yang tersebar luas, tapi tidak
menyita tempat, tidak memerlukan jaringan penyaluran, cadangannya tidak
berkurang karena penguapan, bebas dari bahaya banjir, bebas polusi bakteri,
suhunya stabil dan aman dari pencemaran termasuk pencemaran hujan radioaktif.

Pemanfaatan airtanah yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan akan


menimbulkan berbagai akibat yang merusak seperti penurunan muka pisometrik air
tanah, yang akan menyebabkan debit air yang berkurang, pompa selam tidak
berfungsi dan dapat pula diikuti dengan penyusupan air taut ke daratan yang
dapat merusak pondasi bangunan dan mencemari airtanah itu sendiri.

Penunman muka pisometrik airtanah pada akhirnya dapat menimbulkan penurunan


muka air tanah di atasnya yang dapat mengancam bangunan, seperti
menggantungnya pondasi, retak-retak dan sebagainya. Di Bangkok misalkan,
penyadapan airtanah yang berlehihan telah menyebabkan penurunan muka tanah
sebesar rata-rata 28 cm tiap tahun.
Hal ini bukan saja menyebabkan rusaknya gedung-gedung atau menggantungnya
lantai bangunan, tapi juga menyebabkan melimpahnya air sungai ke kota
metropolitan tersebut. Banjir besar pun terjadi secara kronis setiap musim hujan
tiba. Makin rendahnya muka tanah terhadap muka air laut, menyebabkan air
larian (run off) menggenang atau tidak mengalir.

Sistem pengaliran (drainage) yang mengalami penurunan tidak merata


menyebabkan pula air limbah tidak dapat mengalir sebagaimana mestinya.
Seringkali orang mendengar tentang "the sinking metropolitan" bagi kota
tersebut untuk menggambarkan betapa mendesaknya permasalahan ini.
Kejadian semacam itu dapat pula menimpa kota-kota besar lain andaikata
tindakan pengelolaan tidak dilakukan semenjak dini.

Berdasarkan pengamatan Direktorat Jenderal Geologi daft Sumberdaya Mineral


yang dilaksanakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, di kota Jakarta telah
terjadi pula penurunan muka tanah tersebut, walaupun luasnya amat terbatas.
Setidaknya sejak tahun 1978 amblasan dapat diamati di sekitar gedung Sarinah,H.
Thamrin yang kemudian meluas ke daerah J1. Sudirman, JI. Sabang dan JI. Merdeka.
Di Indonesia pemanfaatan airtanah dirnulai beberapa abad yang lalu. Namur,
pemanfaatan ini hanya terbatas pada airtanah yang dangkal. Pemanfaatan
airtanah yang dalant baru dicoba pada tahun 1843. Pada tahun tersebut
sebuah pemboran dilakukan di Prins Frederik Fort (sekarang lokasi masjid
Isticilat) di Jakarta. Karena pengetahuan yang amat terbatas tentang kondisi
geologi bawah permukaan, maka sumur artesis itu gagal.

Pemboran tahun 1872 yang dilaksanakan oleh Jawatan Geologi dan


Pertambangan telah berhasil memperoleh airtanah, karena dua tahun
sebeEumnya telah diadakan penyelidikan hidrogeologi cekungan Jakarta.
Penyelidikan hidrogeologi :ni merupakan penyelidikan pertama yang dilakukan
di Indonesia.

Sejak itu penyelidikan dan nemetaan hidrogeologi secara teratur dilaksanakan.


Pemetaan bersistem dilakukan di daerah rawan air seperti P. Madura (1961) dan P.
Sumba (1964) dengan kerja sama dengan Jawatan Geologi Jerman Barat.
Peta hidrogeologi lembar P. Sumatra berskala 1:250.000 adalah inerupakan
peta hidrogeologi pertama yang diterbitkan, kemudian disusul dengan peta
hidrogeologi P. Bali (1970) dan P. Lombok (1972). Dewasa ini pemetaan
hidrogeologi berskala 1:250.000 tersebut telah mencakup seluruh P. Jawa
(100%), Sumatera (50%), Kalimantan (10%), Sulawesi (85%), Nusa Tenggara
(90%) dan Irian Jaya (4%).

Secara keseluruhan peta yang telah diproduksi mencapai jumlah 73 lembar,


dari 150 lembar yang direncanakan, atau 48.7 % sudali dapat diselesaikan.
Selain itu tetah dilakukan pula evaluasi potensi dan pengembangan
airtanah serta konservasinya dengan cara melakukan pemantauan airtanah
tersebut melalui sumur-sumur pemantau, terutama di P. Jawa.

Berdasarkan UU No. 11 tahun 1974 dan Keppres No 64 tahun 1972,


pengelolaan Airtanah merupakan wewenang Departemen Pertambangan
dan Energi.
10.2.3. Geologi Airtanah
Airtanah atau artesis terdapat dalam berbagai jenis batuan yang ada di Indonesia.
Berdasarkan asosiasinya dengan jenis batuan tersebut, airtanah di Indonesia dapat
dibagi dalam beberapa wilayah sebagai berikut :
1. Wilayah endapan alluvium
2. Wilayah endapan gtmung api
3. Wilayah endapan batuan Tersier
4. Wilayah endapan batuan Pra-Tersier
5. Wilayah batu gamping

Batugamping yang umumnya berumur Tersier dipisahkan dalam perwilayahan ini


karena sifatnya yang khusus terhadap keterdapatan air bawah permukaan di daerah
tersebut. Walaupun air tanah bisa terdapat hampir di semua jenis batuan yang ada di
Indonesia, namun akifer yang penting terdapat di batuan aluvium yang tersebar di
dataran rendah daerah pantai, lembah-lembah 3ungai yang lebar ataupun endapan
aluvium yang terdapat di cekungan antar pegunungan (intra-mountain basin).
Endapan gunungapi, terutama gunungapi muda berumur Kuarter yang menutupi
sebagian besar P. Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara
merupakan batuan yang amat berpotensi terhadap airtanah. Endapan gunungapi
ini berlapis-lapis (stratovolcano) dan terdiri da.ri bahan lepas yang kasar. Perlapisari
antara batuan yang berpori dengan batuan pejal seperti lava, amat bagus untuk
terdapatnya air tanah. Makin ke arah kaki gunungapi itu butiran batuan makin
terpilah merata (sorted) dan lepas-lepas. Biasanya endapan gunungapi demikian
berasosiasi dengan endapan aluvi urn yang mengisi cekungan antar pegunungan
(intra-mountain basin).

Potensi airtanah disini pada umumnya relatif besar. Di beberapa tempat di P. Jawa
seperti dataran Madiun, pemboran di batuan aluvium yang berasal dari bahan
lepas gunungapi dapat menghasilkan debit sebesar 80 liter/detik, sedangkan makin
naik ke lereng gunungapi debitnya makin menurun, yaitu hanya 5 liter/detik.
Airtanah yang terdapat disini terutama berasal dari peresapan air hujan yang
dikenal mempunyai curah hujan yang cukup tinggi di puncak-puncak gunungapi
tersebut karena lerengnya yang terjal dan kekedapan batuan lava yang pada
umumnya menutupi puncak tersebut
Di daerah aluviura yang terdapat sepanjang dataran rendah di pantai utara Jawa,
bat-uannya relatif berbutir halus seperti lanau ataupun lempung dengan sisipan-
sisipan pasir. Karena itu. potensinya lebih kecil dibandingkan dengan daerah batuan
gunungapi muda. Di daerah aluvium pantai debit airtanah rata-rata mencapai 5 liter
setiap detik.

Di daerah batuan Tersier klastik yang pada umumnya terlipat, airtanah terdapat
setempat-setempat, demikian pula halnya di batuan Pra-Tersier. Bagian-bagian yang
mengandung rekahan biasanya mempunyai potensi airtanah. Kualitas air yang
dihasilkan di daerah ini tidak begitu baik karena jumlah material yang terlarut
cukup tinggi sehingga kesadahannya tidak normal.

Batugamping yang dipisahkan dari kelompok batuan Tersier dan Pra-Tersier


mempunyai kaxakteristik tersendiri terhadap airtanah. Pada umumnya daerah
gamping merupakan daerah kering. Terdapatnya airtanah amat tergantung pada
adanya rekahan yang terdapat dalam batugamping tersebut. Daerah batugamping
yang dikenal sebagai daerah kering seperti P. Madura dan G. Kidul, Jawa Tengah di
beberapa tempat mampu menghasilkan debit yang mencapai 5 liter setiap detik.
Keadaan batuan yang mengandung airtanah sebenarnya lebih kompleks dan tidak
merupakan satu unit yang jelas pembatasannya. Batuan yang berpori biasanya
berdampingan secara jari-menjemari dengan b a t u a n y a n g ke d a p . l a g i p a d a
b a t u a n g u n u n g a p i y a n g penyebaran lateralnya pada umumnya terbatas dan
perubahan butir batuan dapat terjadi dengan cepat.

Berdasarkan terdapatnya batuan yang diperkirakan mengandung airtanah yang


potensial dan dengan mempertimbangkan faktor topografi, maka di seluruh
Indonesia telah dapat diinventarisasikan sebanyak 214 cekungan yang berpotensi
akan airtanah. Dari jumlah itu telah diselidiki dengan rinci sebanyak 13 cekungan, 94
cekungan cukup diketahui dan sudah diselicliki, dan sisanya haru diadakan
penyelidikan tinjau (reconnaissance).

Dari cekungan yang sudah diselidiki, diperkirakan sebanyak 32 buah berpotensi


besar akan airtanah dengan kandungan setidaknya 828,6 juta meter kubik air setiap
tahun. Melihat kebutuhan air yang diperkirakan mencapai 7800 juta meter kubik
untuk keperluan domestik pada tahun 2000 nanti maka airtanah sangat terbatas
kemampuannya. Karena itu air permukaan perlu dilestarikan sejak dini.
10.2.4. Pemanfaatan Airtanah

Pada umumnya pemanfaatan airtanah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan


air bersih kota, perindustrian dan pertanian. Di daerah pedesaan airtanah
diperoleh dengan melalui sumur gali dengan kedalaman yang terbatas. Untuk
pengambilan airtanah yang jumlahnya besar, pemboran sampai kedalaman
ratusan meter dilakukan. Jumlah airtanah yang besar diperlukan terutama
untuk irigasi. Di P. Jawu saja sampai dengan akhir tahun 1980-an, tercatat
sejumlah 407 sumur dengan produksi seluruhnya mencapai 15.280 liter per
detik.

Bila ke dalam jumlah ini ditambahkan pula produksi sumur pasak yang setiap
sumur rata-rata menghasilkan 5 liter, maka keseluruhan airtanah yang telah
disedot untuk kebutuhan irigasi adalah 16.330 liter per detik Daerah pertanian
yang diairi dengan airtanah ini diperkirakan mencapai 15 ribu ha, diantaranya
12 ribu ha di daerah dataran Madiun 2,5 ribu ha di berbagai tempat di Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Kedalaman airtanah yang disadap di dataran Madiun
adalah pada akifer 150 sampai 200 meter.
Untuk keperluan domestik (minum dan keperluan rumah tangga) setiap orang
diperkirakan memerlukan 60 liter per hari untuk daerah pedesaan dan untuk
daerah pedesaan dan untuk daerah perkotaan angka ini diperlukan 2 sampai 3
kali lipat. Dengan jumlah penduduk lk. 170 juta orang yang diantaranya 70%
hidup di pedesaan. maka kebutuhan air domestik mencapai 1k. 14,6 juta meter
kubik setiap tahun, yaitu 7,1 juta meter kubik bagi pedesaan dan 7,5 juta meter
kubik per tahun bagi perkotaan. Produksi air bersih di perkotaan dewasa ini
diperkirakan mencapai 119.609 liter per detik atau lk. 3,5 juta meter kubik setiap
hari (Sumbcr: Departemen Pekerjaan Umum), dengan demikian maka 1k. 4 juta
meter kubik air harus dipenuhi dengan pemboran sendiri dengan
menggunakan bor ataupun sumur pasak.

Dari angka-angka itu tampak bahwa tahun demi tahun kebutuhan akan airtanah
meningkat sesuai dengan laju pertambahan penduduk dan anus perpindahan
penduduk dari pedesaan ke kota-kota. Berdasarkan Daerah pertanian yang diairi
dengan airtanah ini diperkirakan mencapai 15 ribu ha, diantaranya 12 ribu ha di
daerah dataran Madiun 2,5 ribu ha di berbagai tempat di Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Kedalaman airtanah yang disadap di dataran Madiun adalah pada
akifer 150 sampai 200 meter.
Untuk kepentingan industri diperlukan lk sejumlah 1,5 juta meter kubik air per
hari. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi lk. 2 juta meter kubik
per hari pada tahun 2000 nanti. Penggunaan air untuk industri adalah untuk
pabrik tckstii, pabrik kertas, dan industri logatm Pada tahun 1980 yang lalu,
pabrik baja Krakatau memerlukan hampir 4 juta meter kubik air per tahun untuk
keperluan industrinya. Karena terbatasnya persediaan airtanah di cekungan
Cilegon, maka dewasa ini kebutuhan air tersebut dipenuhi dengan air perrnukaan.

Pemanfaatan airtanah dilakukan Oleh swasta maupun instansi Pemerintah di


samping oleh perorangan untuk kepentingan rumah tangganya sendiri. Dewasa
ini tercatat sejumlah 132 perusahaan yang bergerak di bidang pemboran. Pada
umumnya (51%) perusahaan pemboran itu tergolong dalam klasifikasi C-1 yaitu
untuk memanfaatkan air dari kedalaman maksimum 130 sampai 250 meter.
Berdasarkan lokasinya diketahui bahwa yang terpadat adalah di Jakarta (34
perusahaan), Jawa Barat (45), Jawa Tengah (17) dan Jawa Timur (17). Sisanya
tersebar di Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Bali dan Nusa
Tenggara Barat.
10.2.5 Pengelolaan Air tanah

Landasan konstitusional pengelolaan airtanah atau secara keseltu-uhan adalah


UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3. Pengelolaan airtanah sudah dimulai sejak tahun 1871,
walaupun maksud dan tujuannya berbeda dengan pengelolaan sekarang. Staatblad
1871 No.19 memuat tentang pemboran airtanah untuk mengumpulkan data
bawah permukaan. Peraturan lainnya menetapkan tentang pengelolaan pemboran
air, sebagai berikut :

a. Peraturan tentang pengeboran Sumur Artesis bukan oleh Pemerintah, Stbl


1912 No. 430, melarang pengambilan air dari kedalaman lebih Bari 15 meter
kecuali atas izin Pemerintah. Demikian pula pembersihan dan perbaikan di
bawah tanah pada sumur artesis yang lebih dalam dari 15 meter.

b. Algemeen Water Reglement No. 489, stbl 1936 Pasal 28, 37 dan 53 melarang
pengambilan airtanah lebih dalam dari 15 meter kecuali atas izin
Gubernur/Kepala Daerah Propinsi/Pemerintah Daerah. Izin tidak boleh dikeluarkan
sebelum mendengar pendapat Kepala Dinas Pertambangan terlebih dahulu.
Dalam izin termalcsud disebutkan cara dan tempat pengambilan air atau
kekuatan pengambilan baths maksimum pengambilan dan bila perlu cara
pengaliran air tersebut

c. Undang-undang No. 10 Tahtm 1974 tentang pengairan, Lembaran negara


Republik Indonesia Tahim 1974 No. 65, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3046, mengatur tentang pengairan secara keseluruhan.
Menteri/Departemen yang ditugaskan mengkoordinasikan pelaksanaan
undang-undang ini adalah Menteri/Departemen Pekerjaan Umum seperti
tertulis pada Pasal 5 ayat 1.

d. Khusus mengenai airtanah, undang-undang ini melepaskannya dari


wewenang Menteri yang mengurus keseluruhan air dan
melimpahkannya kepada Menteri Pertambangan dan Energi sebagaimana
yang dimaksud dalam Keppres No. 64 tahun 1972. Dalam Pasal 5 ayat 2
Undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengurusan administrasi atas
sumber airtanah dan mata air panas sebagai sumber mineral dan tenaga
adalah di luar wewenang dan tanggung jawab Departemen Pekerjaan
Umum.
d. Keputusan Presiden No. 64 tahun 1972 tentang pengaturan
penguasaan dan pengurusan uap geothermal, Sumber Airtanah dan Air
Pallas menegaskan tentang pengurusan administratif atas uap
geothermal, sumber airtanah dan mata air panas yang berada di
tangan Menteri Pertambangan.

e. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air,


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 No. 37, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3225, menegaskan tentang
pengurusan administrasi atas sumber airtanah, mata air panas sebagai
mineral dan .sumber tenaga yang menjadi wewenang Menteri yang
bertanggung jawab dalam bidang pertambangan. Pengambilan
airtanah pada batas kedalaman tertentu hanya dapat dilaksanakan
dengan izin Gubemur setelah mendapat petunjuk-petunjuk teknis dari
Menteri Pertambangan 'Jan Energi, pelaksanaannya diatur oleh Menteri.
f. Surat Keputusan Menteri Perindustrian Dasar/ Pertambangan No. SK
818/M/Perdatam/64, tanggal 16 Desember 1964, sudah terlebih dahulu
mengatur surat izin usaha Perusahaan Pemboran Airtanah (SIPPAT) yang
wewenangnya diberikan kepada Direktorat Geologi.

g. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi no.03/P/M/ Petamb /1983


tahun 1983, tanggal 15 Desember 1983, mengatur tentang pengelolaan
airtanah, baik menyangkut kegiatan investarisasi, pemanfaatan, perizinan,
pengendalian, pengawasan maupun sanksi. Peraturan ini memperhatikan pula
masalah Analisa

h. Dampak Lingkungan seperti diatur dalam Undang-undang no.4 tahun 1982


tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup,
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 No. 12 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3215. Tidak sebagaimana
peraturan perundang-undangan sebelumnya, batas 15 meter sebagai
batas kedalaman bagi pemanfaatan airtanah yang harus meminta izin, dalam
peraturan ini dihapuskan.
i. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamb/1983 ini
kemudian disempurnakan dengan Pe ra t ura n me nt e ri Pe rt a mba ngan , dan
E n ergi N o. 08/P/03/M.PENEPLAIN/1991 tanggal 14 Desember 1991 yang
menetapkan perizinan untuk bidang industri dan pertambangan langsung
dilaksanakan oleh Menteri Pertambangan dan Energi cq. Direktorat Jenderal
Geologi dan Sumberdaya Mineral.

j. Keputusan Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral No.


392.K/526/060000/85 tentang pedoman pelaksanaan pengelolaan Airtanah,
tanggal 18 Maret 1985. Sebagaimana iudulnya surat kcputusan ini
memberikan petunjuk pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Pertambangan
dan Energi No. 03/P/M/Pertamb/1983 tersebut di atas. Pada lampirannya
dimuat pula tentang Klasifikasi Instansi Bor yaitu golongan A dengan
kemampuan lcbih dari 250 meter, Golongan B dengan kemampuan antara 150
sampai 250 meter, Golongan C-1 kemampuan maksimum [50 miter
berkekuatan mesid, dan golongan C-2 dengan kemampuan sama tetapi tanpa
penggunaan mesin.
k. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08/P/M/
Pertamb /1991 maka Keputusan Direktur J e n d e r a l Geologi dan
S u m b e r d a y a M i n e r a l n o . 392.K1526/060000/85 disempurnakan menjadi
SK.131.K/10/DDJG/92 Tanggal 6 Oktober 1992 tentang Tatalaksana Penggunaan
Perizinan Pemanfaatan Airtanah.

l. Peraturan-peraturan Daerah mengatur pelaksanaan teknis dari perundang-


undangan seperti tersebut di atas.

10.2.6. Kesimpulan
1. Karena Airtanah mempunyai keunggulan dibandingkan dengan air permukaan
maka pengelolaannya hams dilakukan dengan berdasar prinsip keekonomian.
Terlebih-lebih oleh karena Airtanah terdapat dalam jumlah yang tidak tak
terbatas.

2. Pengelolaan Airtanah hendaknya berprinsip pula kepada kelestariaan lingkungan,


oleh karena ketidakseimbangan dalam neraca Airtanah akan menyebabkan
dampak pada permukaan tanah dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang
luas.
10.3. GEOMETRI AKIFER DASAR DARI PENGELOLAAN DAN
KONSERVASI AIRTANAH
Dengan diketahuinya kawasan imbuhan "recharge area" dan kawasan
pengamhilan "discharge area" kedua bagian ini maka dapat pula diketahui apakah
suatu badan airtanah tersebut berasal dari kawasan imbuhan setempat atau
tidak.

Hal ini sangat diperlukan untuk pengaturan/penataan ruang dan menentukan


strategi konservasi airtanah. Besarnya imbuhan airtanah tergantung kepada lima
faktor utama -

a. Geomorfologi, mcliputi kemiringan topografi dan jaringan sistem hidrologi


permukaan.

b. Geologi bawah permukaan, terutama berkaitan erat dengan jenis batuan,


stratigrafi dan struktur geologi, kondisi batas hidrogeologi

c. Kondisi permukaan tanah, pedologi, tanaman penutup dan kelembaban.


Bangunan-bangunan air yang ada dari konservasi airtanah. Konservasi airtanah
adalah suatu upaya yang dimaksudkan agar air yang jatuh ke tanah seefisien
mungkin, mengatur aliran air permukaan sehingga tidak terjadi kenistakan
tanah/erosi berlebih pada musim hujan dan terdapat cukup air pada musim
kemarau. Oleh karena itu maka jelaslah pemahaman bentuk dan geometri akifer
menjadi penting agar air yang diresapkan sampai ke sasaran.

10.4. PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN AIRTANAH DENGAN


APLIKASI SISTEM GWLR PADA SUMUR PANTAU BERBASIS
AKIFER

Airtanah merupakan salah satu sumberdaya air (water resources) yang penting dalam
mencukupi kebutuhan hidup manusia yang sangat beragam, meliputi kebutuhan
domestiklrumah tangga, industri, pertanian. peternakan dli. Oleh karena itu, untuk mendukung
segala aktifitas yang berlangsung di dalamnya, sangat diperlukan suplai sumberdaya air,
khususnya airtanah, yang handal dan berkelanj utan.

Untuk menjamin keberlaajutan suplai airtanah tersebut maka potemi airtanah perlu dikelola
secara baik dan bertanggungjawab dengan cara memperhatikan prinsip-prinsip
kesetimbangan neraca air, dimana jumlah air yang diambil dari dalam akifer minimal sama
Kegiatan berikut ini merupakan tahap awal langkah pengelolaan airtanah yaitu
pembangunan sistem pengendalian dan pemantauan airtanah. Sistem
mengintegrasi kan data-data hidrogeologi dan data muka airtanah ke dalam
database yang bersifat real time dengan menggunakan teknologi seluler.

Sy st enc a t H G IS ) .

Data fluktuasi muka airtanah sangat penting sebagai dasar dalam upaya
nengendalian eksploitasi airtanah. Muka airtanah merupakan refleksi dan ada
tidaknya atau besar kecilnya pengambilan airtanah di suatu 'wilayah. Dalam
pembangunan sistem akan didesain sistem pemantauan fluktuasi muka airtanah
yang bersifat real time dan dapat dipantau dari suatu pusat data.

10.4.1. Desain Sistem

Secara umum, mekanisme kerja sistem ini adalah penambahan data muka airtanah
real time yang diukur secara otomatis dan dikirim melalui komunikasi seluler pada
database yang telah dibuat. Pengukuran dan pengiriman data jarak jauh seperti
ini disebut dengan telemetri. Desain sistem GWLR ITB dapat ditihat pada Cambar
10.5 berikut
Gambar 10.5. Skema sistem GWLR ITB. Kombinasi antara Sistem Dial up-retrieve data yang diakses dari Pusat
Data dan sistem Short Message Service (SMS) yang dapat diakses dari telepon selular secara
individual dan real time (Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kab. Tangerang dan LAPI-ITB, 2003)

Sistem pemantauan airtanah GWLR ITB menjadi bagian dari suatu sistem informasi data airtanah
yang berbasis GIS. Data-data muka yang disuplai dari GWLR menjadi bagian dari data
hidrogeologi lainnya, seperti: litologi, hidrogeologi, sumur bor, dan sumur pantau, seperti dapat
dil ihat pada Gambar 10.6 berikut in i .
Gamhar 10.6. Diagram alir sistem telemetri (Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kab. Tangerang dan LAPI-ITB,
2003)

Pembangunan sistem di atas memerhikan kegiatan input data, proses digitas peta, pembufltar. kontzi-c,
dan penyajian output dalam bentuk peta. Peta-peta yang telah dibuat akan manjadi bahan
pertiinbangan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pemberian ijin pcmboran.
Rincian kegiatan dapat dilihat dalam Tabel 10.1 berikut
Tabel 10.1. Pembagian jenis pekerjaan berdasarkan input dan
output-nya.
Input Data Output Hasil
No Kegiatan Proses
yang diambil Pekerjaan
Pembuatan Data dasar · Pembuatan model · Sistem
database GIS — database informasi
1  peta
hidrogeologi · Data entry sumberdaya
topograf · Updating data air berbasis
 peta geologi GIS-
Hidrogeologi
 Peta
hidrogeologi
Data tambahan
lain
Pemetaan akifer Data resistivitas · Interpretasi data
dengan metode (tahanan ienis)
2 batuan resistivitas · Peta
geofsika batuan resistivitas
· Penampang
akifer
· Diagram blok
3-D
Pembuatan  Posisi muka  Pola fluktuasi
sistem airtanah • Instalasi dan muka airtanah
3
telemetri evaluasi dari waktu ke
pemantauan kinerja alat, waktu (real
pantau,
Input data Output Hasil
No Kegiatan Proses
yang diambil pekerjaan

4 Uji pornpa ·M u ka airtanah · Pembuatan gratik  Parameter


tluktuasi muka hidrolik
·Waktu pemompaan
airtanah vs. waktu
pemompaan

· Perhitungan
parameter hidrolik

5 Simulasi
numerik · M u ka airtanah · Pembuatan model  Peta muka
· Database akifer airtanah hasil
hidrogeologi · Simulasi nutnerik simulasi
10.4.2. Aplikasi Sistem G1VLR ITB Sumur "'Qatari Berbasis Akijer

Sumur pantau berfungsi untuk memantau fluktuasi muka airtanah pada akifer tertentu. Oleh
karena itu, pembuatan suniur pantau memerlukan pengenalan sistem akifer yang ada.
Safingan (screen) hanya diposisikan pada akifer yang memang ingin dipantau muka
airtanahnya. Selain itu perlu dipastikan tidak ada airtanah dari akifer lain yang bercampur.
Kontruksi sumur pantau beserta unit pengukur posisi muka airtanahnya dapat dilihat pada Gam
bar 10.7 berikut ini :
Ga ni bar 10.7. Konstruksi sumur pantau dan unit pemantau posisi muka airtanah (Suniber : Dinas
Lingkungan i-iidup Kab. Tangerang dan LAPI-ITB, 2003)

10.4.3 Sister Informasi Hidrogeologi (HYGIS)

Alur kerja pembuatan sistem informasi airtanah diawali dengan inventarisasi data sekunder. Data-data
tersebut meliputi: data geologi, data lokasi dan informasi sumur pantau, data lokasi dan informasi sumur
produksi, serta data lokasi dan informasi uji geolistrik. Lnventarisasi data- data tersebut antara lain
dilakukan di Dinas Lingkungan Hidup serta
instansi lain seperti Dinas Pertambangan dan Energi tingkat Propinsi; serta instansi Direktorat Tata
Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan.

Data yang telah lolos seleksi validasi identitas lokasi dan kelengkapan inforrnasi serta telah
dianalisis ulang kemudian dirnasukkan Ice dalam database. Masing-masing tipe data kemudian
didigitasi sebagai saw layer informasi di atas peta dasar berupa peta digital. Masing-masing point
data yang telah didigitasi kemudian dihubungkan dengan inforrnasi-informasi dalam database.

Output utama pekerjaan ini adalah membuat suatu pra-pemodelan sistem akifer dalam format
spasial, Untuk itu diperlukan suatu sistem GIS yang mencakup seluruh informasi sumberdaya
airtanah. Sistem GIS ini merupakan database inforrnasi airtanah yang disajikan dalani bentuk peta-
peta dengan format digital. Sistem informasi ini akan dikembangkan agar dapat menjadi Hydro
Geo lnformation System (HyGIS):

10.4.4. Sister ►: GWLR ITB


A. Desain Sistem Telemetri

Sistem ini terdiri dari instalasi sistem pendeteksi muka airtanah pada sumur pantau dan instalasi
pengumpul data di pusat data. Pada sumur akan diinstalasi sistem GWLR (Ground Water Level
Recorder) dan sistem pengiriman data muka airtanah melalui seluler, sedangkan pada pusat
data akan diinstalasi alat penerima dan jaringan komputer pengolah data. Komputer pengolah
data secara periodik akan melakukan interpo:asi untuk memperlihatkan posisi kerucut
penurunan airtanah (cone of depression) dari waktu ke waktu.
Dengan sistem tersebut akan dapat diketahui daerah-daerah mans yang
mengalami perubahan pola penurunan muka airtanah. Adapun sistem pengendalian
dan pemantauan tersebut disajikan pada Gambar 10.8 berikut ini.

Gambar 10.8. Sistem telemetri pemantauan airtanah yang terdiri dari unit pendeteksi, unit
pemancar, unit penerima, dan pusat data (Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kab.
Tangerang dan LAPI-ITB, 2003)

Secara umum pckerjaan penyusunan sistem telemetri meliputi perancangan piranti keras
RTU (Remote Terminal Unit) dan CU (Central Unit), serta perancangan piranti lima!:
yang akan menjadi antarmuka (interface) dari kedaa piranti tersebut. Tahapan proses
pengembangan sistem pemantauan dan pengelolaan airtanah, untuk seluruh pekerjaan
secara skematik diperlihatkan pada diagram aiir di bawah ini (Gambal- 10.9).
Gambar 10.9. Mur kerja penyusunan sistem telemetri (Sumber : Dinas Lingkungan Hidup
Kab. Tangerang dan LAPI-ITB, 2003)

Alat GWLR yang telah dipasang dan dioperasikan akan mengirimkan data muka
airtanah ke pusat data setiap kuran waktu tertentu, yang telah ditentukan sebelumnya.
Software konektivitas dengan nama KENDA-Cyclope dapat menyimpan data dan
memproses data hingga membentuk kurva fluktuasi muka airtanah pada sumur pantau yang
dipasangi GWLR (Gambar 10.10).
Gambar 19.10. Foto alat GWLR yang sedang dirangkai dan telah dipasang (Sumber
: Dinas Lingkungan Hidup Kab. Tangerang dan LAPI-1T13, 2003)
Data muka airtanah dart GWLR dapat juga diakses melalui pesan SMS.
Data dikirim ke nomor GWLR yang diinginlcan. Alat GWLR akan
mengirimkan SMS balasan ke ponsel pengirim. Berikut ini contoh
tampilan SMS balasan pada layar ponsel :

• Kenda WL 2.1 > merk & versi

• RTU ID : 2065 > identitas sumur

• Level : -024.101 m > posisi MAT

• SI : 00 : 30 : 00 > interval data

• Mains : ON > batterai cadangan OK


10.4.6. PENUTUP
Manfaat penggunaan Sistem Pengendalian dan Pemantauan Airtanah Berbasis Pengelolaan
Akifer dengan Alat Bantu Transmisi Data Sistem GWLR adalah:

Bagi instansi pengelola sumberdaya air :

· dapat merekonstruksi tatanan hidrogeologi permukaan dan hawah permukaan secara persis
dalam format dua dan tiga dimensi.

· dapat membuat program pengendalian dan proteksi sumber airtanah pada masing-
masing akifer secara lebih transparan dan terencana.

· informasi nyata (real time) pola dan fluktuasi muka airtanah dapat diketahui, sehingga
dapat dilakukan mitigasi dini guna menghindari druwdown muka airtanah yang
berlebihan.

dapat memprediksi keberadaan sumur produksi yang tidak terdaftar, yang secara tidak
langsung dapat meningkatkan nilai PAD.
Bagi para pengguna airtanah :
· dapat mengetahui fluktuasi muka airtanah pada masing-masing sumur produksinya.

· merupakan langIcah mendukung program konservasi airtanah sehingga terbebas dari


tuntutan "anti konservasi air dan lingkungan", suatu tuntutan yang saat ini sedang
MANAJEMEN : UNTUK MENJAMIN KETERSEDIAAN AIRTANAH KLIANTITAS DAN KUALATAS
SECARA BERSISTEM

A. Penetapan B. Hidrodinamika C. Pengelola Basin


Tujuan Airtanah Airtanah

• Menguasai kondisi alami


• Efektivitas penggunaan • Pengguna airtanah sehari - hari
basin airtanah
yang mampu

· Memenuhi kebutuhan ·Kondisi akifer ·Penduduk lokal


manusia

·Menghindari keringan ·Unit strata airtanah ·Industri (umurn)

· Aliran airtanah dan karak


·Menghindari atau ·Agen pengelola airtanah
teristiknya
Mengendalikan pence -
maran
·Memelihara lingkungan · Pemantauan parameter ·Pemerintah (networking)
Airtanah” i
10.5. LATIHAN SOAL

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perubahan paradigma


pengelolaan airtanah dengan berbasis pengelolaan sumur (well
management) kepada berbasis pengelolaan cekungan airtanah
(groundwater basin management)!

2. Bagaimana persepsi saudara mengenai terminologi "krisis airtanah di


Indonesia" yang saat ini gencar dimuat di media massa ?
3. Mandel (1981) telah merumuskan adanya 4 (empat) tahapan
perencanaan pengembangan airtanah (groundwater development stage)
yaitu : tahap eksplorasi, tahap eksploitasi, tahap konservasi dan tahap
optimasi. Jelaskan hal-hal utama pada masing-masing tahapan dan apa
saja yang hams dihasilkan?.
DAFTAR PUSTAKA

1) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang & LAPI ITB,


2003, Pembangunan Sistem Pemantauan dan
Pengendalian Air Bawah Tanah Kabupaten Tangerang,
Unpublished Report.
2) Puradimaja, DJ, 1993, Konservasi Airtanah, Prosiding
Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia, Gugus
Tugas PSDA-ITB.
3) Erwin Seyhan, 1990, Dasar-Dasar Hidrologi, Gajah. Mada
University Press.
4) Mandel, S. dan Shiftan, Z.L., 1981, Groundwater
Resources, Academic Press.

5) Freeze, RA & Cherry, JA. 1986, Groundwater. Prentice Hall


Inc. New Jersey.

Anda mungkin juga menyukai