Anda di halaman 1dari 18

TEKNIK SUMBER DAYA AIR

(KUIS I)

Oleh :

ALIS RIRIK

1815011003

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Daerah aliran sungai atau disebut DAS, memiliki beberapa kesamaan kata,

antara lain disebut sebagai DPS atau daerah pengaliran sungai, menurut

Seyhan (1977) di Amerika Serikat DAS disebut watershed, drainage basin

atau river basin, sedang di Inggris dipakai istilah Catchment. DAS

merupakan daerah yang dibatasi oleh pemisah air topografik (topographic

water devide), apabila terjadi hujan maka air akan mengalir menuju pada

saluran air yang dapat saling bersambungan (sistem sungai), sehingga aliran

air terkumpul pada satu sungai dan akan keluar melalui satu saluran (outlet)

pada wilayah sungai tersebut.

Ada banyak definisi mengenai DAS, menurut Wiersum (1979) DAS

merupakan areal yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan

yang jatuh di atasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah

permukaan, dan aliran air bawah tanah ke sungai yang akhirnya bermuara ke

danau atau laut. Areal ini dipisahkan dengan areal lain oleh pemisah

topografis yaitu punggung bukit (igir) dan keadaan geologis lainnya terutama

formasi batuan. Daerah aliran sungai merupakan daerah yang dibatasi oleh

pemisah air topografik yang terkering oleh sungai atau sistem yang saling
berhubungan sedemikian rupa sehingga semua aliran sungai yang jatuh di

dalam akan keluar dari saluran lepas tunggal dari wilayah itu.

Ketidakseimbangan pada DAS dapat mengakibatkan ekosistem DAS tidak

lagi berperan sebagai sumber air yang baik bagi kesejahteraan manusia, tetapi

dapat menjadikan sumber malapetaka seperti banjir, erosi, dan lain-lain.

Menurut Soerianegara (1978) pencerminan atau ukuran dari kondisi

hidroorologis tersebut ditentukan dari kemampuan penyediaan air, baik

dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas dan distribusinya menurut waktu.

Kondisi hidroorologis yang baik adalah apabila DAS dapat menjamin

penyediaan air dengan kualitas yang baik, kuantitas yang cukup dan distribusi

debit yang merata sepanjang tahun.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:

Bagaimana cara mengatasi kondisi DAS pada soal agar berada dalam keadaan

setimbang (tidak terjadi banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim

kemarau)?

C. MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun maksud dan tujuan adalah sebagai berikut:

Agar mengetahui bagaimana cara mengatasi kondisi DAS pada soal agar

berada dalam keadaan setimbang sehingga tidak terjadi banjir di musim

penghujan dan kekeringan di musim kemarau.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BATASAN DAS

Ekosistem DAS dapat dipelajari menurut kawasan, dibedakan menjadi daerah

hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan:

sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi,

merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%),

bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh

pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Daerah

hilir DAS dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih

kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan

sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir

(genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan

jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang

didominasi hutan bakau atau gambut. DAS bagian tengah merupakan daerah

transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut diatas

(Asdak, 2002).

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai

fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara

lain dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi

fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat. Daerah hulu dan hilir


mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi, keterkaitan

biofisik antara daerah hulu dan hilir suatu DAS sangat erat. Sebagai contoh

kegiatan reboisasi dapat menurunkan limpasan air dan meningkatkan kualitas

air tanah, sedangkan aktivitas pembalakan hutan atau deforestrasi di daerah

hulu DAS dapat meningkatkan limpasan air dan memacu terjadinya erosi

karena terjadinya pembukaan permukaan tanah. Kegiatan pemanfaatan

sumberdaya alam yang dilakukan di daerah hulu akan menimbulkan dampak

terhadap DAS bagian tengah dalam bentuk penurunan kapasitas simpan air

yang pada gilirannya berdampak pada daerah hilir karena limpasan yang

besar menyebabkan banjir di daerah hilir DAS. Adanya keterkaitan antara

daerah hulu dan hilir DAS , dijadikan landasan untuk memanfaatkan DAS

sebagai satuan perencanaan dan evaluasi yang logis terhadap program

pengelolaan DAS terpadu.

Komponen hidrologi yang terkena dampak kegiatan pembangunan didalam

DAS meliputi koefisien aliran permukaan, koefisien regim sungai, nisbah

debit maksimum minimum, kadar Iumpur atau kandungan sedimen layang

sungai, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah. Koefisien

aliran permukaan yang biasa diberi notasi C merupakan bilangan yang

menyatakan perbandingan antara besarnya aliran permukaan terhadap jumlah

curah hujan. Sebagai contoh C=0,65 artinya 65% dari curah hujan akan

mengalir secara langsung sebagai aliran permukaan (surface run off). Nilai C

yang kecil menunjukkan kondisi DAS masih baik, sebaliknya C yang besar

menunjukkan DAS-nya sudah rusak. Nilai terbesar C sama dengan 1.

Koefisien regim sungai (KRS) adalah bilangan yang merupakan


perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rat-rata

minimum. Makin kecil harga KRS berarti makin baik kondisi hidrologis

suatu DAS. Disamping KRS, kondisi DAS juga dapat dievaluasi secara

makro dengan nisbah debit maksimum-minimum (Qmax/Qmin).

B. KOMPONEN BIOFISIK DAS

Kaitannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang

spesifik serta erat dengan unsur utama seperti tanah, tata guna lahan,

topografi, kemiringan dan panjang lereng, pada saat merespon curah hujan

dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi,

infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaan, kandungan air tanah dan

aliran sungai. Parameter DAS paling mudah untuk diperoleh dan relatif tidak

banyak mengalami perubahan adalah sifat geografik dan morfometri DAS.

Biofisik DAS, merupakan sekelompok fenomena geosfer yang terdiri dari

unsur fisik dan biologis yang saling berkaitan dan mempunyai hubungan

fungsional antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh biofisik DAS dapat

berupa morfometri DAS, kemiringan lereng, bentuklahan, kondisi tanah

(unsur fisik), dan tata guna lahan, penyebaran vegetasi, manusia (unsur

biologi).

Karakteristik fisik DAS atau morfometri DAS merupakan istilah yang

digunakan untuk menyatakan keadaan jaringan alur sungai secara kuantitatip

(Soewarno, 1991). Keadaan yang dimaksud untuk analisis DAS antara lain
meliputi: luas, bentuk, pola dan kerapatan aliran, orde percabangan sungai,

panjang dan gradien sungai.

a. Luas Daerah Aliran Sungai

Panjang dan Lebar DAS mempengaruhi Luas DAS, panjang DAS sama

dengan jarak datar dari muara sungai ke arah hulu sepanjang sungai induk.

Panjang sungai dapat diukur langsung dari peta topografi menggunakan

curvimeter, diukur dari titik muara sampai ujung bagian paling hulu sungai

utama. Penentuan sungai utama dipilih dengan cara menyelusuri

percabangan alur sungai yang mempunyai luas DAS paling besar. Lebar

DAS dihitung berdasarkan luas DAS dibagi panjangnya.

b. Bentuk Daerah Aliran Sungai

Menurut Gregory (1973: 51), bentuk daerah aliran sungai ditentukan oleh

besar lingkaran daerah aliran sungai (basin circularity) dengan notasi Rc.
Besar lingkaran daerah aliran sungai ini dihitung dengan persamaan

sebagai berikut:

4A
Rc =

Bentuk daerah aliran sungai secara umum dibagi menjadi dua yaitu bentuk

DAS membulat (Rc < 0,5) dan bentuk DAS memanjang (Rc > 0,5).

Bentuk yang membulat menunjukkan aliran yang cepat dengan puncak

luah yang tinggi, sedangkan bentuknya yang memanjang menunjukkan

aliran yang lebih lambat karena jarak tempuh semakin panjang (Gregory,

1973:271).

c. Pola Kerapatan Aliran

Pola kerapatan aliran merupakan susunan alur-alur sungai dalam suatu

daerah aliran sungai (Leepold, 1964: 131). Berdasarkan strukturnya setiap

aliran sungai selalu dihubungkan oleh jaringan satu arah dimana cabang

dan anak sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan

membentuk pola tertentu. Pola aliran sungai tergantung dari kondisi

topografi, geologi, iklim, vegetasi yang terdapat didalam daerah

pengaliran.

C. Sistem Hidrologi dalam Pengelolaan DAS

Siklus hidrologi pada daerah aliran sungai merupakan sistem hidrologi

dipengaruhi oleh peubah klimatologi terutama masukan presipitasi, dengan

keluaran limpasan dan evapotranspirasi, dipengaruhi peubah fisik permukaan

lahan dan peubah proses. Setiap proses siklus hidrologi dalam suatu DAS
mencerminkan adanya pergerakan air atau tata air di dalam wilayah DAS

tersebut.

Selain merupakan wilayah tata air, DAS juga merupakan suatu ekosistem,

disebut sebagai Ekosistem DAS. Unsur-unsur yang terdapat di dalam DAS

meliputi sumberdaya alam dan manusia. Sumber daya alam bertindak sebagai

obyek terdiri dari tanah, vegetasi, dan air, sedangkan unsur manusia sebagai

subyek atau pelaku pendayagunaan dari unsur-unsur sumberdaya alam.

Antara unsur-unsur tersebut terjadi proses hubungan timbal balik dan saling

mempengaruhi, dalam sumberdaya alam antara tanah, air, dan vegetasi saling

terkait sehingga menghasilkan suatu produk tertentu dan kondisi air tertentu

yang pada akhirnya berpengaruh pada kehidupan manusia. Dipihak lain

manusia sebagai pelaku pendayagunaan sumberdaya alam banyak melakukan

aksi atau pengubahan-pengubahan pada tanah dan vegetasi, sehingga bereaksi

pada hasil produk, perilaku maupun hasil air. Terdapat satu unsur di luar DAS

yang mempengaruhi kondisi di dalam DAS, sebagai masukan DAS yaitu

energi atau iklim. Variasi dan distribusi dari energi dan iklim berpengaruh

pada kondisi temperatur, curah hujan, kelembaban, radiasi matahari, angin,

dan sebagainya dari ekosistem DAS.


III. PEMBAHASAN

A. KONDISI DAS PADA SOAL

Diketahui luas area DAS adalah 600 km² dengan curah hujan pada musim

penghujan yaitu 350 mm/bulan dan tidak ada hujan di musim kemarau,

sehingga DAS mengalami kekeringan.

Gambar 1. Bentuk DAS dan grafik hidrograf aliran.


Gambar 2. Kondisi tanah.

Keberadaan air di darat sangat dipengaruhi oleh kondisi siklus hidrologi dan

kemampuan lahan darat dalam menampung, menyimpan, dan mengalirkan

kembali ke laut. Massa air yang ikut dalam siklus hidrologi tahunan di darat

adalah jumlah hujan yang jatuh dalam 1 tahun. Kebutuhan evapotranspirasi

tumbuh-tumbuhan (hutan, tanaman) pertahun berkisar antara 1200-1500 mm,

sehingga sisa air hujan dalam satu tahun berkisar 1300-1500 mm. Jumlah

tersebut cukup berlimpah untuk memenuhi kebutuhan air domestik,

municipal, dan industry (DMI) 120-240 1/hari/orang, serta kebutuhan

lainnya, seperti irigasi. Akan tetapi, keberadaan air di DAS (jumlah dan

waktu) sangat bergantung dari kondisi DAS.

DAS dengan hutan yang cukup besar persentasenya (lebih dari 30%)

mempunyai kemampuan menyimpan atau mengawetkan air di darat (bawah

permukaan) lebih lama, sehingga ketersediaan air di sungai, cekungan dan

situ terjamin sepanjang tahun. Sebaliknya jumlah hutan di dalam DAS yang

kurang persentasenya (kurang dari 30%) menyebabkan kemampuan DAS

menyimpan atau mengawetkan air di darat semakin kecil sehingga


menimbulkan kumulatif air permukaan yang mendadak besar atau lazim

disebut banjir. Air banjir cepat lari ke bagian rendah atau ke laut sehingga

tidak mempunyai kesempatan yang baik mengisi pori-pori lapisan tanah

sebagai simpanan/pengawetan air di DAS. Dengan demikian pada periode

kurang/tidak ada hujan DAS mengalami kekurangan air, untuk proses

evaporasi dan transpirasi bagi lahan dan tanaman (alami dan budidaya) yang

dapat menyebabkan udara panas dan tanaman layu/mati (puso). Di samping

itu akibat lain adalah ketersediaan air pada sungai, danau, situ dan lapisan

tanah/equifer mengalami susut yang tidak lagi mencukupi kebutuhan air

sehari-hari bagi masyarakat dan pertanian rakyat sehingga tidak dieksploitasi

airnya melebihi persediaan. Dalam kondisi demikian DAS mengalami

kekeringan.

Kondisi ini terus berulang dari waktu ke waktu, sehingga defisit yang terus

meningat dan dampak yang ditimbulkan semakin berat. Itulah sebabnya

mengapa, daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami

kekeringan belakangan ini terus didera kekeringan dan cenderung menjadi

daerah endemik kekeringan. Sementara daerah yang sebelumnya endemik

kekeringan cenderung meningkat intensitas kekeringannya maupun arealnya.

B. Teknologi Pengendalian Banjir

Teknologi pengendalian banjir berupa konstruksi bangunan air yang

disesuaikan lokasi, dana, dan umur guna (sementara/permanen) serta

teknologi penataan lahan dan air. Bangunan-bangunan pengendali banjir

adalah:
1. Tanggul sepanjang alur sungai : fungsi utama adalah menghalangi air

melimpas ke kanan/kiri daerah sekitar. Banjir tetap mengalir dikurung di

dalam alur dan tanggul.

2. Bendungan atau waduk : fungsi utama adalah menahan dan menampung

debit banjir dan debit di hilir dapat diatur.

3. Sudetan pelurusan alur : fungsi utama mempercepat aliran banjir ke bagian

hilir, sehingga kejadian genangan di hulu direduksi baik tinggi dan lama

genangan.

4. Waduk lapangan (Retension Basin) : fungsi utamanya menyimpan air

sementara waktu (tempat parkir air) mengurangi debit ke hilir, sehingga

tinggi dan lama genangan berkurang.

5. Bendung gerak : fungsi utama mengatur muka air banjir dan debit ke hilir,

sehingga genangan berlebihan dapat dihindari.

6. Sumur resapan : sudah dikaji lewat penelitian bahwa sumur resapan dapat

dikembangkan dan diaplikasikan secara luas lewat Perda (Pemprov DKI),

untuk dibuat di setiap halaman warga maupun kantor/fasilitas umum.

Fungsi utama adalah mengurangi limpasan permukaan air hujan (direct

run off) dan meningkatkan resapan air ke dalam lapisan tanah.

7. Waduk resapan : kapasitas sumur resapan yang kecil serta masih

diperlukan kesadaran masyarakat, maka mendorong untuk

mengembangkan sumur resapan berskala besar sehingga mempunyai daya

resap besar sekaligus mempunyai daya tampung. Kombinasi kedua fungsi

tersebut berarah ke waduk resapan.


C. Teknologi Mengatasi Kekeringan

Kekeringan merupakan kejadian yang sebenarnya dapat diantisipasi dari

kejadian hujan sebelumnya pada suatu DAS. Kekeringan pada suatu daerah

dapat disebabkan:

1. Curah hujan yang jatuh dalam 1 tahun kurang atau jauh lebih kecil dari

kebutuhan evapotranspirasi < 1500 mm/tahun.

2. Curah hujan tidak terdistribusi dengan baik terhadap bulan atau

terkonsentrasi pada periode yang singkat.

Kebutuhan air untuk kegiatan agraris dengan kepadatan penduduk tidak lebih

dari 75 jiwa per km2 diperlukan jumlah hujan berkisar antara 1825-2215

mm/tahun. Ancaman kekeringan akan terjadi jika jumlah hujan per bulan

kurang dari 125 mm. Kekeringan dapat diatasi dengan melaksanakan

konservasi sumber daya air secara terus menerus dan konsisten (UU SDA

No.7, 2004 Pasal 20-25). Pengelolaan DAS sebagai daerah tangkapan,

resapan, dan tampungan air (alami/waduk) serta efisiensi penggunaan air

adalah kegiatan yang mencegah terjadinya kekeringan.

Teknologi yang dikembangkan untuk mengatasi kekeringan diantaranya :

1. Teknologi resapan (recharge) buatan : sumur resapan, tata lahan teras/

bangku (terasering), sabuk resapan, waduk resapan.

2. Teknologi tampungan (reservoir) : waduk/bendungan, embung, long

storage barrage (tampungan di sungai dengan bendung gerak).


3. Teknologi vegetative : mempertahankan presentase DAS berperilaku

hutan/kawasan lindung (> 40%) dari unsur hutan alami, hutan produksi,

perkebunan, halaman (open space), taman/hutan kota dan lain-lain.

4. Teknologi efisiensi penggunaan air : pintu pengatur air yang kedap dan

presisi jaringan irigasi pendek dan kedap, penggunaan ulang air (water

recycle usage), lahan pertanian tertutup (tanaman agrobisnis), irigasi tetes

dan semprot (sprinkler).

5. Teknologi informasi (IT) dan sosialisasi kerekayasaan (Social Engineering)

SDA yang komunikatif dan sinergi interaktif antar pusat data base SDA

seperti BMG, Litbang SDA, Balai Hidrologi, Pws, dinas PSDA dan lain-

lain.
IV. KESIMPULAN

Kondisi hidroorologis yang baik adalah apabila DAS dapat menjamin penyediaan

air dengan kualitas yang baik, kuantitas yang cukup dan distribusi debit yang

merata sepanjang tahun.

Kegiatan reboisasi dapat menurunkan limpasan air dan meningkatkan kualitas air

tanah, sedangkan aktivitas pembalakan hutan atau deforestrasi di daerah hulu

DAS dapat meningkatkan limpasan air dan memacu terjadinya erosi karena

terjadinya pembukaan permukaan tanah. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam

yang dilakukan di daerah hulu akan menimbulkan dampak terhadap DAS bagian

tengah dalam bentuk penurunan kapasitas simpan air yang pada gilirannya

berdampak pada daerah hilir karena limpasan yang besar menyebabkan banjir di

daerah hilir DAS.

DAS dengan hutan yang cukup besar persentasenya (lebih dari 30%) mempunyai

kemampuan menyimpan atau mengawetkan air di darat (bawah permukaan) lebih

lama, sehingga ketersediaan air di sungai, cekungan dan situ terjamin sepanjang

tahun. Sebaliknya jumlah hutan di dalam DAS yang kurang persentasenya

(kurang dari 30%) menyebabkan kemampuan DAS menyimpan atau

mengawetkan air di darat semakin kecil sehingga menimbulkan kumulatif air

permukaan yang mendadak besar atau lazim disebut banjir. pada periode

kurang/tidak ada hujan DAS mengalami kekurangan air, untuk proses evaporasi
dan transpirasi bagi lahan dan tanaman (alami dan budidaya) yang dapat

menyebabkan udara panas dan tanaman layu/mati (puso). Di samping itu akibat

lain adalah ketersediaan air pada sungai, danau, situ dan lapisan tanah/equifer

mengalami susut yang tidak lagi mencukupi kebutuhan air sehari-hari bagi

masyarakat dan pertanian rakyat sehingga tidak dieksploitasi airnya melebihi

persediaan. Dalam kondisi demikian DAS mengalami kekeringan.


V. DAFTAR PUSTAKA

Amin, M.Si, Muhammad. 2018. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.


Lampung. Diktat Kuliah.

Dr. Ir. Legowo, S. 2005. Konsep Teknologi Pengendalian Banjir dan Mengatasi
Kekeringan. Bandung. Aula Pusditek.

Anda mungkin juga menyukai