Anda di halaman 1dari 10

PSDA

Wilayah Sungai

Pengertian WS secara patologi adalah kesatuan wilayah PSDA dalam satu atau lebih DAS dan/atau
pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Definisi lainnya mengartikan
WS merupakan kesatuan wilayah pengelolan sumber daya air dalam satu atau lebih DAS. Untuk pulau
kecil yang luasnya kurang dari 2000 km seluruh pulau ditetapkan sebagai satu wilayah sungai. Dalam
ilmu irigasi/pertanian disebutkan bahwa WS adalah suatu wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih DAS, untuk pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.00 km2, seluruh pulau ditetapkan
sebagai satu wilayah sungai.

Pengertian WS dalam ilmu kehutanan dalah suatu wilayah yang terdiri dari dua atau lebih DAS yang
secara geografi dan fisik teknis layak digabungkan sebagai unit perencanaan dalam rangka penyusunan
rencana maupun pengelolaannya;

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, WS merupakan gabungan
dari beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sungai termasuk salah satu wilayah keairan. Wilayah keairan dapat dibedakan menjadi beberapa
kelompok yang berbeda berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda. Sudut pandang yang biasa
digunakan dalam pengelompokan jenis wilayah keairan ini antara lain adalah morfologi, ekologi, dan
antropogenik (campur tangan manusia pada wilayah keairan tersebut).

Pengelompokan WS oleh para ahli sipil sebelum tahun 1980-an kebanyakan hanya berdasarkan pada
pertimbangan fisik hidraulik (morfologi), misalnya teori rezim yang membedakan sungai menjadi
mikro, meso dan makro struktur atau sungai kecil, menengah, dan besar. Dalam konsep eko-hidraulik
dewasa ini, pengelompokan sungai tidak lagi hanya didasarkan pada pertimbangan komponen fisik
hidraulik namun juga komponen ekologi.

Dari sudut pandang ekologi, secara umum WS juga dapat dimasukkan ke dalam bagian wilayah keairan,
baik wilayah keairan diam (tidak mengalir) dan wilayah keairan dinamis (mengalir). Wilayah keairan
tidak mengalir misalnya danau, telaga, embung, sungai mati, anak sungai yang mengalir hanya pada
musim penghujan, rawa, dan lain lain. Adapun yang termasuk wilayah keairan yang dinamis atau
mengalir adalah sungai permukaan, sungai bawah tanah, laut dengan arus lautnya, dan lain-lain.

Dari sudut pandang ekologi, wilayah keairan tidak mengalir merupakan wilayah dengan ekosistem yang
tertutup (misalnya danau). Sebagian besar komponen pendukung ekosistem danau tersebut
merupakan komponen dengan sirkulasi yang tertutup. Sistem ini memperoleh komponen pendukung
dari air tanah, air permukaan yang masuk, dan udara. Sedangkan wilayah keairan mengalir merupakan
suatu ekosistem yang terbuka dengan faktor dominan adalah aliran air. dalam suatu sistem sungai
terjadi lalu lintas rantai makanan dari bagian hulu ke hilir. Oleh sebab itu dalam memahami dan
menginvestigasi WS untuk perencanaan pembangunan WS, tidak bisa secara isolatif di suatu areal
tertentu saja (lokal), namun harus secara integral sesuai dengan jenis ekosistem WS yang sifatnya tidak
tertutup dan dipengaruhi oleh seluruh faktor baik dari hulu maupun dari hilir.

Sistem alur sungai (gabungan antara alur badan sungai dan alur sempadan sungai) merupakan sistem
river basin yang membagi DAS menjadi sub-DAS yang lebih kecil. Oleh karenanya segala sesuatu
perubahan yang terjadi di DAS akan berakibat pada alur sungai. Alur sempadan sungai didefinisikan
sebagai alur pinggir kanan dan kiri sungai yang terdiri dari bantaran bajir, bantara longsor, bantaran
ekologi, serta bantaran keamanan.
Konsep hidraulik murni biasanya mengabaikan komponen ekologi (misalnya tumbuhan yang ada)
dalam membuat tampang melintang sungai dan cenderung membuat profil dasar sungai secara teratur
(lurus). Dalam pemahaman eko-hidraulik, profil memanjang dan melintang sungai berisi baik
komponen fisik hidraulik (dasar sungai atau sedimen, tebing sungai, dan bantaran sungai) lengkap
dengan flora (tumbuhan) yang hidup di atasnya serta fauna (binatang) yang menyertainya. Di samping
tumbuhan, juga perlu ditampilkan komponen kimia eir sungai yang bersangkutan.

Zona Memanjang Sungai

Zona memanjang pada umumnya diawali dengan kali kecil dari mata air di daerah pegunungan,
kemudian sungai menengah di daerah peralihan antara pegunungan dan dataran rendah, dan
selanjutnya sungai besar pada dataran rendah sampai di daerah pantai. Dari literatur morfologi sungai,
pada umumnya ditemukan tiga pembagian zona sungai memanjang yakni sungai bagian hulu
"upsteram", bagian tengah "middle-stream", dan bagian hilir "downstream". Dari hilir sampai ke hulu
ini dapat ditelusuri perubahan-perubahan komponen sungai seperti kemiringan sungai, debit sungai,
temperatur, kandungan oksigen, kecepatan aliran, dan kekuatan aliran terhadap erosi (Sosrodarsono
dan Tominaga, 1994)

Pada gambar di atas menunjukkan contoh umum zonasi memanjang sungai yang masih alamiah dari
hulu sampai ke hilir beserta perubahan-perubahan komponen sungainya. Faktor yang sangat
berpengaruh dari perubahan-perubahan komponen tersebut adalah kemiringan sungai, di samping
juga jenis material dasar dan tebing yang dilewati sungai. Perubahan kemiringan sungai menentukan
perubahan temperatur, kandungan oksigen, kecepatan air, dan lain-lain. Sedangkan perubahan
kemiringan dikombinasi dengan jenis sedimen dasar sungai dan iklim mikro akan mempengaruhi jenis
vegetasi sungai.

Perubahan kemiringan sungai pada gambar diatas bukan berlaku secara umum. Ada perubahan
kemiringan sungai yang tidak seperti gambar di atas, misalnya di bagian hulu relatif datar dan dibagian
hilir relative curam, atau bagian hulu dan hilir datar namun bagian tengah curam, dan lain sebagainya.
Sehingga dalam membuat tampang memanjang suatu sungai harus dilihat secara spesifik dan
dibedakan antara sungai satu dengan sungai lainnya. Perubahan komponen untuk berbagai kondisi
Sungai alamiah (selain kemiringan) seperti perubahan temperatur, pH dan kandungan oksigen memiliki
tren yang sama seperti yang disajikan pada gambar di atas.

Zona Melintang Sungai

Pada zona sungai secara melintang dapat dibedakan menjadi tiga zona, yaitu zona akuatik (badan
sungai), zona amphibi (daerah tebing Sungai sampai pertengahan bantaran) dan zona teras sungai
(daerah pertengahan bantara yang sering tergenang air saat banjir sampai batas luar bantaran yang
hanya kadang-kadang kena banjir). Kondisi biotik dan abiotik dari ketiga zona ini dipengaruhi oleh
lama, ketinggian, dan frekuensi banjir yang ada. Banjir (tinggi genangan) merupakan factor dominasi
yang mempengaruhi perubahan kualitas dan kuantitas habitat serta morfologi sungai. Gambar
dibawah ini menunjukkan contoh hubungan antara garis muka air dan vegetasi pinggir sungai yang
ada.

Pada zonasi melintang ini, di samping hubungan antara banjir dengan ekologi juga terdapat hubungan
antara frekuensi dan durasi banjir dengan jenis material dasar sungai (kandungan lempung) serta
dengan komponen abiotik yakni tampang sungai. Misalnya pada frekuensi dan durasi banjir tinggi pada
sungai dengan material dasar yang relative lepas (kandungan lempungnya sedikit) akan menghasilkan
tampang sungai yang relatif lebar (B/H besar.

Cekungan Air Tanah

Dalam UU Sumber Daya Air daerah aliran air tanah disebut Cekungan Air Tanah (CAT) atau groundwater
basin. Definisi CAT adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian
hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Ayat (2)
dan Ayat (3) Pasal 12 UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Pengelolaan
air tanah didasarkan pada CAT dan ketentuan mengenai pengelolaannya diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah (PP). Peraturan Pemerintah untuk air tanah sudah terbit yaitu PP No. 43 Tahun
2008 Tentang Air Tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa CAT adalah batas teknis Pengelolaan Sumber
Daya Air untuk air tanah.

Kriteria Cekungan Air Tanah

1. Mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/atau kondisi
hidraulik air tanah. Batas hidrogeologis adalah batas fisik wilayah pengelolaan air tanah. Batas
hidrogeologis dapat berupa batas antara batuan lulus dan tidak lulus air, batas pemisah air
tanah, dan batas yang terbentuk oleh struktur geologi yang meliputi, antara lain, kemiringan
lapisan batuan, patahan dan lipatan.
2. Mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem pembentukan
air tanah. Daerah imbuhan air tanah merupakan kawasan lindung air tanah, di daerah tersebut
air tanah tidak untuk didayagunakan, sedangkan daerah lepasan air tanah secara umum dapat
didayagunakan, dapat dikatakan sebagai kawasan budi daya air tanah.
3. Memiliki satu kesatuan sistem akuifer: yaitu kesatuan susunan akuifer, termasuk lapisan
batuan kedap air yang berada di dalamnya. Akuifer dapat berada pada kondisi tidak tertekan
atau bebas (unconfined) dan/atau tertekan (confined).
Menurut KepPres No. 26 Tahun 2011 Tentang CAT, CAT di Indonesia terdiri atas akuifer bebas
(unconfined aquifer) dan akuifer terteka (confined aquifer). Akuifer bebas merupakan akuifer jenuh air
(saturated). Lapisan pembatasnya, yang merupakan aquitard, hanya pada bagian bawahnya dan tidak
ada pembatas aquitard di lapisan atasnya, batas di lapisan atas berupa muka air tanah. Dengan kata
lain merupakan akuifer yang mempunyai muka air tanah (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Sedangkan akuifer tertekan merupakan akuifer jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas dan lapisan
bawah yang kedap air (aquiclude) dan tekanan airnya lebih besar dari tekanan atmosfir. Pada lapisan
pembatasnya tidak ada air yang mengalir (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Akuifer tertekan adalah akuifer yang batas lapisan atas dan lapisan bawah adalah formasi tidak tembus
air, muka air akan muncul di atas formasi tertekan bawah. Akuifer ini bisa ada atau tidak pada bawah
permukaan tanah.

Mengacu pada kriteria CAT dalam PP No. 43 Tahun 2008, maka kriteria Bukan CAT (Non-CAT) atau
CAT tidak potensial adalah sebagai berikut:

1. Tidak mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/atau kondisi
hidraulik air tanah.
2. Tidak mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem
pembentukan air tanah.
3. Tidak memiliki satu kesatuan sistem akuifer.

Sebaran Cekungan Air Tanah di Indonesia

Tidak semua daerah memiliki potensi air tanah berlimpah. Daerah-daerah yang masuk di dalam
wilayah cekungan air tanah (CAT) umumnya punya potensi air tanah yang lebih besar jika dibandingkan
dengan daerah yang tidak termasuk di dalam wilayah cekungan air tanah. Sebaran daerah CAT dan
daerah yang bukan merupakan cekungan air tanah (Non-CAT) di Indonesia sesuai dengan Keppres No.
26 Tahun 2011 sebagaimana Gambar 3.11

Luas CAT dan Non-CAT adalah sebagai berikut (KepPres No. 26 Tahun 2011):

1) Luas CAT : 907,615 km2 (atau 47,2% luas daratan)

2) Luas Non-CAT : 1,014,985 km2 (atau 52,8% luas daratan)

3) Luas daratan : 1,922,600 km2 (100%)


Sedangkan menurut Permen ESDM Nomor 02 Tahun 2017 Tentang CAT di Indonesia CAT bahwa jumlah
CAT yang telah ditetapkan sampai saat ini adalah sebanyak 421 buah terdiri dari CAT lintas batas Negara
sebanyak 4 buah, CAT lintas batas provinsi 36 buah, dan CAT dalam wilayah provinsi berjumlah 381
yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Provinsi Kepulauan Riau. Total besaran
jumlah potensi air tanah pada CAT mencapai; pada akuifer bebas sebesar 494.390 juta m3 /tahun dan
pada akuifer tertekan sebesar 20.903 juta m3 /tahun, sebagaimana Tabel 3.1.

Iklim di Indonesia

Iklim adalah kondisi cuaca dalam suatu periode yang panjang, sedangkan musim terjadi karena adanya
perbedaan jumlah sinar matahari yang menyebabkan terjadinya perbedaan suhu. Cuaca didefinisikan
sebagai kondisi atmosfer pada suatu wilayah untuk periode waktu yang singkat (jam atau hari). Dengan
kata lain, cuaca lebih bersifat sesaat sedangkan iklim lebih bersifat pengulangan untuk periode waktu
yang panjang (Lakitan, 1994; Matthews, 2005 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2010). Unsur cuaca dan iklim
terdiri dari suhu, tekanan udara, kelembaban, angin, curah hujan, jumlah partikel atmosfer, radiasi
matahari, evapotranspirasi potensial, dan unsur meteorologi lainnya (Lakitan, 1994; Dupe, 1999).

Dalam rangka pengelolaan sumber daya air dan untuk kebutuhan lainnya yang membutuhkan
informasi dan data iklim, maka iklim dapat diklasifikasi atas beberapa metode. Metode Oldeman
adalah klasifikasi iklim berdasarkan parameter curah hujan untuk kebutuhan pertanian. Metode
Koppen berdasarkan parameter temperatur, sedangkan metode Smith Ferguson berdasarkan
parameter curah hujan

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Köppen, iklim dibagi atas lima bagian, yakni:

a) iklim tropis basah,

b) iklim kering,

c) iklim di garis lintang tengah dengan musim dingin yang sejuk

d) iklim di garis lintang tengah dengan musim dingin yang dingin dan

e) iklim kutub.

Iklim kering (dry climates) memiliki suhu berkisar antara 20-35° C. Termasuk di dalam iklim kering ini
adalah iklim kering arid dan iklim kering semi-arid.

Dalam konteks iklim, kata arid digunakan untuk menyatakan keadaan yang merujuk kepada suatu
kontinum nisbah (rasio) rerata presipitasi tahunan (meliputi curah hujan, embun, salju) terhadap
evapotranspirasi potensial tahunan (meliputi penguapan dari badan perairan terbuka dan penguapan
dari mahluk hidup). Kata bahasa Indonesia yang digunakan secara teknis sebagai padanan kata arid
adalah ringkai sehingga semi- arid menjadi semi-ringkai

Ciri khas daerah dengan iklim semi-arid adalah perbedaan musim hujan dan kemarau yang sangat
menyolok. Secara rata-rata, hujan turun dalam tiga sampai empat bulan dan musim kemarau tujuh
sampai delapan bulan. Curah hujan tahunan berkisar kurang dari 1000 mm dan di daerah tertentu
sampai dengan 1200 mm. Dengan pengecualian, di dataran yang lebih tinggi, curah hujan bisa
mencapai lebih dari 1500 sampai 2000 mm/tahun dengan lama musim hujan bisa mencapai enam
bulan. Ciri khas daerah semi-arid lainnya adalah evapotranspirasi jauh lebih besar dibanding
presipitasi, dan intensitas hujan sangat tinggi pada musim hujan. Variabilitas curah hujan yang tinggi
pada saat musim penghujan dan musim kemarau menyebabkan erosi yang sangat besar (Roshetko
dkk., 2000 dikutip Sardjono dkk., 2003; Messakh, dkk. 2013).
Perubahan dan Variabilitas Iklim

Secara statistik, iklim juga mencakup tidak hanya nilai rata-rata, tetapi juga variasi besaran dari hari ke
hari, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun. Iklim dalam arti yang sempit dapat juga didefinisikan
sebagai kondisi cuaca rata-rata, atau gambaran statistik dalam menyatakan rata-rata dan variabilitas
nilai/ukuran yang terkait pada periode tertentu yang berkisar dari beberapa bulan, ribuan sampai
jutaan tahun (Lakitan, 1994; IPCC, 2007). Iklim suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh garis lintang
rendah (tropis), menengah (sedang), atau tinggi (kutub), topografi dan ada tidaknya badan air (laut,
danau, atau sungai). Wilayah yang berlokasi di garis lintang rendah (wilayah tropis) akan menerima
radiasi matahari maksimum hampir sepanjang tahun; Wilayah yang berlokasi di garis lintang
menengah akan menerima radiasi matahari maksimum selama tiga bulan dalam setahun, sehingga
menyebabkan terjadinya empat musim, dingin, semi, panas, dan gugur. Sementara di lintang tinggi
dapat dikatakan tidak pernah menerima radiasi matahari maksimum sepanjang tahun (Matthews,
2005 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2010)

Mengenai perubahan iklim, UU No. 31 Tahun 2009 mendefinisikan perubahan iklim sebagai
berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang
menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah
yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Perubahan iklim adalah berubahnya baik
pola dan intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata
rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat merupakan suatu perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata atau
perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata- ratanya. Sebagai contoh, lebih sering
atau berkurangnya kejadian cuaca ekstrim, berubahnya pola musim dan peningkatan luasan daerah
rawan kekeringan. Dengan demikian, fluktuasi yang periodenya lebih pendek dari beberapa dekade
(semisal 30 tahun), seperti El Niño, tidak dapat dikatakan sebagai perubahan iklim.

Secara umum perubahan iklim berlangsung dalam waktu lama (slow pace) dan berubah secara lambat
(slow onset) (IPCC, 2001; IPCC, 2007). Perubahan berbagai parameter iklim yang berlangsung perlahan
tersebut dikarenakan berbagai peristiwa ekstrim yang terjadi pada variabilitas iklim yang berlangsung
secara terus menerus. Peristiwa ekstrim menyebabkan berubahnya besaran statistik rata rata iklim
yang pada akhirnya menggeser atau merubah iklim pada umumnya (Dupe, 1999; IPCC, 2001; FAO,
2003). Dengan demikian maka pemantauan perubahan iklim dapat dilakukan dengan melakukan
pemantauan kondisi iklim ekstrim. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2001),
perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu, curah hujan, kelembaban,
evaporasi, arah dan kecepatan angin, dan perawanan. Respon yang dapat dilakukan terkait perubahan
iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi adalah dengan melakukan tindakan adaptasi terhadap
dampak, serta melakukan mitigasi untuk mengurangi faktor penyebab perubahan iklim.

Iklim dan Kekeringan

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi PSDA adalah kondisi iklim setempat. Dengan
keberagaman iklim di dunia serta di Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi ketersediaan air dalam siklus hidrologi yang berlangsung, maka faktor iklim perlu
menjadi hal yang paling diperhatikan. Iklim dapat menyebabkan kelangkaan air dan berimplikasi
kepada bencana kekeringan di suatu wilayah.

Nusa Tenggara BARAT merupakan daerah yang beriklim semi-arid. Ciri khas daerah dengan iklim semi-
arid adalah perbedaan musim hujan dan kemarau yang sangat menyolok. Rata-rata hujan turun dalam
tiga sampai empat bulan dan musim kemarau tujuh sampai delapan bulan. Evapotranspirasi jauh lebih
besar daripada presipitasi. Ciri lain dari daerah semi-arid adalah intensitas hujan sangat tinggi pada
musim hujan. Perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau ini menyebabkan erosi yang sangat
besar (Roshetko dkk., 2000 dikutip Sardjono dkk., 2003).

Sebagai daerah beriklim semi-arid maka masalah kekeringan akrab dengan kehidupan sebagian
masyarakat daerah ini. Kekeringan menyebabkan masalah di bidang ketersediaan air sebagai persoalan
yang sering ditemui, baik itu menyangkut persoalan kuantitas, kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan
(K-4 problem).

Kekeringan disebabkan karena pada saat musim kemarau ketersediaan air jauh berkurang, dan kondisi
ini semakin diperparah dengan dampak pemanasan global yang menyebabkan musim kemarau akan
makin panjang dan sebaliknya musim penghujan akan semakin pendek namun intensitas hujan lebih
besar. Hal ini akan memperparah kekeringan yang ada. Akibatnya pada musim kemarau kekeringan
menjadi semakin lama dan persoalan defisit air menjadi semakin komplek. Karena itu, Kodoatie (2010)
menyebutkan bahwa kekeringan merupakan problem manajemen pengelolaan sumber daya air yang
komplek.

Perubahan iklim global yang dicirikan oleh perubahan unsur-unsur iklim seperti perubahan suhu udara
permukaan bumi, curah hujan, kelembaban, kecepatan angin, evaporasi dan transpirasi akan
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap respon hidrologi wilayah yang
selanjutnya menentukan ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan. Menurut Messakh, dkk. (2014)
hal ini juga terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur, oleh karena itu besaran dan distribusi air juga akan
mengalami perubahan dan dalam jangka Panjang elestarian sumber daya air memerlukan perhatian
yang serius.

Kenaikan suhu akibat perubahan iklim akan menaikkan laju penguapan tanaman, tanah, waduk, sungai
dan lainnya yang menyebabkan menipisnya ketersediaan air dan berakibat kekeringan. Kenaikan suhu
yang tidak merata di seluruh bumi menimbulkan adanya tekanan rendah dan tekanan tinggi baru. Pola
angin bergeser dan pola hujan berubah. BMKG menyatakan bahwa daerah yang berada di garis lintang
tinggi dan sebagian lintang rendah dapat mengalami peningkatan presipitasi sedangkan pada daerah
lintang tengah dan garis lintang rendah mengalami kurangnya curah hujan. Hal ini berarti, perubahan
iklim dapat menyebabkan terjadinya pergeseran musim di berbagai daerah, dimana musim kemarau
akan berlangsung lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan dan penggurunan. Musim hujan
akan berlangsung dengan tren intensitas curah hujan lebih tinggi dari curah hujan normal, yang
berdampak bencana banjir dan tanah longsor. Menurut IPCC (2001), perubahan Iklim juga diprediksi
dapat mengakibatkan kenaikan 2% hingga 3% rata-rata curah hujan

RANGKUMAN

1) Iklim adalah kondisi cuaca dalam suatu periode yang panjang, sedangkan musim terjadi karena
adanya perbedaan jumlah sinar matahari yang menyebabkan terjadinya perbedaan suhu.
Cuaca didefinisikan sebagai kondisi atmosfer pada suatu wilayah untuk periode waktu yang
singkat (jam atau hari). Dengan kata lain, cuaca lebih bersifat sesaat sedangkan iklim lebih
bersifat pengulangan untuk periode waktu yang panjang.

2) Unsur cuaca dan iklim terdiri dari suhu, tekanan udara, kelembaban, angin, curah hujan,
jumlah partikel atmosfer, radiasi matahari, evapotranspirasi potensial, dan unsur meteorologi
lainnya.

3) Pola iklim dan curah hujan di Indonesia memiliki variasi yang berbeda secara spasial, hal ini
disebabkan karena wilayahnya yang berupa kepulauan dan berada pada daerah tropis.
Keunikan iklim dan pola hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh letaknya yang berada
diantara dua samudera dan dua benua, karena itu tidak semua wilayah Indonesia mempunyai
pola hujan yang sama.

4) Dengan keberagaman iklim di dunia serta di Indonesia yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi ketersediaan air dalam siklus hidrologi yang berlangsung, maka
faktor iklim perlu menjadi hal yang paling diperhatikan. Iklim dapat menyebabkan kelangkaan
air dan berimplikasi kepada bencana kekeringan di suatu wilayah

Air Permukaan

Menurut UU SDA No 7/2004; Kodoatie dan Sjarief (2010), air permukaan adalah semua air yang
terdapat di permukaan tanah, seperti sungai, danau, waduk, embung, dan saluran irigasi. Air
permukaan adalah air yang terkumpul di atas tanah atau di mata air, sungai danau, lahan basah, atau
laut. Air permukaan berhubungan dengan air bawah tanah atau air atmosfer. Air permukaan kurang
baik jika dikonsumsi langsung oleh manusia karena sering mengalami pencemaran cukup tinggi,
terutama di daerah aliran sungai (DAS) di kawasan padat penduduk. Air permukaan paling banyak
dimanfaatkan sebagai air baku karena ketersediaannya lebih banyak, namun kualitasnya lebih buruk
karena pengaruh pencemaran dan erosi.

Air permukaan secara alami terisi melalui presipitasi dan secara alami berkurang melalui penguapan
dan rembesan ke bawah permukaan sehingga menjadi air bawah tanah. Air permukaan merupakan
sumber terbesar untuk air bersih. Menurut UU SDA No 7/2004; Kodoatie dan Sjarief (2010), air
permukaan adalah semua air yang terdapat di permukaan tanah, seperti sungai, danau, waduk,
embung, dan saluran irigasi. Air permukaan adalah air yang terkumpul di atas tanah atau di mata air,
sungai danau, lahan basah, atau laut. Air permukaan berhubungan dengan air bawah tanah atau air
atmosfer.

Air permukaan kurang baik jika dikonsumsi langsung oleh manusia karena sering mengalami
pencemaran cukup tinggi, terutama di daerah aliran sungai (DAS) di kawasan padat penduduk. Air
permukaan paling banyak dimanfaatkan sebagai air baku karena ketersediaannya lebih banyak, namun
kualitasnya lebih buruk karena pengaruh pencemaran dan erosi Air permukaan secara alami terisi
melalui presipitasi dan secara alami berkurang melalui penguapan dan rembesan ke bawah permukaan
sehingga menjadi air bawah tanah. Air permukaan merupakan sumber terbesar untuk air bersih.

Macam-macam Air Permukaan

1. Sungai

Secara umum sungai adalah kumpulan air yang bergerak pada saluran- saluran yang terbentuk secara
alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah hingga akhirnya sampai ke laut. Hulu sungai
biasanya merupakan mata air yang memancarkan air yang makin lama menyatu dan membentuk
sungai. Daerah hulu sungai biasanya tidak terlalu dalam dan arus pada daerah ini biasanya deras.

Dalam penggunaannya sebagai air minum, haruslah mengalami suatu pengolahan yang sempurna,
mengingat bahwa air sungai ini pada umumnya mempunyai derajat pengotoran yang sangat tinggi.

2. Danau

Danau adalah genangan air yang tertampung oleh cekungan bumi dengan volume yang besar. Air
danau dapat bersumber dari aliran sungai, hujan, atau mata air yang memancar dari dalam tanah.
Selain itu, danau juga dapat dibentuk oleh manusia dengan cara membendung aliran air atau sungai.
Danau bendungan ini biasanya disebut bendungan atau waduk.
3. Rawa

Kawasan di daratan yang tergenang air dengan kedalaman yang lebih dangkal bila dibandingkan
dengan danau disebut rawa. Rawa biasanya ditumbuhi berbagai tanaman air. Di daerah sekitar pantai
rawa-rawa banyak ditumbuhi hutan bakau (mangrove). Kebanyakan air rawa ini berwarna yang
disebabkan oleh adanya zaat-zat organis yang telah membusuk, misalnya asam humus yang larut
dalam air yang menyebabkan warna kuning coklat.

Pengelolaan Air Permukaan

Menurut Arsyad (2010), pengelolaan air permukaan meliputi:

A. pengendalian air permukaan

b. penyadapan air

c. meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah

d. pengolahan tanah

e. penggunaan bahan penyumbat tanah dan penolak air, dan

f. melapisi saluran air

Pengendalian Air Permukaan

Para pakar menyebutkan bahwa kemungkinan terbaik mengonversi air adalah mengendalikan bagian
curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah. Tidak semua air yang mengalir di atas permukaan
atanah akan sampai dan menjadi bagian dari air yang mengalir di dalam sungai atau di dalam danau.
Sebagian air tersebut hilang sewaktu bergerak ke dalam sungai atau danau tersebut.

Cara paling efektif untuk memelihara keadaan permukaan tanah agar mudah menyerap dan menahan
air adalah melindungi tanah tersebut sehingga tidak mudah terdispersi. Cara untuk mencapai tujuan
tersebut adalah seperti penutupan lahan dengan mulsa, penambahan pupuk organik, dan penggunaan
bahan-bahan/preparat kimia.

Pengendalian air permukaan untuk memperpanjang waktu air tertahan di atas permukaan tanah dan
meningkatkan jumlah air yang masuk ke dalam tanah merupakan tujuan para ahli. Pengolahan tanah
dan penanaman menurut garis kontur merupakaj metode konservasi tertua (Arsyad, 2012)

Pemanenan Air

Water harvesting yang berarti pemanenan air atau lebih dikenal denganistilah penyadapan air,
merupakan salah bidang dalam konservasi air. Konsep ini didasarkan asumsi bahwa suatu bagian lahan
tertentu lebih berharga diberi air daripada bagian lainnya.

Metode ini berpotensi memanfaatkan curah hujan setinggi 25 mm untuk menghasilkan 25 liter air
setiap 1 m2 lahan. Jika air hujan dibiarkan jatuh dan masuk ke dalam tanah secara merata, mungkin
sedikit sekali pengaruhnya terhadap kandungan air tanah. Akan tetapi jika air tersebut dikumpulkan
dan diberikan kepada bidang tanah tertentu saja maka akan lebih banyak air yang dapat disediakan
bagi pertumbuhan tanaman. Caranya adalah dengan menutupi suatu bagian permukaan tanah dengan
bahan yang tidak tembus air atau dengan memberikan bahan kimia yang membuat air tidak dapat
masuk ke dalam tanah, tetapi mengalir atau dialirkan ke bagian tanah lainnya yang ditanami dengan
tanah tertentu.

Meningkatkan Kapasitas Infiltrasi Tanah

Cara ini dilakukan dengan maksud untuk memperbaiki struktur tanah. Secara umum, cara yang paling
efektif dalam meningkatkan kapasitas infiltrasi atau menjaga kapasitas infiltrasi yang tinggi adalah
dengan memberikan penutupan terhadap tanah dengan tanaman penutup tanah atau mulsa, atau
dengan memberikan bahan organik.

Pengelolaan Tanah

Cara pengolahan tanah dapat mempengaruhi besarnya aliran permukaan dan infiltrasi. Beberapa cara
pengolahan tanah yang baik dalam konservasi air adalah pengolahan tanah minimum, olah tanam,
wheel track planting, lister planting, dan strip tillage

Penggunaan Bahan Penyumbat Tanah dan Penolak Air (Soil sealantas and water repellents)

Merupakan cara pengendalian evaporasi dan kehilangan rembesan dari waduk dan saluran air.

Melapisi Saluran-saluran Air

Dapat dilakukan dengan berbagai bahan pelapis. Namun demikian pengurangan 100% kehilangan air
dengan pelapisan jarang dapat dicapai.

RANGKUMAN

1) Air permukaan adalah semua air yang terdapat di permukaan tanah, seperti sungai, danau,
waduk, embung, dan saluran irigasi. Definisi lainnya menyebutkan bahwa air permukaan
adalah air yang terkumpul di atas tanah atau di mata air, sungai danau, lahan
basah, atau laut. Air permukaan berhubungan dengan air bawah tanah atau air atmosfer.

2) Secara umum, ada tiga bentuk penampung air tawar di permukaan bumi, yakni sungai, danau,
dan rawa

3) Pengelolaan air permukaan meliputi: pengendalian air permukaan, penyadapan air,


meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, pengolahan tanah, penggunaan bahan penyumbat
tanah dan penolak air, dan melapisi saluran air.

Anda mungkin juga menyukai