Anda di halaman 1dari 22

KONSEP DASAR

HIDROLOGI
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang
unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi
serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam
tersebut (TKPSDA, 2003). DAS di Indonesia jumlahnya ratusan dan telah
dibagi menjadi 3 skala prioritas. Menurut Kepmen Kehutanan dan
Perkebunan No. 284 (1999), DAS prioritas I berjumlah 62 sedangkan
prioritas II dan III berturut-turut berjumlah 232 dan 178 DAS. DAS
prioritas I mengindikasikan bahwa DAS tersebut telah mengalami
kekritisan lahan yang berat dan harus segera direhabilitasi, dan secara
berjenjang tingkat penanganannya bergilir dari DAS prioritas II ke III.
DAS dengan tingkat kekritisan lahan yang berat umumnya terkait dengan
beban tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang intensif dan berlebih sehingga terdapat indikasi
bahwa kondisi DAS semakin menurun. Tanda atau indikasi adanya
penurunan daya dukung DAS adalah adanya peningkatan kejadian tanah
longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan.
Untuk menanggulangi tingkat kekritisan DAS maka bentuk
penanggulangannya harus terpadu yaitu mencakup komponen biotik dan
abiotik. Dalam kajian saat ini, titik berat pembahasan pada komponen
abiotik, khususnya pada aspek hidrologi. Menurut International
Glossary of Hydrology (1974, dalam Seyhan, 1990) bahwa hidrologi
adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredaran
dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksi dengan
lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk
hidup. Dalam kaitannya dengan pelatihan ini maka bagian hidrologi
yang akan diurai adalah siklus dan proses hidrologi, teknik pengukuran
dan pendugaan data hidrologi, dampak perubahan hujan dan
penggunaan/penutup lahan terhadap debit sungai.
SIKLUS DAN PROSES HIDROLOGI
Kajian Siklus Hidrologi sangat bermanfaat dalam memahami konsep
keseimbangan air dalam skala global hingga daerah aliran sungai (DAS)
atau bahkan dalam skala lahan. Dalam sub bagian ini akan dijelaskan
definisi dan ilustrasi dari siklus hidrologi, kemudian akan dilanjutkan
hingga pembahasan proses yang terjadi selama siklus tersebut
berlangsung. Tujuan dari kajian ini adalah memberikan pemahaman
kualitatif dari proses hidrologi fisis yang terjadi pada sistem global
hingga terutama DAS. Metode kuantitatif dan teknik matematik yang
terkait dengan pengumpulan, penggunaan data yang benar dan
interpretasi data klimatologi dan hidrologi akan dijelaskan lebih jauh
pada sub bagian selanjutnya.
1. Siklus Hidrologi
Siklus Hidrologi adalah konsep dasar dalam kajian hidrologi dan
merupakan konsep keseimbangan atau neraca air. Konsep ini mengenal
empat fase perubahan zat cair, yaitu penguapan, pencairan, pembekuan,
dan penyubliman atau dalam istilah hidrologi mencakup evaporasi dan
transpirasi, presipitasi, salju, dan lelehan salju atau kristal es. Tenaga
yang digunakan untuk berubah dari fase cair ke gas (evaporasi) dan
menggerakkannya ke atmosfer adalah energi radiasi surya. Proses
berikutnya adalah pendinginan, kondensasi dan presipitasi; selanjutnya
akan diikuti oleh infiltrasi, limpasan permukaan, perkolasi dan kembali
ke laut atau badan air yang lain. Proses sirkulasi dan perubahan fase zat
cair tersebut dikenal sebagai Siklus Hidrologi.
(lihat Gambar 1).

Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sumber:


http://observe.arc.nasa.gov/nasa/earth/hydrocycle/hydro2.html)
Menurut Wiersum (1979, dalam Lieshout, tanpa tahun) selama siklus atau
sub siklus hidrologi maka air akan mempengaruhi kondisi lingkungan baik
secara fisik, kimia ataupun biologi. Efek fisik akan terlihat selama proses
gerakan air sehingga menimbulkan erosi pada bagian hulu dan sedimentasi
pada bagian hilir. Efek kimia terlihat setelah proses kimiawi antara air yang
mengandung bahan larutan tertentu dengan kimia batuan sehingga batuan
tersebut terlapukkan, sedangkan efek biologi terutama sebagai media
transport bagi perpindahan binatang karang serta media bagi pertumbuhan
tanaman.
Analisis kuantitatif dari konsep siklus hidrologi dapat didekati dengan dua
cara yang berbeda, yaitu sederhana dan komplek. Pendekatan sederhana
berlandaskan pada persamaan kontinuitas dalam bentuk neraca air atau
hidrologi (lihat Persamaan 1)

Inflow = Outflow ± Storage ............................... 1.


Persamaan 2.1. cenderung hanya memperhatikan aliran masuk dan
keluar serta cadangan air tapi tidak memperhatikan proses yang terjadi di
antara keduanya, sehingga dari pandangan konsep mekanistik maka
pendekatan pertama kurang sempurna. Berdasarkan keterbatasan tersebut
maka pendekatan kedua yang lebih komplek layak untuk diperhitungkan.
Pendekatan kuantitatif kedua dari siklus hidrologi adalah diawali dengan
pengertian bahwa suatu siklus dibatasi oleh kondisi fisik tertentu seperti
DAS atau sebidang lahan, dan di dalamnya menerima masukan (input),
proses, dan keluaran (output). Masukan (input) mencakup presipitasi
dengan berbagai bentuknya. Keluaran (output) mencakup dua keluaran
utama yaitu evaporasi dan limpasan serta bocoran akifer, sedangkan
proses meliputi berbagai transfer air yang terjadi dalam system siklus
tersebut. Pendekatan kedua ini apabila dikaji lebih jauh bentuknya sama
dengan pendekatan pertama yaitu neraca air atau hidrologi, namun
prosedur perhitungannya lebih komplek (lihat Persamaan 2)
P – (Q + ET) ± L = S ............................... 2.

dimana:

P = presipitasi total
Q = total limpasan dan aliran sungai termasuk aliran air bumi
ET = total evaporasi dan transpirasi
L = bocoran (leakage) air yang keluar dari system atau bocoran air yang masuk ke
dalam sistem
S = perubahan cadangan air dalam sistem dan dipertimbangkan setiap periode waktu
tertentu
Metode untuk mengukur dan mengestimasi unsur-unsur yang terdapat dalam
Persamaan 1 dan 2. akan dibincangkan lebih jauh dalam kajian atau analisis neraca air
secara khusus, yaitu neraca air lahan, daerah aliran sungai dan global.
2. PROSES HIDROLOGI
Kajian proses hidrologi mencakup pembahasan sederetan unsur-unsur yang terdapat dalam
siklus hidrologi. Secara garis besar dalam kajian ini proses hidrologi akan dipilah jadi dua, yaitu
ketika masih ada di atmosfer dan setelah ada di daratan. Kajian pertama dimasukan dalam kajian
air di atmosfer dan yang terangkum di dalamnya adalah evaporasi, transpirasi, kondensasi dan
presipitasi; sedangkan kajian kedua adalah kajian air di atas dan bawah muka bumi yaitu meliputi
intersepsi, infiltrasi, perkolasi, airbumi dan limpasan permukaan.

Kajian air di atmosfer dapat dilihat pada materi klimatologi sedangkan pada tulisan ini titik
berat pembahasan pada air yang ada di atas dan bawah muka bumi. Air dari presipitasi yang jatuh
di muka bumi dapat dipilah jadi 2 kelompok berdasarkan lokasi jatuhnya, yaitu vegetasi dan atau
lahan terbangun (building area) serta tanah permukaan. Air presipitasi yang tertangkap/terintersepsi
oleh vegetasi, sebagian akan menguap dan sebagian lain akan jatuh ke tanah permukaan melalui
proses drip, stem flow, dan through fall. Air dari tetesan tajuk daun ataupun aliran batang tersebut
akan masuk ke tanah permukaan (top soil) melalui proses infiltrasi bersama dengan air presipitasi
yang jatuh langsung ke permukaan tanah. Tahap lanjutan setelah proses infiltrasi adalah perkolasi
yaitu mengisi lapisan tanah jenuh (saturation zone) dan menambah cadangan airbumi
(groundwater). Air hasil proses infiltrasi dan perkolasi akan bergerak menuju ke daerah yang
tekanan hidroliknya rendah dan keluar sebagai mata-air di sungai, danau ataupun laut.
PENGUKURAN DAN PENDUGAAN DATA HIDROLOGI
Tahap awal dalam kajian hidrologi adalah bagaimana cara mengukur dan
menduga data hidrologi. Data hidrologi dapat diperoleh dengan dua cara
yaitu langsung dan tidak langsung, data pertama antara lain infiltrasi, tinggi
muka sungai dan kedalaman muka airtanah ; sedangkan data kedua antara
lain debit air, ataupun hidrograf aliran. Debit air permukaan pada suatu
outlet diperoleh dari hasil perkalian antara kecepatan aliran air terhadap luas
penampang basahnya. Hidrograf aliran diturunkan dari data tinggi muka air
per satuan waktu terhadap kurva/lengkung kalibrasi.
Data hidrologi umumnya diukur pada suatu lokasi (posisi lintang, bujur)
dan batas tertentu. Batas atau boundary yang sering digunakan adalah
Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun, untuk kajian lebih detil batas
hamparan lahan (misal: dataran aluvial di Pantai Utara Jawa) juga sering
digunakan.
1. Morfometri DAS
Morfometri adalah nilai kuantitatif dari parameter-parameter yang terkandung
pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Parameter morfometri DAS diantaranya
adalah batas dan luas DAS, panjang sungai utama, orde sungai, dan tingkat
kerapatan drainase.
Batas DAS yang tergambar pada suatu peta jaringan sungai adalah batas
artificial atau batas buatan, karena pada kenyataannya batas tersebut tidak tampak di
lapangan. Batas tersebut meskipun tidak tampak di lapangan tetapi pada
kenyataannya, batas tersebut membatasi jumlah air hujan yang jatuh di atasnya.
Batas DAS besar tersusun atas beberapa sub-DAS, dan sebuah sub-DAS
kemungkinan tersusun oleh beberapa sub-sub-DAS dan untuk jelasnya lihat ilustrasi
berikut (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Batas DAS hingga Sub-DAS (Strahler, 1975)


Banyak-sedikitnya jumlah air hujan yang diterima suatu DAS, bergantung atas
luas atau tidaknya DAS tersebut serta tegas-tidaknya batas antar DAS. DAS yang
memiliki luasan besar tentunya akan menghasilkan debit puncak yang lebih besar
daripada DAS yang kecil. Prediksi debit puncak secara relatif dapat didekati selain
dengan luas DAS adalah dengan bantuan bentuk DAS. Apabila diasumsikan
intensitas hujan, luas dan topografi dua buah DAS adalah sama tapi bentuk DAS-
nya berbeda (misal panjang dan bulat) maka karakteristik alirannya dapat
diperbandingkan secara relatif. Bentuk DAS panjang akan memiliki waktu
mencapai puncak yang lebih lama daripada bentuk DAS bulat; sedangkan debit
DAS berbentuk bulat adalah lebih besar daripada bentuk DAS yang panjang.
Ilustrasi berbagai bentuk DAS beserta debit puncak yang digambarkan dalam
bentuk kurva hidrograf aliran dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Hidrograf Daerah Aliran Sungai dan Limpasan (Seyhan, 1990)
Orde sungai adalah nomor urut setiap segmen sungai terhadap sungai induknya.
Metode penentuan orde sungai yang banyak digunakan adalah Strahler. Sungai orde
1 menurut Starhler adalah anak-anak sungai yang letaknya paling ujung dan
dianggap sebagai sumber mata air pertama dari anak sungai tersebut. Segmen
sungai sebagai hasil pertemuan dari orde yang setingkat adalah orde 2, dan segmen
sungai sebagai hasil pertemuan dari dua orde sungai yang tidak setingkat adalah
orde sungai yang lebih tinggi. Ilustrasi dari penggunaan metode Strahler tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4. Metode lain dalam penentuan orde sungai ini antara
lain adalah metode Horton, Shreve, dan Scheideger.

Gambar 4. Penentuan Orde Sungai Dengan Metode Strahler (Strahler, 1975)


2. Pengukuran Volume Aliran Sungai
Debit atau laju volume aliran sungai umumnya dinyatakan dalam satuan volum
per satuan waktu, dan diukur pada suatu titik atau outlet yang terletak pada alur
sungai yang akan diukur. Besar debit atau aliran sungai diperoleh dari hasil
pengukuran kecepatan aliran yang melalui suatu luasan penampang basah. Metode
pengukuran debit ini dikenal dengan istilah metode kecepatan-luas (velocity-area
method). Bentuk persamaan ini dapat diekspresikan sebagai berikut:

Q = Av ............................................ 3.

di mana:
Q = laju volume aliran (cfs atau m3/detik)
A = luas penampang melintang alur sungai (f2 atau m2)adalah kecepatan rata-rata
pada
v = penampang melintang alur sungai (ft/sec atau m/detik)
3. Prediksi Volume Aliran Sungai
Apabila data debit sungai hasil pengukuran tidak ada maka metode tidak
langsung perlu dikembangkan. Parameter hidrologi yang terkait dengan volume
aliran sungai dan dapat diukur secara tidak langsung adalah total volume limpasan
atau kuantitas luaran DAS dan laju debit maksimum. Debit maksimum adalah salah
satu parameter penting yang sering digunakan dalam evaluasi rancang bangunan air
dimana jumlah atau volume limpasan akan sangat menentukan ukuran serta
kekuatan bangunan tersebut.
Estimasi Debit Puncak
Debit puncak pada suatu DAS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
rasional. Persamaan ini pertama kali dikembangkan oleh Mulvaney (1847, dalam
Schulz, 1976) di Irlandia. Mulvaney (1847) merekomendasikan bahwa persamaan
ini sebaiknya digunakan untuk DAS kecil dengan ukuran kurang dari 100 acre atau
0.16 mil2. Apabila persamaan ini akan digunakan untuk DAS besar maka efek air
yang tertahan pada depresi atau cekungan harus dipertimbangkan dan dimasukkan
dalam persamaan tersebut. Persamaan rasional diekspresikan sebagai :
Qp = 0.278CiA ................................. 4.
di mana:
Qp= debit puncak (m3/detik)
C = koefisien limpasan (rasio tebal limpasan dan tebal curah hujan)
i = intensitas hujan (mm/jam) ketika lama hujan (tr) pada DAS tersebut sama dengan
waktu konsentrasinya (tc)
A = luas DAS ( km2)
Persamaan lain adalah yang dikembangkan oleh Burkli-Ziegler:
Q = CiA [S/A]^0.25 ....................................... 5.
di mana:
Q = debit puncak (cfs)
C = koefisien limpasan
I = intensitas hujan (inch/jam)
A = luas DAS
S = kemiringan permukaan tanah rata-rata
Waktu konsentrasi dapat didekati dengan menggunakan persamaan Kirpich, dan apabila persamaan
ini diterapkan untuk DAS maka ekspresi dari persamaan tersebut adalah:
di mana L adalah panjang jarak dari tempat terjauh di DAS sampai outlet, diukur
menurut jalannya air di sungai (feet) dan s adalah kemiringan rata-rata DAS (H:L)

Berdasarkan beberapa kajian persamaan rasional ini sering memberikan hasil yang
over estimasi atau lebih besar daripada hasil pengukuran (Schulz, 1976). Namun,
apabila dilihat dari sisi keamanan maka hasil perhitungan debit puncak adalah lebih
aman, meskipun secara hidroekonomis hasil perhitungan ini kurang baik karena
menimbulkan biaya tinggi.
4. Estimasi Volume Limpasan Permukaan
Jika tidak ada informasi kuantitatif tentang kuantitas dan waktu limpasan dan
aliran sungai pada suatu DAS, maka volume limpasan dapat diestimasi dengan
menggunakan karakteristik fisik DAS dan data hujan sebagai masukan. Metode
estimasi itu disebut metode Bilangan Kurva (Curve Number) yang dikembangkan
oleh SCS (the Soil Conservation Services). Pada metode ini, besarnya limpasan
berbanding lurus dengan besarnya curah hujan dan hubungan tersebut diekspresikan
sebagai berikut:

di mana:
Q = volume limpasan (dinyatakan dalam : mm)
P = curah hujan (mm)
S = beda potensial maksimum antara tebal curah hujan dan limpasan permukaan (mm), pada
saat awal hujan. Hal ini merepresentasikan kondisi penutup lahan/tanah hidrologis
dan mencerminkan kapasitas infiltrasi, lengas awal dan penutup lahannya
Dalam kajian lebih lanjut nilai S dapat didekati dengan konsep Bilangan Kurva
(CN) . Konsep ini menganut pengertian adanya faktor urutan atau rating, yaitu
sebagai akibat adanya pengaruh tanah dan kondisi penutup lahan terhadap besar-
kecilnya limpasan. Kaitan Bilangan Kurva dengan nilai S dapat diekspresikan
sebagai berikut:

SCS sebagai lembaga yang melahirkan konsep Bilangan Kurva telah


mengembangkang hubungan antara Bilangan Kurva terhadap jenis
penggunaan/penutup lahan beserta perlakuan konservasinya, kondisi hidrologi
dan jenis tanahnya. Pengembangan tersebut diwujudkan dalam bentuk tabel.
Dan, khusus untuk kajian ini jenis tanah dibagi jadi 4 kelompok besar. Masing-
masing kelompok mendiskripsikan karakteristik tekstur tanahnya yang sekaligus
mencerminkan sifat atau potensi limpasannya, serta laju infiltrasi akhir dari
tanah tersebut.
Suatu hal yang penting bahwa estimasi limpasan ini berdasarkan suatu kejadian
hujan dan bukannya hujan rata-rata bulanan ataupun tahunan. Berdasarkan hal
tersebut maka besarnya limpasan yang disebabkan oleh suatu kejadian hujan sangat
dipengaruhi oleh besarnya hujan 5 hari sebelumnya. Hal ini terkait dengan kondisi
lengas tanah awal yang sangat berpengaruh terhadap besarnya suatu limpasan.
Khusus untuk Indonesia maka kondisi 5 hari awal dikelompokkan jadi 3 AMC
(Antecendent Moisture Condition):

Tabel 2. Nilai AMC untuk Wilayah Indonesia


SEKIAN
DAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai