Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS menurut Dictionary of Scientific and Technical Term (Lapedes et


al., 1974), DAS (Watershed) diartikan sebagai suatu kawasan yang
mengalirkan air kesatu sungai utama. DAS adalah suatu wilayah penerima air
hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah
hujan yang jatuh diatasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya
bermuara ke laut (Anonimb, 2011).

Pengertian lain mengenai DAS adalah suatu sistem yang mengubah curah
hujan (input) ke dalam debit (output) di pelepasannya (outlet). DAS
merupakan sistem yang kompleks dan heterogen yang terdiri atas beberapa
sub sistem, dimana sub sistem tersebut dianggap homogen (Soemarto, 1987).

Gambar 1. Daerah Aliran Sungai (Watersheds/Drainage Basin)

Salah satu program perencanaan pengelolaan DAS memerlukan informasi


kondisi hidrologi setempat lebih dahulu. Namun demikian sebagian besar
daerah aliran sungai yang akan direncanakan pengelolaan Daerah aliran
sungainya belum tersedia data hidrologi yang cukup memadai, untuk
mengatasi masalah ini diperlukan suatu pendekatan melalui pemodelan
hidrologi yang sesuai dengan kondisi biofisik sub DAS/DAS tersebut, hasil
pemodelan tersebut diharapkan dapat diterapkan pada sub DAS/DAS yang
mempunyai kemiripan kondisi biofisik. Dengan adanya model hidrologi yang
sesuai maka karakterisasi dan evaluasi sub DAS/DAS tersebut dapat dengan
mudah dilakukan (Anonima, 2010).
Sampai saat ini pengelolaan DAS masih belum mencapai taraf yang dapat
menjamin keseimbangan yang diperlukan dalam tiap-tiap DAS, yaitu: belum
terwujudnya sinkronisasi program/rencana induk dari masing-masing
kegiatan dalam satuan waktu dan tempat dari berbagai instansi yang terkait
dalam pengelolaan daerah aliran sungai, sedangkan pengelolaan DAS yang
ada sekarang adalah pengembangan rencana DAS dengan tekanan kepada
Sub-sistem airnya saja, padahal sebenarnya yang diperlukan adalah konsep
makro yang menyangkut total sistem (air, tanah, vegetasi dan masyarakat),
yang tersusun dalam suatu preplanning, bukannya sebagai post-planning
(anonimb, 2010).
Daerah Aliran Sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan
hilir. Daerah hulu merupakan daerah konservasi dengan percepatan drainase
lebih tinggi dan berada pada kemiringan lebih besar (>15%), bukan
merupakan daerah banjir karena pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
pola drainase. Daerah hilir merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil
sampai sangat kecil (<8%), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
bangunan irigasi. Daerah tengah DAS merupakan daerah transisi dari dua
keadaan DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak, 2002).
Asdak (2002) menyatakan bahwa beberapa karakteristik DAS yang
mempengaruhi debit aliran antara lain yaitu :

a. Luas DAS. Luas DAS menentukan besarnya daya tampung terhadap


masukan hujan. Makin luas DAS makin besar daya tampung, berarti
makin besar volume air yang dapat disimpan dan disumbangkan oleh
DAS.
b. Kemiringan lereng DAS. Semakin besar kemiringan lereng suatu
DAS semakin cepat laju debit dan akan mempercepat respon DAS
terhadap curah hujan.
c. Bentuk DAS. Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung
menurunkan laju limpasan daripada DAS yang berbentuk melebar
walaupun luas keseluruhan dari dua bentuk DAS tersebut sama.
d. Jenis tanah. Setiap jenis tanah memiliki kapasitas infiltrasi yang
berbeda-beda, sehingga semakin besar kapasitas infiltrasi suatu jenis
tanah dengan curah hujan yang singkat maka laju debit akan semakin
kecil.
e. Pengaruh vegetasi. Vegetasi dapat memperlambat jalannya air aliran
dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah,
dengan demikian akan menurunkan laju debit aliran.

2.2. Defenisi dan Lingkup Hidrologi

Hidrologi pada hakikatnya mempelajari setiap fase air di bumi. Hidrologi


adalah disiplin ilmu yang sangat penting bagi manusia dan lingkungannya.
Aplikasi ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam hampir sebagian besar
permasalahan air di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti
perencanaan dan pengoperasian bangunan hidrolik (bendungan, cekdam),
penyediaan air, pengelolaan air limbah dan air buangan, irigasi dan drainase,
pembangkit tenaga air, pengendalian banjir, navigasi, masalah erosi dan
sedimentasi, penanganan salinitas, penanggulangan masalah polusi dan
pemanfaatan air untuk rekreasi.
Fungsi praktis dari hidrologi adalah untuk membantu analisis terhadap
permasalahan yang ada dan memberikan kontribusi terhadap perencanaan
dan manajemen sumber daya air. Ilmu tentang air membahas permasalahan
air di bumi, distribusi dan sirkulasinya, sifat fisika dan kimia air tersebut,
dan interaksi air dengan lingkungannya, termasuk interaksinya dengan
makhluk hidup, khususnya manusia.
Dalam hal ini, hidrologi melingkupi semua ilmu tersebut di atas.
Definisi yang lebih khusus adalah ilmu yang mempelajari siklus hidrologi
atau sirkulasi air antara permukaan bumi dan atmosfer. Pengetahuan
hidrologi diterapkan untuk memanfaatkan dan mengendalikan sumber daya
air di daratan, sedangkan air di lautan merupakan objek kajian ilmu dan
teknik kelautan (Indarto, 2010).
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari
atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi,
evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan
8 kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus.
Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan,
salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada
perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke
atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum
mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak
secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda yaitu Evaporasi/transpirasi,
Infiltrasi/Perkolasi, dan Air Permukaan (Anonimc, 2011).

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi


Air di atmosfer (atmospheric water) merupakan hasil distribusi dan
transportasi uap air melalui proses transpirasi, evaporasi dan sublimasi.

a. Kondensasi dan Presipitasi


Kondensasi merupakan perubahan air dari bentuk uap menjadi
bentuk padat. Proses ini melepas energi dalam bentuk panas.
Kondensasi dibutuhkan untuk membentuk presipitasi
(precipitation). Di hampir semua 9 tempat di bumi, presipitasi
merupakan faktor penting yang mengendalikan siklus hidrologi.
b. Evaporasi
Evaporasi (evaporation) adalah perubahan air dari bentuk cair
menjadi bentuk uap, kebalikan dari proses kondensasi. Pada saat
ini di mana terjadi kontak antara air dan udara maka terjadi proses
penguapan. Pada daerah kering penguapan dapat mencapai 2000
mm per tahun. Hal ini dapat menimbulkan kekeringan panjang.
Ada beberapa metode untuk pengukuran evaporasi yaitu dengan
panci evaporasi (pan-evaporation), lisimeter dan pengukuran
meteorologist (Anonimc, 2011).
c. Transpirasi
Transpirasi adalah suatu proses di mana air di dalam permukaan
tanah (soil moisture) dipompa ke atas oleh perakaran tanaman dan
selanjutnya diuapkan. Kombinasi pengaruh evaporasi dan
transpirasi dikenal sebagai evapotranspirasi (ET) yang menyatakan
tingkat kehilangan air pada sistem perakaran tanaman. Jenis
vegetasi, kerapatan penutupan, dan penutupan tanaman
berpengaruh secara langsung terhadap jumlah air pada permukaan
tanah di dalam DAS yang teruapkan melalui transpirasi.
Karakteristik spesifik tanaman seperti jenis dan kedalaman
perakaran, berapa banyak air yang bergerak masuk dan keluar dari
daun dan sifat pemantulan oleh permukaan daun akan berpengaruh
juga terhadap karakteristik transpirasi tanaman. Kondisi iklim,
umur tanaman, luas 10 permukaan daun, dan jenis daun, semua
faktor tersebut berpengaruh terhadap laju transpirasi tanaman
(Indarto, 2010).
d. Air Permukaan
Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama
dan danau, makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah,
maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah
dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung
satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa
seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut
(Anonimc, 2011).
e. Sublimasi
Sublimasi adalah proses konversi langsung dari es dan salju
menjadi uap air. Hal ini akan menyebabkan tebal lapisan es
menjadi berkurang tanpa adanya pelelehan atau pencairan es.
Sublimasi menyebabkan pendinginan yang cukup signifikan pada
lapisan es. Energi yang dibutuhkan untuk sublimasi sekitar 680
kalori per gram es, sementara untuk pencairan es hanya
membutuhkan 80 kalori per gram. Dengan kata lain, energi yang
dibutuhkan untuk proses sublimasi 1 gram es setara dengan energi
yang dibutuhkan untuk pencairan sejumlah 8,5 gram es. Sublimasi
meningkat pada kondisi kelembaban relatif yang rendah dan cuaca
yang berangin. Beberapa wilayah dapat kehilangan lapisan es
dalam jumlah yang signifikan karena proses sublimasi pada kondisi
tersebut (Indarto, 2010).
f. Infiltrasi
Infiltrasi (infiltration) didefenisikan sebagai gerakan air ke bawah
melalui permukaan tanah ke dalam profil tanah. Infiltrasi
menyebabkan air dapat tersedia untuk pertumbuhan tanaman dan
air tanah (groundwater) terisi kembali. Istilah infiltrasi dan
perkolasi sering digunakan dan dipertukarkan, tetapi sebenarnya
kedua istilah tersebut mendefinisikan hal yang berbeda. Perkolasi
(percolation) secara spesifik digunakan untuk menyebut gerakan
air antar lapisan di dalam tanah, sedang infiltrasi digunakan untuk
mendeskripsikan gerakan air dari permukaan masuk ke dalam
lapisan tanah yang teratas (Anonimc, 2011).

Limpasan permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir


diatas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan. Nilai limpasan
permukaan yang penting untuk keperluan evaluasi DAS adalah kondisi
volume limpasan permukaan yang terjadi sebelum selama dan setelah adanya
suatu kegiatan/proyek. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut
adalah yang berkaitan dengan: (1). Curah hujan meliputi lama waktu hujan,
intensitas dan penyebarannya dan (2). Karakteristik daerah aliran sungai
(DAS) meliputi bentuk dan ukuran DAS, topografi, tanah, geologi dan
penggunaan lahan (Anonima, 2010).
Melalui ujicoba terhadap perilaku infiltrasi air hujan yang jatuh pada
berbagai jenis tanah yang berbeda. Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat
(US SCS,1972) mengembangkan metode estimasi total volume limpasan
dengan menggunakan data hujan yang tersedia, yaitu dikenal sebagai metode
12 SCS. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku infiltrasi tanah
tersebut untuk mendukung metode ini grup hidrologi tanah (hydrolic soil
group), tipe penutupan lahan (land cover), kondisi hidrologis dan kelembaban
tanah awal (antecedent moisture content/AMC), dan cara bercocok tanam
(cara pengelolaan lahan) (Indarto, 2010).

2.3. Model Hidrologi

Analisis regresi dan korelasi sering kali digunakan untuk membuat suatu
model hidrologi. Model hidrologi diusahakan sesederhana mungkin dalam
arti model tersebut mudah digunakan, tanpa mengabaikan aspek ketelitian,
dan model yang dihasilkan bersifat prediktif. Suatu model hidrologi
umumnya menggunakan satuan DAS sebagai satu kesatuan daerah penelitian.
Dalam analisis respons DAS, DAS merupakan satu sistem hidrologi
dimana terdapat hubungan yang sangat erat antara setiap masukan yang
berupa hujan, proses hidrologi DAS, dan keluaran yang berupa debit sungai
dan sedimen yang terangkut (Anonima, 2010).
Model adalah suatu persamaan yang menggambarkan performan dari suatu
komponen sistem hidrologi. Misalnya, kombinasi persamaan kontinuitas dan
persamaan momentum akan membentuk model perhitungan pada saluran
terbuka untuk penelusuran banjir. Tujuan dari model hidrologi adalah untuk
mempelajari siklus air yang ada di alam dan meramalkan outputnya. Model
hidrologi dapat digunakan untuk peramalan banjir, perencanaan bendungan,
pengaturan bendungan, pengelolaan dan pengembangan DAS. Hal ini 13
tergantung dari tujuan pembuatan model tersebut. Saat ini, sudah banyak
model hidrologi yang dibuat untuk berbagai kepentingan (Indarto, 2010).
Salah satu cara untuk memodelkan siklus hidrologi adalah dengan
pendekatan. Suatu sistem didefinisikan sebagai satu kesatuan hubungan dari
beberapa komponen yang akan membentuk keseluruhan. Siklus hidrologi,
misalnya dapat dianggap sebagai suatu sistem yang komponennya berupa
hujan (precipitation), penguapan (evaporation), aliran permukaan (run-off)
dan fase lainnya dari siklus hidrologi. Beberapa fase dari siklus hidrologi
dapat dikelompokkan menjadi subsistem. Untuk mempelajari sistem secara
keseluruhan subsistem yang sederhana tersebut dapat dipelajari secara
terpisah dan hasilnya dapat digabungkan tergantung dari interaksi antara sub-
sub sistem tersebut (Indarto, 2010).
Setelah memperhatikan proses-proses hidrologi dalam suatu DAS, maka
dapat disimpulkan bahwa distribusi curah hujan menjadi aliran langsung
selain dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan DAS, juga dipengaruhi oleh
sifat-sifat hujannya. Mengingat bahwa hujan yang terjadi di daerah beriklim
tropika basah mempunyai variasi yang cukup besar menurut ruang dan waktu,
maka kajian tentang hubungan hujan dan limpasan serta bagaimana
pengaruhnya terhadap respons suatu DAS sangat diperlukan, mengingat
pengukuran fenomena hidrologi terutama daerah-daerah yang tidak ada
pencatatan data hidrologinya baik karena keterbatasan dana maupun
sumberdaya manusianya, maka diperlukan suatu model korelasi diantara
peubah, sehingga dengan adanya suatu model maka dapat dikurangi
pengukuran fenomena hidrologi tersebut secara langsung (Anonima, 2010).
Struktur model hidrologi didasarkan pada proses-proses yang ada dalam
siklus hidrologi. Proses-proses tersebut mulai dari hujan, intersepsi,
evapotranspirasi, infiltrasi, overlandflow, sub surface flow, perkolation,
groundwater storage, ground water flow, sampai hasil air. Untuk itu perlu
dikaji model-model hidrologi khususnya pada kawasan hutan dan non hutan
yang dapat diterapkan dan dikembangkan di Indonesia (Sharp dan Sawden,
1984).
Manfaat hasil analisis data hidrologi dewasa ini semakin dirasakan,
bahkan selalu diperlukan sebagai data dasar bagi kegiatan yang menyangkut
pengelolaan sumberdaya air DAS. Pada umumnya ada 3 (tiga) tahap dalam
analisis hidrologi yaitu diawali dengan mengadakan pengukuran terhadap 15
fenomena hidrologi, membuat korelasi diantara peubah yang diteliti, dan
melakukan prediksi (Sharp dan Sawden, 1984). Secara garis besar model
hidrologi dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu

a. Model Deterministik
Model deterministik dapat didefinisikan sebagai sebuah
model baik empiris maupun konseptual yang memperlakukan
proses-proses hidrologi sebagai bagian dari sistem determinasi
dengan tanpa membuat perwakilan dari proses-proses random yang
mungkin muncul dalam sistem. Contoh dari model deterministik
ini adalah Stanford Watershed Model. Lebih jauh model
deterministik dapat dibagi menjadi dua yaitu model empiris yang
menekankan pada proses-proses komponen dan model konsepsual
yang menekankan pada proses-proses terintegrasi. Model
konsepsual ini masih dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian
yaitu linear atau non linear, lumped atau distributed, dan sesaat
atau kontinyu (Anonima, 2010).
b. Model Statistik
Model statistik memperhatikan hubungan antara proses-proses
yang diarahkan ke teori statistik. Contoh dari model statistik ini
adalah Co-axiial correlation model. Model statistik dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu model korelasi dan model stokastik.
Pemodelan dapat memberikan beberapa kontribusi dalam
pemahanan ilmiah (de Roo, 1993).
c. Model Optimasi.
Model optimum adalah model yang telah diberikan beberapa
tujuan disatu sisi dan sisi lain telah diberikan beberapa hambatan.
Kemudian model ini akan memberikan rencana yang paling bagus
untuk kepuasan tujuan dengan hambatan-hambatan yang diberikan.
Model optimum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu analisis
sistem dan “teori keputusan”. Contoh model ini adalah model
Fiering (Anonima, 2010).

Anda mungkin juga menyukai