Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS menurut Dictionary of Scientific and Technical Term (Lapedes et


al., 1974), DAS (Watershed) diartikan sebagai suatu kawasan yang
mengalirkan air kesatu sungai utama. DAS adalah suatu wilayah penerima air
hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah
hujan yang jatuh diatasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya
bermuara ke laut (Anonimb, 2011).

Pengertian lain mengenai DAS adalah suatu sistem yang mengubah curah
hujan (input) ke dalam debit (output) di pelepasannya (outlet). DAS
merupakan sistem yang kompleks dan heterogen yang terdiri atas beberapa
sub sistem, dimana sub sistem tersebut dianggap homogen (Soemarto, 1987).

Gambar 1. Daerah Aliran Sungai (Watersheds/Drainage Basin)

Salah satu program perencanaan pengelolaan DAS memerlukan informasi


kondisi hidrologi setempat lebih dahulu. Namun demikian sebagian besar
daerah aliran sungai yang akan direncanakan pengelolaan Daerah aliran
sungainya belum tersedia data hidrologi yang cukup memadai, untuk
mengatasi masalah ini diperlukan suatu pendekatan melalui pemodelan
hidrologi yang sesuai dengan kondisi biofisik sub DAS/DAS tersebut, hasil
pemodelan tersebut diharapkan dapat diterapkan pada sub DAS/DAS yang
mempunyai kemiripan kondisi biofisik. Dengan adanya model hidrologi yang
sesuai maka karakterisasi dan evaluasi sub DAS/DAS tersebut dapat dengan
mudah dilakukan (Anonima, 2010).
Sampai saat ini pengelolaan DAS masih belum mencapai taraf yang dapat
menjamin keseimbangan yang diperlukan dalam tiap-tiap DAS, yaitu: belum
terwujudnya sinkronisasi program/rencana induk dari masing-masing
kegiatan dalam satuan waktu dan tempat dari berbagai instansi yang terkait
dalam pengelolaan daerah aliran sungai, sedangkan pengelolaan DAS yang
ada sekarang adalah pengembangan rencana DAS dengan tekanan kepada
Sub-sistem airnya saja, padahal sebenarnya yang diperlukan adalah konsep
makro yang menyangkut total sistem (air, tanah, vegetasi dan masyarakat),
yang tersusun dalam suatu preplanning, bukannya sebagai post-planning
(anonimb, 2010).
Daerah Aliran Sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan
hilir. Daerah hulu merupakan daerah konservasi dengan percepatan drainase
lebih tinggi dan berada pada kemiringan lebih besar (>15%), bukan
merupakan daerah banjir karena pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
pola drainase. Daerah hilir merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil
sampai sangat kecil (<8%), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
bangunan irigasi. Daerah tengah DAS merupakan daerah transisi dari dua
keadaan DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak, 2002).
Asdak (2002) menyatakan bahwa beberapa karakteristik DAS yang
mempengaruhi debit aliran antara lain yaitu :

a. Luas DAS. Luas DAS menentukan besarnya daya tampung terhadap


masukan hujan. Makin luas DAS makin besar daya tampung, berarti
makin besar volume air yang dapat disimpan dan disumbangkan oleh
DAS.
b. Kemiringan lereng DAS. Semakin besar kemiringan lereng suatu
DAS semakin cepat laju debit dan akan mempercepat respon DAS
terhadap curah hujan.
c. Bentuk DAS. Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung
menurunkan laju limpasan daripada DAS yang berbentuk melebar
walaupun luas keseluruhan dari dua bentuk DAS tersebut sama.
d. Jenis tanah. Setiap jenis tanah memiliki kapasitas infiltrasi yang
berbeda-beda, sehingga semakin besar kapasitas infiltrasi suatu jenis
tanah dengan curah hujan yang singkat maka laju debit akan semakin
kecil.
e. Pengaruh vegetasi. Vegetasi dapat memperlambat jalannya air aliran
dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah,
dengan demikian akan menurunkan laju debit aliran.

2.2. Defenisi dan Lingkup Hidrologi

Hidrologi pada hakikatnya mempelajari setiap fase air di bumi. Hidrologi


adalah disiplin ilmu yang sangat penting bagi manusia dan lingkungannya.
Aplikasi ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam hampir sebagian besar
permasalahan air di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti
perencanaan dan pengoperasian bangunan hidrolik (bendungan, cekdam),
penyediaan air, pengelolaan air limbah dan air buangan, irigasi dan drainase,
pembangkit tenaga air, pengendalian banjir, navigasi, masalah erosi dan
sedimentasi, penanganan salinitas, penanggulangan masalah polusi dan
pemanfaatan air untuk rekreasi.
Fungsi praktis dari hidrologi adalah untuk membantu analisis terhadap
permasalahan yang ada dan memberikan kontribusi terhadap perencanaan
dan manajemen sumber daya air. Ilmu tentang air membahas permasalahan
air di bumi, distribusi dan sirkulasinya, sifat fisika dan kimia air tersebut,
dan interaksi air dengan lingkungannya, termasuk interaksinya dengan
makhluk hidup, khususnya manusia.
Dalam hal ini, hidrologi melingkupi semua ilmu tersebut di atas.
Definisi yang lebih khusus adalah ilmu yang mempelajari siklus hidrologi
atau sirkulasi air antara permukaan bumi dan atmosfer. Pengetahuan
hidrologi diterapkan untuk memanfaatkan dan mengendalikan sumber daya
air di daratan, sedangkan air di lautan merupakan objek kajian ilmu dan
teknik kelautan (Indarto, 2010).
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari
atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi,
evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan
8 kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus.
Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan,
salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada
perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke
atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum
mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak
secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda yaitu Evaporasi/transpirasi,
Infiltrasi/Perkolasi, dan Air Permukaan (Anonimc, 2011).

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi


Air di atmosfer (atmospheric water) merupakan hasil distribusi dan
transportasi uap air melalui proses transpirasi, evaporasi dan sublimasi.

a. Kondensasi dan Presipitasi


Kondensasi merupakan perubahan air dari bentuk uap menjadi
bentuk padat. Proses ini melepas energi dalam bentuk panas.
Kondensasi dibutuhkan untuk membentuk presipitasi
(precipitation). Di hampir semua 9 tempat di bumi, presipitasi
merupakan faktor penting yang mengendalikan siklus hidrologi.
b. Evaporasi
Evaporasi (evaporation) adalah perubahan air dari bentuk cair
menjadi bentuk uap, kebalikan dari proses kondensasi. Pada saat
ini di mana terjadi kontak antara air dan udara maka terjadi proses
penguapan. Pada daerah kering penguapan dapat mencapai 2000
mm per tahun. Hal ini dapat menimbulkan kekeringan panjang.
Ada beberapa metode untuk pengukuran evaporasi yaitu dengan
panci evaporasi (pan-evaporation), lisimeter dan pengukuran
meteorologist (Anonimc, 2011).
c. Transpirasi
Transpirasi adalah suatu proses di mana air di dalam permukaan
tanah (soil moisture) dipompa ke atas oleh perakaran tanaman dan
selanjutnya diuapkan. Kombinasi pengaruh evaporasi dan
transpirasi dikenal sebagai evapotranspirasi (ET) yang menyatakan
tingkat kehilangan air pada sistem perakaran tanaman. Jenis
vegetasi, kerapatan penutupan, dan penutupan tanaman
berpengaruh secara langsung terhadap jumlah air pada permukaan
tanah di dalam DAS yang teruapkan melalui transpirasi.
Karakteristik spesifik tanaman seperti jenis dan kedalaman
perakaran, berapa banyak air yang bergerak masuk dan keluar dari
daun dan sifat pemantulan oleh permukaan daun akan berpengaruh
juga terhadap karakteristik transpirasi tanaman. Kondisi iklim,
umur tanaman, luas 10 permukaan daun, dan jenis daun, semua
faktor tersebut berpengaruh terhadap laju transpirasi tanaman
(Indarto, 2010).
d. Air Permukaan
Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama
dan danau, makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah,
maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah
dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung
satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa
seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut
(Anonimc, 2011).
e. Sublimasi
Sublimasi adalah proses konversi langsung dari es dan salju
menjadi uap air. Hal ini akan menyebabkan tebal lapisan es
menjadi berkurang tanpa adanya pelelehan atau pencairan es.
Sublimasi menyebabkan pendinginan yang cukup signifikan pada
lapisan es. Energi yang dibutuhkan untuk sublimasi sekitar 680
kalori per gram es, sementara untuk pencairan es hanya
membutuhkan 80 kalori per gram. Dengan kata lain, energi yang
dibutuhkan untuk proses sublimasi 1 gram es setara dengan energi
yang dibutuhkan untuk pencairan sejumlah 8,5 gram es. Sublimasi
meningkat pada kondisi kelembaban relatif yang rendah dan cuaca
yang berangin. Beberapa wilayah dapat kehilangan lapisan es
dalam jumlah yang signifikan karena proses sublimasi pada kondisi
tersebut (Indarto, 2010).
f. Infiltrasi
Infiltrasi (infiltration) didefenisikan sebagai gerakan air ke bawah
melalui permukaan tanah ke dalam profil tanah. Infiltrasi
menyebabkan air dapat tersedia untuk pertumbuhan tanaman dan
air tanah (groundwater) terisi kembali. Istilah infiltrasi dan
perkolasi sering digunakan dan dipertukarkan, tetapi sebenarnya
kedua istilah tersebut mendefinisikan hal yang berbeda. Perkolasi
(percolation) secara spesifik digunakan untuk menyebut gerakan
air antar lapisan di dalam tanah, sedang infiltrasi digunakan untuk
mendeskripsikan gerakan air dari permukaan masuk ke dalam
lapisan tanah yang teratas (Anonimc, 2011).

Limpasan permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir


diatas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan. Nilai limpasan
permukaan yang penting untuk keperluan evaluasi DAS adalah kondisi
volume limpasan permukaan yang terjadi sebelum selama dan setelah adanya
suatu kegiatan/proyek. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut
adalah yang berkaitan dengan: (1). Curah hujan meliputi lama waktu hujan,
intensitas dan penyebarannya dan (2). Karakteristik daerah aliran sungai
(DAS) meliputi bentuk dan ukuran DAS, topografi, tanah, geologi dan
penggunaan lahan (Anonima, 2010).
Melalui ujicoba terhadap perilaku infiltrasi air hujan yang jatuh pada
berbagai jenis tanah yang berbeda. Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat
(US SCS,1972) mengembangkan metode estimasi total volume limpasan
dengan menggunakan data hujan yang tersedia, yaitu dikenal sebagai metode
12 SCS. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku infiltrasi tanah
tersebut untuk mendukung metode ini grup hidrologi tanah (hydrolic soil
group), tipe penutupan lahan (land cover), kondisi hidrologis dan kelembaban
tanah awal (antecedent moisture content/AMC), dan cara bercocok tanam
(cara pengelolaan lahan) (Indarto, 2010).

2.3. Model Hidrologi

Analisis regresi dan korelasi sering kali digunakan untuk membuat suatu
model hidrologi. Model hidrologi diusahakan sesederhana mungkin dalam
arti model tersebut mudah digunakan, tanpa mengabaikan aspek ketelitian,
dan model yang dihasilkan bersifat prediktif. Suatu model hidrologi
umumnya menggunakan satuan DAS sebagai satu kesatuan daerah penelitian.
Dalam analisis respons DAS, DAS merupakan satu sistem hidrologi
dimana terdapat hubungan yang sangat erat antara setiap masukan yang
berupa hujan, proses hidrologi DAS, dan keluaran yang berupa debit sungai
dan sedimen yang terangkut (Anonima, 2010).
Model adalah suatu persamaan yang menggambarkan performan dari suatu
komponen sistem hidrologi. Misalnya, kombinasi persamaan kontinuitas dan
persamaan momentum akan membentuk model perhitungan pada saluran
terbuka untuk penelusuran banjir. Tujuan dari model hidrologi adalah untuk
mempelajari siklus air yang ada di alam dan meramalkan outputnya. Model
hidrologi dapat digunakan untuk peramalan banjir, perencanaan bendungan,
pengaturan bendungan, pengelolaan dan pengembangan DAS. Hal ini 13
tergantung dari tujuan pembuatan model tersebut. Saat ini, sudah banyak
model hidrologi yang dibuat untuk berbagai kepentingan (Indarto, 2010).
Salah satu cara untuk memodelkan siklus hidrologi adalah dengan
pendekatan. Suatu sistem didefinisikan sebagai satu kesatuan hubungan dari
beberapa komponen yang akan membentuk keseluruhan. Siklus hidrologi,
misalnya dapat dianggap sebagai suatu sistem yang komponennya berupa
hujan (precipitation), penguapan (evaporation), aliran permukaan (run-off)
dan fase lainnya dari siklus hidrologi. Beberapa fase dari siklus hidrologi
dapat dikelompokkan menjadi subsistem. Untuk mempelajari sistem secara
keseluruhan subsistem yang sederhana tersebut dapat dipelajari secara
terpisah dan hasilnya dapat digabungkan tergantung dari interaksi antara sub-
sub sistem tersebut (Indarto, 2010).
Setelah memperhatikan proses-proses hidrologi dalam suatu DAS, maka
dapat disimpulkan bahwa distribusi curah hujan menjadi aliran langsung
selain dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan DAS, juga dipengaruhi oleh
sifat-sifat hujannya. Mengingat bahwa hujan yang terjadi di daerah beriklim
tropika basah mempunyai variasi yang cukup besar menurut ruang dan waktu,
maka kajian tentang hubungan hujan dan limpasan serta bagaimana
pengaruhnya terhadap respons suatu DAS sangat diperlukan, mengingat
pengukuran fenomena hidrologi terutama daerah-daerah yang tidak ada
pencatatan data hidrologinya baik karena keterbatasan dana maupun
sumberdaya manusianya, maka diperlukan suatu model korelasi diantara
peubah, sehingga dengan adanya suatu model maka dapat dikurangi
pengukuran fenomena hidrologi tersebut secara langsung (Anonima, 2010).
Struktur model hidrologi didasarkan pada proses-proses yang ada dalam
siklus hidrologi. Proses-proses tersebut mulai dari hujan, intersepsi,
evapotranspirasi, infiltrasi, overlandflow, sub surface flow, perkolation,
groundwater storage, ground water flow, sampai hasil air. Untuk itu perlu
dikaji model-model hidrologi khususnya pada kawasan hutan dan non hutan
yang dapat diterapkan dan dikembangkan di Indonesia (Sharp dan Sawden,
1984).
Manfaat hasil analisis data hidrologi dewasa ini semakin dirasakan,
bahkan selalu diperlukan sebagai data dasar bagi kegiatan yang menyangkut
pengelolaan sumberdaya air DAS. Pada umumnya ada 3 (tiga) tahap dalam
analisis hidrologi yaitu diawali dengan mengadakan pengukuran terhadap 15
fenomena hidrologi, membuat korelasi diantara peubah yang diteliti, dan
melakukan prediksi (Sharp dan Sawden, 1984). Secara garis besar model
hidrologi dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu

a. Model Deterministik
Model deterministik dapat didefinisikan sebagai sebuah
model baik empiris maupun konseptual yang memperlakukan
proses-proses hidrologi sebagai bagian dari sistem determinasi
dengan tanpa membuat perwakilan dari proses-proses random yang
mungkin muncul dalam sistem. Contoh dari model deterministik
ini adalah Stanford Watershed Model. Lebih jauh model
deterministik dapat dibagi menjadi dua yaitu model empiris yang
menekankan pada proses-proses komponen dan model konsepsual
yang menekankan pada proses-proses terintegrasi. Model
konsepsual ini masih dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian
yaitu linear atau non linear, lumped atau distributed, dan sesaat
atau kontinyu (Anonima, 2010).
b. Model Statistik
Model statistik memperhatikan hubungan antara proses-proses
yang diarahkan ke teori statistik. Contoh dari model statistik ini
adalah Co-axiial correlation model. Model statistik dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu model korelasi dan model stokastik.
Pemodelan dapat memberikan beberapa kontribusi dalam
pemahanan ilmiah (de Roo, 1993).
c. Model Optimasi.
Model optimum adalah model yang telah diberikan beberapa
tujuan disatu sisi dan sisi lain telah diberikan beberapa hambatan.
Kemudian model ini akan memberikan rencana yang paling bagus
untuk kepuasan tujuan dengan hambatan-hambatan yang diberikan.
Model optimum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu analisis
sistem dan “teori keputusan”. Contoh model ini adalah model
Fiering (Anonima, 2010).
2.4. Pengertian – pengertian yang Digunakan

Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan adalah sebagai berikut :

1. Hujan adalah butiran yang jatuh dari gumpalan awan ke


permukaan bumi setelah melalui beberapa proses, yang juga
merupakan siklus hidrologi.
2. Limpasan adalah air yang mencapai sungai tanpa mencapai
permukaan air tanah.
3. Genangan adalah sejumlah air yang tidak mengalir yang
diakibatkan tidak lancarnya aliran air kedalam saluran.
4. Luapan adalah sejumlah air yang tidak mengalir yang diakibatkan
oleh kurangnyavkapasitas pengaliran saluran maupun sungai.
5. Banjir adalah aliran yang relatif tinggi, dan tidak tertampung lagi
oleh sungai atau saluran.
6. Debit adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang
melintang persatuan waktu.
7. Debit banjir maksimum adalah debit aliran sesaat dengan puncak
hidrograf tertinggi selama satu tahun pencatatan.
8. Banjir rata-rata tahunan adalah besar debit banjir dari jumlah
rangkaian banjir maksimum tahunan dibagi tahun kejadian.
9. Kala ulang ( Tr ) adalah selang waktu pengulangan suatu kejadian
pada kurun waktu tertentu.
10. Debit banjir rencana adalah debit maksimum dari suatu sungai
dengan kapasitas debit aliran yang besarnya berdasarkan kala ulang
tertentu.1 SNI, Departemen Pekerjaan Umum, 1989.
11. Daerah Aliran Sungai ( DAS ) adalah suatu kesatuan wilayah tata
air yang terbentuk secara alamiah terutama dibatasi oleh
punggung-punggung bukit, dimana air meresap dan atau mengalir
dalam suatu sistem pengaliran melalui lahan, anak sungai dan
induknya.
2.5. Konsep Daerah Aliran Sungai

Suatu daerah aliran sungai (DAS) dipisahkan dari DAS lainnya oleh
pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan. DAS
mengandung sumber daya alam seperti hutan, tanah, air, meneral dan satwa
sehingga DAS memiliki karakteristik sendiri. Salah satu karakteristik DAS
adalah adanya keterkaitan yang kuat atau hubungan sebab akibat antara
daerah hulu dan hilir yang diikat oleh sistim tata air yaitu sungai. Misalnya
penebangan hutan di daerah hulu akan menyebabkan sedimentasi dan banjir
di daerah hilir.
Selain karena tingginya curah hujan, banjir terutama terjadi karena
berkurangnya kemampuan daya resap tanah. Hal ini disebabkan karena
rusaknya berbagai kawasan konservasi dan kawasan lindung serta berubahnya
struktur kawasan DAS oleh berbagai kegiatan pembangunan yang tidak
dilandasi oleh perencanaan yang mendukung fungsi hidrologis DAS. Oleh
karena itu perencanaan pembangunan harus memperhitungkan kelestarian
DAS sebagai suatu kesatuan utuh yang saling terkait. Konsep ini yang lebih
dikenal dengan One River, One Plan, One Management ( Departemen PU :
2004 ) 2 Departemen Pekerjaan Umum, 2004

2.5.1 Topografi
Peta Topografi akan digunakan dalam menentukan beda
tinggi (kontur), karakteristik dan panjang pengaliran pada suatu
DAS serta pendekatan untuk penentuan luas DAS yang akan
digunakan untuk analisis selanjutnya. Batasan daerah aliran
sungai ditetapkan berdasarkan peta topografi, jika luas
aliranrelatif kecil cukup dengan peta berskala besar.
2.5.2 Koefisien Pengaliran
Koefisien ini mencerminkan keadaan permukaan daerah
aliran. Harga koefisien pengaliran (C) di dapat dari hasil
perbandingan antara volume air yang berhasil mencapai sungai
dengan curah hujan yang jatuh di DAS.

Penggunaan Tanah Koefisien Pengaliran (C)


Perkantoran dan fasilitas 0.5
umum
Peradagangan 0.7
Perindustrian : Berat 0.5
0.6
Ringan
Perumahan : Padat 0.6
0.4
Sedang
0.3
Jarang
Tanah dan Kebun 0.2
Daerah tidak terbangun 0.1
Jalan tidak beraspal 0.35
Jalan Beraspal 0.75
Tabel 2.1 Koefisien Pengaliran

2.5.3 Uji Konsistensi


Sebelum data hujan dari masing-masing stasiun
dipergunakan, terlebih dahulu diadakan uji konsistensi. Metode
yang digunakan adalah DOUBLE MASS CURVE TEST, yaitu
membagi data yang ada menjadi 2 atau lebih kelompok data
untuk mendapatkan persamaan garis regresi dari masing –
masing kelompok data tersebut.
Tujuan diadakan uji ini adalah untuk mengetahui apabila
terdapat data hujan yang tidak konsisten, misalnya akibat
perubahan atau terganggunya lingkungan di sekitar tempat
stasiun penakar hujan dipasang, pergantian alat ukur, dan
sebagainya. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan
hujan rata-rata kumulatif dari stasiun yang dimaksud dengan
rata-rata kumulatif stasiun-stasiun disekitarnya.

Persamaan Garis Regresi :


Y = a + bx ...................................................................(2 – 1)

Dimana :

Y = Variabel tergantung ( Dependent ), nilai Y tergantung


daripada nilai Variabel bebas ( X )
x = Variabel bebas ( Independent )
b = Kemiringan Garis Regresi
a = Perpotongan nilai Y dengan garis regresi

Parameter yang digunakan untuk menentukan kuat tidaknya


hubungan antara variabel Y dengan variabel X adalah R2. Nilai
R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1, apabila nilai R2 semakin
mendekati 1 maka semakin kuat hubungan antara variabel Y
dengan X, apabila nilai R2 = 1, maka semua titik jatuh pada
garis regresi.
2.5.4 Menghitung Curah Hujan Daerah
Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa
titik pengamatan curah hujan. Dalam hal ini cara yang
digunakan adalah cara rata-rata aljabar di dalam dan di luar
daerah yang bersangkutan.

R = 1/n (R1 + R2 + ….. + Rn) .....................................(2 – 2)

dimana :

R = curah hujan daerah (mm)

n = Jumlah stasiun pengamatan

R1, R2, …., Rn = Curah hujan di tiap stasiun pengamatan

2.5.5 Perhitungan Curah Hujan Rencana


Karena banjir rencana ditentukan berdasarkan curah hujan
maka dengan sendirinya perlu ditetapkan curah hujan rencana.
Curah hujan rencana adalah curah hujan terbesar tahunan
dengan sesuatu kemungkinan tertentu, atau hujan dengan
periode ulang tertentu. Metode perhitungan curah hujan rencana
yang akan digunakan adalah Log Pearson tipe III, dengan rumus
dasar :
Log XT = log x + K x S ( 2 - 3)

Dimana :

Log XT = nilai logaritma dari data curah hujan

log x = nilai rata-rata dari data curah hujan

K = faktor frekuensi

S = standar deviasi

Garis besar cara tersebut :


1. Mengubah data curah hujan sebanyak n buah X1 , X2,
X3,…….Xn menjadi
log X1, logX2, logX3……logXn ( 2 - 4)
2. Mencari rata-rata log X

log x=
∑ log x ( 2 - 5)
n
3. Mencari standar deviasi

n
S= √∑ i=1
¿¿ ¿ ¿ ( 2 - 6)

4. Mencari koefisien kemencengan


n
Cs= √∑
i =1
¿¿ ¿ ¿ ( 2 - 7)

5. Mencari harga K dari tabel hubungan antara koefisien


kemencengan (Cs) dan kala ulang (Tr)
6. Menghitung harga curah hujan rencana
Log XT = log x + K x S ( 2 - 8)

Harga curah hujan rencana didapat dari anti log XT

2.5.6 Perhitungan Debit Banjir Rencana


Dalam menentukan Debit Banjir Rencana (Design Flood),
perlu didapatkan harga sesuatu Intensitas Curah Hujan terutama
bila dipergunakan metoda Ratio.
A. Analisa Intensitas Curah Hujan
Intensitas Curah Hujan adalah ketinggian curah
hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air
tersebut berkonsentrasi. Analisa Intensitas Curah Hujan ini
dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada
masa lampau. Intensitas Curah Hujan dinotasikan dengan
huruf I dengan satuan (mm/jam), yang artinya tinggi curah
hujan yang terjadi sekian mm dalam waktu perjam.
Intensitas curah hujan umumnya dihubungkan dengan
kejadian dan lamanya (duration) hujan turun, yang disebut
Intensitas Duration Frequency (IDF). Oleh karena itu
diperlukan data curah hujan jangka pendek, misalnya 5
menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman. Data curah hujan
jangka pendek ini hanya didapatkan dari data pengamatan
curah hujan otomatic dari kertas diagram yang terdapat
pada peralatan tersebut. Seandainya data curah hujan yang
ada hanya curah hujan harian, maka oleh Dr. Menonobe
dirumuskan Intensitas Curah Hujannya sebagai berikut :
R ₂₄ 24 ² /³
I= . (2–9)
24 t

Dimana

I = Intensitas Curah Hujan ( mm/jam )

t = Lamanya Curah Hujan ( jam )

R24 = Curah Hujan maksimum dalam 24 jam ( mm )

B. Perkiraan Puncak banjir Secara Rasio


Dalam perencanaan bangunan air pada suatu daerah
pengairan sungai dimana ada menyangkut masalah
hidrologi didalamnya, sering dijumpai dalam perkiraan
puncak banjirnya dihitung dengan metoda yang sederhana
dan praktis. Pada keadaan tertentu tidak dibutuhkan sebagai
bahan pertimbangan dalam perencanaan. Namun demikian
metoda perhitungan ini dalam teknik penyajiannya
memasukkan factor curah hujan, keadaan fisik dan sifat
hidrolika daerah aliran, sehingga dikenal sebagai metoda
rational.

Q = 0,278 C I A ( 2 – 10 )
Dimana :

C = Koefisien pengairan

I = Intensitas maks. selama waktu konsentrasi ( mm/jam)

A = Luas daerah aliran ( Km2 )

Q = Debit maksimum ( m3/dt )

Untuk besarnya harga C dapat dilihat pada tabel 2.1.


(Sumber : Departemen PU )

Hal- hal yang harus diperhatikan dalam perhitungan adalah


Data-data berupa tebal hujan, lama hujan dan distribusi aliran
diperoleh dari basil pembacaan data hujan otomatis dari stasiun
curah hujan terdekat dengan lokasi, sedangkan intensitas hujan
maksimum 30 menit, ditentukan dengan memakai data tebal hujan,
lama hujan dan distribusi alirannya. Data Indeks Hujan Terdahulu
(API) digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui kondisi
kelembaban umum tanah setempat. Adapun rumus yang dipakai
untuk menghitung nilai indeks curah hujan terdahulu adalah
(Griend, 1979),

n
API = ∑ ( Pt . K ͭ ) ( 2 – 11 )
t −1

dimana API merupakan Indeks curah hujan terdahulu, Pt curah


hujan pada suatu hari t sebelum perhitungan dan K merupaka
konstanta, antara 0,8 - 0,98. Pengukuran debit aliran sungai di daerah
penelitian dilakukan dengan menggunakan rumus,
1
Q= A . R 2/3 ( 2 – 12 )
n
dimana Q adalah debit aliran (m3/ detik), A luas penampang sungai
(m2), n adalah tetapan kekasaran Manning (dapat dilihat dalam Chow,
1964) dan R radius hidrolik (m) dengan
A
R= ( 2 – 13 )
P
dimana P adalah panjang perimeter basah (m), S gradien muka air
dengan S=(h1–h2)/p dimana h1 adalah tinggi selang pada yalon 1, h2
adalah tinggi selang pada yalon 2 serta p merupakan jarak yalon1
sampai yalon 2. Untuk mengetahui hubungan antara tinggi muka air
dengan debit aliran diperlukan pengukuran debit dari berbagai tinggi
muka air yang berbedabeda. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam
persamaan :
Qc = a (h – ho )b ( 2 – 14 )

dimana Q debit aliran sungai di H (m3/detik), h tinggi muka air


(m), ho tinggi muka air pada debit 0 (m) serta a dan b konstanta pada
tempat tersebut.
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Maksud dan Tujuan
1.3. Rumusan Masalah
1.4. Pengumpulan Data
1.5. Bagan Alir Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Siklus Hidrologi
2.2 Hujan
2.3 Analisa Curah Hujan

2.3.1 Curah Hujan Wilayah/Daerah (Regional Distribution)


a. Metode Rata-Rata Aljabar
b. Metode Poligon Thiessen
c.Metode Isohiet

2.4 Analisis Frekuensi & Probabilitas

2.4.1 Parameter Statistik


2.4.2 Pemilihan Jenis Metode & Menentukan Hujan Rata-rata
Daerah
2.4.3 Analisis Jenis Sebaran (Distribusi)
a. Distribusi Log Normal
b. Distribusi Log Person-Tipe III
c. Distribusi Gumbel

2.4.4 Uji Keselarasan Distribusi


a. Uji keselarasan Chi Kuadrat
b. Uji Keselarasan Smirnov Homograf

2.5 Analisis Debit Banjir Rencana

2.5.1 Metode Rasional


a. Koefisien Limpasan
b. Intensitas Curah Hujan
c. Waktu Konsentrasi
2.5.2 Metode Empiris
a. Intensitas Curah Hujan
b. Waktu Konsentrasi

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum Sungai Deli


3.2 Lokasi Penelitian
3.2.1 Letak Geografis
3.2.2 Topografi
3.2.3 Kondisi Daerah Aliran Sungai Deli
3.3 Bagan Alir penelitian
3.3.1 Tahapan Persiapan
3.3.2 Tahapan Pengumpulan Data
3.3.3 Tahapan Pengolahan Data
3.3.4 Tahapan Analisa Data

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Curah Hujan


4.1.1 Ketersediaan Data Curah Hujan
4.1.2 Analisa Curah Hujan Wilayah/Daerah
4.2 Analisa Frekuensi Curah Hujan Rencana
4.2.1 Analisa Jenis Sebaran
a. Distribusi Log Normal
b. Distribusi Log Person-Tipe III
c. Distribusi Gumbel
4.2.2 Perhitungan Curah Hujan Maksimum
4.2.3 Pengujian Keselarasan Sebaran (Distribusi)
4.3 Perhitungan Curah Hujan Maksimum
4.3.1 Analisa Debit Banjir Rencana
4.3.2 Hubungan Curah Hujan Dengan Karakteristik DAS Deli

BAGIAN V PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai