Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum


Tinjauan umum menyangkut keadaan Sub DAS Dengkeng, yang
merupakan bagian dari DAS Bengawan Solo dengan luas DAS kurang lebih
16.100 km2 dan panjang total alur sungai kurang lebih 600 km, berlokasi di
bagian tenggara Jawa Tengah. Sub DAS Dengkeng yang merupakan bagian dari
DAS Bengawan Solo mencakup enam wilayah kabupaten, yaitu : Kabupaten
Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Sleman, Gunung Kidul dan Boyolali (BPDAS Solo)
dengan jumlah total luas sub DAS Dengkeng yaitu 822,153 km2.
Dalam penyusunan Sistem Informasi Geografi (SIG) secara umum adalah
kegiatan perencanaan, persiapan, pengumpulan data, penentuan metode
penyusunan informasi. Pelaksanaan pekerjaan pemetaan ini untuk mengetahui
potensi banjir dan daerah rawan banjir. Dari pemetaan tersebut dapat diketahui
penyebab banjir yang sering terjadi di daerah Sub DAS Dengkeng

2.2 Studi Tentang Daerah Aliran Sungai (DAS)


2.2.1 Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)
Konsep daerah aliran sungai atau sering disingkat dengan DAS merupakan
dasar dari semua perencanaan hidrologi. Mengingat DAS yang besar terdiri dari
Sub DAS-Sub DAS, maka secara umum pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan
air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan. Sub DAS adalah bagian
DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai
utama (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.32/MENHUT-II/2009).

II-1
Menurut Chay Asdak (2010) DAS adalah suatu wilayah daratan yang
secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung
dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut melalui sungai
utama. DAS (watershed atau drainage basin) adalah suatu area di permukaan
bumi yang didalamnya terdapat sistem pengaliran yang terdiri dari satu sungai
utama (main stream) dan beberapa anak cabangnya (tributaries), yang berfungsi
sebagai daerah tangkapan air dan mengalirkan air melalui satu outlet.

2.2.2 Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS)


Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-
komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem
tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen
yang menyusunnya. Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai
dibagi menjadi daerah Hulu, daerah tengah, dan daerah Hilir. Menurut Chay
Asdak (2010) secara biogeofisik, daerah Hulu DAS dicirikan sebagai berikut:
a. Merupakan daerah konservasi.
b. Mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi.
c. Merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%).
d. Bukan merupakan daerah banjir.
e. Pcngaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase.
f. Jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
Sementara daerah Hilir DAS dicirikan sebagai berikut:
a. Merupakan daerah pemanfaatan.
b. Kerapatan drainase lebih kecil.
c. Merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat
kecil (kurang dari 8%).
d. Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).
e. Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.
f. Jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah esturia yang
didominasi hutan bakau atau gambut.

II-2
Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua
karaktristik biogofisik DAS yang berbeda diatas. Keterkaitan biofisik antara
daerah Hulu dan Hilir suatu DAS dapat ditunjukan seperti gambar dibawah ini.

Gambar 2.1 Hubungan biofisik antara daerah Hulu dan Hilir suatu DAS (Asdak,
2010)

2.2.3 Fungsi Suatu Daerah Aliran Sungai (DAS)


Fungsi DAS adalah sebagai penampung air hujan yang jatuh dari langit,
penyimpanan dan pendistribusian air tersebut ke saluran-saluran atau sungai.
Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh
sektor yang ada pada DAS tcrsebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi),
tanah dan manusia. Apabila salah satu dari faktor-faktor tersebut di atas
mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem
DAS tersebut. Sedangkan perubahan ekosistem juga akan menyebabkan gangguan
terhadap bekerjanya fungsi DAS sehingga tidak sebagaimana mestinya..

2.2.4 Siklus Hidrologi DAS


Siklus hidrologi merupakan gerakan perputaran air di permukaan bumi,
yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan
tanah dan kembali lagi ke laut dan tak pernah berhenti. Dalam siklus hidrologi,
energi panas matahari dan faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses
evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut atau badan-badan air
lainnya. Uap air sebagai hasil evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi

II-3
daratan, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan maka sebagian dari uap air
tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan. Sebelum mencapai
permukaan tanah, air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian
besar dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk selama proses
pembasahan tajuk dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah
melalui sela-sela daun atau mengalir kebawah melalui permukaan batang pohon.
Air hujan yang telah mencapai permukaan tanah selanjutnya akan bergerak
secara kontinu dengan tiga cara yag berbeda:
a. Evaporasi-transpirasi yaitu proses terjadinya awan dari penguapan air yang
ada di laut, daratan, sungai, dll.
b. Infiltrasi yaitu proses pergerakan air ke dalam tanah melalui celah-celah dan
pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah
c. Aliran air permukaan, yaitu proses pergerakan air diatas permukaan tanah
menuju ke aliran utama (sungai) atau danau.

2.3 Studi tentang Banjir


Menurut SK SNI M-18-1989-F (1989) dalam Suparta (2004) dalam
Matondang (2013) dijelaskan bahwa banjir adalah aliran yang relatif tinggi, dan
tidak tertampung oleh alur sungai atau saluran. Aliran yang dimaksud disini
adalah aliran air yang sumbernya bisa dari mana aja. Dan air itu keluar dari sungai
atau saluran karena sungai atau salurannya sudah melebihi kapasitasnya. Kondisi
inilah yang disebut banjir. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan banijr,
meliputi:
1. hujan deras, terus menerus dalam beberapa hari,
2. permukaan tanah tidak dapat menyerap air, karena jenuh atau karena
diplester,
3. debit air sungai yang tinggi karena hujan terus menerus,
4. permukaan tanah yang lebih rendah dari daerah sekitarnya, di mana
tidak terdapat saluran-saluran pembuangan air yang berfungsi untuk
memindahkan air ke lokasi lain menyeberangi daerah sekitarnya yang
lebih tinggi,

II-4
5. permukaan tanah yang lebih rendah dari permukaan laut yang sedang
pasang.
Menurut ahli hidrologi banjir-banjir di Indonesia itu dibagi menjadi tiga
jenis, antara lain:
1. Banjir Lokal
Banjir ini merupakan banjir yang terjadi akibat air yang berlebihan
ditempat itu dan meluap juga ditempat itu. Pada saat curah hujan tinggi
dilokasi setempat dimana kondisi tanah dilokasi itu sulit dalam melakukan
penyerapan air (bisa karena padat, bisa juga karena kondisinya lembab,
dan bisa juga karena daerah resapan airnya tinggal sedikit atau juga karena
terjadinya limpasan permukaan) maka kemungkinan terjadinya banjir lokal
akan sangat tinggi sekali.
2. Banjir karena sungainya meluap
Banjir jenis ini biasanya terjadi akibat dari sungai tidak mampu lagi
menampung aliran air yang ada disungai itu akibat debit airnya sudah
melebihi kapasitas.
3. Banjir akibat pasang surut air laut (ROB)
Saat air laut pasang, ketinggian muka air laut akan meningkat,
otomatis aliran air di bagian muara sungai akan lebih lambat dibandingkan
bila saat laut surut. Selain melambat, bila aliran air sungai sudah melebihi
kapasitasnya (ditempat yang datar atau cekungan) maka air itu akan
menyebar ke segala arah dan terjadilah banjir.
Dalam penelitian ini jenis banjir yang akan dianalisa adalah jenis banjir
lokal yang diakibatkan limpasan permukaan sungai yang sering terjadi pada
musim penghujan.

2.4 Studi tentang Limpasan


Salah satu komponen dalam siklus hidrologi adalah limpasan hujan.
Komponen limpasan hujan dapat berupa runoff (aliran permukaan) ataupun aliran
yang lebih besar seperti aliran air di sungai.

II-5
Limpasan akibat hujan ini dapat terjadi dengan cepat dan dapat pula
setelah beberapa jam setelah terjadinya hujan. Lama waktu kejadian hujan puncak
dan aliran puncak sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah tempat jatuhnya hujan.
Makin besar perbedaan waktu kejadian hujan puncak dan debit puncak, makin
baik kondisi wilayah tersebut dalam menyimpan air di dalam tanah.
Untuk mengetahui daerah yang terkena dampak dari limpasan yang cukup
luas diperlukan sistem digital dengan bantuan komputer. GIS (Geographical
Information System) dapat membantu teknik digital tersebut. Ukuran luas daerah
juga menentukan peta dasar yang digunakan, apakah cukup merujuk kepada peta
topografi, perlu foto udara atau bahkan citra satelit. Dari hasil tersebut dapat
dianalisa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya limpasan tersebut.

2.4.1 Pengertian Limpasan


Limpasan adalah apabila intensitas yang jatuh di suatu DAS melebihi
kapasitas infiltrasi, setelah laju infiltrasi terpenuhi air akan mengisi cekungan-
cekungan pada permukaan tanah. Atau limpasan permukaan terjadi ketika laju
hujan lebih besar dari pada laju infiltrasi dan persamaan limpasan permukaan
selalu dikembangkan berdasarkan pada kondisi tersebut (Asdak, 2010).
Setelah cekungan-cekungan tersebut penuh, selanjutnya air akan mengalir
(melimpas) diatas permukaan tanah. Faktor yang menyebabkan limpasan dan
genangan air hujan dipengaruhi lima hal yaitu intensitas curah hujan, jenis tutupan
lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, dan kerapatan aliran.
Beberapa variable yang ditinjau dalam analisis banjir adalah volume
banjir, debit puncak, tinggi genangan, lama genangan dan kecepatan aliran.
Komponen-komponen limpasan terdiri dari :
1. Aliran Permukaan
Aliran Permukaan (surface flow) adalah bagian dari air hujan yang
mengalir dalam bentuk lapisan tipis di atas permukaan tanah. Aliran
permukaan disebut juga aliran langsung (direct runoff).Aliran permukaan
dapat terkonsentrasi menuju sungai dalam waktu singkat, sehingga aliran
permukaan merupakan penyebab utama terjadinya banjir.

II-6
2. Aliran Antara
Aliran antara (interflow) adalah aliran dalam arah lateral yang
terjadi di bawah permukaan tanah.Aliran antara terdiri dari gerakan air dan
lengas tanah secara lateral menuju elevasi yang lebih rendah.
3. Aliran air tanah
Aliran air tanah adalah aliran yang terjadi di bawah permukaan air
tanah ke elevasi yang lebih rendah yang akhirnya menuju sungai atau
langsung ke laut.

2.4.2 Proses Terjadinya Limpasan


Proses ini diawali dengan air hujan yang turun ke permukaan tanah,
sebagian atau seluruh air hujan tersebut masuk ke dalam tanah melalui pori-pori
permukaan tanah dan sebaian lainnya tidak sampai ke permukaan tanah karena
adanya evapotranspirasi. Setelah beberapa saat permukaan tanah menjadi jenuh
karena telah menampung air sesuai dengan kapasitas infiltrasinya.
Karena curah hujan yang lebih tinggi dari jumlah total infiltrasi dan
evapotranspirasi air kemudian naik kembali ke permukaan. Air tersebut mencari
cekungan-cekungan permukaan tanah untuk diisi dan sebagian lagi, mengalir di
atas permukaan tanah. Aliran tersebutlah yang dnamakan aliran permukaan atau
limpasan. Dengan jumlah curah hujan yang tinggi, lama waktu hujan yang lama
dan penyebaran hujan pada tempat atau permukaan tanah yang sudah jenuh dapat
menyebabkan terjadinya banjir lokal atau limpasan.

2.4.3 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Limpasan


Menurut Asdak (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan adalah:
1. Intensitas Hujan.
Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui
dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang
intensif. Sehingga total volume limpasan akan lebih besar pada hujan
intensif dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif meskipun
curah hujan total untuk kedua curah hujan tersebut sama besarnya.

II-7
2. Lama Waktu Hujan
Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Oleh
karena itu, hujan dengan waktu yang singkat tidak banyak menghasilkan
limpasan. Pada hujan dengan intensitas yang sama dan dengan waktu
yang lebih lama akan menghasilkan limpasan yang lebih besar.
3. Distribusi Curah Hujan
Laju limpasan dan volume terbesar terjadi ketika seluruh DAS tersebut
ikut berperan, dengan kata lain hujan turun merata di seluruh wilayah
DAS yang bersangkutan.
4. Luas DAS
Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah
curah hujan yang diterima. Akan tetapi, beda waktu antara puncak curah
hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lemah. Demikian pula waktu
yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama untuk
keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang.
5. Kemiringan Lereng DAS
Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, maka akan semakin cepat
laju limpasan dan dengan demikian mempercepat respon DAS tersebut
oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng,
keadaan parit dan bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan
mempengaruhi laju volume limpasan.
6. Bentuk DAS
Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju
limpasan daripada DAS berbentuk melebar walaupun luas
keseluruhannya sama. Hal ini terjadi karena limpasan pada bentuk DAS
memanjang tidak terkonsentrasi secepat pada DAS dengan bentuk
melebar, dan curah hujan pada DAS memanjang tampaknya kurang
merata.
7. Kerapatan Daerah Aliran (Drainase)
Kerapatan aliran adalah jumlah dari semua aliran/sungai (km) dibagi
dengan luas DAS (km²). Semakin tinggi kerapatan daerah aliran maka

II-8
semakin besar kecepatan untuk curah hujan yang sama. Oleh karenanya,
dengan kecepatan daerah aliran tinggi, debit puncak akan tercapai dalam
waktu yang lebih cepat.
8. Vegetasi dan cara bercocok tanam.
Vegetasi dapat memperlambat jalannya limpasan dan memperbesar
jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah, dengan demikian
dapat menurunkan laju limpasan.

2.4.4 Koefisien Limpasan dan Prakiraan Limpasan


Koefisien air larian (C) merupakan bilangan yang menunjukan
perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan
(Asdak,2010). Secara umum, koefisien air larian dapat dijabarkan sebagai berikut:

Koefisien air larian (C) = air larian (mm) / curah hujan ...................( 2.1)

Nilai koefisien C berkisar antara 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa


semua air hujan terdistribusi masuk kedalam tanah, sedangkan nilai koefisien air
larian 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai air larian. Sebagai
contoh, misal nilai C=0,20 artinya 20% dari total curah hujan akan menjadi air
larian. Hal ini berarti semakin besarnya nilai koefisien air larian dan tidak terserap
kedalam tanah.
Nilai koefisien air larian juga menentukan bagian curah hujan yang akan
mengalir sebagai air larian. Besar kecilnya nilai C tergantung pada permeabilitas
dan kemampuan tanah dalam menampung air. Nilai C kecil menunjukan bahwa
sebagian besar air ditampung untuk waktu tertentu, sementara daerah dengan nilai
C besar menunjukkan bahwa hampir semua air hujan akan menjadi air larian.
Untuk menentukan besarnya nilai C maka perlu adanya pemberian harkat,
bobot, dan skor atau nilai total dari hasil kali harkat dan bobot pada setiap
parameter. Dimana pemberian harkat pada setiap parameter adalah sama dari 1-5,
sedangkan pemberian bobot tergantung pada pengaruh dari setiap parameter yang
memiliki faktor paling besar dalam kerawanan banjir. Pengklasifikasian parameter

II-9
kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, kerapatan aliran dan penggunaan
lahan dikutip dari PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : P. 32/MENHUT-II/2009 TENTANG TATA CARA
PENYUSUNAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN
LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTkRHL-DAS) dalam Penilaian
Kekritisan Daerah Resapan (Opsional) tentang Teknik Penentuan Klasifikasi
Tingkat Infiltrasi.
Tabel 2.1 Faktor pembobot setiap parameter kerawanan banjir.
No. Parameter Bobot

1 Kemiringan lereng 5
2 Jenis Tanah 3
3 Aliran permukaan 3
4 Curah hujan 2
5 Penggunaan lahan 2
Sumber : Zuidam, 1979; CSR/FAO dan Staff, 1983 dalam Matondang, 2013

a) Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng adalah faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
tingkat kerawanan banjir. Semakin landai kemiringan lerengnya maka aliran
limpasan permukaan akan semakin lambat yang bisa menyebabkan kerawanan
banjir. Sebaliknya semakin curam/terjal kemiringan lerengnya maka aliran
limpasan permukaan akan semakin cepat, sehingga air yang jatuh ke tanah akan
mengalir dengan cepat. Berikut adalah klasifikasi tingkatan kemiringan lereng.
Tabel 2.2 Klasifikasi dan skor kemiringan lereng untuk limpasan
Lereng Tranform Nilai Faktor
No Deskripsi Bobot Skor
(%) Infiltrasi (fc) Harkat
1 <8 Datar >0,80 5 25
2 8-15 Landai 0,70-0,80 4 20
3 15-25 Bergelombang 0,50-0,70 3 5 15
4 25-40 Curam 0,20-0,50 2 10
5 >40 Sangat curam <0,20 1 5
Sumber : Chow, 1968 dalam Matondang, 2013

II-10
b) Jenis Tanah
Jenis Tanah sangat berpengaruh pada proses infiltrasi atau daya resap
tanah bila dibandingkan dengan kapasitas air hujan yang turun langsung ke tanah
tidak melebihi atau lebih kecil dari kapasitas infiltasi, maka laju dari infiltrasi bisa
dikatakan sama dengan intensitas hujan. Pengkelasan dari infiltrasi berdasarkan
tekstur tanah yang mempengaruhi laju dari infiltrasi.
Tabel 2.3 Klasifikasi dan skor jenis tanah untuk limpasan
Permeabilitas Tranform Nilai Faktor
No Deskripsi Jenis tanah Bobot Skor
(cm/Jam) Infiltrasi (fc) Harkat
1 Lambat Aluvial <0,5 <0,04 5 15
2 Agak
Latosol 0,5-2,0 0,04-0,10 4 12
Lambat
3 Sedang Regosol 2,0-6,3 0,10-0,20 3 9
3
4 Agak Andosol
6,3-12,7 0,20-0,45 2 6
Cepat Coklat
5 Andosol
Cepat >12,7 >0,45 1 3
Hitam
Sumber : USDA, 1951; Hamer, 1978 dalam Matondang, 2013

c) Kerapatan Aliran
Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air
yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu
kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Peran drainase permukaan ini sangat optimal dalam pengaliran air
limpasan. Semakin tinggi kerapatan drainase permukaan maka semakin kecil
terjadi resiko terjadinya banjir, karena dengan aliran yang banyak maka dengan
cepat air akan dialirkan ke tempat yang lebih rendah. Dengan mengetahui luas
dari setiap satuan pemetaan aliran permukaan, maka dapat diketahui kerapatan
aliran permukaan (Matondang, 2013).

Jumlah aliran panjang tiap satuan pemetaan ....


Kerapatan aliran =
Luas satuan pemetaan ............(2.2)

II-11
Tabel 2.4 Klasifikasi tingkat dari aliran permukaan berdasarkan
kerapatan aliran.
Kerapatan Aliran
No. Harkat Bobot Skor
(Km/Km2)
1 <0,62 5 15
2 0,62-1,44 4 12
3 1,45-2,27 3 3 9
4 2,28-3,10 2 6
5 >3,10 1 3
Sumber : Linsey ( 1959), Meijerink (1970), dan Ortiz (1977) dalam
Matondang, 2013

d) Curah Hujan
Curah hujan bisa menjadi faktor utama dalam terjadinya banjir, walaupun
tidak semua banjir disebabkan oleh air hujan. Secara potensial, infiltrasi akan
lebih besar untuk hujan dengan periode waktu terjadinya lebih panjang.
Informasi curah hujan sebagai berikut : jumlah curah hujan bulanan rata-
rata, banyaknya hari hujan rata-rata dalam satu bulan, dan curah hujan harian rata-
rata untuk bulan tertentu diperlukan untuk menghitung erosivitas hujan bulanan
rata-rata ataupun erosivitas hujan tahunan (dengan metode Bols atapun Lenvain).
Diperlukan juga data jangka panjang, sekurang-kurangnya selama 10 tahun dan
akan lebih baik jika lebih dari 20 tahun.
Hasil perhitungan nilai Hujan Infiltrasi tersebut dalam kaitannya dengan
potensial infiltrasinya dapat dilkasifikasikan sebagai-berikut :
Tabel 2.5 Klasifikasi tingkat curah hujan.
No Deskripsi Nilai ”hujan infiltrasi” RD Harkat Bobot Skor
1 Sangat besar > 5500 5 10
2 Besar 4500 – 5500 4 8
3 Agak besar 3000 – 4500 3 2 6
4 Sedang 1500 – 3000 2 4
5 Rendah < 1500 1 2
Sumber : Chow, 1968, Wiersum & Supriyo Ambar, 1980 dalam Matondang, 2013

e) Penggunaaan Lahan
Penggunaaan lahan merupakan parameter faktor penyebab kerawanan
banjir yang memiliki hubungan erat dengan air limpasan. Masing-masing
penggunaan lahan tentunya memiliki koefisien limpasan permukaan (C). Dimana

II-12
air hujan yang jatuh langsung dialirkan menjadi limpasan permukaan yang
menyebabkan rawan banjir sangat dipengaruhi oleh nilai koefisien limpasan
permukaan. Berikut adalah tabel pengkelasan penggunaan lahan.
Tabel 2.6 Klasifikasi dan skor penggunaan lahan untuk limpasan
Klasifikasi
Tipe Penggunaan Lahan Harkat Bobot Skor
No Deskripsi
Pemukiman, Sawah,
1 Kecil 5 10
Rawa
2 Agak kecil Tegalan, Ladang 4 8
2
3 Sedang Semak, padang rumput 3 6
4 Agak besar Hutan, perkebunan 2 4
5 Besar Pasir 1 2
Sumber : Chow, 1968; Suwardjo, 1975; Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar,
1986 dalam Larasati, 2012
Proses selanjutnya setelah adanya skoring dan pembobotan adalah proses
overlay merupakan proses tumpang susun, yaitu menggabungkan dua atau lebih
data grafis untuk memperoleh data grafis baru yang memiliki satuan pemetaan
(unit pemetaan). Hasil dari overlay akan diperoleh satuan pemetaan baru (peta
baru).
Untuk pembuatan Peta Kerawanan Banjir metode aritmatika yang
digunakan pada proses overlay dari parameter-parameter kerawanan banjir berupa
metode pengkalian antara harkat dengan bobot pada masing-masing parameter
kerawanan banjir. Formula yang digunakan dalam proses overlay dengan
menggunakan metode aritmatika adalah sebagai berikut (Matondang, 2013):
KB = ( 5 x KL ) + ( 3 x JT ) + ( 3 x JD ) + ( 2 x CH ) + ( 2 x PL ) ...................(2.3)
Keterangan :
KB : Kerawanan Banjir
KL : Kemiringan Lereng
JT : Jenis Tanah
JD : Jaringan Drainase
CH : Curah Hujan
PL : Penggunaan Lahan
Selanjutnya adalah pembuatan interval kelas tingkat kerawanan banjir
dengan menggunakan range kelas kerawanan banjir, dimana nilai interval

II-13
dilakukan dengan pendekatan relatif dengan cara melihat nilai maksimum dan
nilai minimum satuan pemetaan. Dan jumlah kelas tingkat kerawanan ada 5 (lima)
dimulai dari sangat rawan, rawan, cukup rawan, agak rawan, tidak rawan. Berikut
adalah formula dari penentuan interval kelas, yakni (Matondang, 2013):
IK = Nmak – Nmin ......................................................................................(2.4)
JK
Keterangan :
IK : Interval Kelas
Nmaks : Nilai Maksimum
Nmin : Nilai Minimum
JK : Jumlah Kelas
Untuk memprakirakan besarnya limpasan dapat menggunakan metoda
rasional (U.S. Soil Conservation Service, 1973) yang dianggap memadai.
Persamaan matematik metode rasional untuk memprakirakan besarnya limpasan
(Asdak, 2010) adalah sebagai berikut:
Q = 0.0028 C i A .................................................................................(2.5)
Keterangan:
Q = air larian atau limpasan (debit) puncak (m³/dtk)
C = koefisien air larian/limpasan
i = intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas wilayah DAS (ha)

2.5 Penginderaan Jauh


2.5.1 Definisi Penginderaan Jauh
Teknologi penginderaan jauh satelit merupakan penginderaan jauh non-
fotografik, yang merupakan pengembangan dari penginderaan jauh fotografik atau
fotogrametri. Konsep dasar penginderaan jauh terdiri atas beberapa elemen atau
komponen, meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek di
permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data.

Inderaja berkembang pesat setelah diluncurkannya ERTS (Earth


Resources Technology Satelite) pada tahun 1972. Awal tahun 1960 sudah mulai

II-14
pengembangan inderaja walaupun terbatas pada penelitian dan analisis foto udara
multispectral scanner dan digitalisasi foto udara.

Gambar 2.2 Sistem Penginderaan Jauh (http://geosel.site90.com/)

2.5.2 Data Landsat


Citra Landsat yang sampai saat ini sudah sampai generasi ke-7 merekam
citra menggunakan berbagai panjang gelombang elektromagnetik yang
diwujudkan pada setiap saluran perekaman datanya. Identifikasi citra Landsat
didasarkan pada karakteristik sifat perekamannya. Jenis citra yang direkam
Landsat hingga saat ini adalah Landsat MSS dan Landsat TM / ETM +, yang pada
setiap saluran/ kanal (band) mempunyai karakteristik dan kemampuan aplikasi
atau penggunaan yang berbeda. Berikut karakteristik spektral dan kecocokan
aplikasi setiap saluran pada citra Landsat (MSS dan TM/ETM) (Purwadhi, 2001).

Tabel 2.7 Karakteristik dan kemampuan aplikasi setiap saluran (band) Landsat
(Sumber : Landsat Handbook, 1986 dan Program Landsat 7, 1998)
Landsat MSS Landsat 5TM dan Landsat 7 ETM+
Saluran / Saluran / band Aplikasi /
Aplikasi / Penggunaan
band (µm) (µm) Penggunaan

 Tanggap tubuh air dan Saluran  Tanggap


Saluran 4 penetrasi tubuh air (TM=ETM+) peningkatan
 Mendeteksi muatan penetrasi air
(0,50-0,60) (0,45-0,52)
sedimen  Mendukung
 Puncak pantulan analisis sifat khas

II-15
vegetasi membedakan lahan, tanah,
subur/ tidak, identifikasi vegetasi
tanaman
 Mengindera
 Kontras kenampakan puncak pantulan
vegetasi dan bukan vegetasi
vegetasi Saluran 2  Menekankan
 Membantu identifikasi perbedaan
(0,52-0,60)
Saluran 5 penutup lahan, vegetasi dan nilai
kenampakan alam dan (LS 5 TM) kesuburan
(0,60-0,70) budaya  Memisahkan
(0,53-0,61)
 Tanggap terhadap vegetasi
biomasa vegetasi (LS 7 ETM+)  Serapan klorofil
 Kontras tanaman, tanah, dan memperkuat
air kontras vegetasi/
bukan vegetasi
 Tanggap perbedaan  Tanggap biomasa
antara tanah, air, Saluran 4 TM vegetasi
Saluran 7 vegetasi (0,76-0,90)  Identifikasi dan
 Membantu menentukan kontras tanaman,
(0,80-1,10) kondisi kelembaban TM = ETM+
tanah, air
tanah (0,78-0,90)
 Kandungan air tanaman
 Menentukan
jenis vegetasi
Saluran 5 dan kandungan
TM = ETM+ airnya
(1,55-1,75)  Menentukan
kelembaban
tanah
 Deteksi suhu
obyek
Saluran 6  Analisis
gangguan
TM = ETM+
vegetasi
(10,4-12,5)  Perbedaan
kelembaban
tanah
Saluran 7 TM  Pemisahan
formasi batuan
(2,08-2,35)
 Analisis bentuk
ETM+ lahan

II-16
(2,09-2,35)
 Pemetaan
Saluran 8 planimetrik
ETM+  Identifikasi
pemukiman
(0,50-0,90)
 Kontras bentang
LS5 TM tidak alam dan budaya
ada saluran  Identifikasi
pankromatik kenampakan
geologi

2.5.3 Pengenalan Mengenai Software ENVI


ENVI 4.4 merupakan salah satu software (perangkat lunak) yang
digunakan dalam aplikasi penginderaan jauh untuk mengolah data citra. Beberapa
perangkat lunak serupa yang juga memiliki fungsi yang sama antara lain ERDAS
Imagine, Er Mapper, PCI, dan lain-lain. Masing-masing software memilki
keunggulan dan kekekurangannya masing-masing.

Gambar 2.3 Tampilan Software ENVI 4.4

2.5.4 Koreksi Geometrik


Geometrik memuat informasi data yang mengacu bumi (geo-referenced
data), baik posisi (sistem koordinat lintang dan bujur) maupun informasi yang

II-17
terkandung di dalamnya. Kesalahan geometrik citra dapat terjadi karena posisi dan
orbit maupun sikap sensor pada saat satelit mengindera bumi, kelengkungan dan
putaran bumi, serta adanya relief atau ketinggian yang berbeda dari permukaan
bumi yang diindera (Purwadhi, 2001).
Tujuan koreksi geometrik antara lain melakukan rektifikasi (pembetulan)
atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat
geografi, registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau
mentransformasikan sistem koordinat multispektral atau multitemporal, serta
registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta yang
menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu.
Rektifikasi yang merupakan suatu proses melakukan transformasi data dari
satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi
piksel pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka
piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di resampling
kembali. Resampling adalah suatu proses melakukan ekstrapolasi nilai data untuk
piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya.

2.5.5 Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)


Klasifikasi citra merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau
pengelompokkan semua piksel (yang terdapat di dalam band citra yang
bersangkutan) ke dalam beberapa kelas (kelompok) berdasarkan suatu kriteria
atau katagori objek. Tujuan proses ini adalah untuk melakukan kategorisasi secara
otomatik dari semua piksel citra ke dalam kelas penutup lahan atau suatu tema
tertentu. Metode klasifikasi yang digunakan yaitu Supervised Classification
(klasifikasi terbimbing).
Supervised Classification merupakan metode yang di mulai dengan
pengenalan pola spectral, prosedur training area, penyusunan kunci interpretasi,
dan klasifikasi hingga pengeluarannya. Pada proses klasifikasi terawasi ini
digunakan data penginderaan jauh multispektral yang berbasis numerik, maka
pengeluaran polanya merupakan proses otomatis dengan bantuan komputer.
Klasifikasi tersebut akan menghasilkan Peta Tematik dalam bentuk raster. Setiap

II-18
piksel yang terdapat di dalam setiap kelas hasil klasifikasi diasumsikan memiliki
karakteristik yang homogen.
Kegiatan klasifikasi terawasi ini dilakukan dengan membuat training area
terhadap objek-objek yang memiliki kenampakan yang sama dan dimasukkan
kedalam kelasnya masing-masing. Pembagian kelas ditentukan sesuai dengan
kebutuhan. Training area merupakan contoh informasi kelas-kelas yang akan
dklasifikasikan, seperti hutan, lahan kosong, sawah, permukiman, dan lain
sebagainya.

2.5.6 Uji Ketelitian Klasifikasi


Penelitian menggunakan data dan metode tertentu perlu dilakukan uji
ketelitian, karena hasil uji ketelitian sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan
pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Salah satu cara
uji ketelitian yaitu menggunakan metode confusion matrik. Confussion matrix
merupakan perhitungan setiap kesalahan pada setiap bentuk penutup/penggunaan
lahan dari hasil proses klasifikasi citra.
Tingkat akurasi pemetaan ditentukan dengan menggunakan Uji ketelitian
klasifikasi mengacu pada Short (1982) dalam Purwadi (2001) dengan formula:

MA = (Xcr pixel)/(Xcr pixel + Xo pixel + Xco pixel) x 100% ........................(2.6)


Dimana :
MA = ketelitian pemetaan (mapping accuracy)
Xcr = jumlah kelas X yang terkoreksi
Xo = jumlah kelas X yang masuk ke elas lain (omisi)
Xco = jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi)

2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG)


Pengertian Geographic Information System atau Sistem Informasi Geografis
(SIG) sangatlah beragam, karena memang defenisi SIG selalu berkembang,
bertambah dan sangat bervariasi, dibawah ini adalah beberapa definisi SIG,
diantaranya :

II-19
1. Darmawan, A. 2006 menyatakan Sistem Informasi Geografi (SIG) atau
Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau
berkoordinat.
2. Imantho. 2004 (dalam Prahasta , Eddy. 2005.) menyatakan Sistem Informasi
Geografis (GIS) merupakan suatu bidang kajian ilmu yang relatif baru yang
dapat digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu sehingga berkembang
dengan sangat cepat. Secara umum, satu fungsi dari GIS yang sangat penting
adalah kemampuan untuk menganalisis data, terutama data spasial yang
kemudian menyajikannya dalam bentuk suatu informasi spasial berikut data
atributnya (Imantho. 2004).
3. Kang-Tsung Chang. 2002 (dalam Prahasta , Eddy. 2005.), mendefinisikan SIG
sebagai : is an a computer system for capturing, storing, querying, analyzing,
and displaying geographic data.
4. Arronoff. 1989 (dalam Prahasta , Eddy. 2005.), mendefinisiskan SIG sebagai
suatu sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani
data bereferensi geografi yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan
dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis data, serta keluaran sebagai
hasil akhir (output). Hasil akhir (output) dapat dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi.
Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) memiliki empat komponen utama,
kombinasi yang benar antara keempat komponen utama ini akan menentukan
kesuksesan suatu proyek pengembangan.
Komponen utama Sistem Informasi Geografi, yaitu: (Darmawan, A. 2006)
a. Perangkat keras (digitizer, scanner, Central Procesing Unit (CPU), hard-disk,
dan lain-lain),
b. Perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, arc view dan
lainnya),
c. Organisasi (management), dan Pemakai (user)

II-20
Gambar 2.4 Komponen Utama SIG

Data-data yang diolah dalam SIG, yaitu (Darmawan, A. 2006) :


1. Data spasial, merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan
yang umumnya berbentuk peta.
2. Data atribut dalam bentuk digital, merupakan data tabel yang berfungsi
menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial.
Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data
vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat
(grid) sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data
yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan
menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon).
Menurut Darmawan (2006) Sistem informasi geografi menyajikan informasi
keruangan dan atributnya yang terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu:
1. Masukan data
Merupakan proses pemasukan data pada komputer dari peta (peta
topografi dan peta tematik), data statistik, data hasil analisis penginderaan
jauh data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh, dan lain-lain.
Data-data spasial dan atribut baik dalam bentuk analog maupun data digital
tersebut dikonversikan kedalam format yang diminta oleh perangkat lunak
sehingga terbentuk basis data (database).
2. Penyimpanan data dan pemanggilan kembali (data storage dan retrieval)
Merupakan proses penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan
kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan
atau cetak pada kertas).

II-21
3. Manipulasi data dan analisis
Merupakan kegiatan yang dapat dilakukan berbagai macam perintah misalnya
overlay antara dua tema peta, membuat buffer zone jarak tertentu dari suatu
area atau titik dan sebagainya. Manipulasi dan analisis data merupakan ciri
utama dari SIG. Kemampuan SIG dalam melakukan analisis gabungan dari
data spasial dan data atribut akan menghasilkan informasi yang berguna
untuk berbagai aplikasi.
4. Pelaporan data
Merupakan proses menyajikan data dasar, data hasil pengolahan data dari
model menjadi bentuk peta atau data tabular. Bentuk produk suatu SIG dapat
bervariasi baik dalam hal kualitas, keakuratan dan kemudahan pemakainya.
Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk peta-peta, tabel angka-angka: teks di atas
kertas atau media lain (hard copy), atau dalam cetak lunak (softcopy).

2.7 Pengenalan Mengenai Software ArcGIS


Perangkat lunak ArcGIS merupakan perangkat lunak SIG yang baru dari
ESRI, yang memungkinkan kita memanfaatkan data dari berbagai format data.
Dengan ArcGIS kita memanfaatkan fungsi desktop maupun jaringan. Dengan
ArcGIS kita bisa memakai fungsi pada level ArcView, ArcEditor, Arc/Info dengan
fasilitas ArcMap, Arc Catalog dan Toolbox. Materi yang disajikan adalah konsep
SIG, pengetahuan peta, pengenalan dan pengoperasian ArcGIS, input data dan
manajemen data spasial, pengoperasian Arc Catalog, komposisi atau tata letak
peta dengan ArcMap.
ArcGIS menyediakan sebuah kerangka kerja bertingkat bagi satu atau lebih
pengguna pada dekstop, server, Web, dan untuk di lapangan. ArcGIS merupakan
integrasi dari produk-produk software GIS untuk membangun sebuah Sistem
Informasi Geografi yang lengkap, terdiri dari 4 lingkungan kerja utama untuk
pengembangan GIS (Satar, M.2007 dalam Hastono, 2012) :
a. ArcGIS Desktop adalah sebuah rangkaian yang terintegrasi dari aplikasi GIS
professional. Kebanyakan pengguna mengenalnya dalam tiga produk:
ArcView, ArcEditor, and ArcInfo.

II-22
b. Server GIS, ArcIMS, ArcGIS Server, dan ArcGIS Image Server.
c. Mobile GIS, ArcPad dan ArcGIS Mobile untuk di survei lapangan.
d. ESRI Developer Network (EDN), Untuk pengembangan komponen software,
GIS desktops, GIS applications, GIS services dan aplikasi web, serta
pembuatan mobile solutions. Semuanya berbasis ArcObjects (a common,
modular library of re-useable GIS software components).

Tiga bagian dari ArcGIS 9.3:


1. ArcCatalog
merupakan alat atau fasilitas
untuk melihat/mencari,
mengorganisasi,mengatur,
mendistribusikan, dan
mendokumentasikan
kumpulan data SIG.

2. ArcMap
merupakan alat atau fasilitas
untuk membuat, melihat,
query, mengedit, menyusun,
dan mempublikasikan
data/peta.

3. ArcToolbox
merupakan aplikasi sederhana
yang berisikan fasilitas-
fasilitas untuk melakukan
geoprocessing.
Gambar 2.5 Komponen ArcGIS

2.8 Kondisi Wilayah Penelitian


2.8.1 Letak dan Luas
DAS Bengawan Solo merupakan DAS terluas di wilayah sungai
Bengawan Solo yang meliputi Sub DAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali
Madiun, Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Sub DAS Dengkeng merupakan bagian
dari DAS Bengawan Solo Hulu dengan luas DAS kurang lebih 16.100 km2 dan
panjang total alur sungai kurang lebih 600 km, berlokasi di bagian tenggara Jawa
Tengah. Sub DAS Dengkeng mencakup enam wilayah kabupaten, yaitu :
Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Sleman, Gunung Kidul dan Boyolali
(BPDAS Solo) dengan jumlah total luas sub DAS Dengkeng yaitu ± 822,153 km2.

II-23
Tabel 2.8 Daftar Kabupaten dan Luas
LUAS
No. KABUPATEN
(km²)
1. WONOGIRI 3,569
2. SUKOHARJO 144,205
3. SLEMAN 7,548
GUNUNG
4. 552,201
KIDUL
5. KLATEN 70,651
6. BOYOLALI 43,979
JUMLAH 822,153

2.8.2 Keadaan Tanah


Sub DAS Dengkeng mempunyai jenis tanah, bentuk topografi dan tingkat
kelerengan yang bervariasi. Berdasarkan jenis tanah wilayah Sub DAS Dengkeng
memiliki 5 jenis tanah yaitu:
1. Regosol Kekelabuan dan Coklat Kekelabuan
Tanah Regosol Kekelabuan dan Coklat Kekelabuan merupakan hasil erupsi
gunung berapi, bersifat subur, tekstur tanah ini biasanya kasar, berbutir kasar,
peka terhadap erosi, berwarna keabuan, cenderung gembur, umumnya tekstur
makin halus makin produktif, kemampuan menyerap air tinggi, dan mudah
tererosi.
2. Litosol
Tanah Litosol terbentuk dari batuan beku dari proses letusan gunung berapi
dan sedimen keras yang proses pelapukan yang belum sempurna. Tanah ini
merupakan jenis tanah berbatu-batu dengan lapisan tanah yang tidak begitu
tebal. Unsur hara yang terkandung dalam jenis tanah ini tidak begitu banyak,
tidak cocok untuk digunakan sebagai media pertanian.
3. Mediteran.
Tanah jenis ini terbentuk dari pengendapan batuan induk kapur yang
mengalami laterisasi lemah, berstruktur gumpal sampai gumpal bersudut,
teksturnya bervariasi antara lempung sampai liat dan berwarna coklat sampai
merah.

II-24
4. Grumosol Kelabu
Tanah Grumosol Kelabu adalah tanah yang terbentuk dari material halus
berlempung. Jenis tanah ini berwarna kelabu hitam dan bersifat subur.
5. Regosol Kelabu Tua
Tanah berbutir kasar dan berasal dari material gunung api. Tanah jenis ini
mempunyai tingkat kesuburan yang cukup baik.

2.8.3 Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan di Sub DAS Dengkeng terdiri dari hutan,
perkebunan atau kebun, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan/ladang,
pemukiman atau bangunan dan lain-lain. Tingginya erosi dan run off air hujan
yang terjadi di Sub DAS Dengkeng sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan
dan kondisi topografi di daerah tersebut. Di wilayah Sub DAS Dengkeng
banyak terdapat pemukiman dalam kondisi wilayah tegalan dan juga
pekarangan di areal pemukiman. Selain itu, banyak juga terdapat tegalan di
wilayah perbukitan dengan kondisi pengolahan tanah yang kurang baik.
Rata-rata areal tegalan di wilayah Sub DAS Dengkeng sudah dibangun teras
bangku, namun masih dalam kondisi pemeliharaan yang kurang. Hal ini
mendorong terjadinya erosi dan run off air hujan yang semakin besar.

2.8.4 Keadaan Iklim dan Curah Hujan


Iklim berperan penting dalam ekosistem lahan pertanian. Komponen-
komponen iklim yang berperan penting tersebut antara lain adalah curah
hujan sebagai penyedia utama kebutuhan air tanaman dan temperatur yang
berpengaruh terhadap ketersediaan air dan pertumbuhan tanaman. Keadaan iklim
Sub DAS Dengkeng memiliki iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih
berganti sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28º - 30º Celsius dengan
kecepatan angin rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan
tertinggi bulan Januari (350mm) dan curah hujan terendah pada bulan Juli (8mm).
Data jumlah curah hujan (CH) rata-rata untuk suatu daerah tangkapan air
(catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) merupakan informasi yang

II-25
sangat diperlukan. Dalam bidang pertanian data CH sangat berguna, misalnya
untuk pengaturan air irigasi, mengetahui neraca air lahan, mengetahui besarnya
aliran permukaan (run off).
Untuk dapat mewakili besarnya CH di suatu wilayah/daerah diperlukan
penakar CH dalam jumlah yang cukup. Semakin banyak penakar dipasang di
lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata-rata CH yang menunjukkan
besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui variasi
CH di suatu titik pengamatan.
Menurut Asdak (2010) Ketelitian hasil pengukuran CH tegantung pada
variabilitas spasial CH, maksudnya diperlukan semakin banyak lagi penakar CH
bila kita mengukur CH di suatu daerah yang variasi curah hujannya besar.
Ketelitian akan semakin meningkat dengan semakin banyak penakar yang
dipasang, tetapi memerlukan biaya mahal dan juga memerlukan banyak waktu dan
tenaga dalam pencatatannya di lapangan.
Adapun langkah-langkah dalam analisis hidrologi adalah sebagai berikut:
 Menghitung curah hujan rata-rata tiap sub DAS dalam Asdak (2010):
Rrt = ( R1 + R2 + R3 + ..... + Rn) / n ..........................(2.7)
Keterangan:
Rrt : Curah hujan daerah (mm)
R1 .. Rn : Curah hujan harian maksimum di stasiun 1 s/d stasiun n
n : Banyaknya stasiun dalam sub DAS
 Kemudian menghitung curah hujan rencana dengan distribusi Gumbel,
dalam Asdak, 2010:
XTr = X + Sx ( 0,78 y - 0,45 ) ...........................................(2.8)
Sx = √ {( ∑ Xi - X ) / ( n – 1 )} ........................................(2.9)
Y = - Ln { - Ln (( T – 1 ) / T ))} ..........................................(2.10)
dimana:
XTr : Curah hujan dengan kala ulang Tr thn
X : Curah hujan rata-rata
Sx : Simpangan baku
Y : Perubahan reduksi

II-26
n : Jumlah data
Xi : Data curah hujan
T : Kala ulang dalam tahun
Dari pengolahan ini, akan diperoleh curah hujan dengan kala ulang (periode
berkala) selama Tr tahun (2, 5, dan 10 tahun). Untuk Menghitung intensitas hujan
maksimum Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan per satuan
waktu. Untuk mendapatkan intensitas hujan selama waktu konsentrasi, digunakan
rumus Mononobe (Kyotoka Mori, 1975) dalam Hardaningrum (2005) :
I = { ( R24 / 24 ) x ( 24 / Tc ) } ...........................................(2.11)
Adapun waktu konsentrasi (Tc) dihitung dengan menggunakan rumus Kirpich
(VT Chow, 1988) dalam Hardaningrum, 2005 :
Tc = 0,945 x ( L1,156 / D 0,385) ....................................(2.12)
dimana:
I : Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
R24 : Curah hujan maksimum harian dalam 24 jam (mm)
Tc : Waktu konsentrasi
L : Panjang sungai / alur utama (km)
D : Beda tinggi sungai utama

2.9 Penelitian Terdahulu


Dani Aufa Aditya (2011) melakukan penelitian “Analisis Pengaruh
Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Bringin Terhadap Tingkat Kerawanan
Banjir Di Kota Semarang” yang menggunakan parameter kelerengan, curah hujan,
dan penggunaan lahan tahun 2003-2010. Dimana penelitian tersebut bertujuan
untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan lahan di das bringin terhadap
tingkat kerawanan banjir di kota Semarang tahun 2003-2010, dan mengetahui
konsistensi rencana tata ruang dalam mengurangi tingkat kerawanan banjir di kota
Semarang.
Dimana metode penelitian dilakukan dari pemotongan citra dan
pengaturan band DAS Bringin yang kemudian dilakukan digitasi on-screen
sehingga didapat tata guna lahan tahun 2003, 2007, dan 2010. Setelah itu

II-27
melakukan penghitungan luas tata guna lahan pertahunnya untuk DAS dan Sub-
DAS. Kemudian menentukan koefisian air larian (Run Off) dan menghitung air
larian (debit) puncak (m3/dt) tata guna lahan pertahunnya serta RTRW tahun
2000-2010 dan 2011-2030. Yang kemudian dilakukan overlay hasil air larian
dengan data kejadian banjir.
Jhonson Paruntungan Matondang (2013) dengan penelitian yang berjudul
“Analisis Zonasi Daerah Rentan Banjir Dengan Pemanfaatan Sistem Informasi
Geografis (SIG) (Studi Kasus: Kota Kendal dan Sekitarnya)”. Pada penelitian ini
menggunakan peta kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan, jaringan
drainase dan jenis tanah. Metode analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan
penelitian adalah dengan menggunakan metode pendekatan analisis tumpang
susun atau overlay parameter-parameter rentan banjir dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG).
David Carlous Pintubatu (2013) dengan penelitian yang berjudul “Analisis
Pengaruh Perubahan Lahan Terhadap Kerawanan Banjir Di Daerah Aliran Sungai
Tenggang Kota Semarang”. Pada penelitian ini menggunakan Citra QUICKBIRD
tahun 2006 dan citra IKONOS tahun 2011. Metode penelitiannya diawali dengan
pemotongan citra dengan peta administrasi, melakukan digitasi sehingga di dapat
peta penggunaan lahan tahun 2006 dan 2011, kemudian melakukan perhitungan
curah hujan, koefisien air larian dan nilai air larian (debit).
Hasil penelitiannya berupa perubahan penggunaan lahan tahun 2006
sampai 2011 yaitu bertambah sekitar 2,168% untuk pemukiman dan jasa.untuk
kawasan hutan dan perkebunan berkurang sekitar 10,245%. Dan peningkatan
jumlah penduduk sekitar 5% tiap kelurahan. Pada tahun 2006 nilai air larian
sebesar 335,21m³/dt dan meningkat 54,64% selama 5 tahun menjadi 563,69 m³/dt.
Fajar Dwi Hastono, (2012) Identifikasi Daerah Resapan Air Dengan
Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Sub DAS Keduang). Pada penelitian ini
akan di overlay beberapa peta, yakni peta curah hujan, kemiringan lereng, jenis
tanah dan penggunaan lahan. Metode analisis yang digunakan untuk mencapai
tujuan penelitian adalah dengan menggunakan metode pendekatan analisis

II-28
tumpangsusun/overlay parameter-parameter resapan air dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG).
Hasilnya temuannya Kondisi daerah resapan air di Sub DAS Keduang
secara umum temasuk dalam kondisi mulai kritis, dengan sebaran klasikasi yaitu
kondisi sangat kritis yaitu seluas 2.330,19 ha (5,86%), kriteria resapan kritis
seluas 5.187,24 ha (13,05%), kriteria resapan agak kritis seluas 11.407,50 ha
(28,71%), kriteria resapan mulai kritis seluas 13.504,04 ha (33,99 %) dan kriteria
resapan normal seluas 5.816,70 ha (14,64 %), kriteria resapan baik seluas
1.489,77 ha (3,75 %). dari total luas area penelitian 39.736,44 ha. Potensi kawasan
resapan air di daerah Sub DAS Keduang dengan kondisi resapan yang baik
memiliki luas area 1.489,77 ha (3,75%) dan kondisi resapan normal alami
memiliki luas 5.816,7 ha (14,64%). Daerah yang mempunyai potensi terluas untuk
resapan air yang baik tersebar di Kecamatan Jatiyoso seluas 313,2 ha, namun
potensi terluas untuk resapan air normal alami tersebar di Kecamatan Jatiroto
seluas 1645,45 ha.
Arnita Ikke Sari, (2013) Penentuan Area Luapan Kali Babon Akibat
Kenaikan Debit Air Berbasis Sistem Informasi Geografis. Pada penelitian ini
menggunakan Peta Kontur Kota Semarang, Peta Morfologi Sungai, Data Pasang
Surut, Data Hidrograf Banjir dan Peta Kejadian Banjir Kota Semarang.
Pengolahan dilakukan dengan melakukan pemodelan banjir pada ArcGIS dan Hec
RAS dari overlay antara peta kontur Kota Semarang dan Peta Morfologi Sungai.
Hasil pengolahan data menggunakan software ArcGIS dan Hec RAS,
didapatkan hasil sebaran area banjir terluas terjadi pada Desa Sriwulan, Kec.
Sayung, Kab. Demak. Pada debit banjir rencana 5 tahun dengan kedalaman
berkisar o,oo2-4,581 m dengan luas 247,965 ha. Pada debit banjir rencana 10
tahun dengan kedalaman berkisar 0,002-10,106 m dengan uas 482,180 ha. Pada
debit banjir rencana 25 tahun dengan kedalaman berkisar 0,0006-12,696 m
dengan luas 482,180 ha. Kedalaman tersebut dihitung terhadap dasar sungai.
Dhinar Larasati, (2011) Analisis Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan
Daerah Aliran Sungai Terhadap Peningkatan Debit Maksimum Di Sungai Bodri
Kabupaten Kendal. Pada penelitian ini menggunakan Data Curah hujan, Data

II-29
riwayat kejadian banjir, Peta RBI, Peta Wilayah DAS Bodri dan citra Landsat TM
tahun 1994, 2001 dan 2009 untuk mendapatkan peta tutupan lahan dan
pengolahan citra Landsat menggunakan software ErMapper untuk klasifikasi dan
melakukan Digitasi On Screen.
Hasil dari penelitian ini pada interval 1994-2001 peningkatan luas lahan
terbesar terjadi pada kelas lahan perkebunan yaitu sebesar 12.298,742 ha dan
lahan hutan mengalami penurunan luasan paling besar yaitu sebesar 14.433,844
ha. Sedangkan perubahan non lahan terbangun menjadi lahan terbangun adalah
sebesar 915,218 ha. Pada interval 2001-2009 terjadi peningkatan lua terbesar pada
kelas lahan perkebunan sebesar 2.411,348 ha dan kelas tutupan lahan yang
mengalami penurunan luasan paling besar adalah lahan kebun campuran yaitu
sebesar 2.544,966 ha. Peningkatan luas lahan pemukiman pada interval 2001-
2009 adalah 695,736 ha.

2.10 Skala
Skala merupakan perbandingan jarak tertentu pada peta dengan jarak di
lapangan. Umumnya penempatan skala peta diletakan tepat di bawah judul peta
dengan ukuran lebih kecil. Pembagian peta berdasarkan skalanya masih belum ada
kesepakatan antara ahli dan secara umum peta berdasarkan skalanya, peta tersebut
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :
1. Skala besar : Peta dikatakan skala besar jika bilangan skalanya kurang dari
atau sama dengan 10000 atau skala ≥ 1:10000
2. Skala sedang : Peta dikatakan skala sedang jika bilangan skalanya lebih
dari 10000 sampai dengan kurang dari atau sama dengan 100000 atau
skalanya antara 1 : 10000 hingga 1:100000
3. Skala Kecil : Peta dikatakan skala kecil jika bilangan skalanya lebih besar
dari 100000 atau skalanya lebih besar dari 1 : 1000000
Banyak cara untuk menyatakan skala peta diantaranya (Wongsotjiro,1980):
1. Membandingkan suatu jarak antara dua titik di atas peta dengan jarak
sebenarnya di atas permukaan bumi antara dua titik itu.

II-30
2. Memberitahukan berapa centimeter di atas peta yang sama dengan satu
kilometer di atas permukaan bumi.
3. Menarik suatu garis, dimana di atas garis dibuat suatu skala dengan bagian-
bagian yang menyatakan satu kilometer di atas permukaan bumi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan suatu skala peta :
a) Tujuan pembuatan peta
b) Luas daerah yang akan dipetakan
c) Kepadatan unsur-unsur/detail
d) Bentuk topografi
e) Karakteristik daerah

II-31

Anda mungkin juga menyukai