TINJAUAN PUSTAKA
II-1
Menurut Chay Asdak (2010) DAS adalah suatu wilayah daratan yang
secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung
dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut melalui sungai
utama. DAS (watershed atau drainage basin) adalah suatu area di permukaan
bumi yang didalamnya terdapat sistem pengaliran yang terdiri dari satu sungai
utama (main stream) dan beberapa anak cabangnya (tributaries), yang berfungsi
sebagai daerah tangkapan air dan mengalirkan air melalui satu outlet.
II-2
Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua
karaktristik biogofisik DAS yang berbeda diatas. Keterkaitan biofisik antara
daerah Hulu dan Hilir suatu DAS dapat ditunjukan seperti gambar dibawah ini.
Gambar 2.1 Hubungan biofisik antara daerah Hulu dan Hilir suatu DAS (Asdak,
2010)
II-3
daratan, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan maka sebagian dari uap air
tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan. Sebelum mencapai
permukaan tanah, air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian
besar dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk selama proses
pembasahan tajuk dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah
melalui sela-sela daun atau mengalir kebawah melalui permukaan batang pohon.
Air hujan yang telah mencapai permukaan tanah selanjutnya akan bergerak
secara kontinu dengan tiga cara yag berbeda:
a. Evaporasi-transpirasi yaitu proses terjadinya awan dari penguapan air yang
ada di laut, daratan, sungai, dll.
b. Infiltrasi yaitu proses pergerakan air ke dalam tanah melalui celah-celah dan
pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah
c. Aliran air permukaan, yaitu proses pergerakan air diatas permukaan tanah
menuju ke aliran utama (sungai) atau danau.
II-4
5. permukaan tanah yang lebih rendah dari permukaan laut yang sedang
pasang.
Menurut ahli hidrologi banjir-banjir di Indonesia itu dibagi menjadi tiga
jenis, antara lain:
1. Banjir Lokal
Banjir ini merupakan banjir yang terjadi akibat air yang berlebihan
ditempat itu dan meluap juga ditempat itu. Pada saat curah hujan tinggi
dilokasi setempat dimana kondisi tanah dilokasi itu sulit dalam melakukan
penyerapan air (bisa karena padat, bisa juga karena kondisinya lembab,
dan bisa juga karena daerah resapan airnya tinggal sedikit atau juga karena
terjadinya limpasan permukaan) maka kemungkinan terjadinya banjir lokal
akan sangat tinggi sekali.
2. Banjir karena sungainya meluap
Banjir jenis ini biasanya terjadi akibat dari sungai tidak mampu lagi
menampung aliran air yang ada disungai itu akibat debit airnya sudah
melebihi kapasitas.
3. Banjir akibat pasang surut air laut (ROB)
Saat air laut pasang, ketinggian muka air laut akan meningkat,
otomatis aliran air di bagian muara sungai akan lebih lambat dibandingkan
bila saat laut surut. Selain melambat, bila aliran air sungai sudah melebihi
kapasitasnya (ditempat yang datar atau cekungan) maka air itu akan
menyebar ke segala arah dan terjadilah banjir.
Dalam penelitian ini jenis banjir yang akan dianalisa adalah jenis banjir
lokal yang diakibatkan limpasan permukaan sungai yang sering terjadi pada
musim penghujan.
II-5
Limpasan akibat hujan ini dapat terjadi dengan cepat dan dapat pula
setelah beberapa jam setelah terjadinya hujan. Lama waktu kejadian hujan puncak
dan aliran puncak sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah tempat jatuhnya hujan.
Makin besar perbedaan waktu kejadian hujan puncak dan debit puncak, makin
baik kondisi wilayah tersebut dalam menyimpan air di dalam tanah.
Untuk mengetahui daerah yang terkena dampak dari limpasan yang cukup
luas diperlukan sistem digital dengan bantuan komputer. GIS (Geographical
Information System) dapat membantu teknik digital tersebut. Ukuran luas daerah
juga menentukan peta dasar yang digunakan, apakah cukup merujuk kepada peta
topografi, perlu foto udara atau bahkan citra satelit. Dari hasil tersebut dapat
dianalisa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya limpasan tersebut.
II-6
2. Aliran Antara
Aliran antara (interflow) adalah aliran dalam arah lateral yang
terjadi di bawah permukaan tanah.Aliran antara terdiri dari gerakan air dan
lengas tanah secara lateral menuju elevasi yang lebih rendah.
3. Aliran air tanah
Aliran air tanah adalah aliran yang terjadi di bawah permukaan air
tanah ke elevasi yang lebih rendah yang akhirnya menuju sungai atau
langsung ke laut.
II-7
2. Lama Waktu Hujan
Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Oleh
karena itu, hujan dengan waktu yang singkat tidak banyak menghasilkan
limpasan. Pada hujan dengan intensitas yang sama dan dengan waktu
yang lebih lama akan menghasilkan limpasan yang lebih besar.
3. Distribusi Curah Hujan
Laju limpasan dan volume terbesar terjadi ketika seluruh DAS tersebut
ikut berperan, dengan kata lain hujan turun merata di seluruh wilayah
DAS yang bersangkutan.
4. Luas DAS
Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah
curah hujan yang diterima. Akan tetapi, beda waktu antara puncak curah
hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lemah. Demikian pula waktu
yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama untuk
keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang.
5. Kemiringan Lereng DAS
Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, maka akan semakin cepat
laju limpasan dan dengan demikian mempercepat respon DAS tersebut
oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng,
keadaan parit dan bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan
mempengaruhi laju volume limpasan.
6. Bentuk DAS
Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju
limpasan daripada DAS berbentuk melebar walaupun luas
keseluruhannya sama. Hal ini terjadi karena limpasan pada bentuk DAS
memanjang tidak terkonsentrasi secepat pada DAS dengan bentuk
melebar, dan curah hujan pada DAS memanjang tampaknya kurang
merata.
7. Kerapatan Daerah Aliran (Drainase)
Kerapatan aliran adalah jumlah dari semua aliran/sungai (km) dibagi
dengan luas DAS (km²). Semakin tinggi kerapatan daerah aliran maka
II-8
semakin besar kecepatan untuk curah hujan yang sama. Oleh karenanya,
dengan kecepatan daerah aliran tinggi, debit puncak akan tercapai dalam
waktu yang lebih cepat.
8. Vegetasi dan cara bercocok tanam.
Vegetasi dapat memperlambat jalannya limpasan dan memperbesar
jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah, dengan demikian
dapat menurunkan laju limpasan.
Koefisien air larian (C) = air larian (mm) / curah hujan ...................( 2.1)
II-9
kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, kerapatan aliran dan penggunaan
lahan dikutip dari PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : P. 32/MENHUT-II/2009 TENTANG TATA CARA
PENYUSUNAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN
LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTkRHL-DAS) dalam Penilaian
Kekritisan Daerah Resapan (Opsional) tentang Teknik Penentuan Klasifikasi
Tingkat Infiltrasi.
Tabel 2.1 Faktor pembobot setiap parameter kerawanan banjir.
No. Parameter Bobot
1 Kemiringan lereng 5
2 Jenis Tanah 3
3 Aliran permukaan 3
4 Curah hujan 2
5 Penggunaan lahan 2
Sumber : Zuidam, 1979; CSR/FAO dan Staff, 1983 dalam Matondang, 2013
a) Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng adalah faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
tingkat kerawanan banjir. Semakin landai kemiringan lerengnya maka aliran
limpasan permukaan akan semakin lambat yang bisa menyebabkan kerawanan
banjir. Sebaliknya semakin curam/terjal kemiringan lerengnya maka aliran
limpasan permukaan akan semakin cepat, sehingga air yang jatuh ke tanah akan
mengalir dengan cepat. Berikut adalah klasifikasi tingkatan kemiringan lereng.
Tabel 2.2 Klasifikasi dan skor kemiringan lereng untuk limpasan
Lereng Tranform Nilai Faktor
No Deskripsi Bobot Skor
(%) Infiltrasi (fc) Harkat
1 <8 Datar >0,80 5 25
2 8-15 Landai 0,70-0,80 4 20
3 15-25 Bergelombang 0,50-0,70 3 5 15
4 25-40 Curam 0,20-0,50 2 10
5 >40 Sangat curam <0,20 1 5
Sumber : Chow, 1968 dalam Matondang, 2013
II-10
b) Jenis Tanah
Jenis Tanah sangat berpengaruh pada proses infiltrasi atau daya resap
tanah bila dibandingkan dengan kapasitas air hujan yang turun langsung ke tanah
tidak melebihi atau lebih kecil dari kapasitas infiltasi, maka laju dari infiltrasi bisa
dikatakan sama dengan intensitas hujan. Pengkelasan dari infiltrasi berdasarkan
tekstur tanah yang mempengaruhi laju dari infiltrasi.
Tabel 2.3 Klasifikasi dan skor jenis tanah untuk limpasan
Permeabilitas Tranform Nilai Faktor
No Deskripsi Jenis tanah Bobot Skor
(cm/Jam) Infiltrasi (fc) Harkat
1 Lambat Aluvial <0,5 <0,04 5 15
2 Agak
Latosol 0,5-2,0 0,04-0,10 4 12
Lambat
3 Sedang Regosol 2,0-6,3 0,10-0,20 3 9
3
4 Agak Andosol
6,3-12,7 0,20-0,45 2 6
Cepat Coklat
5 Andosol
Cepat >12,7 >0,45 1 3
Hitam
Sumber : USDA, 1951; Hamer, 1978 dalam Matondang, 2013
c) Kerapatan Aliran
Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air
yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu
kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Peran drainase permukaan ini sangat optimal dalam pengaliran air
limpasan. Semakin tinggi kerapatan drainase permukaan maka semakin kecil
terjadi resiko terjadinya banjir, karena dengan aliran yang banyak maka dengan
cepat air akan dialirkan ke tempat yang lebih rendah. Dengan mengetahui luas
dari setiap satuan pemetaan aliran permukaan, maka dapat diketahui kerapatan
aliran permukaan (Matondang, 2013).
II-11
Tabel 2.4 Klasifikasi tingkat dari aliran permukaan berdasarkan
kerapatan aliran.
Kerapatan Aliran
No. Harkat Bobot Skor
(Km/Km2)
1 <0,62 5 15
2 0,62-1,44 4 12
3 1,45-2,27 3 3 9
4 2,28-3,10 2 6
5 >3,10 1 3
Sumber : Linsey ( 1959), Meijerink (1970), dan Ortiz (1977) dalam
Matondang, 2013
d) Curah Hujan
Curah hujan bisa menjadi faktor utama dalam terjadinya banjir, walaupun
tidak semua banjir disebabkan oleh air hujan. Secara potensial, infiltrasi akan
lebih besar untuk hujan dengan periode waktu terjadinya lebih panjang.
Informasi curah hujan sebagai berikut : jumlah curah hujan bulanan rata-
rata, banyaknya hari hujan rata-rata dalam satu bulan, dan curah hujan harian rata-
rata untuk bulan tertentu diperlukan untuk menghitung erosivitas hujan bulanan
rata-rata ataupun erosivitas hujan tahunan (dengan metode Bols atapun Lenvain).
Diperlukan juga data jangka panjang, sekurang-kurangnya selama 10 tahun dan
akan lebih baik jika lebih dari 20 tahun.
Hasil perhitungan nilai Hujan Infiltrasi tersebut dalam kaitannya dengan
potensial infiltrasinya dapat dilkasifikasikan sebagai-berikut :
Tabel 2.5 Klasifikasi tingkat curah hujan.
No Deskripsi Nilai ”hujan infiltrasi” RD Harkat Bobot Skor
1 Sangat besar > 5500 5 10
2 Besar 4500 – 5500 4 8
3 Agak besar 3000 – 4500 3 2 6
4 Sedang 1500 – 3000 2 4
5 Rendah < 1500 1 2
Sumber : Chow, 1968, Wiersum & Supriyo Ambar, 1980 dalam Matondang, 2013
e) Penggunaaan Lahan
Penggunaaan lahan merupakan parameter faktor penyebab kerawanan
banjir yang memiliki hubungan erat dengan air limpasan. Masing-masing
penggunaan lahan tentunya memiliki koefisien limpasan permukaan (C). Dimana
II-12
air hujan yang jatuh langsung dialirkan menjadi limpasan permukaan yang
menyebabkan rawan banjir sangat dipengaruhi oleh nilai koefisien limpasan
permukaan. Berikut adalah tabel pengkelasan penggunaan lahan.
Tabel 2.6 Klasifikasi dan skor penggunaan lahan untuk limpasan
Klasifikasi
Tipe Penggunaan Lahan Harkat Bobot Skor
No Deskripsi
Pemukiman, Sawah,
1 Kecil 5 10
Rawa
2 Agak kecil Tegalan, Ladang 4 8
2
3 Sedang Semak, padang rumput 3 6
4 Agak besar Hutan, perkebunan 2 4
5 Besar Pasir 1 2
Sumber : Chow, 1968; Suwardjo, 1975; Wiersum & Ambar, 1980; S. Ambar,
1986 dalam Larasati, 2012
Proses selanjutnya setelah adanya skoring dan pembobotan adalah proses
overlay merupakan proses tumpang susun, yaitu menggabungkan dua atau lebih
data grafis untuk memperoleh data grafis baru yang memiliki satuan pemetaan
(unit pemetaan). Hasil dari overlay akan diperoleh satuan pemetaan baru (peta
baru).
Untuk pembuatan Peta Kerawanan Banjir metode aritmatika yang
digunakan pada proses overlay dari parameter-parameter kerawanan banjir berupa
metode pengkalian antara harkat dengan bobot pada masing-masing parameter
kerawanan banjir. Formula yang digunakan dalam proses overlay dengan
menggunakan metode aritmatika adalah sebagai berikut (Matondang, 2013):
KB = ( 5 x KL ) + ( 3 x JT ) + ( 3 x JD ) + ( 2 x CH ) + ( 2 x PL ) ...................(2.3)
Keterangan :
KB : Kerawanan Banjir
KL : Kemiringan Lereng
JT : Jenis Tanah
JD : Jaringan Drainase
CH : Curah Hujan
PL : Penggunaan Lahan
Selanjutnya adalah pembuatan interval kelas tingkat kerawanan banjir
dengan menggunakan range kelas kerawanan banjir, dimana nilai interval
II-13
dilakukan dengan pendekatan relatif dengan cara melihat nilai maksimum dan
nilai minimum satuan pemetaan. Dan jumlah kelas tingkat kerawanan ada 5 (lima)
dimulai dari sangat rawan, rawan, cukup rawan, agak rawan, tidak rawan. Berikut
adalah formula dari penentuan interval kelas, yakni (Matondang, 2013):
IK = Nmak – Nmin ......................................................................................(2.4)
JK
Keterangan :
IK : Interval Kelas
Nmaks : Nilai Maksimum
Nmin : Nilai Minimum
JK : Jumlah Kelas
Untuk memprakirakan besarnya limpasan dapat menggunakan metoda
rasional (U.S. Soil Conservation Service, 1973) yang dianggap memadai.
Persamaan matematik metode rasional untuk memprakirakan besarnya limpasan
(Asdak, 2010) adalah sebagai berikut:
Q = 0.0028 C i A .................................................................................(2.5)
Keterangan:
Q = air larian atau limpasan (debit) puncak (m³/dtk)
C = koefisien air larian/limpasan
i = intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas wilayah DAS (ha)
II-14
pengembangan inderaja walaupun terbatas pada penelitian dan analisis foto udara
multispectral scanner dan digitalisasi foto udara.
Tabel 2.7 Karakteristik dan kemampuan aplikasi setiap saluran (band) Landsat
(Sumber : Landsat Handbook, 1986 dan Program Landsat 7, 1998)
Landsat MSS Landsat 5TM dan Landsat 7 ETM+
Saluran / Saluran / band Aplikasi /
Aplikasi / Penggunaan
band (µm) (µm) Penggunaan
II-15
vegetasi membedakan lahan, tanah,
subur/ tidak, identifikasi vegetasi
tanaman
Mengindera
Kontras kenampakan puncak pantulan
vegetasi dan bukan vegetasi
vegetasi Saluran 2 Menekankan
Membantu identifikasi perbedaan
(0,52-0,60)
Saluran 5 penutup lahan, vegetasi dan nilai
kenampakan alam dan (LS 5 TM) kesuburan
(0,60-0,70) budaya Memisahkan
(0,53-0,61)
Tanggap terhadap vegetasi
biomasa vegetasi (LS 7 ETM+) Serapan klorofil
Kontras tanaman, tanah, dan memperkuat
air kontras vegetasi/
bukan vegetasi
Tanggap perbedaan Tanggap biomasa
antara tanah, air, Saluran 4 TM vegetasi
Saluran 7 vegetasi (0,76-0,90) Identifikasi dan
Membantu menentukan kontras tanaman,
(0,80-1,10) kondisi kelembaban TM = ETM+
tanah, air
tanah (0,78-0,90)
Kandungan air tanaman
Menentukan
jenis vegetasi
Saluran 5 dan kandungan
TM = ETM+ airnya
(1,55-1,75) Menentukan
kelembaban
tanah
Deteksi suhu
obyek
Saluran 6 Analisis
gangguan
TM = ETM+
vegetasi
(10,4-12,5) Perbedaan
kelembaban
tanah
Saluran 7 TM Pemisahan
formasi batuan
(2,08-2,35)
Analisis bentuk
ETM+ lahan
II-16
(2,09-2,35)
Pemetaan
Saluran 8 planimetrik
ETM+ Identifikasi
pemukiman
(0,50-0,90)
Kontras bentang
LS5 TM tidak alam dan budaya
ada saluran Identifikasi
pankromatik kenampakan
geologi
II-17
terkandung di dalamnya. Kesalahan geometrik citra dapat terjadi karena posisi dan
orbit maupun sikap sensor pada saat satelit mengindera bumi, kelengkungan dan
putaran bumi, serta adanya relief atau ketinggian yang berbeda dari permukaan
bumi yang diindera (Purwadhi, 2001).
Tujuan koreksi geometrik antara lain melakukan rektifikasi (pembetulan)
atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat
geografi, registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau
mentransformasikan sistem koordinat multispektral atau multitemporal, serta
registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta yang
menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu.
Rektifikasi yang merupakan suatu proses melakukan transformasi data dari
satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi
piksel pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka
piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di resampling
kembali. Resampling adalah suatu proses melakukan ekstrapolasi nilai data untuk
piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya.
II-18
piksel yang terdapat di dalam setiap kelas hasil klasifikasi diasumsikan memiliki
karakteristik yang homogen.
Kegiatan klasifikasi terawasi ini dilakukan dengan membuat training area
terhadap objek-objek yang memiliki kenampakan yang sama dan dimasukkan
kedalam kelasnya masing-masing. Pembagian kelas ditentukan sesuai dengan
kebutuhan. Training area merupakan contoh informasi kelas-kelas yang akan
dklasifikasikan, seperti hutan, lahan kosong, sawah, permukiman, dan lain
sebagainya.
II-19
1. Darmawan, A. 2006 menyatakan Sistem Informasi Geografi (SIG) atau
Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau
berkoordinat.
2. Imantho. 2004 (dalam Prahasta , Eddy. 2005.) menyatakan Sistem Informasi
Geografis (GIS) merupakan suatu bidang kajian ilmu yang relatif baru yang
dapat digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu sehingga berkembang
dengan sangat cepat. Secara umum, satu fungsi dari GIS yang sangat penting
adalah kemampuan untuk menganalisis data, terutama data spasial yang
kemudian menyajikannya dalam bentuk suatu informasi spasial berikut data
atributnya (Imantho. 2004).
3. Kang-Tsung Chang. 2002 (dalam Prahasta , Eddy. 2005.), mendefinisikan SIG
sebagai : is an a computer system for capturing, storing, querying, analyzing,
and displaying geographic data.
4. Arronoff. 1989 (dalam Prahasta , Eddy. 2005.), mendefinisiskan SIG sebagai
suatu sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani
data bereferensi geografi yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan
dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis data, serta keluaran sebagai
hasil akhir (output). Hasil akhir (output) dapat dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi.
Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) memiliki empat komponen utama,
kombinasi yang benar antara keempat komponen utama ini akan menentukan
kesuksesan suatu proyek pengembangan.
Komponen utama Sistem Informasi Geografi, yaitu: (Darmawan, A. 2006)
a. Perangkat keras (digitizer, scanner, Central Procesing Unit (CPU), hard-disk,
dan lain-lain),
b. Perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, arc view dan
lainnya),
c. Organisasi (management), dan Pemakai (user)
II-20
Gambar 2.4 Komponen Utama SIG
II-21
3. Manipulasi data dan analisis
Merupakan kegiatan yang dapat dilakukan berbagai macam perintah misalnya
overlay antara dua tema peta, membuat buffer zone jarak tertentu dari suatu
area atau titik dan sebagainya. Manipulasi dan analisis data merupakan ciri
utama dari SIG. Kemampuan SIG dalam melakukan analisis gabungan dari
data spasial dan data atribut akan menghasilkan informasi yang berguna
untuk berbagai aplikasi.
4. Pelaporan data
Merupakan proses menyajikan data dasar, data hasil pengolahan data dari
model menjadi bentuk peta atau data tabular. Bentuk produk suatu SIG dapat
bervariasi baik dalam hal kualitas, keakuratan dan kemudahan pemakainya.
Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk peta-peta, tabel angka-angka: teks di atas
kertas atau media lain (hard copy), atau dalam cetak lunak (softcopy).
II-22
b. Server GIS, ArcIMS, ArcGIS Server, dan ArcGIS Image Server.
c. Mobile GIS, ArcPad dan ArcGIS Mobile untuk di survei lapangan.
d. ESRI Developer Network (EDN), Untuk pengembangan komponen software,
GIS desktops, GIS applications, GIS services dan aplikasi web, serta
pembuatan mobile solutions. Semuanya berbasis ArcObjects (a common,
modular library of re-useable GIS software components).
2. ArcMap
merupakan alat atau fasilitas
untuk membuat, melihat,
query, mengedit, menyusun,
dan mempublikasikan
data/peta.
3. ArcToolbox
merupakan aplikasi sederhana
yang berisikan fasilitas-
fasilitas untuk melakukan
geoprocessing.
Gambar 2.5 Komponen ArcGIS
II-23
Tabel 2.8 Daftar Kabupaten dan Luas
LUAS
No. KABUPATEN
(km²)
1. WONOGIRI 3,569
2. SUKOHARJO 144,205
3. SLEMAN 7,548
GUNUNG
4. 552,201
KIDUL
5. KLATEN 70,651
6. BOYOLALI 43,979
JUMLAH 822,153
II-24
4. Grumosol Kelabu
Tanah Grumosol Kelabu adalah tanah yang terbentuk dari material halus
berlempung. Jenis tanah ini berwarna kelabu hitam dan bersifat subur.
5. Regosol Kelabu Tua
Tanah berbutir kasar dan berasal dari material gunung api. Tanah jenis ini
mempunyai tingkat kesuburan yang cukup baik.
II-25
sangat diperlukan. Dalam bidang pertanian data CH sangat berguna, misalnya
untuk pengaturan air irigasi, mengetahui neraca air lahan, mengetahui besarnya
aliran permukaan (run off).
Untuk dapat mewakili besarnya CH di suatu wilayah/daerah diperlukan
penakar CH dalam jumlah yang cukup. Semakin banyak penakar dipasang di
lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata-rata CH yang menunjukkan
besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui variasi
CH di suatu titik pengamatan.
Menurut Asdak (2010) Ketelitian hasil pengukuran CH tegantung pada
variabilitas spasial CH, maksudnya diperlukan semakin banyak lagi penakar CH
bila kita mengukur CH di suatu daerah yang variasi curah hujannya besar.
Ketelitian akan semakin meningkat dengan semakin banyak penakar yang
dipasang, tetapi memerlukan biaya mahal dan juga memerlukan banyak waktu dan
tenaga dalam pencatatannya di lapangan.
Adapun langkah-langkah dalam analisis hidrologi adalah sebagai berikut:
Menghitung curah hujan rata-rata tiap sub DAS dalam Asdak (2010):
Rrt = ( R1 + R2 + R3 + ..... + Rn) / n ..........................(2.7)
Keterangan:
Rrt : Curah hujan daerah (mm)
R1 .. Rn : Curah hujan harian maksimum di stasiun 1 s/d stasiun n
n : Banyaknya stasiun dalam sub DAS
Kemudian menghitung curah hujan rencana dengan distribusi Gumbel,
dalam Asdak, 2010:
XTr = X + Sx ( 0,78 y - 0,45 ) ...........................................(2.8)
Sx = √ {( ∑ Xi - X ) / ( n – 1 )} ........................................(2.9)
Y = - Ln { - Ln (( T – 1 ) / T ))} ..........................................(2.10)
dimana:
XTr : Curah hujan dengan kala ulang Tr thn
X : Curah hujan rata-rata
Sx : Simpangan baku
Y : Perubahan reduksi
II-26
n : Jumlah data
Xi : Data curah hujan
T : Kala ulang dalam tahun
Dari pengolahan ini, akan diperoleh curah hujan dengan kala ulang (periode
berkala) selama Tr tahun (2, 5, dan 10 tahun). Untuk Menghitung intensitas hujan
maksimum Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan per satuan
waktu. Untuk mendapatkan intensitas hujan selama waktu konsentrasi, digunakan
rumus Mononobe (Kyotoka Mori, 1975) dalam Hardaningrum (2005) :
I = { ( R24 / 24 ) x ( 24 / Tc ) } ...........................................(2.11)
Adapun waktu konsentrasi (Tc) dihitung dengan menggunakan rumus Kirpich
(VT Chow, 1988) dalam Hardaningrum, 2005 :
Tc = 0,945 x ( L1,156 / D 0,385) ....................................(2.12)
dimana:
I : Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
R24 : Curah hujan maksimum harian dalam 24 jam (mm)
Tc : Waktu konsentrasi
L : Panjang sungai / alur utama (km)
D : Beda tinggi sungai utama
II-27
melakukan penghitungan luas tata guna lahan pertahunnya untuk DAS dan Sub-
DAS. Kemudian menentukan koefisian air larian (Run Off) dan menghitung air
larian (debit) puncak (m3/dt) tata guna lahan pertahunnya serta RTRW tahun
2000-2010 dan 2011-2030. Yang kemudian dilakukan overlay hasil air larian
dengan data kejadian banjir.
Jhonson Paruntungan Matondang (2013) dengan penelitian yang berjudul
“Analisis Zonasi Daerah Rentan Banjir Dengan Pemanfaatan Sistem Informasi
Geografis (SIG) (Studi Kasus: Kota Kendal dan Sekitarnya)”. Pada penelitian ini
menggunakan peta kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan, jaringan
drainase dan jenis tanah. Metode analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan
penelitian adalah dengan menggunakan metode pendekatan analisis tumpang
susun atau overlay parameter-parameter rentan banjir dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG).
David Carlous Pintubatu (2013) dengan penelitian yang berjudul “Analisis
Pengaruh Perubahan Lahan Terhadap Kerawanan Banjir Di Daerah Aliran Sungai
Tenggang Kota Semarang”. Pada penelitian ini menggunakan Citra QUICKBIRD
tahun 2006 dan citra IKONOS tahun 2011. Metode penelitiannya diawali dengan
pemotongan citra dengan peta administrasi, melakukan digitasi sehingga di dapat
peta penggunaan lahan tahun 2006 dan 2011, kemudian melakukan perhitungan
curah hujan, koefisien air larian dan nilai air larian (debit).
Hasil penelitiannya berupa perubahan penggunaan lahan tahun 2006
sampai 2011 yaitu bertambah sekitar 2,168% untuk pemukiman dan jasa.untuk
kawasan hutan dan perkebunan berkurang sekitar 10,245%. Dan peningkatan
jumlah penduduk sekitar 5% tiap kelurahan. Pada tahun 2006 nilai air larian
sebesar 335,21m³/dt dan meningkat 54,64% selama 5 tahun menjadi 563,69 m³/dt.
Fajar Dwi Hastono, (2012) Identifikasi Daerah Resapan Air Dengan
Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Sub DAS Keduang). Pada penelitian ini
akan di overlay beberapa peta, yakni peta curah hujan, kemiringan lereng, jenis
tanah dan penggunaan lahan. Metode analisis yang digunakan untuk mencapai
tujuan penelitian adalah dengan menggunakan metode pendekatan analisis
II-28
tumpangsusun/overlay parameter-parameter resapan air dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG).
Hasilnya temuannya Kondisi daerah resapan air di Sub DAS Keduang
secara umum temasuk dalam kondisi mulai kritis, dengan sebaran klasikasi yaitu
kondisi sangat kritis yaitu seluas 2.330,19 ha (5,86%), kriteria resapan kritis
seluas 5.187,24 ha (13,05%), kriteria resapan agak kritis seluas 11.407,50 ha
(28,71%), kriteria resapan mulai kritis seluas 13.504,04 ha (33,99 %) dan kriteria
resapan normal seluas 5.816,70 ha (14,64 %), kriteria resapan baik seluas
1.489,77 ha (3,75 %). dari total luas area penelitian 39.736,44 ha. Potensi kawasan
resapan air di daerah Sub DAS Keduang dengan kondisi resapan yang baik
memiliki luas area 1.489,77 ha (3,75%) dan kondisi resapan normal alami
memiliki luas 5.816,7 ha (14,64%). Daerah yang mempunyai potensi terluas untuk
resapan air yang baik tersebar di Kecamatan Jatiyoso seluas 313,2 ha, namun
potensi terluas untuk resapan air normal alami tersebar di Kecamatan Jatiroto
seluas 1645,45 ha.
Arnita Ikke Sari, (2013) Penentuan Area Luapan Kali Babon Akibat
Kenaikan Debit Air Berbasis Sistem Informasi Geografis. Pada penelitian ini
menggunakan Peta Kontur Kota Semarang, Peta Morfologi Sungai, Data Pasang
Surut, Data Hidrograf Banjir dan Peta Kejadian Banjir Kota Semarang.
Pengolahan dilakukan dengan melakukan pemodelan banjir pada ArcGIS dan Hec
RAS dari overlay antara peta kontur Kota Semarang dan Peta Morfologi Sungai.
Hasil pengolahan data menggunakan software ArcGIS dan Hec RAS,
didapatkan hasil sebaran area banjir terluas terjadi pada Desa Sriwulan, Kec.
Sayung, Kab. Demak. Pada debit banjir rencana 5 tahun dengan kedalaman
berkisar o,oo2-4,581 m dengan luas 247,965 ha. Pada debit banjir rencana 10
tahun dengan kedalaman berkisar 0,002-10,106 m dengan uas 482,180 ha. Pada
debit banjir rencana 25 tahun dengan kedalaman berkisar 0,0006-12,696 m
dengan luas 482,180 ha. Kedalaman tersebut dihitung terhadap dasar sungai.
Dhinar Larasati, (2011) Analisis Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan
Daerah Aliran Sungai Terhadap Peningkatan Debit Maksimum Di Sungai Bodri
Kabupaten Kendal. Pada penelitian ini menggunakan Data Curah hujan, Data
II-29
riwayat kejadian banjir, Peta RBI, Peta Wilayah DAS Bodri dan citra Landsat TM
tahun 1994, 2001 dan 2009 untuk mendapatkan peta tutupan lahan dan
pengolahan citra Landsat menggunakan software ErMapper untuk klasifikasi dan
melakukan Digitasi On Screen.
Hasil dari penelitian ini pada interval 1994-2001 peningkatan luas lahan
terbesar terjadi pada kelas lahan perkebunan yaitu sebesar 12.298,742 ha dan
lahan hutan mengalami penurunan luasan paling besar yaitu sebesar 14.433,844
ha. Sedangkan perubahan non lahan terbangun menjadi lahan terbangun adalah
sebesar 915,218 ha. Pada interval 2001-2009 terjadi peningkatan lua terbesar pada
kelas lahan perkebunan sebesar 2.411,348 ha dan kelas tutupan lahan yang
mengalami penurunan luasan paling besar adalah lahan kebun campuran yaitu
sebesar 2.544,966 ha. Peningkatan luas lahan pemukiman pada interval 2001-
2009 adalah 695,736 ha.
2.10 Skala
Skala merupakan perbandingan jarak tertentu pada peta dengan jarak di
lapangan. Umumnya penempatan skala peta diletakan tepat di bawah judul peta
dengan ukuran lebih kecil. Pembagian peta berdasarkan skalanya masih belum ada
kesepakatan antara ahli dan secara umum peta berdasarkan skalanya, peta tersebut
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :
1. Skala besar : Peta dikatakan skala besar jika bilangan skalanya kurang dari
atau sama dengan 10000 atau skala ≥ 1:10000
2. Skala sedang : Peta dikatakan skala sedang jika bilangan skalanya lebih
dari 10000 sampai dengan kurang dari atau sama dengan 100000 atau
skalanya antara 1 : 10000 hingga 1:100000
3. Skala Kecil : Peta dikatakan skala kecil jika bilangan skalanya lebih besar
dari 100000 atau skalanya lebih besar dari 1 : 1000000
Banyak cara untuk menyatakan skala peta diantaranya (Wongsotjiro,1980):
1. Membandingkan suatu jarak antara dua titik di atas peta dengan jarak
sebenarnya di atas permukaan bumi antara dua titik itu.
II-30
2. Memberitahukan berapa centimeter di atas peta yang sama dengan satu
kilometer di atas permukaan bumi.
3. Menarik suatu garis, dimana di atas garis dibuat suatu skala dengan bagian-
bagian yang menyatakan satu kilometer di atas permukaan bumi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan suatu skala peta :
a) Tujuan pembuatan peta
b) Luas daerah yang akan dipetakan
c) Kepadatan unsur-unsur/detail
d) Bentuk topografi
e) Karakteristik daerah
II-31