Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah

daratan yang merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak- anak sungainya

yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari

curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batasi oleh darat, Menurut

Manan (1979), daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang

dibatasi oleh punggung-punggung gunung kemudian menyimpan dan mengalirkan

air hujan yang jatuh di atasnya kemudian mengalir di sungai yang akhirnya

bermuara ke danau/laut. Soeryono (1979).Curah hujan, panjang sungai dan

kemiringan sungai dan luas disuatu DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan

beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir juga mempengaruhi

stabilitas keamanan dan kelayakan hidup dari suatu populasi yang ada di wilayah-

wilayah tersebut.

Banjir yang terjadi di suatu daerah merupakan salah satu bentuk fenomena

alam yang terjadi akibat intensitas curah hujan yang tinggi di mana terjadi

kelebihan air yang tidak tertampung oleh suatu sistem (Suripin, 2014). Banjir

terjadi karena dua faktor yaitu faktor manusia dan faktor alam. Factor banjir yang

di sebabkan oleh manusia, belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan

dataran banjir, permukiman di bantaran sungai, sistem drainase yang tidak

memadai, terbatasnya tindakan antisipasi banjir, kurangnya kesadaran masyarakat

di sepanjang alur sungai, penggundulan hutan di daerah hulu, terbatasnya upaya

1
2

pemeliharaan bangunan pengendali banjir.Sedangkan faktor banjir yang di

sebabkan oleh alam adalah curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan, air laut

pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai, air/arus balik (back

water) dari sungai utama, penurunan muka tanah (land subsidance),

pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin.

Curah hujan yang jatuh diatas DAS, kebanyakan menjadi limpasan

langsung yang terdiri dari limpasan aliran air dan dapat menghasilkan puncak

banjir yang tinggi. Kejadian debit maksimum atau banjir puncak hanya beberapa

saat tapi dapat menghancurkan tanggul ataupun tebing, menggenangi pemukiman

dan persawahan, mengganggu aktifitas manusia dan lain-lain.Hampir setiap tahun

Kabupaten Enrekang mengalami kebanjiran,di sebabkan curah hujan yang tinggi

dan kiriman air dari hulu di Kabupaten Toraja sehingga meluapnya air sungai

Saddang. Pada Jumat (22/5/2020).

Bencana banjir melanda satu dusun di Kabupaten Enreakang, banjir itu

sempat membuat jalanan hingga masjid tergenang, banjir itu terletak di Desa Riso,

Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan, banjir setinggi lebih dari 1 meter

menggenangi sekita 17 rumah yang berada di pinggir Sungai Saddang, air dari

sungai Saddang meluap, debit air yang bersumber dari hulu di Kabupaten Tator,

air meluap dari tanggul yang sudah jebol," detikcom, Jumat (22/5/2020) .

Berdasarkan dari uraian diatas, maka kami sebagai penulis kemudian tertarik

untuk mengangkat tema tersebut dalam tugas akhir dengan judul “Analisis Debit

Puncak Banjir Dengan Metode HSS Gama 1 Dengan Metode HSS SCS Pada

Sungai Saddang’’.
3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut :

1. Berapa besar debit puncak banjir dengan menggunakan metode HSS Gama 1

dan HSS SCS di Sungai Saddang

2. Bagaimana perbandingan debit puncak banjir dengan menggunakan metode

HSS Gama 1 dengan metode SCS di Sungai Saddang.

C. Tujuan Penilitian

Adapun tujuan yang ingin di capai oleh penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui besar debit banjir di Sungai Saddang

2. Untuk mengetahui perbandingan debit puncak banjir menggunakan metode

HSS Gama 1 dengan metode HSS SCS di Sungai Saddang

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan mamfaat di antaranya

sebagai yaitu :

1. Diharapkan dapat di jadikan referensi akademis untuk pengembangan Fakultas

Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar

2. Sebagai sasaran untuk mengembangkan pengetahuan yang di peroleh di

bangku perkuliahan dengan penerapan di lapangan

E. Batasan Masalah

1. Penelitian ini hanya membahas tentang debit puncak banjir menggunakan

metode HSS Gama 1 dan HSS SCS

2. Penelitian ini dilakukan di Sungai Saddang


4

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN merupakan pendahuluan yang berisikan

penjelasan umum mengenai materi pembahasan yakni latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah dan sistematika

penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berisi teori umum tentang daerah

aliran sungai (DAS), banjir, curah hujan dan debit puncak banjir yang menjadi

dasar dan pedoman dalam melaksanakan penelitian tentang analisis debit puncak

banjir di sungai saddang

BAB III METODE PENELITIAN terdiri atas penjelasan tata letak lokasi

dan waktu penelitian, jenis penelitian, dan sumber data, metode pengumpulan data

(primer dan sekunder), metode analisa data, prosedur penelitian dan flow chart

penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN terdiri atas deskripsi hasil

penelitian dan pembahasan hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori umum dan

landasan teori yang diacu dalam penelitian ini.

BAB V PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang

telah di lakukan, serta saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Daerah Aliran Sungai ( DAS )

DAS sendiri didefinisikan sebagai satu hamparan wilayah dimana air

hujan yang jatuh di wilayah itu akan menuju ke satu titik outlet yang sama,

apakah itu sungai,danau,atau laut.Suatu “daerah aliran sungai” atau DAS adalah

sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit,

sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut.Batas DAS adalah punggung

perbukitan yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya.

Karena air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah

sepanjang lereng, garis batas sebuah DAS adalah punggung bukit sekeliling

sebuah sungai.Garis batas DAS tersebut merupakan garis khayal yang tidak bisa

dilihat, tetapi dapat digambarkan pada peta.batas DAS kebanyakan tidak sama

dengan batas wilayah administrasi. Akibatnya sebuah DAS bisa berada pada lebih

dari satu wilayah administrasi.Ada. Tidak ada ukuran baku (definitif) suatu

DAS,ukurannya mungkin bervariasi dari beberapa hektar sampai ribuan

hektar.DAS Mikro atau tampungan mikro (micro catchment) adalah suatu

cekungan pada bentang lahan yang airnya mengalir pada suatu parit. Parit tersebut

kemungkinan mempunyai aliran selama dan sesaat sesudah hujan turun

(intermitten flow) atau ada pula yang aliran airnya sepanjang tahun.

Defenisi DAS Suatu daerah aliran sungai atau DAS adalah sebidang lahan

yang menampung air hujan dan mengalirkanya menuju parit,sungai dan akhirnya

5
6

bermuara ke danau atau laut. DAS mikro atau tampungan mikro (micro

catchment) adalah suatu cengkungan pada batang lahan yang aliranya mengalir

pada suatu parit. Parit tersebut kemungkinan mempunyai aliran selama dan sesaat

sesudah hujan turun ( intermitten flow) atau ada pula yang aliran airnya sepanjang

tahun perennial flow.

Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan

sub DAS; merupakan daerah tangkapan air dari anak sungai. DAS dapat dibagi ke

dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu

merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran.Ekosistem tengah

sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem hilir merupakan

pemakai air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem ini menjadikan DAS sebagai

satu kesatuan hidrologis. Di dalam DAS terintegrasi berbagai faktor yang dapat

mengarah kepada kelestarian atau degradasi tergantung bagaimana suatu DAS

dikelola. Di pegunungan, di dataran tinggi dan dataran rendah sampai di pantai

dijumpai iklim, geologi, hidrologi, tanah dan vegetasi yang saling berinteraksi

membangun ekosistem.Setiap ekosistem di dalam DAS memiliki komponen hidup

dan tak-hidup yang saling berinteraksi. Memahami sebuah DAS berarti belajar

tentang segala proses-proses alami yang terjadi dalam batas sebuah DAS.

1. Pengelolaan DAS

Dalam mengelola sumberdaya lahan suatu DAS perlu diketahui apa yang

menjadi masalah utama DAS. Masalah DAS pada dasarnya dapat dibagi menjadi:

a. Kuantitas (jumlah) air

1) Banjir dan kekeringan

2) Menurunnya tinggi muka air tanah


7

3) Tingginya fluktuasi debit puncak dengan debit dasar.

b. Kualitas air

4) Tingginya erosi dan sedimentasi di sungai

5) Tercemarnya air sungai dan air tanah oleh bahan beracun dan berbahaya

6) Tercemarnya air sungai dan air danau oleh hara seperti N dan P (eutrofikasi)

Apabila suatu DAS dihutankan kembali maka pengaruhnya terhadap tata

air DAS akan memakan waktu puluhan tahun. Pencegahan penebangan hutan jauh

lebih penting dari pada membiarkan penebangan hutan dan menanami kembali

lahan gundul dengan pohonpohonan. Lagipula apabila penanaman pohon dipilih

sebagai metode pengatur tata air DAS, penanamannya harus mencakup sebagian

besar wilayah DAS tersebut. Jika hanya 20- 30% dari wilayah DAS ditanami,

pengaruhnya terhadap tata air mungkin tidak nyata. Penyebaran tanaman kayu-

kayuan secara merata dalam suatu DAS tidak terlalu memberikan arti dalam

menurunkan sedimentasi

2. Koefesien Penggalian ( c )

Koefesien air aliran atau sering di singkat C adalah bilangan yang

menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah

hujan.misalnya C untuk hutan adalah 0,10,artinya 10 persen dari total curah hujan

akan menjadi air larian.Secara matematis,koefesien air larian dapat di jabarkan

sebagai berikut:

Koefesien air larian ( C ) = air larian (mm)/curah hujan (mm). Angka

koefesien air larian ini merupakan salah satu indicator untuk menentukan apakah

suatu DAS telah mengalami gangguan ( fisik ). Nilai C besarnya menunjukkan

bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian. Hal ini kurang
8

menguntungkan dari segi pencagaran sumber daya air karna besarnya air yang

akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainya adalah dengan semakin

besarnya jumlah air hujan yang menjadi air larian,maka ancaman terjadinya erosi

dan banjir menjadi lebih besar. Angaka C berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0

menunjukkan bahwa bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi

dan terutama infiltrasi. Sedang angka C = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan

mengalir sebagai air larian. Dilapangan, angka koefisien air larian biasanya lebih

besar dari 0 dan lebih kecil dari 1.

a. Hitung curah hujan rata – rata di suatu DAS pada tahun tertentu (t),misalnya

P = mm/tahun.

b. Ubah satuan curah hujan tersebut menjadi m/tahun yaitu dengan mengalikan

bilangan 1/1000, sehingga curah hujan tersebut menjadi P/1000 m/tahun.

c. Hitung jumlah air yang mengalir melalui outlet sungai yang bersangkutan

pada tahun t tersebut.

Tabel 1.Koefesien limpasn


Tipe pengaliran Koefisien
Rerumputan :
Tanah pasir, datar, 2% 0,50 – 0,10
Tanah pasir, sedang, 2-7% 0,10 – 0,15
Tanah pasir, curam 7% 0,15 – 0,20
Tanah gemuk, datar, 2% 0,13 – 0,17
Tanah gemuk, sedang, 2-7% 0,18 – 0,22
Tanah gemuk, curam, 7% 0,25 – 0,35

Business :
Perkotaan 0,75 – 0,95
Pinggiran 0,50 – 0,70
Perumahan :
Rumah tunggal 0,30 – 0,50
Multi unit terpisah 0,40 – 0,60
Multi unit tergabung 0,60 – 0,75
Perkampungan 0,25 – 0,40
Apartemen 0,50 – 0,70
Industri :
9
Lanjutan tabel 1

Tipe pengaliran Koefisien


Ringan 0,50 – 0,80
Berat 0,60 – 0,90
Perkerasan :
Aspal dan beton 0,70 – 0,95
Batu bata, paving 0,50 – 0,70
Hutan :
Datar, 0 – 5 % 0,10 – 0,40
Bergelombang, 5 – 10% 0,25 – 0,50
Berbukit, 10 – 30% 0,30 – 0,60
Atap 0,75 – 0,95
Taman, perkuburan 0,10 – 0,25
Tempat bermain 0,20 – 0,35
Halaman kereta api 0,10 -0,35

Sumber : Disalin sebagian dari suripin (2004)

B. Banjir

Untuk (Suripin, 2004) menerangkan, banjir adalah suatu kondisi dimana

tidak tertampungnya air dalam saluran pembuang (palung sungai) atau

terhambatnya air di dalam saluran pembuang, sehingga meluap mengenai daerah

(dataran banjir) sekitarnya. Selanjutnya dinyatakan bentuk hidrograf banjir pada

suatu daerah tangkapan ditentukan oleh 2 hal yaitu :

1. Karakteristik hujan lebat yaitu didistribusi dari intensitas hujan dalam waktu

dan ruang.

2. Karakteristik daerah tangkapan seperti : luas, bentuk, sistem saluran dan

kemiringan lahan, jenis, dan distribusi lapisan tanah serta struktur geologi dan

geomorfologi

Disebutkan juga mengenai dataran banjir, definisi dataran banjir adalah

dataran yang luas, dan berada pada kiri kanan sungai yang terbentuk oleh sedimen

akibat limpasan banjir sungai tersebut. Umumnya berupa pasir, lanau, dan lumpur.

Dataran banjir merupakan bagian terendah dari floodplain. Ukuran dan bentuk

dari dataran banjir ini sangat tergantung dari sejarah perkembangan banjir, tetapi
10

umumnya berbentuk memanjang (elongate). Endapan dataran banjir (floodpain)

biasanya terbentuk selama proses penggenangan/inundationsi .

Dataran banjir saat ini sering dimanfaatkan sebagai lahan tempat tinggal

oleh penduduk, sehingga menyulitkan untuk menanggulangi permasalahan

pengaliran air pada beberapa wilayah yang merupakan aliran air alami. Pada

umumnya banjir di perkotaan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : curah

hujan tinggi, pengaruh fisografi, erosi dan sedimentasi pada saluran,

pendangkalan sungai, kapasitas drainase yang kurang memadai, kawasan kumuh,

sampah, alih fungsi lahan, dan perencanaan penanggulangan banjir yang tidak

tepat (Kodoatie, R. J. dan Sugiyanto, 2002).

a. Penyebab Banjir

Menurut Kodoatie, dan Sugiyanto (2002), banyak faktor menjadi

penyebab terjadinya banjir. Namun secara umum penyebab terjadinya banjir dapat

diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab

alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia.

Yang termasuk sebab-sebab alami diantaranya adalah:

1). Curah hujan

2). Pengaruh Fisiografi

3). Erosi dan Sedimentasi

4). Kapasitas sungai

5). Kapasitas drainasi yang tidak memadai

6). Pengaruh air pasang

Yang termasuk sebab-sebab banjir karena tindakan manusia adalah:

1) Perubahan Kondisi DPS


11

2) Kawasan kumuh

3) Sampah

4) Drainase lahan

5) Kerusakan bangunan pengendali banjir

b. Sistem Pengendalian Banjir (Flood Control System)

Menurut Kodoatie, R. J. dan Sugiyanto 2002), sistem pengendalian banjir

pada suatu daerah perlu dibuat dengan baik dan efisien, memperhatikan kondisi

yang ada dan pengembangan pemanfaatan sumber air mendatang. Pada

penyusunan sistem pengendalian banjir perlu adanya evaluasi dan analisis atau

memperhatikan hal-hal yang meliputi :

1) Analisis cara pengendalian banjir yang ada pada daerah tersebut atau yang

sedang berjalan.

2) Evaluasi dan analisis daerah genangan banjir, termasuk data kerugian akibat

banjir.

3) Evaluasi dan analisis tata guna tanah di daerah studi, terutama di daerah dataran

banjir.

4) Evaluasi dan analisis daerah pemukiman yang ada maupun perkembangan yang

akan datang.

5) Memperhatikan potensi dan pengembangan sumber daya air mendatang.

6) Memperhatikan pemanfaatan sumber daya air yang ada termasuk bangunan

yang ada.

Cara pengendalian banjir dapat dilakukan secara struktural dan non-struktural,

dapat dilihat pada halaman berikutnya.


12

PENGENDALIAN BANJIR

METODE STRUKTUR METODE NON STRUKTURAL


KKDKJDJWDIJIJQDIOSTRSTRSS
STRUK STRSTRUKTURAL
PERBAIKAN DAN PERBAIKAN DAN • Pengelolaan DAS
PENGATURAN SISTEM PENGATURAN SISTEM • Pengaturan tata guna
SUNGAI SUNGAI lahan
• Pengendalian erosi
• Pengembangan daerah
banjir
• Pengaturan daerah
• System jaringan sungai • Bendungan (dam)
banjir
• Normalisasi sungai • Kolam Retensi
• Penanganan kondisi
• Perlindungan tanggul • Pembuatan check dam darurat
• Tanggul banjir (penangkap sedimen)
• Peramalan banjir
• Sudetan (By pass) • Bangunan pengurang
• Peringatan bahaya
• Flood way kemiringan sungai
banjit
• Ground sill
• Asuransi
• Retarding Basin
• Law Enforcement
• Pembuatan polder

Gambar 1. Pengendalian Banjir Metode Struktural dan Non Stuktural

C. Curah Hujan Wilayah

Data curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang

mendapatkan hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian

diramalkan besarnya curah hujan pada periode tertentu. Berikut dijabarkan

tentang cara menentukan tinggi curah hujan areal. Dengan melakukan penakaran

atau pencatatan hujan, kita hanya mendapat curah hujan di suatu titik tertentu

(point rainfall). Jika di dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau

pencatat curah hujan, maka dapat diambil nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai

curah hujan areal.

Ada 3 macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan

rata-rata pada areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos

penakar atau pencatat (Sosrodarsono dan Takeda, 1987), yaitu Metode Polygon
13

Thiessen, Metode Ishoyet dan Metode Rata-rata Aljabar. Namun pada penelitian

ini metode yang digunakan adalah metode Polygon Thiessen dan Metode Rata-

rata Aljabar.

a. Metode Poligon Thiessen

Cara ini memperhitungkan luas daerah yang mewakili dari pos-pos hujan

yang bersangkutan (Sumber: Sri Harto, Analisis Hidrologi, 1993). untuk

digunakan sebagai faktor bobot dalam perhitungancurah hujan rata-rata.

Rumus :

Ṝ = R1W1+R2W2 + …+ RnWn

Dimana :

R = curah hujan rata-rata (mm)

R1...R2...Rn = curah hujan masing-masing stasiun (mm)

W1...W2...Wn = faktor bobot masing-masing stasiun. Yaitu daerah pengaruh

terhadap luas keseluruhan

STASIUN A STASIUN A

STASIUN B
STASIUN B

STASIUN C
STASIUN D STASIUN D
STASIUN C

STASIUN E STASIUN E

STASIUN A
STASIUN B

STASIUN C
STASIUN D

STASIUN E

Gambar 2. Pembagian daerah dengan cara Thiessen


(Sumber : Sri Harto, Analisis Hidrologi, 1993)
14

b. Metode Rata-rata Aljabar

Cara menghitung rata-rata aritmatis (arithmetic mean) adalah cara yang

paling sederhana. Metode rata-rata hitung dengan menjumlahkan curah hujan dari

semua tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan membaginya dengan

banyaknya tempat pengukuran. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah

sebagai berikut :

Ṝ = R1 + R2 + R3 .....+ Rn

N
Dimana :

Ṝ = curah hujan rata-rata (mm)

R1, R2, R3 = besarnya curah hujan pada masing-masing pos (mm)

n = banyaknya pos hujan

D. Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan yang dinyatakan dalam

tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu, yang terjadi pada satu kurun

waktu air hujan terkonsentrasi (Wesli, 2008). Besar intensitas curah hujan berbeda

– beda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadian.

Tabel 2. Penentuan jeni-jenis distribusi


No. Jenis Distribusi Syarat

1 Disribusi Normal Ck ~ 3
Cs ~ 0
2 Distribusi Log Normal Cv ~ 0.06
Cs ~ 3Cv + Cv2 =
0.1482
3 Distribusi Gumbell Cs ~ 1.1396
Ck ~ 5.4002
4 Distribusi Log Person Type Cs ~ bebas
III Cv ~ bebas
Sumber : Syofyan, Z Dosen ITP, 2014
15

1. Menurut Dr. Mononobe

Jika data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian. Rumus yang

digunakan:
2
R24 24
I= [ t ]3
25

Dimana :

𝐼 = intensitas curah hujan (mm/menit)

𝑡 = lamanya curah hujan atau durasi (menit)

R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

2. Metode Sherman

Rumus Sherman dikemukakan oleh Professor Sherman pada tahun 1905.

Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih

dari 2 jam. Adapun rumus tersebut :


𝑎
I = 𝑡ⁿ

Dimana :

∑(𝑙𝑜𝑔𝑖) ∑(log 𝑡)²−∑(𝑙𝑜𝑔𝑡.𝑙𝑜𝑔𝑖 )(∑ 𝑙𝑜𝑔𝑡)


𝑙𝑜𝑔 𝑎 = 𝑁 ∑(𝑙𝑜𝑔𝑡)2 −(∑(𝑙𝑜𝑔𝑡))²

∑(𝑙𝑜𝑔𝑖) ∑(log 𝑡)−𝑁 ∑(𝑙𝑜𝑔𝑡.𝑙𝑜𝑔𝑖)


𝑙𝑜𝑔 𝑛 = 𝑁 ∑(𝑙𝑜𝑔𝑡)2 −(∑(𝑙𝑜𝑔𝑡))²

𝐼 = intensitas curah hujan (mm/menit)

𝑡 = lamanya curah hujan atau durasi (menit)

3. Metode Ishigoro

Rumus ishigiro ini dikemukakan oleh Dr. Ishigiro tahun 1953. Adapun rumus

tersebut :
𝑎
I=
√𝑡+𝑏
16

Dimana :

∑(𝑖√𝑡) ∑(i ²)−∑(𝑖√𝑡) ∑(𝑖)


𝑎= 𝑁 ∑(𝑖 2 )−(∑(𝑖)²)

∑(𝑖) ∑(i√t)−𝑁 ∑(𝑖²𝑡)


𝑏= 𝑁 ∑(𝑖 2 )−(∑(𝑖)²)

𝐼 = intensitas curah hujan (mm/menit)

𝑡 = lamanya curah hujan atau durasi (menit)

i = presipitasi/intensitas curah hujan jangka pendek t menit

a,b,n = konstanta yang bergantung pada lamanya curah hujan

N = jumlah pengamatan

E. Analisis Curah Hujan

Metode yang digunakan untuk menghitung curah hujan rancangan adalah:

1. Log Pearson Type III

Distribusi Log Pearson Tipe III atau Distribusi Extrim Tipe III digunakan

untuk analisis variabel hidrologi dengan nilai varian minimum misalnya analisis

frekwensi distribusi dari debit minimum (low flows). Distribusi Log Pearson Tipe

III merupakan hasil transformasi dari distribusi Pearson Tipe III dengan

menggantikan data menjadi nilai logaritmik. Pada distibusi Log Pearson Tipe III

tidak mempunyai sifat khas yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan jenis

distribusi ini. Pada umumnya sebaran data statistik memenuhi kriteria pada

metode ini. Persamaan distribusi Log Pearson Tipe III dapat ditulis sebagai

berikut :

Log Xt = Log X + ( G  S )
Keterangan :

Xt = Besarnya curah hujan dengan periode t (mm)


17

Log X = Rata-rata nilai logaritma data X hasil pengamatan (mm)

Penentuan jenis distribusi probabilitas yang sesuai dengan data dilakukan

dengan mencocokkan parameter data tersebut dengan syarat masing-masing jenis

distribusi seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan Pemilihan Jenis Distribusi/Sebaran Frekuensi

N0 Distribusi Persyaratan
Cs = 1,14
1 Gumbel
Ck = 5,4
Cs = 0
2 Normal
Ck = 3
Cs = Cv3 + 3Cv
3 Log Normal Ck = Cv8 + 6Cv6 + 15Cv4 +
16Cv2 + 3
4 Log Pearson III Selain dari nilai di atas
Sumber : Bambang,T (2008)

1) Harga rata-rata

∑ log 𝑋
log 𝑋 = 𝑛

2) Standar deviasai

∑(log X−log X)2


Slog X = √
n−1

3) Koefisien variasi

Slog X
log 𝑋 = logX

4) Koefisien kemencengan (skewness)

𝑛 .∑(𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖−𝐿𝑜𝑔 𝑋)3


Cs =
(𝑛−1)(𝑛−2)(𝑆 log 𝑋)3

5) Koefisien kurtosis

𝑛2 .∑(𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖−𝐿𝑜𝑔 𝑋)4


Ck =
(𝑛−1)(𝑛−2)(𝑛−3)(𝑆 log 𝑋)4
18

2. Analisa curah hujan metode Gumbel

Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode distribusi gumbel

digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut:

Xt = Xr + (K x Sx)

∑( 𝑋−𝑋𝑟)2
Sx = √ 𝑛−1

𝑌𝑡−𝑌𝑛
K = 𝑆𝑛

Dimana :

Xt = nilai variat yang di harapkan terjadi.

Xr = nilai rata-rata hitung variat

Yt = nilai reduksi variat dari variabel yang di harapkan terjadi pada

veriode ulang tertentu.

Yn = nilai rata-rata dari reduksi varian ( mean of reduce variate) nilainya

tergantung dari jumlah data (n)

Sn = deviasi standar dari reduksi varian (mean of reduce variate) nilainya

tergantung dari jumlah data (n)

3. Distribusi Curah Hujan Tiap Jam

Perhitungan hidrograf banjir dengan memakai sistem unit hidrograf

diperlukan pembagian hujan yang mungkin terjadi dalam selang waktu. Daerah

pengaliran diIndonesia biasanya diambil selang waktu 5 sampai dengan 7 jam.

Sebagai pendekatanuntuk pengaliran DAS Saddang diambil hujan harian selama 5

jam. Pengambilan curahhujan tiap jamnya dihitung dengan metode mononobe,

yaitu:

1) Perhitungan rata-rata hujan sampai jam ke-T

Rt = Ro (T1/t)2/3 = Ro (5/T)2/3
19

Ro = R24/T1

Dengan :

Rt = Rata-rata hujan jam ke-T,

T1 = Waktu terpusat hujan harian,

R24 = Hujan harian Maksimum (mm/jam),

Ro = Hujan harian rata-rata (mm/jam).

2) Perhitungan curah hujan pada jam ke-T

Rt = t.Rt- (t-1) . R (t-1)

Keterangan :

Rt = Curah hujan pada jam ke-T

4. Curah Hujan Efektif

Untuk menghitung debit banjir rencana, maka hasil perhitungan curah

hujan harian dirubah menjadi hujan efektif. Dalam hal ini curah hujan efektif

sama dengan curah hujan harian dikurangi dengan kehilangan seperti penguapan,

peresapan, dan sebagainya.Apabila kehilangan tersebut dinyatakan sebagai bagian

dari hujan rata-rata yangjatuh di dalam aliran sungai, maka besarnya curah hujan

menjadi :

Re = Rt-d.Rt

= Rt (1-d), jika 1-d = C

Dengan :

Re = Curah hujan efektif,

Rt = Curah hujan rata-rata yang jatuh di dalam daerah aliran sungai,

D = Koefisien yang menyatakan berapa bagian kehilangan curah hujan,

C = Koefisien aliran.
20

Tabel 4. Harga Koefisien Pengaliran (Run Off Coeffisien)


Kondisi Daerah Aliran Harga C

Daerah pegunungan berlereng terjal 0,75 - 0,90

Daerah perbukitan 0,70 - 0,80

Daerah bergelombang dan bersemak-semak 0,50 - 0,75

Daerah dataran yang digarap 0,45 - 0,60

Daerah persawahan irigasi 0,70 - 0,80

Sungai di daerah pegunungan 0,75 - 0,80

Sungai kecil di daerah dataran 0,45 - 0,75

Sungai yang bebas dengan wilayah pengikisan yang 0,50 - 0,75


lebihdari seperlunya terdiri dari dataran
(Sumber : Bendungan Type Urugan Ir. Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda)

F. Debit Puncak Banjir

Debit puncak banjir adalah debit maksimum di sungai atau saluran

alamiah dengan periode ulang (rata-rata) yang sudah ditentukan yang dapat

dialirkan tanpa membahayakan proyek irigasi dan stabilitas bangunan

bangunannya. Debit puncak banjir ditetapkan dengan cara menganalisis debit

puncak, dan biasanya dihitung berdasarkan hasil pengamatan harian tinggi muka

air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit puncak. Debit puncak

banjir ini dipergunakan untuk perhitungan tinggi air banjir.

Adapun beberapa metode yang di gunakan dalam perhitungan debit

puncak banjir antara lain yaitu :

1. HSS Soil Conservation Services (SCS)

Hidrograf satuan tak berdimensi SCS adalah hidrograf sintetis yang

diekspresikan dalam bentuk perbandingan antara debit q dengan debit puncak qp

dan waktu t dengan waktu naik (time of rise) Tp seperti terlihat Gambar 16 a-
21

Hidrograf satuan sintetik SCS dan Tabel 5 dengan memperhatikan koordinat dari

hidrograf ini. Nilai qp dan Tp dapat diperkirakan dengan menggunakan

penyederhanaan model hidrograf satuan segitiga seperti Gambar 17 b-Hidrograf

satuan sintetik SCS dengan satuan waktu jam dan debit dalam m3/s. Dalam kajian

terhadap banyak hidrograf satuan, waktu turun (time of recession) dapat

diperkirakan sebesar 1,67 Tp dan basis hidrograf tp = 2,67 Tp. Untuk limpasan

langsung (direct runoff) sebesar 1 cm diperoleh debit puncak.

Tabel 5. Nilai t/Tp dan q/qp HSS SCS

t/Tp q/qp t/Tp q/qp t/Tp q/qp

0 0,000 1,1 0,980 2,8 0,098


0,1 0,015 1,2 0,920 3,0 0,075
0,2 1,3 0,860 3,5
0,075 0,036
0,3 0,160 1,4 0,750 4,0 0,018
0,4 0,280 1,5 0,660 4,5 0,009
0,5 0,430 1,6 0,560 5,0 0,004
0,6 0,600 1,8 0,420 - -
0,7 0,770 2,0 0,320 - -
0,8 0,890 2,2 0,240 - -
0,9 0,970 2,4 0,180 - -
1,0 1,000 2,6 0,130 - -

Sumber : SNI 2415:2016 halaman.37

Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan HSS SCS adalah sebagai

berikut :

𝑪𝑨
qp =𝑻
𝑷

Keterangan:
22

qp adalah puncak hidrograf satuan (m3/s);

C adalah konstanta = 2,08;

A adalah luas DAS (km2);

Tp adalah waktu naik atau waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga

mencapai puncak hidrograf (jam).

Lama waktu kelambatan (time lag) tp = 0,6 Tc ..

Keterangan:

tp adalah waktu kelambatan yaitu waktu antara titik berat curah hujan hingga

puncak hidrograf (jam); Tc adalah waktu konsentrasi yang dapat dihitung dengan

persamaan KIRPICH (1940).

Tc= 0,01947 L0,77 S-0,385

Keterangan: Tc adalah waktu konsentrasi (menit);

L adalah panjang maksimum lintasan air (m);

S adalah kemiringan (slope) DAS = H/L; H adalah perbedaan ketinggian antara titik

terjauh di DAS dengan tempat pelepasan (outlet)

𝒕𝒓
TP =
𝟐

Keterangan:

Tp adalah waktu naik (jam);

tr adalah lama terjadinya hujan efektif (jam);

tp adalah waktu kelambatan (jam).

Langkah perhitungan :

1. Ambil durasi hujan Tc dari data hujan yang tersedia;

2. Hitung waktu konsentrasi Tc;

3. Hitung lama waktu kelambatan tp;

4. Hitung waktu naik Tp;


23

5. Hitung puncak hidrograf satuan qp;

6. Hidrograf tak berdimensi seperti Hidrograf tak berdimensi

7. Hidrograf satuan segitiga Gambar 3 dapat diperoleh dengan mengalikan sumbu

horizontal dengan Tp dan sumbu vertikal dengan qp serta basis hidrograf tp = 2,67 Tp.

Gambar 3. Hidrograf satuan sintetik SCS

Keterangan:

a) Hidrograf tak berdimensi

(b) Hidrograf satuan segitiga

Pengujian hasil perhitungan debit banjir desain :

Untuk mempertinggi tingkat ketelitian hasil hitungan dari metode yang dipilih,

disamping perlu dilakukan kalibrasi terhadap metode yang dipakai juga dapat diuji

dengan cara sebagai berikut :

a. Hasil perhitungan dibandingkan dengan hasil-hasil pengukuran debit yang pernah

dilakukan di DAS lain didekatnya yang kondisinya hampir bersamaan.

b. Dibandingkan dengan metode-metode hidrograf satuan yang lain.

2. HSS Gama 1

HSS Gama 1 diteliti dan dikembangkan berdasarkan perilaku 30 DAS di


24

Pulau Jawa oleh Sri Harto. Bagian-bagian dari HSS Gama 1 adalah bagian naik,

puncak, dan bagian turun. Unsur-unsur HSS Gama 1 meliputi : waktu puncak

(Tt), debit puncak (Qp), dan waktu dasar (Tb). Parameter DAS yang diperlukan

dalam perhitungan Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1 adalah sebagai berikut :

1. Luas DAS (A).

2. Panjang alur sungai utama (L).

3. Jarak antara titik berat DAS dengan outlet yang diukur disepanjang aliran

utama (Lc).

4. Kemiringan memanjang dasar sungai (S).

5. Kerapatan jaringan drainase (D), yaitu perbandingan antara panjang total aliran

sungai (jumlah panjang sungai semua tingkat) dengan luas DAS.

6. Faktor sumber (SF), yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat 1

dengan jumlah panjang sungai semua tingkat. Menurut cara Stahler, tingkat

sungai dikategorikan dengan cara berikut :

a. Sungai paling hulu disebut sungai tingkat 1.

b. Jika dua sungai yang sama tingkatan nya bertemu, maka terbentuk sungai satu

tingkat lebih tinggi.

c. Jika sungai dengan suatu tingkat tertentu bertemu dengan sungai yang

tingkatannya lebih rendah, maka tingkatan sungai mula-mula tidak berubah.

7. Frekuensi sumber (SN), yaitu perbandingan jumlah pangsa sungai tingkat 1

dengan jumlah pangsa sungai semua tingkat.

8. Faktor lebar (WF), yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur di titik

sungai yang berjarak 0,75 L dari titik kontrol (WU) dan lebar DAS yang diukur

di titik sungai yang berjarak 0,25 L dari titik kontrol atau outlet (WL).
25

9. RUA, adalah perbandingan antara UA dan A. AU = luas DAS di sebelah hulu

garis yang ditarik tegak lurus terhadap garis hubung antara titik kontrol (outlet)

dengan titik di sungai yang terdekat dengan titik berat DAS. A = luas total

DAS.

𝑨𝑼
Jadi RUA =
𝑨

10. Faktor simetri (SIM)

SIM = WF x RUA

SIM ≥ 50, artinya DAS melebar di hulu dan menyempit di hilir.

SIM < 50, artinya DAS menyempit di hulu dan melebar di hilir.

Rumus-rumus yang dipergunakan dalam menurunkan HSS Gama 1 adalah

sebagai berikut :

𝐋𝟑
1. Tr = 0,43 x + 1,0665 x SIM + 1,2775
𝟏𝟎𝟎 𝑿 𝑺𝑭

2. Tb = 27,4132 x Tr0,1457 x S-0,0986 x SN0,7344 x RUA0,2574

3. Qp = 0,1836 x A0,5886 x Tr -0,4008 x JN0,2381

4. K = 0,5617 x A0,1798 x S-0,1446 x SF-1,0897 x D0,0452

5. Qt = Qp x e (-t/K)

Keterangan tambahan rumus :

Tr = waktu puncak (jam)

Tb = waktu dasar (jam)

Qp = debit puncak hidrograf (m3 /detik)

Qt = debit pada bagian turun hidrograf (m3 /detik)

K = tampungan (jam)
26

JN = jumlah pertemuan sungai

Langkah-langkah perhitungan HSS Gama 1 adalah :

a. Input data DAS :

1. Luas DAS (A)

2. Luas DAS (A)

3. Panjang aliran utama (L)

4. Lebar DAS di titik 0,25 L dari outlet (WL)

5. Lebar DAS di titik 0,75 L dari outlet (WU)

6. Kemiringan memanjang dasar sungai (S)

7. Kemiringan memanjang dasar sungai (S)

8. Panjang sungai semua tingkat 1 (L1)

9. Panjang sungai semua tingkat 1 (L1)

10. Pangsa sungai tingkat 1 (P1)

11. Pangsa sungai semua tingkat (PN)

b. Hitung SF, WF, RUA, SN, D, SIM

𝑳𝟏
1. SF =
𝑳𝑵

𝑾𝑼
2. WF =
𝑾𝑳

𝑨𝑼
3. RUA =
𝑨

4. SIM = WF x RUA

𝑷𝟏
5. SN =
𝑷𝑵

𝑳𝑵
6. D =
𝑨

c. Hitung Tr
27

𝐋𝟑
Tr = 0,43 x + 1,0665 x SIM + 1,2775
𝟏𝟎𝟎 𝑿 𝑺𝑭

d. Hitung Tb

Tb = 27,4132 x Tr 0,1457 x S-0,0986 x SN0,7344 x RUA0,2574

e. Hitung Qp

Qp = 0,1836 x A0,5886 x Tr -0,4008 x JN0,2381

f. Hitung K

K = 0,561 x A0,1793 x S-0,1446 x SF-1,0897 x D0,0452

g. Hitung Qt

Qt = Qp x e (-t/K)

Gambar 4. Hidrograf satuan Sintetik Gama 1


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak pada titik koordinat antara 3°34'56.2"S

119°46'15.2"E, yang berada di Sungai Saddang, kabupaten Enrekang, Sulawesi

Selatan.

Gambar 4. : Peta DAS Saddang (ArcGis 10.8.1)

Titik outlet

Gambar 5. Lokasi Penelitian di Sungai Saddang, kabupaten Enrekang,


Sulawesi Selatan, Titik Koordinat 3°34'56.2"S119°46'15.2"E.(blende8.6.1)

28
29

B. Data Yang Diperlukan

Berdasarkan sumber data didapat dari instansi terkait :

Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang Direktorat Jenderal

Sumber Daya Air dan Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Provinsi

Sulawesi Selatan:

1. Peta DAS Sungai Saddang

2. Data curah hujan dengan 5 stasiun di Sungai Saddang :

a. Stasiun Bakaru 2000-2015

b. Stasiun Salubarani 2000-2015

c. Stasiun Sumarorong 2000-2015

d. Stasiun Masuppu 2000-2015

e. Stasiun Makale 2000-2015

C. Analisis Data

Dalam metode analisis data merupakan tahapan proses penelitian dimana

data yang sudah dikumpulkan dan diolah dalam rangka menjawab rumusan

masalah. Dalam penelitian ini metode analisis data yang dilakukan yaitu:

1. Analisis curah hujan wilayah, menggunakan metode poligon Thiessen.

Ṝ = R1W1+R2W2 + …+ RnWn

2. Analisis distribusi curah hujan, menggunakan distribusi log person III

Log Xt = Log X + ( G  S )
3. Menghitung debit puncak banjir dengan Metode Soil Conservation Services

(SCS)

𝒄𝐱𝑨
q p= (m3 /dt/s)
𝑻𝑷
30

4. Menghitung debit puncak banjir dengan Metode HSS Gama 1

Qp = 0,1836 x A0,5886 x Tr -0,4008 x JN0,2381

D. Bagan Alur Penelitian

Mulai

Studi literatur Survey pendahuluan

Pengumpulan data sekunder


1. Data Curah Hujan 16
tahun dengan 5 stasiun.
2. Peta DAS

Tidak
cek
Ya

1. Analisi curah hujan wilayah dengan


metode Poligon Thiessen denga rumus
Ṝ = R1W1+R2W2 + …+ RnWn
2. Analisa curah hujan rencana dengan
metode Log Person Type III (Log XT =
Log X + (KT x S Log X) dan Metode
Gumbel Xt = X + S x K 
3. Perhitungan debit banjir dengan Metode
Soil Conservation Services (SCS)
𝒄𝐱𝑨
dengan rumus :qp= (m3 /dt/s)
𝑻𝑷
dan Gama 1 dengan rumus : Qp = 0,1836
x A0,5886 x Tr -0,4008 x JN0,2381

Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

Gambar 6. Bagan Alur Pengerjaan Tugas Akhir

Anda mungkin juga menyukai