Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dipaparkan teori dari bberbagai sumber yang bertujuan untuk
memperkuat pembahasan maupun sebagai dasar pertimbangan dalam menggunakan
rumus tertentu untuk updaya penanggulangan banjir dan potensi daerah genangan
DAS Kali Lamong berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG).
2.1 Banjir
Dalam tinjauan Pustaka banjir ini terdapat teori mengenai definisi banjir, faktor
penyebab banjir, kerawanan banjir, proses terjadinya banjir, prediksi banjir, serta
kerugian yang ditimbulkan.
2.1.1 Tinjauan Umum
Banjir berasal dari limpasan yang mengalir melalui sungai atau menjadi genangan.
Sedangkan limpasan adalah aliran air mengalir pada permukaan tanah yang
ditimbulkan oleh curah hujan setelah air mengalami infiltrasi dan evaporasi,
selanjutnya mengalir menuju sungai. Sehingga limpasan mempressentasikan output
dari daerah aliran sugai yang ditetapkan dalam satuan waktu.
2.1.2 Faktor Penyebab Banjir
Secara umu penyebab banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir
yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh Tindakan
manusia. Penyebab banjir diantaranya:
 Curah hujan
Indonesia mempunyai iklim tropis sehingga sepanjang tahun mempunyai dua musim
yaitu antara bulan Oktober sampai bulan Maret, dan musim kemarau terjadi antara
bulan April sampai bulan September. Pada musim penghujan, curah hujan yang
tinggi akan mengakibatkan di sungai dan jika melebihi tebing sungai maka akan
timbul genangan.
 Pengaruh fisiografi
Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan daerah
pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik (bentuk

7
penampang meliputi lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar
sungai) lokasi sungai merupakan hal – hal yang mempengaruhi terjadinya banjir.
 Erosi dan sedimentasi
Erosi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang
sungai. Erosi menjadi masalah klasik pada sungai – sungai di Indonesia.
Besarnya sedimentasi akan mengurani kapasitas saluran, sehingga timbul
genangan dan banjir pada sungai.
 Kapasitas sungai
Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh
pengendapan yang berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang
berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena tidak adanya vegetasi
penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat.
 Kapasitas drainase yang tidak memadai
Hampir semua kota – kota di Indonesia mempunya drainase daerah genangan
yang tidak memadai, sehingga banyak kota di Indonesia yang terendam banjir
saat musim hujan.
 Pengaruh air pasang
Air pasang dapat memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir
bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka genangan akan terjadi akibat
aliran balik (backwater).
 Perubahan kondisi DPS
Perubahan DPS seperti pengundulan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat,
perluasan kota, dan perubahan tataguna lainnya dapat memperburuk masalah
banjir karena meningkatnya aliran banjir, perubahan tataguna lahan
memberikan kontribusi yang besar terhadap dan kuantitas banjir.
 Kawasan kumuh
Perumahan kumuh yang terdapat sepanjang sungai dapat menghambat aliran.
Masalah kawasan kumuh dikenal sebagai faktor penting terhadap masalah banjir
di daerah perkotaan.

8
 Sampah
Disiplin masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya sangat kurang,
umumnya mereka langsung membuang sampah ke sungai. Di kota besar hal
ini banyak dijumpai, pembuangan sampah di alur sungai dapat meninggikan
muka air banjir karena menghalangi aliran.
 Drainase lahan
Drainase perkotaan dan pengembangan pertanian pada derah bantuan banjir
akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit banjir.
 Bendung dan bangunan air
Bendung dan bangunan air lain seperti pilar jempatan dapat meningkatkan
elevasi muka air banjir karena meningkatkan elevasi muka air karena efek
aliran balik.
 Kerusakan bangunan pengendali banjir
Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga
menimbulkan kerusakan dan tidak dapat berfungsi.
 Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat
Beberapa sistem pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakan
akibat banjir kecil sampai sedang, tetapi mungkin dapat menambah kerusakan
selama banjir-banjir yang besar. Sebagai contoh bangunan tanggul yang tinggi.
Limpasan pada tanggul pada waktu terjadi banjir yang melebihi banjir rencana
dapat menyebabkan keruntuhan tanggul, hal ini menimbulkan kecepatan aliran
air menjadi sangat besar yang melalui bobolnya tanggul sehingga
menimbulkan banjir yang besar.

2.2 Morfologi Sungai


Morphologi sungai merupakan hal – hal yang berkaitan dengan bentuk dan struktur
sungai. Hal – hal yang berkaitan dengan morphologi sungai antara lain adalah dataran
banjir (flood plain), pembentukan delta, bentuk dan klasifikasi sungai (sungai lurus,
berselampit/braided, bermeander). Sungai bermeander terdiri atas lengkungan sungai

9
yang membentuk huruf S. Lane (1957) mendefinisikan sebagai sungai yang
alinemen memanjangnya terdiri atas bentuk – bentuk tersebut. Mathes (1914)
mendefinisikan sebagai pola sungai berbentuk huruf S di daerah yang bermaterial
aluvial yang bebas untuk menggeser lokasinya dan menyesuaikan bentuk dan
sebagai bagian dari gerakan migrasi sungai secara keseluruhan ke bagian hilir
lembah. (KodoatieJ. Robert: 2013)

2.2.1 Karakteristik Alur Sungai


Dari tempat asalnya sungai dapat dikelompokkan menjadi tiga daerah yaitu :
daerah hulu (pegunungan), daerah transisi, dan daerah hilir (pantai). Ketiga daerah ini
juga menunjukkan sifat dan karakteristik dari sistem sungai yang berbeda.Di daerah
hulu terutama di daerah pegunungan sungai – sungai biasanya mempunya kemiringan
yang terjal (steep slope), kemiringan dasar sungai antara 2% - 3%. Kemiringan yang
terjal dan curah hujan yang tinggi akan menimbulkan kuat arus (stream power)
besar sehingga debit aliran sungai berlangsung dengan cepat. Pada bagian hulu
ditandai dengan adanya erosi di DPS (daerah pengaliran sungai) atau erosi akibat
pengerusan dasar sungai dan longsornya tebing. Material dasar sungai dapat
berbentuk batu besar (boulder), kerakal, kerikil dan pasir. Bentuk sungai di
daerah hilir adalah selampit/kepang (braider). Penampang melintang sungai
umumnya berbentuk huruf V.
Di daerah transisi transisi yaitu daerah peralihan dari pegunungan ke pantai
kemiringan dasar sungai umumnya kurang dari 2%, karena kemiringan memanjang
dasar sungai di daerah sungai maka berangsur – angsur menjadi landai (mild). Di
daerah ini berkurangnya debit aliran terjadi walaupun erosi masih terjadi namun
sedimentasi meningkat yang menyebabkan endapan sedimenmulai timbul, akibat
pengendapan ini berpengaruh terhadap mengecilnya kapasitas sungai
(pendangkalan). Proses degradasi (pergerusan) dan agradasi (penumpukan) sedimen
terjadi, akibatnya banjir dapat terjadi. Material dasar relatif lebih halus dibanding
di daerah hulu, penampang melintang umumnya beransur – ansur berubah dari
huruf V menjadi huruf U.

10
Di daerah pantai dan berakhir di laut (mulut sungai/estuary) kemiringan di
daerah ini beransur – ansur berubah dari landai menjadi sangat landai, bahkan ada
bagian – bagian sungai terutama yang mendekati laut kemiringan dasar sungainya
mendekati 0%. Umumnya bentuk sungai menunjukkan pola berbentuk meandering,
sehingga akan menghambat aliran banjir. Proses penumpukan sedimen lebih dominan
terjadi, material dasar sungai lebih halus dibanding dengan daerah transisi dan hulu.
Jika terjadi banjir periodenya lebih lama dibanding daerah hulu dan daerah
transisi.(KodoatieJ. Robert: 2013)

2.2.2 Karakteristik debit aliran sungai


Debit aliran sungai yang perlu diperhatikan adalah meliputi debit banjir yang pernah
terjadi, debit dominan dan pola hidrograf banjir. Debit aliran sungai termasuk bentuk
hidrografnya sangat ditentukan oleh :(Kodoatie J. Robert: 2013)
 Kondisi DAS (daerah aliran sungai) topografi (kemiringan DPS),
tataguna lahan vegetasi penutup DPS, jenis penggunaan lahan, struktur
tanah permukaan, struktur geologi dan pengelolaan DAS
 Bentuk DPS berupa: bulu burung, radial, pararel dll
 Curah hujan dengan sifat : intensitas hujan dan distribusi dalam
Ruang, arah gerak hujan, pola distribusi hujan dsb.
 Curah hujan di musim penghujan tahunan.
 Karakteristik jaringan alur sungai, tingkat order sungai, kondisi alur
Sungai dan kemiringan dasar sungai atau morphologi sungai.

2.3 Analisis Hidrologi
Data curah hujan disortir dengan memilih curah hujan maksimum yang terjadi tiap
tahun. Selanjutnya data tersebut diplotkan terhadap lokasi stasiun hujannya.
Kemudian curah hujan wilayah dapat dihitung dengan metode poligon thiessen.
Selanjutnya, data curah hujan yang telah diolah akan dianalisis menggunakan
beberapa parameter statistik. Adapun proses analisis tersebut dilakukan berdasarkan
pemaparan teori pada tinjauan pustaka, dengan langkah-langkah seperti berikut:

11
 Perhitungan Deviasi Standar
 Perhitungan Koefisien Asimetri
 Perhitungan Kurtosis
 Perhitungan Koefisien Variasi
 Perhitungan Distribusi Log Pearson Tipe III
 Uji Kecocokan Distribusi
Curah hujan rencana ditentukan berdasarkan hasil analisa statistik terhadap
data hujan yang dimiliki. Pada analisis curah hujan rencana, dilakukan sejumlah
tahapan mulai dari penentuan periode ulang, hingga perhitungan intensitas curah
hujan.

2.4 Analisis Data Curah Hujan


Data Curah hujan yang dimiliki dapat dianalisis menggunakan metode poligon
thiessen. Metode poligon thiessen merupakan salah satu metode yang dapat
digunakan untuk menentukan curah hujan wilayah. Poligon thiessen menggunakan
proporsi luasan daerah pengaruh stasiun hujan untuk mengatasi ketidakseragaman
jarak. Daerah pengaruh ditentukan lewat gambar poligon yang menghubungkan
beberapa stasiun hujan yang berdekatan. Dengan demikian, dapat diasumsikan
variasi hujan antar stasiun hujan adalah linier dan stasiun hujan tertentu dapat
mewakili kawasan hujan disekitarnya. Metode ini cocok untuk daerah datar dengan
luas area 500 – 5000 km2 dan jumlah stasiun hujan yang tak sebanding dengan luas
areanya. (Suripin, 2004)
Prosedur menentukan area pengaruh stasiun hujan menggunakan
poligon thiessen adalah sebagai berikut:
1. Plot lokasi stasiun hujan pada peta DAS lalu buat garis penghubung antara
stasiun hujan yang satu dengan lainnya.
2. Tarik garis tegak lurus pada tiap garis penghubung stasiun hujan sehingga
garis tersebut saling berpotongan terhadap garis tegak lurus yang lainnya.

12
3. Area pengaruh stasiun hujan yang bersangkutan adalah polygon yang
terbentuk dari titik perpotongan, titik tegak lurus hingga garis batas DAS.
4. Luas total DAS dan area pengaruh stasiun hujan dapat dihitung dengan
bantuan kertas millimeter block atau bisa juga menggunakan program bantu
AutoCAD.

Gambar 2. 1 Poligon Thiessen

Setelah poligon thiessen terbentuk dan luas pengaruh stasiun hujan serta luas
DAS diketahui, maka curah hujan rata-rata metode poligon thiessen dapat
dihitung dengan persamaan berikut:
n

R1 A 1 + R2 A 2+ .. .+ Rn An ∑
R1 A 1
R= = i=1n
A 1 + A 2 +. ..+ A n
∑ A1
i=1

Keterangan:
̅ R = curah hujan rata-rata wilayah (mm)
Ai = luas wilayah pengaruh stasiun ke – i (km²)
Ri = curah hujan rata-rata stasiun ke – I (mm)

2.5 Analisis Statistik terhadap Data Curah Hujan


2.5.1 Deviasi Standar
Umumnya standar deviasi untuk sejumlah sampel data dihitung dengan rumus
seperti berikut (Soewarno, 1995):

13
√∑
n
S= ¿¿ ¿ ¿
i=1

Keterangan:
S = deviasi standar
Xi = nilai variat
̅X = nilai rata-rata
n = jumlah data
2.5.2 Distribusi Frekuensi
Distribusi frekwensi hujan digunakan untuk menentukan jenis distribusika
yang sesuai dalam menentukan curah hujan rencana. Pemilihan jenis distribusi curah
hujan didasarkan pada nilai Cs, Cv, dan Ck. (Soemarto 1995)
 Menghitung koefisien Variasi (Cv)
Sd
Cv =
x
 Menghitung Koefisien Asimetri (Cs)
Cs = n ∑ ¿ ¿ ¿
 Menghitung Koefisien Kurtosis (Ck)
Ck = n ∑ ¿ ¿ ¿
2.5.3 Distribusi Log Person Tipe III
Pearson mengembangkan serangkaian fungsi peluang yang dapat dipakai
untuk hampir semua distribusi peluang empiris. Distribusi Log pearson tipe III
dikenal paling fleksibel, hal tersebut menjadikan jenis distribusi ini merupakan yang
paling sering digunakan. (Suripin, 2004) Jenis distribusi ini banyak digunakan
dalam analisis hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum (seperti banjir)
dan minimum (seperti debit minimum) dengan nilai ekstrem. Distribusi Log Pearson
Tipe III merupakan transformasi dari distribusi Pearson Tipe III dengan
menggantikan nilai variatnya menjadi nilai logaritmik. (Soewarno, 1995)
Persamaan fungsi kerapatan peluang distribusinya adalah seperti berikut:

[ ]
[ ]
b −1 X−c
1 X−c −
a
P(x)= .e
a . Γ .b a

14
Keterangan:
P(X) = peluang dari variat X
X = nilai variat X
a,b,c = parameter
e = 2,71828
Γ = fungsi gamma

Selanjutnya, nilai logaritmik X dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut:


Y = Y +k . S
Keterangan :
Y = Nilai logaritmik dari X
̅Y = Nilai rata-rata Y
S = Deviasi standar Y
k = Karakteristik distribusi Log Pearson tipe III yang dapat dilihat pada tabel.
2.5.4 Uji Kecocokan distribusi
Uji kecocokan distribusi diperlukan untuk memastikan kecocokan distribusi
frekuensi sampel data telah mewakili distribusi statistik sampel data terhadap fungsi
distribusi peluang. Pengujian kecocokan distribusi yang digunakan adalah:
a. Uji Chi Kuadrat
Uji Chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi
yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang di analisis
dengan rumus :
2
(Oi−Ei)
F = 2
Ei
Dimana :
F2 = Parameter Chi-kuadrat terhitung
Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i.
Ei = Jumlah nilai teoritis sub kelompok i.
Langkah-langkah uji kuadrat adalah seperti berikut:
1. Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya)

15
2. Kelompokkan data menjadi sub-grup, tiap-tiap sub grup minimal 4 data
pengamatan
3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap-tiap sub grup
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei
2
(Oi−Ei)
5. Tiap-tiap sub grup hitung nilai : (Oi−Ei)2 dan
Ei
2
(Oi−Ei)
6. Jumlah seluruh G sub grup nilai untuk menentukan nilai chi-
Ei
kuadrat hitung
7. Tentukan derajat kebebasan dk = G – R – 1 (nilai R = 2, untuk distribusi normal
dan binomial, dan nilai R = 1, untuk Distribusi Poisson).
8. Selain dari hasil perhitungan yang dibandingkan dengan angka galat
maksimum (α , kecocokan distribusi yang digunakan juga bisa dilihat dari
nilai tabel derajat kepercayaan. Nilai derajat kepercayaan dapat dilihat pada
tabel 2.2.

16
Hasil dari uji chi kuadrat dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
 Apabila nilai F2 hasil hitungan < nilai F2 dari tabel derajat kepercayaan, berarti
distribusi sesuai dan persamaan distribusi yang diuji dapat diterima.
 Apabila nilai F2 hasil hitungan > nilai F2dari tabel derajat kepercayaan peluang
maka distribusi tidak dapat diterima
 Apabila nilai F2 mendekati nol maka diperlukan tambahan data untuk
memastikan hasil interpretasinya.
Berdasarkan data pada Tabel 2.2, nilai peluang yang akan digunakan untuk
memperoleh garis distribusi peluang dapat diketahui.
b. Uji Smirnoff-Kolmogorov

17
Uji kecocokan Smirnoff - Kolmogorov disebut juga uji kecocokan non
parametrik karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu.
(Suripin, 2004)
Prosedur pengujian kecocokan distribusi menggunakan uji Smirnoff-
kolmogorv adalah seperti berikut:
1. Urutkan data dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besar peluang
dari tiap data tersebut.
2. Tentukan nilai tiap peluang teoritis dari data.
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesar antara peluang
pengamatan dan peluang teoritis (D).
4. Berdasarkan tabel nilai kritis, tentukan nilai Do dari tabel 2.3.

Tabel 2.3 Nilai derajat kepercayaan

Derajat Kepercayaan (a)


N
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
>50 1,07 1,22 1,36 1,63
(Sumber : Suripin, 2004)
Jika D < Do maka distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima. Namun,
apabila D > Do maka distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima.

18
2.5.5 Debit Banjir Rencana
Debit banjir rencana adalah debit banjir yang digunakan untuk merencanakan
tingkat pengamanan bahaya dengan angka kemungkinan terbesar. Untuk
menentukan banjir rencana ada beberapa metode perhitungan. Beberapa metode yang
digunakan untuk perhitungan debit banjir diantaranya : (Hadisusanto, Nugroho 2011)
a. Hubungan Empiris curah hujan-limpasan.
 Metode Rasional untuk DAS kurang dari 50 Km2
 Metode Weduwen untuk luas maksimum DAS 100 Km2
 Metode Haspers untuk luas maksimum DAS 200 Km2
 Hidrograf Banjir Rancangan Satuan Sintetik Nakayasu.
b. Dengan menggunakan hidrograf satuan untuk menghitung hidrograf banjir.
c. Dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Karena dalam
penelitian ini luas DAS adalah lebih dari 300 Km 2 maka digunakan metode
hidrograf satuan sintetik nakayasu.
A .R0
Qp =
3,6(0,3 . T p +T 0,3 )
Dimana:
QP = debit puncak banjir (m3/det)
R0 = hujan satuan (mm)
TP = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir(jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan olehpenurunan debit, dari debit puncak sampai
menjadi 30 %dari debit puncak

2.6 Analisis Curah Hujan Rencana


2.6.1 Periode Ulang
Periode ulang adalah interval waktu dari suatu variabel hidrologi untuk dapat
disamai atau terlampaui. Dalam tugas akhir ini penentuan periode ulang
dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
12/PRT/M/2014 Tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Dalam

19
peraturan tersebut dipaparkan penentuan periode ulang suatu daerah berdasarkan
luas daerah pengaliran dan populasinya. Penentuan periode ulang tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.4.

2.6.2 Intensitas Hujan


Curah hujan rencana tiap jam bisa dihitung dengan rumus Mononobe. Rumus
Mononobe merupakan solusi menghitung intensitas hujan jika hanya tersedia data
curah hujan harian. (Suripin, 2004)
Rumus Mononobe adalah sebagai berikut:

( )
R 24 24 2
Rt = x 3
24 t
RT = t x Rt- (t- 1) x Rt(t-1)
Keterangan:
Rt = Rata-rata hujan sampai jam ke-t (mm)
R24 = Tinggi hujan dalam 24 jam (mm)
RT = Tinggi hujan dalam 24 jam ke-T (mm)
t = Waktu hujan (jam)
Rt(t-1) = Rata-rata hujan selama t-1 (mm)

2.7 Metode Pengendalian Banjir


Upaya pengendalian banjir adalah bagian dari pengelolaan sumber daya air
yang lebih spesifik untuk mengontrol debit yang dialirkan oleh sistem pembawa air
seperti sungai. Menggunakan berbagai cara, banjir dikendalikan dengan
infrastruktur pengendali, peningkatan kapasitas sistem pembawa, dan pencegahan

20
banjir lewat pengelolaan tata guna lahan dan daerah banjir. Upaya pengendalian
banjir merupakan hal yang kompleks. Hal itu disebabkan proses rekayasa
(engineering) melibatkan banyak aspek ilmu diantaranya hidrologi, hidrolika, teknik
sungai, dan lain sebagainya. (Kodoatie & Sugiyanto, 2002)
Dalam hal ini ada dua cara penanggulangan banjir yaitu struktural dan
nonstruktural. Dalam studi kali ini akan menggunakan dua metode dan cara yaitu :
1. Metode nonstruktural yaitu dengan cara mengangkat sedimen yang ada pada
sungai agar sungai dapat berfungsi secara optimum kembali. Hal ini disebut
normalisasi yaitu pengembalian penampang sungai sebelum terjadi
pengendapan sedimen.
2. Metode struktural yaitu dengan cara pembangunan tanggul di sekitar sungai
agar tidak terjadi luapan. Pembuatan tanggul hanya dilakukan apabila metode
nonstruktural telh dilakukan namun masih terjadi banjir limpasan.
Bila tahap demi tahap pekerjaan pengendalian banjir selesai, maka tingkat
debit banjir yang dapat diatasi akan naik. Sehingga pada pekerjaan tahap akhir
selesai, sistem pengendalian banjir dapat berfungsi seperti yang direncanakan.
2.7.1 Tanggul penahan banjir
Tanggul pengendali banjir berfungsi melokalisir banjir di sungai sehingga
tidak melimpas ke bagian kanan dan kiri sungai yang merupakan daerah
peruntukan. Tanggul penahan banjir terdiri dari beberapa jenis diantaranya:
 Tanggul utama yang berfungsi menahan debit banjir yang mengalir di sungai
secara langsung. Tanggul ini dibangun memanjang dan sejajar dengan sungai.
 Tanggul sekunder merupakan tanggul tambahan terhadap tanggul utama.
Kadang tanggul dibuat di sekitar daerah rendah untuk meningkatkan
keamanan dari ancaman banjir atau keadaan darurat. Selain itu tanggul sekunder
juga dapat digunakan untuk melindungi daerah khusus dengan tujuan tertentu.
 Dalam mendesain tanggul digunakan sejumlah elemen diantaranya elevasi
muka air banjir, tinggi jagaan, dan lebar bagian puncak tanggul (mercu tanggul).
Tinggi tanggul akan disesuaikan dengan elevasi muka air banjir terhadap
elevasi tanah di sekitar sungai. Selanjutnya, tinggi tanggul tersebut ditambah

21
dengan tinggi jagaan sehingga banjir yang terjadi dapat dilokalisir dan tidak
melimpah. Adapun ketinggian tanggul ditentukan berdasarkan hubungannya
terhadap debit banjir yang dialirkan seperti ditunjukkan pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Hubungan antara debit Banjir Rencana dengan Tinggi Jagaan Tanggul

Debit Banjir Rencana Tinggi Jagaan


(m3/det) (m)
<200 0,6
200-500 0,8
500-2000 1
2000-5000 1,2
5000-10000 1,5
>10000 2
Selain tinggi tanggul, lebar mercu tanggul juga harus didesain dengan
baik. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi penggunaan lahan yang terlalu
luas terutama di darah padat penduduk. Dengan demikian tanggul yang dibangun
tidak terlalu lebar dengan kemiringan lereng yang dianggap memadai. Lebar
mercu tanggul dalam hal ini direncanakan untuk memenuhi kebutuhan pengelola
wilayah sungai dalam melakukan inspeksi dan pemeliharaan tanggul. Serupa dengan
tinggi jagaan, lebar mercu juga direncanakan berdasarkan debit banjir rencana seperti
ditunjukkan pada tabel 2.6.
Tabel 2. 6 Hubungan antara debit Banjir Rencana dengan Lebar Mercu Tanggul

Debit Banjir Rencana Lebar Mercu Tanggul


(m3/det) (m)
<500 3
500-2000 4
2000-5000 5
5000-10000 6
>10000 7
(Sumber: Sosrodarsono & Tominaga, 1984)

22
2.7.2 Stabilitas Tanggul
a. Stabilitas terhadap rembesan
Stabilitas rembesan dengan garis depresi saat terjadi banjir, saat air naik maka
akan ada rembesan yang terjadi pada tanggul. Untuk itu perlu dilakukan analisa
stabilitas terhadap rembesan, dalam hal ini menggunakan metode A. Casagrande.
Metode ini menghitung rembesan lewat tubuh tanggul di dasarkan pada pengujian
model. Parabola AB (Gambar) berawal dari titik A’ seperti pada gambar, dengan A’A
= 0,3 (AD).

Gambar 2. 2 garis depresi rembesan


2 2
d d H
a= x ( ¿ x 2 )¿
cos a cos
2
sin
Prosedur untuk mencari debit rembesan, sebagai berikut:
1. Tentukan nilai perbandingan antara d/H
2. Tentukan nilai kemiringan tanggul yang direncanakan
3. Debit rembesan q = ka sin2 α

b. Stabilitas longsor
Longsoran atau land slide adalah pergerakan tanah secara perlahan – lahan
melalui bidang longsoran karena tidak stabil terhadap gaya yang bekerja. Untuk itu
perlu dilakukan analisa terhadap kelongsoran yaitu dengan membagi bidang longsor
dalam beberapa segment/ bagian, semakin kecil segment maka akan semakin
teliti.Metode ini menggunakan metode irisan yang di asumsikan berbentuk lingkaran
dengan pusat o dan jari – jari r.

23
Gambar 2. 3Gaya-gaya yang bekerja pada irisan

Keterangan :

O = titik pusat longsor

R = jari-jari bidang longsor

W = berat segmen/irsan

τ = Gaya geser

U = gaya akibat tekanan pori

N atau Cos α dan U = Gaya tegak lurus bidang longsor

Sin α dan τ = Gaya searah bidang longsor

CxL = Gaya yang menahan bidang longsor

c. Faktor Keamanan

Adapun persamaan untuk angka keamanan dari metode irisan bidang luncur adalah sebagai
berikut :

 Kondisi gempa

Fs =
∑ Cl+( N −U−Ne ) tan φ > 1,2
∑ (T +Te)
 Kondisi normal

Fs =
∑ Cl+( N −U ) tan φ > 1,5
∑ (T )
Dimana :

24
Fs = faktor keamanan
N = Beban komponen vertikal yang timbul dari berat tiap irisan bidang luncur
= γ . A . Cos α
T = Beban komponen horizontal yang timbul dari berat tiap irisan bidang luncur
= γ . A . Sin α

U = Tekanan air pori yang terjadi pada irisan

Ne = Komponen vertikal beban seismis yang timbul dari berat tiap irisan

Te = Komponen horizontal beban seismis yang timbul dari berat tiap irisan
Ø = Sudut geser dalam
I = Panjang dasar irisan
C = Kohesi
A = Luasan tiap irisan
Γ = Berat jenis tanah
Α = sudut kemiringan dari tiap – tiap irisan.

25

Anda mungkin juga menyukai