Anda di halaman 1dari 13

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sungai

Sungai merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Air dalam
sungai umumnya terkumpul dari presipitasi, seperti hujan, embun, mata air,
limpasan bawah tanah, dan di beberapa negara tertentu air sungai juga berasal dari
lelehan es / salju. Selain air, sungai juga mengalirkan sedimen dan polutan.
Sungai adalah jalan air alami yang mengalir menuju samudra, danau, laut atau ke
sungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara sederhana mengalir
meresap kedalam tanah sebelum menemukan badan air lainnya. Dengan melalui
sungai merupakan cara yang biasa bagi air hujan yang turun di daratan untuk
mengalir ke laut atau tampungan air yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari
dari beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai,
beberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk untuk membentuk
sungai utama. Aliran air biasanya bebrbatasan dengan kepada saluran dengan
dasar dan tebing di sebelah kiri dan kanan. Penghujung sungai dmana sungai
bertemu laut dikenali sebagai muara sungai. Di bawah ini dijelaskan mengenai
jenis sungai menurut jumlah air dan jenis sungai menurut genetiknya serta pola
aliran sungainya. (http://id.shvoong.com)

 Jenis Sungai

Jenis sungai menurut jumlah airnya dibedakan menjadi, yaitu :


a. Sungai permanen yaitu sungai yang debit airnya sepanjang tahun relative
tetap. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Kapuas, Barito dan Mahakam di
Kalimantan, Sungai Musi di Sumatera
b. Sungai periodik yaitu sungai yang pada waktu musim hujan airnya banyak,
sedangkan pada musim kemarau airnya kecil. Contoh sungai jenis ini
banyak terdapat di pulau Jawa misalnya Sungai Bengawan Solo, Sungai
Progo dan Sungai Code di Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Sungai intermittent atau sungai episodok yaitu Sungai yang pada musim
kemarau airnya kering dan pada musim hujan airnya banyak. Contoh sungai
jenis ini adalah Sungai Kalada di pulau Sumba
5

d. Sungai ephemeral yaitu sungai yang ada airnya hanya pada saat musikmm
hujan. Pada hakekatnya sungai jenis ini airnya belum tentu banyak.

Jenis sungai menurut genetiknya dibedakan menjadi :

a) Sungai konsekwen yaitu Sungai yang arah alirannya searah dengan


kemiringan lereng
b) Sungai subsekwen yaitu sungai yang aliran airnya tegak lurus dengan
sungai konsekwen
c) Sungai obsekwen yaitu anak Sungai subsekwen yang alirannya
berlawanan arah dengan Sungai konsekwen
d) Sungai insekwen yaitu sungai yang alirannya tidak teratur atau terlihat
oleh lereng daratan
e) Sungai resekwen yaitu anak sungai subsekwen yaitu alirannya searah
dengan sungai konsekwen

 Pola aliran sungai

Menurut soewarno, (1991), Aliran sungai dihubungkan oleh suatu jaringan


satu arah dimana cabang dan angka sungai mengalir ke dalam sungai induk yang
lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Beberapa pola aliran sunfai yang
terdapat di Indonesia, seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.1, yaitu :
a. Radial
Pola ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung berapi atau dengan
topografi bebentuk kubah, misalnya : Sungai di lereng G. semeru di Propinsi Jawa
Timur, G. merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Rektangular
Terdapat didaerah batuan kapur, misalnya: di daerah G. kidul di propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Trellis
Biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di daerah
pegunungan lipatan, misalnya : di daerah pegunungan lipatan di propinsi
Sumatera Barat.
6

d. Dendritik
Pola ini pada umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan
penyebarannya luas, misalnya: suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang
luas dan terletak pada suatu bidang horizontal didaerah dataran rendah bagian
timur Sumatera dan Kalimantan.

Gambar 2.1 Sketsa Pola Aliran Sungai (Soewarno,1991)

B. Sungai Progo

Sungai Progo merupakan sungai yang mengalir di Provinsi Jawa Tengah


dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di Indonesia. Sungai ini berhulu di
Gunung Sindoro dengan panjang sungai utama sekitar 138 km dan mempunyai
daerah aliran seluas sekitar 243.833,086 hektar. Sungai Progo memiliki anak –
anak sungai yang berhulu di beberapa gunung, salah satunya adalah Gunung
Merapi yang masih aktif yang mengakibatkan sungai Progo memnerima dampak
dari material yang terbawa oleh lahar dingin. Aliran debris lahar dingin berpotensi
merubah morfologi aliran Sungai Progo secara signifikan. Tidak hanya aliran
sepanjang sungai saja yang menerima dampak banjir lahar dingin, namun
bangunan di sepanjang aliran sungai juga menerimanya.
7

C. Alur Sungai

1. Menurut Soewarno (1991), alur sungai dibagi menjadi tiga bagianseperti yang
ditunjukan pada Gambar 2.2., yaitu :

a) Bagian Hulu
Bagian hulu merupakan sumber erosi karena pada umumnya alur sungai
melalui pegunungan, perbukitan, atau lereng gunung api yang kadang – kadang
mempunyai cukup ketinggian dari muka laut, apabila hujan turun sebagian dari air
akan merembes dan sebagian lagi akan mengalir membawa partikel-paartikel
tanah sehingga menimbulkan erosi. Alur sungai dibagian hulu biasanya
mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar dari pada bagian hilir, sehingga
pada saaat banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja partikel sedimen
yang halus akan teatapi juga pasir, kerikil bahakan batu.

b) Bagian Tengah
Merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir, daerah ini
merupakan daerah keseimbangan antara proses erosi dan pengendapan yang
sangat bervariasi dari musim ke musim. Apabila aliran sungai berasal dari gunung
api biasanya membawa pasir lepas dan kadang-kadang dapat terendap
disembarang tempat sepanjang alur sungai tergantung kecepatan aliran. Pada saat
banjir endapan tersebut dapat terangkut, apabila banjir menyusut proses
pengendapan terjadi lagi. Dengan adanya dua proses yang telah diuraikan di atas
muka alur sungai akan mengalami perubahan, kadang-kadang perubahan itu
terjadi pada periode yang sangat singkat, sehingga bentuk alurnya mempunyai
pola berjalin (braided).

c) Bagian Hilir
Biasanya melalui daerah pendataran yang terbentuk dari endapan pasir
halus sampai kasar, lumpur, endapan organic dan jenis endapan yang lainnya yang
sangat labil. Alur sungai berbelok-belok yang disebut dengan meander. Bentuk
alur demikian banyak dijumpai di daerah sebelah Timur Pulau Sumatera.
Alur sungai yang melalui daerah pendataran mempunyai kemiringan dasar
sungai yang landau sehingga kecepatan alirannya lambat, keadaan ini
memungkinkan menjadi lebih mudah terjadi proses pengendapan. Apabila terjadi
8

banjir biasanya akan melimpas daerah kiri kanan alur sehingga membentuk
tanggul alam (natural levees) sepanjang alur sungai.
Apabila bentuk air sungai berbelok-belok dapat menyebabkan terjadinya
erosi pada sisi luar palung sungai dan daerah endapan terjadi pada sisi dalam.
Kedua proses tersebut akan menyebabkan perpindahan alur sungai sehingga alur
lama akan menjadi danau kecil (oxbow lake).

2. Klasifikasi menurut Heinrich dan Hergt (1999), dapat dilihat pada Tabel 2.1 :
Tabel 2.1 klasifikasi sungai berdasarkan pada lebar sungai dan luas DAS
Nama Luas DAS Lebar Sungai
Kali kecil dari suatu mata air 0-2 0-1 m
Kali kecil 0-2 1-3 m
Sungai kecil 50-300 3-10 m
Sungai besar >300 >10 m
Sumber : (Heinrich dan Hergt,1999 dalam Maryono,2005)

3. Klasifikasi Menurut Helfrich et al.

Hal yang membedakan antara sungai kecil dan sungai besar hanya
tergantung kepada pemberi nama pada pertama kalinya. Sungai kecil diartikan
sebagai sebuah sungai dimana dahan dan ranting vegetasi pada kedua sisi
tebingnya dan menutupu sungai yang bersangkutan. Dengan kata lain jenis sungai
kecil sangat bergantung pada keadaan vegetasi yang tumbuh di sekitar sungai.

4. Klasifikasi Berdasarkan Vegetasi (LFU,2000).

Sesuai dengan klasifikasi sungai berasarkan vegetasi, sungai kecil


diartikan sebagai sebuah sungai dimana dahan dan ranting vegetasi pada kedua
sisi tebingnya dapat menutupi sungai yang bersangkutan. Dengan kata lain jenis
sungai kecil sangat bergantung pada keadaan vegetasi yang tumbuh di sekitar
sungai.
9

5. Klasifikasi menurut Leopold et al. (1964)

Menurut Leopold et al. (1964) klasifikasi sungai kecil dan sungai besar
didasarkan pada lebar sungai, tinggi sungai, keepatan aliran sungai, dan debit
sungai. Untuk lebih jelasnya dilihat pada Gambar 2.3 :

Gambar 2.2 Sketsa Pola Air Sungai (Leopold et al, 1964)

D. Klasifikasi Sungai

Sungai pada umumnya dikelompokan menurut ukurannya. Klasifikasi


yang digunakan dalam pengelompokan sungai besar, sungai menengah, dan
sungai kecil berdasarkan pada lebar sungai, kedalaman sungai, kecepatan aliran
air, debit aliran, dan luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Sedangkan berdasarkan
sudut pandang ekologi terdapat kalsifikasi berdasarkan vegetasi yang hidup di
tebing atau dibantaran sungai. Di bawah ini adalah beberapa klasifikasi yang bisa
digunakan dalam membedakan sungai besar, menengah, dan kecil.
10

1. Klasifikasi menurut Kern (1994) dapat dilihat pada Tabel 2.2


Tabel 2.2 Klasifikasi sungai berdasrkan pada lebar sungai
Klasifikasi Sungai Nama Lebar Sungai
Sungai Kecil Kali kecil dari suatu mata air <1m
kali kecil 1-10 m
Sungai menengah Sungai kecil 10-20 m
Sungai menengah 20-40 m
sungai 40-80 m
Sungai besar Sungai besar 80-220 m
bengawan > 220 m
Sumber : (Kern, 1994, dalam Maryono, 2005)

Gambar 2.3 Hubungan lebar sungai, tinggi sungai, kecepatan aliran sungai dan
debit sungai (Leopold, dkk, 1964, dalam Maryono,2005)

Pada Gambar 2.3 terlihat jika lebar sungai cukup besar tapi debit air kecil
maka sungai tersebut sungai kecil. Sedangkan sebaliknya jika sungai tidak terlalu
besar namun debitnya besar maka bisa disebut sebagagai sungai besar, karena
kedalaman maupun kecepatan aliran sungai tersebut besar. Sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa jenis sungai tersebut besar kecilnya debit aliran.
11

Untuk menjelaskan sungai lebih lanjut maka sungai dibagi menjadi zona
memanjang maupun melintang. Tampang memanjang merupakan zonasi makro
dari hulu sampai ke hilir dan tampang melintang adalah zonasi mikro dari daerah
bantaran sisi sungai yang satu sampai bantaran sisi yang lainnya.

a. Zona Memanjang

Permulaan dari zona memanjang adalah sungai kecil dari mata air di
daerah pegunungan, kemudian sungai menengah didaerah peralihan antara
pegunungan dan dataran rendah, dan selanjutnya sungai bear pada dataran rendah
sampai di daerah pantai. Dari literature morfologi sungai yang ada pada umumnya
ditemukan tiga pembagian zona sunga memanjang yakni sungai bagian hulu
“upstream”, bagian tengah ”middle-stream”, dan bagian hilir “downstream”. Dari
hilir sampai kehulu ini dapat ditelusuri perubuhan-perubahan komponen sungai
seperti kemiringan sungai, debit sungai, temperature, kandungan oksigen,
kecepatan aliran, dan kekuatan aliran terhadap erosi. Gambar 2.4 menunjukkan
contoh umum zonasi memanjang sungai yang masih alamiah dari hulu sampai
hilir beserta perubahan- perubahan komponen sungainya, (Maryono, 2005).

Gambar 2.4 Zona Memanjang Sungai (Maryono,2005)

Gambar 2.4 menjelaskan bahwa kemiringan sungai dibagian hulu tinggi


dan semakin rendah pada saat mencapai hilir. Debit aliran sungai bagian hulu
rendah dan seakin tinggi sesampainya di hilir dikarenakan kemiringan rendah dan
semakin kecil. Temperatur di hulu rendah dan semakin tinggi seampainya dihilir.
12

Kandungan oksigen (DO) dihulu tinggi dan semakin rendah sesampainya dihilir
dikarenakan pengaruh dari temperature dan keadaan vegetasi sungai. Kecepatan
aliran dan gaya gesek terhadap dasar sungai tinggi pada bagian hulu dan semakin
rendah pada bagian hilir karena pengaruh dari kemiringan sungai dan debitaliran
sungai. Jadi antar faktor di atas saling mempengaruhi dan membentuk suatu
keadaan yang dinamis.

b. Zona Melintang
Zona melintang sungai dibagi lagi menjadi 3, yaitu zona akuatik (badan
sungai ), sona amphibi (daerah tebing sungai sampai pertengahan bantaran). Dan
zina teras sungai (daerah pertengahan bantaran yang sering tergenang air saat
banjir sampai batas luar bantaran yang kadang-kadang kena banjir). Kondisi
biotik dan abiotic di ketiga zonatersebut dipengaruhi oleh lama, ketinggian, dan
frekuensi banjir yang ada. Banjir (tinggi genangan air) merupakan faktor dominan
yang mempengaruhi perubahan kualitas dan kuantitas habitat serta morfologi
sungai. Gambar zona melintang sungai untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambaran 2.5.

Gambar 2.5. Zona Melintang Sungai. (Maryono,2005)

E. Karateristik Sungai Yang Berhulu Di Lereng Gunung Merapi

Sungai volcanic adalah sungai yang berhulu digunung berapi dan


mempunyai perbedaan slope dasar sungai yang besar antara daerah hulu
(upstream), daerah tengah (middlestream), dan hilir (down stream). Sehingga
curah hujan yang tinggi dan erosi dibagian hulu akan menyebabkan jumlah
sedimen yang masuk kesungai sangat tinggi, tingginya jumlah sedimen yang
13

masuk menyebabkan padangkalan terutama dibagian hilir yang lebih rata dan
landau, sehinggga sering terjadi banjir di dataran rendah. Pola aliran pada sungai
yang berhulu di lereng gunung berapi biasanya berbentuk radial.

Salah satu ciri sungai volcanic lainnya adalah menjadi jalur lahar dingin,
air hujan bercampur dengan bahan vulkanik lepas menjadi massa dengan berat
jenis tinggi dan dapat mengalir dengan kecepatan yang tinggi masuk kesungai
yang banyak mengandung material vulkanik dan terus bergerak ke bawah. Curah
hujan erat hubungannya dengan besarnya banjir lahar dingin, untuk Gunung
Merapi yang terletak diperbatasan Jawa Tengah dan DIY, banjir lahar dingin akan
berbahaya jika intensias curah hujan mencapi 70 mm dalam waktu 35 menit pada
ketinggian di atas 1.200 m. banjir lahar dingin juga sangat tergantung pada
topografi, geologi, jumlah volume material, serta situasi dan posisi material di
bagian hulu (Sutrisno, 2010).

Gambar 2.6 Slope pada sungai volcanic (Sutrisno, 2010)

F. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian sejenis pernah ditulis oleh Galih Wicaksono (2012) dengan


judul“pengaruh lahar dingin pasca erupsi merapi 2010 terhadap kondisi fisik
sungai progo bagian tengah”dengan hasil berikut :
1. Morfologi Sungai :
Pengamatan di segmen 1, yaitu pertemuan Sungai Progo dan Pabelan
memiliki 2 aliran.. Untuk menentukan morfologinya diperlukan hasil
pengukuran lebar aliran sungai, lebar banjir, kedalaman sungai, dan kemiringan
sungai. Dari hasil pengukuran diperoleh data untuk aliran 1 adalah lebar aliran
sungai 6,60 m; lebar banjir 129,18 m; kedalaman aliran 0,60 m, dan
14

kemiringan saluran mendekati datar. Data untuk aliran 2 adalah lebar aliran
sungai 38,55 m; lebar banjir 129,18 m; kedalaman aliran 1,53 m, dan
kemiringan saluran 1,81 %.Dari perbandingan antara lebar aliran banjir
terhadap lebar aliran sungai didapat Entrenchment Ratio 19,57 pada aliran 1
dan 3,35 pada aliran 2 maka termasuk kriteria bertipe ”C, D, E” . Sedangkan
perbandingan antara lebar aliran sungai terhadap kedalaman sungai didapat
W/D Ratio 11 dan 25,20 maka termasuk kriteria bertipe ” A, E, G ” dan “B, C,
F. Kemiringan saluran di segmen ini 1,81%, maka termasuk kriteria bertipe ”C,
E, F”. Tipe morfologi menurut Dave Rosgen pada Sungai Progo yang ditinjau
pasca erupsi Gunung Merapi 2010, di segmen pertemuan Sungai Progo-
Pabelan termasuk kriteria sungai dengan lebih dari satu aliran (multiple
channel) bertipe “ D5” dengan material dasar sungai didominasi oleh pasir
sedang. Pengamatan di segmen 2 yaitu di pertemuan sungai Progo-Putih, dari
hasil pengukuran diperoleh lebar aliran sungai 32,03 m, lebar banjiran 119,49
meter, kedalaman aliran 1,34 meter, dan kemiringan saluran 0,005 %. Dari
perbandingan antara lebar aliran banjir terhadap lebar aliran sungai didapat
Entrenchment Ratio 3,73 maka termasuk kriteria bertipe ”C, D, E” sedangkan
perbandingan antara lebar aliran sungai terhadap kedalaman sungai didapat
W/D Ratio 23,91 maka termasuk kriteria bertipe ” B,C,F ”. Kemiringan saluran
di segmen ini 0,005%, maka termasuk kriteria bertipe ”B,G”. Di segmen
pertemuan Sungai Progo-Putih bertipe “C5b” dengan material dasar
ungai didominasi oleh pasir sedang. Pengamatan di segmen 3 yaitu di titik
jembatan Kebon Agung, titik ini memiliki aliran air yang dangkal dan terdapat
aktifitas penambangan pasir. Hasil pengukuran diperoleh lebar aliran sungai
27,3 m, lebar banjiran 28,3 m, kedalaman aliran 0.37 m, dan kemiringan
saluran mendekati datar. Dari perbandingan antara lebar aliran banjir
terhadap lebar aliran sungai didapat Entrenchment Ratio 1,26 maka termasuk
kriteria bertipe ” B” sedangkan perbandingan antara lebar aliran sungai
terhadap kedalaman sungai didapat W/D Ratio 260,81 maka termasuk kriteria
bertipe ” D ”. Kemiringan saluran di segmen ini sangat kecil mendekati datar,
maka termasuk kriteria bertipe ”C, E, F”. Di segmen middle stream Sungai
Progo titik jembatan Kebon Agung bertipe ”F5” dengan material dasar sungai
didominasi oleh pasir sedang. Berdasarkan perbandingan foto yang diambil
sebelum terjadi erupsi dan sesudah erupsi tahun 2010, hasil menunjukkan
bahwa terjadi perubahan morfologi yang signifikan, terutama lebar sungai di
15

pertemuan sungai Progo- Pabelan dan sungai Progo-Putih. Di kedua lokasi ini
telah terjadi keruntuhan tebing di sisi kanan dan kiri sungai, yang diakibatkan
oleh banjir lahar dingin. Keruntuhan tebing sungai ini telah menyebabkan lahar
pertanian dan pemukiman penduduk rusak dan hilang. Kerusakan yang paling
serius terjadi terutama di DAS sungai Pabelan dan sungai Putih. Hal ini
disebabkan karena di kedua sungai ini sering terjadi banjir lahar dingin pasca
erupsi 2010.

2. Porositas Permukaan Dasar Sungai


Berdasarkan analisis distribusi butiran material permukaan dasar sungai,
untuk titik pertemuan sungai Progo mempunyai nilai parameter = 0,4712 dan ß
= 0,1886. Berdasarkan nilai tersebut, distribusi butiran material di titik ini
termasuk tipe M Talbot. Nilai porositas sampel sedimen ini berdasarkan
rumusan yang diajukan Sulaiman (2008), sebesar 0,2915 atau 29,15%. Nilai
parameter dan ß distribusi ukuran butiran di titik pertemuan sungai Progo dan
Putih , masing-masing sebesar 0,1947 dan 0,1885. Berdasarkan nilai dan ß ini,
maka distribusi sedimen permukaan dasar sungai di segmen ini dikategorikan
tipe Talbot. Nilai porositasnya 0,2923 atau 29,32%. Untuk titik jembatan
Kebon Agung, nilai parameter dan ß distribusi ukuran butirannya sebesar
0,3283 dan 0,1886, sehingga dikategorikan tipe M Talbot. Porositas distribusi
materialnya sebesar 0,2909 atau 29,09%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai porositas sedimen permukaan dasar sungai relatif sama besar dari hulu ke
hilir, sebesar 29%. Angkutan sedimen di pertemuan Sungai Progo-Pabelan
mempunyai nilai yang paling besar dibandingkan dengan angkutan sedimen
yang terjadi di titik tinjauan yang lain. Tipe distribusi butiran di titik 1 dan 3
termasuk M Talbot. Hal ini menunjukkan di kedua titik ini, ukuran butiran
yang halus lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan dengan butiran kasar.
Di titik 2, tipe distribusi butiran dikategorikan tipe Talbot. Hal ini
menunjukkan bahwa di lokasi ini jumlah ukuran butiran kasar lebih banyak
jumlahnya dibandingkan dengan jumlah ukuran butiran halus
Penelitian sejenis pernah ditulis oleh Indreswari Nur Kumalawati
(2012) dengan judul“Tinjauan Morfologi Sungai Porositas dan Angkutan
Sedimen Permanen Dasar Sungai Pabelan Pasca Erupsi Gunung Merapi
Tahun 2010”dengan hasil berikut :
16

1. Tipe morfologi,pada lokasi penelitian di Sungai Pabelan pasaca erupsi


Gunung merapi 2010 diketahui sebagai berikut : Titik 1 pada lokasi
pertemuan Sungai Pabelan dan Sungai Progo bertipe D5b dan rata – rata
diameter material dasar permukaan adalah 0,88 mm. Titik 2 pada lokasi
Jembatan Srowol bertipe D5b dan rata – rata diameter material dasar
permukaan adalah 0,5mm. Titik 3 pada lokasi Jembatan Pabelan 1 bertipe
e5 dan rata-rata diameter material dasar permukaan adalah 0,66mm.
2. Dari hasil analisis ukuran butiran kemudian dapat diketahui besaran nilai
porositas material dasar SungaiPabelan pasca erupsi Gunung Merapi. Hasil
analisis porositas material dasar Sungai Pabelan pasca erupsi Gunung
Merapi 2010. Titik 1 pada lokasi pertemuan Sungai Pabelan dan Sungai
Progo besaran nilai porositas adalah 0,1561 atau 15,61%. Titik 2 pada
lokasi Jembatan Srowol besaran nilai porositas adalah 0,29109 atau
29,11%. Titik 3 pada lokasi Jembatan Pabelan 1 besaran nilai porositas
adalah 0,29108 atau 29,11%

Anda mungkin juga menyukai