Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)


2.1.1 Pengertian DAS
Daerah Aliran Sungai disingkat DAS adalah suatu hamparan
wilayah/kawasan yang dibatasi oleh topografi (punggung bukit) yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsure hara serta mengalirkannya melalui
anak - anak sungai dan keluar pada sungai utamake laut atau danau.

DAS biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan
hilir. Fungsi suatu DAS ialah mengalirkan air, menyangga kejadian puncak hujan,
melepas air secara bertahap, memelihara kualitas air, dan mengurangi
pembuangan massal pada gambar 2.1.

Faktor utama kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan


menyimpannya yang menyebabkan tingginya laju erosi dan debit banjir sungai-
sungainya. Faktor utama penyebab adalah 1)hilang/rusaknya penutupan vegetasi
permanen/hutan, 2)penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya,
dan 3)penerapan teknologi pengelolaan lahan/pengelolaan DAS yang tidak tepat
(Sinukaban, 2007).

Gambar 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)


2.1.2 Pengertian Sungai

Sungai dapat didefinisikan sebagai saluran di permukaan bumi yang


terbentuk secara alamiah yang melalui saluran itu air dari darat menglir ke
laut.Permukaan bumi secara alami mengalami erosi begitu muncul ke permukaan.
Salah satu faktor penting penyebab erosi yang bekerja secara terus menerus untuk
mengikis permukaan bumi, hingga sama dengan permukaan laut adalah air.Air
adalah benda cair yang senantiasa bergerak ke arah tempat yang lebih rendah yang
dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi. Menurut Sandy (1985),
dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu juga mengikis bumi sehingga
akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil atau
besar yang disebut dengan istilah alur sungai.

Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air
akan mengalir melalui sungai dan anak sungai disebut daerah aliran sungai
(DAS). Dalam istilah bahasa inggris disebut Catchment Area, Watershed, atau
River Basin.

Menurut Waryono (2001) bahwa struktur sungai pada hakekatnya


merupakan bentuk luar penampang badan sungai yang memiliki karakteristik
berbeda pada bagian hulu, tengah, dan hilir. Lebih jauh dikemukakan bahwa
bagian dari struktur sungai meliputi badan sungai, tanggul sungai dan bantaran
sungai. Forman (1986) menggambarkan struktur koridor sungai secara rinci
sebagai berikut pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur Koridor Sungai


Keterangan:
A: Penyangga tepian sungai D: Batas tinggi air semu
B: Dataran Banjir E: Dasar Sungai
C: Badan Sungai F: Vegetasi riparian

Fungsi pokok sungai adalah untuk mengalirkan kelebihan air dari permukaan
tanah, sedangkan fungsi lainnya adalah dapat digunakan untuk kesejahteraan
manusia, seperti sumber air minum, PLTA, pengairan, transportasi air, untuk
meninggikan tanah yang rendah dan mengatur suhu tanah. Menurut peraturan
perundangan yang ada, fungsi sungai adalah:

a. Sungai sebagai sumber air yang merupakan salah satu sumber daya alam
yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan manusia.
b. Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan
pemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

2.1.3 Bentuk bentuk Daerah Aliran Sungai

Bentuk bentuk DAS dapat dibagi dalam empat, antara lain:

A.Bentuk memanjang/ bulu burung


B. Bentuk radial
C.Bentuk paralel
D.Bentuk komplek
A. Bentuk memanjang/ bulu burung

Biasanya induk sungainya akan memanjang dengan anak anak sungai


langsung mengalir ke induk sungai kadang kadang berbentuk seperti bulu
burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan besar aliran banjir relatif lebih
kecil karena perjalanan banjir dari anak sungai itu berbeda beda, dan banjir
berlangsung agak lama. Bentuk dari DAS ini ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 DAS bentuk memanjang

B. Bentuk radial
Bentuk DAS ini seolah olah memusat pada satu titik sehingga
menggambarkan adanya bentuk radial, kadang kadang gambaran tersebut
memberi bentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka
waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru anak sungai
memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Sebagai contoh DAS Bengawan
Solo seperti pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 DAS bentuk radial


C. Bentuk paralel
DAS ini dibentuk oleh dua jalur DAS yang bersatu dibagian hilir. Apabila
terjadi banjir di daerah hilir biasanya terjadi setelah dibawah titik pertemuan.
Sebagai contoh adalah banjir di Batang Hari dibawah pertemuan Batang
Tembesi seperti pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 DAS bentuk parallel

D. Bentuk komplek
DASBentuk komplek merupakan bentuk kejadian gabungan dari beberapa
bentuk DAS yang dijelaskan diatas, sebagai contoh pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 DAS bentuk komplek


2.2 Potensi Banjir

2.2.1 Pengertian Banjir

Banjir adalah setiap aliran yang relatif tinggi yang melampaui tanggul
sungai sehingga aliran air menyebar ke dataran sungai dan menimbulkan masalah
pada manusia (Chow, 1970). Definisi di atas menjelaskan bahwa banjir terjadi
apabila kapasitas alir sungai telah terlampaui dan air telah menyebar ke dataran
banjir.Menurut Hasibuan (2004), banjir adalah jumlah debit air yang melebihi
kapasitas pengaliran air tertentu, ataupun meluapnya aliran air pada palung sungai
atau saluran sehingga air melimpah dari kiri kanan tanggul sungai atau saluran.

Dalam kepentingan yang lebih teknis, banjir dapat disebut sebagai


genangan air yang terjadi di suatu lokasi yang diakibatkan oleh: Perubahan tata
guna lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS); Pembuangan sampah; Erosi dan
sedimentasi; Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat; Curah
hujan yang tinggi; Pengaruh fisiografi/geofisik sungai; Kapasitas sungai dan
drainase yang tidak memadai; Pengaruh air pasang; Penurunan tanah dan rob
(genangan akibat pasang surut air laut)(Kodoatie, 2005).

2.2.2. Daerah Rawan Banjir

Daerah rawan banjir dapat dikenali berdasarkan karakter wilayah banjir


yang dapat dikelompokkansebagai berikut:

1) limpasan dari tepi sungai,


2) wilayah cekungan,
3) banjir akibat pasang surut

Menurut Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan


sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai,
daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau
daerah sempadan seperti gambar 2.7. Elevasi dan debit banjir daerah rawan banjir
sekurang-kurangnya ditentukan berdasarkan analisis perioda ulang 50 tahunan.
Tingkat resiko di daerah rawan banjir bervariasi tergantung ketinggian
permukaan tanahsetempat. Dengan menggunakan peta kontur ketinggian
permukaan tanah serta melalui analisis hidrologi dan hidrolika dapat ditentukan
pembagian dataran banjir menurut tingkat resiko terhadap banjir. Pembagian
daerah rawan banjir digunakan sebagai bahan acuan penataan ruang wilayah
perkotaan sehingga diketahui resiko banjir yangakan terjadi. Dengan mengikuti
pemetaan daerah rawan banjir yang telah diperbaiki maka resikoterjadi
bencana/kerusakan/kerugian akibat genangan banjir yang diderita oleh masyarakat
menjadi minimal.

Gambar 2.7 Daerah Penguasaan Sungai

2.2.3 Tingkat Bahaya Banjir

Banjir terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak sungainya mampu


membanjiri wilayah luas dan mendorong peluapan air di dataran banjirnya (flood
plain). Dataran banjir merupakan daerah rawan banjir yang dapat diklasifikasi
berdasarkan kala ulang banjirnya. Dataran banjir di sekitar bantaran sungai yang
masuk dalam daerah genangan pada debit banjirtahunan Q1merupakan daerah
rawan banjir sangat tinggi. Tabel 2.1 menjelaskan klasifikasi ini yang
akandiadopsi dalam studi ini.
Tabel 2.1 Tingkat Bahaya Banjir menurut Periode Kala Ulang
Kelas Kala Ulang Tingkat
Debit Banjir Bahaya Banjir
1 Q50 – Q100 Rendah
2 Q30 – Q50 Sedang
3 Q10 – Q30 Tinggi
4 Q1 – Q10 Sangat Tinggi
Sumber:

2.2.4 Potensi Banjir Sungai Deli

Sungai Deli membelah Kota Medan dari arah selatan ke utara dengan total
watershed 350 km2. Dari total luas watershed tersebut, diantaranya telah dan
sedang berubah menjadi wilayah terbangun/perkotaan. Wilayah tersebut terdiri
dari catchment area sungai Deli bagian downstream, Sungai sikambing, Sungai
Babura, dan sisi kiri kanan Sungai Deli hingga ke Deli Tua/Namorambe.
Catchment area selebihnyaterhitung dari Delitua/Namorambe hingga
Sembahe/Sibolangit/Gunung Sibayak merupakan lahan pertanian, kebun
campuran dan hutan tanaman industri dan hutan alam. Berdasarkan pengamatan
kejadian-kejadian banjir di Kota Medan maka ancaman banjir paling ekstrem
ialah apabila banjir Sungai Deli terjadi bersamaan dengan hujan di atas Kota
Medan (urban storm water).

Sesuai dengan kondisi topografi Kota Medan maka sistim saluran drainase
Kota Medan jarang yang bermuara ke Sungai Belawan sehingga banjir Sungai
Belawan tidak terlalu banyak mempengaruhi sistem drainase Kota Medan.
Demikian juga banjir Sungai Percut sudah tidak menjadi ancaman karena telah
selesai dinormalisasi hingga ke muara yakni untuk debit banjir periode ulang 30
tahun, termasuk menampung pengalihan debit Sungai Deli melalui Floodway.

Drainase primer Sungai Sikambing juga sudah selesai dinormalisasi ialah


pada bagian downstream yakni JL. Kejaksaan hingga muara Belawan yakni untuk
debit banjir periode ulang 20 tahun. Sementara itu, penampang Sungai Deli antara
titi kuning (Floodway) dan JL. Kejaksaan masih rawan banjir karena belum
dinormalisasi.

Kapasitas penampang Sungai Deli pada bagian ini masih rendah yakni
hanya mampu menampung debit banjir periode ulang 2 tahun yaitu sebesar 160
m3/det (Ginting, 2012).Perkiraan debit banjir Sungai Deli pada beberapa ruas
(section) untuk berbagai periode ulang menurut hasil analisis yang dilaporkan
pada study JICA (1992) adalah seperti diperlihatkan pada gambar 2.8.

Jl. Kejaksaan

Q1 Q2 Sungai Deli Q3

Helvetia Titi Kuning

Gambar 2.8 Perkiraan Debit Banjir untuk Periode Ulang (Sumber: JICA, 1992)

2.3 Curah Hujan

2.3.1 Faktor Curah Hujan

Faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab
banjir. Wilayah Indonesia yang merupakan benua maritim di daerah tropis
mempunyai curah hujan yang sangat tinggi. Curah hujan yang tinggi, lereng yang
curam di daerah hulu disertai dengan perubahan ekosistem dari tanaman tahunan
atau tanaman keras berakar dalam ke tanaman semusim berakar dangkal
mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan dalam tanah, memperbesar aliran
permukaan serta menyebabkan terjadinya tanah longsor. Curah hujan yang tinggi
dalam kurun waktu yang singkat dan tidak dapat diserap tanah akan dilepas
sebagai aliran permukaan yang akhirnya menimbulkan banjir.
2.3.2 Analisa Curah Hujan Kawasan

 Metode Aritmatik (Aljabar)


Metode ini merupakan perhitungan curah hujan wilayah dengan rata-
rataaljabar curahhujan di dalam dan sekitar wilayah yang bersangkutan

(2.1)

dimana, R: Curah hujan rata-rata wilayah atau daerah, Ri: Curah hujan di stasiun
pengamatan ke-i dan n: Jumlah stasiun pengamatan.Hasil perhitungan yang
diperoleh dengan cara aritmatik ini hampir sama dengan cara lain apabila jumlah
stasiun pengamatan cukup banyak dan tersebar merata di seluruh wilayah seperti
ditunjukkan pada (Gambar 2.9). Keuntungan perhitungan dengan cara ini adalah
lebih objektif.

Gambar 2.9 Aljabar

 Metode Thiessen
Jika titik-titik di daerah pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar
merata, maka cara perhitungan curah hujan dilakukan dengan memperhitungkan
daerah pengaruh tiap titik pengamatan pada gambar 2.10.

(2.2)

dimana, R: Curah hujan daerah, Rn: Curah hujan di setiap stasiun pengamatan dan
An: Luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengamatan.

Gambar 2.10 Polygon Thiessen


 Metode Isohyet
Peta isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan 10 mm – 20
mm berdasarkan data curah hujan pada stasiun pengamatan di dalam dan di luar
daerah yang dimaksud. Luas bagian antara dua garis isohyet yang berdekatan
diukur denganPlanimeter. Curah hujan daeah itu dapat dihitung menurut
persamaan.

(2.3)

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi
memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan
untuk membuat isohyet pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Metode Isohyet

2.3.3Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu kejadian


pada masa lalu atau masa yang akan datang. Prosedur tersebut dapat digunakan
menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang berdasarkan distribusi
yang paling sesuai antara distribusi hujan secara teoritik dengan distribusi hujan
secara empirik. Hujan rancangan ini digunakan untuk menentukan intensitas hujan
yang diperlukan dalam perhitungan debit banjir menggunakan metode rasional.

Dalam penelitian ini dihitung hujan harian rancangan dengan kala ulang 2,
3, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam
distribusi frekuensi metode yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah hujan
harian maksimum adalah sebagai berikut:
1. Distribusi Gumbel
2. Distribusi Log Pearson Tipe III
3. Distribusi Normal
4. Dostribusi Log Normal

1. Distribusi Gumbel

Menurut Gumbel curah hujan untuk periode ulang tertentu (PUH) tertentu (Tr)
dihitung berdasarkan persamaan berikut:

𝑌𝑇𝑟 −𝑌𝑛
X Tr =𝑋 + S (2.4)
𝑆𝑛
𝑇𝑟
YTr = -Ln 𝐿𝑛 (2.5)
𝑇𝑟−1

𝑛
1
𝑛 =1 (𝑅𝑖−𝑅 ) 2 2
Sn = (2.6)
𝑛−1

dimana, YTr: Reduced variate


S: Standar deviasi data hujan,
Sn: Reduced standar deviationyangjuga tergantung pada jumlah
sampel/data, Tr: Fungsi waktu balik (tahun) dan
Yn: Reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n.

Tabel 2.2 Standar Deviasi (Yn) untuk Distribusi Gumbel

(Sumber: Buku sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan hal 51)


Tabel 2.3 Reduksi Variat (YTR) sebagai fungsi periode ulang Gumbel

(Sumber: Buku sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan hal 52)

Tabel 2.4 Reduksi Standard Deviasi (Sn) untuk Distribusi Gumbel

(Sumber: Buku sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan hal 52)

2. Distribusi Log Pearson Tipe III

Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang


dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga
parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu :

1. Harga rata-rata (R)


2. Simpangan baku(S)
3. Koefisien kemencengan (G)

𝑅= Log R(2.7)
𝑛
𝑖=1 𝐿𝑜𝑔 𝑅
Log 𝑅 = (2.8)
𝑛
𝑛
1
𝑖=1 (𝐿𝑜𝑔 𝑅𝑖 − 𝐿𝑜𝑔 𝑅 ) 2 2
S= (2.9)
𝑛−1
𝑛
𝑛 𝑖=1 (𝐿𝑜𝑔 𝑅𝑖 − 𝐿𝑜𝑔 𝑅 ) 3
G= (2.10)
𝑛 −1 (𝑛−2) (𝑠) 3

Log 𝑅T = Log 𝑅 + KS (2.11)

dimana, R: Curah hujan rencana (mm),


G: Koefisien kemencengan,
S: Simpangan baku dan
K: Variabel standar untuk R yang besarnya tergantung dari nilai G.
Tabel 2.5 Nilai K untuk distribusi Log Pearson

(Sumber: Buku sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan hal 43)


3. Distribusi Normal

Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis


umumnyadigunakan persamaan sebagai berikut:

𝑋T =𝑋 + KT S (2.12)
𝑋𝑇−𝑋
KT = (2.13)
𝑆

dimana, 𝑋T: Perkiraan nilai yang diharapkan akan terjadi dengan periode ulang T
– tahunan,
𝑋: Nilai rata-rata hitung sampel, dan KT:Faktor frekuensi, merupakan
fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe
model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis
peluang.

Tabel 2.6 Nilai Variabel Reduksi Gauss

(sumber:Buku sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan hal 37)


4. Distribusi Log Normal

Logn xTxk n(2.14)

dimana, 𝐼 T: Intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun,


x: Harga rata rata dari populasi x,
K: Faktor frekuensi dan
n= Standar deviasi dari populasi x.
Tabel 2.7 Nilai K untuk Distribusi Log Normal

(Sumber: Buku sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan hal 37)

2.3.4Uji Distribusi Frekuensi Curah Hujan

Untuk mengetahui apakah data tersebut benar sesuai dengan jenis sebaran
teoritis yang dipilih maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Untuk keperluan
analisis uji kesesuaian dipakai dua metode statistik sebagai berikut:
1. Uji Chi Kuadrat

Uji Chi Kuadrat digunakan untuk menguji apakah distribusi pengamatan


dapat disamai dengan baik oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan
menggunakan persamaan berikut:
k
(EF - OF) 2
X 2hit   (2.15)
i 1 EF
di mana k = 1 + 3,22 Log n, OF = nilai yang diamati, dan EF = nilai yang
diharapkan.

Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2


hitung < X2Cr. Harga X2Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikan α
dengan derajat kebebasan. Batas kritis X2 tergantung pada derajat kebebasan dan
. Untuk kasus ini derajat kebebasan mempunyai nilai yang didapat dari
perhitungan sebagai berikut:

DK = JK - (P + 1) (2.16)

di mana DK = derajat kebebasan, JK = jumlah kelas, dan P = faktor keterikatan


(untuk pengujian Chi-Square mempunyai keterikatan 2).

2. Uji Smirnov Kolmogorf

Pengujian distribusi probablitas dengan Metode Smirnov-Kolmograf


dilakukan dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut:
1.Urutkan data (Xi) dari besar ke kecil atau sebaliknya

2.Tentukan peluang empiris masing-masing data yang sudah diurut tersebut (Xi)
dengan rumus tertentu, rumus Weibull misalnya,
𝑛+1
𝑃(𝑋𝑖) = (2.17)
𝑖

dimana, n: Jumlah data dan i: Nomor urut data setelah diurut dari besar ke kecil
atau sebaliknya.
3. Tentukan peluang teoritis masing-masing data yang sudah di urut tersebut
P’(Xi)berdasarkan persamaan distribusi probablitas yang dipilih (Gumbel,
Normal, dansebagainya).

4. Hitung selisih (∆Pi) antara peluang empiris dan teoritis untuk setiap data yang
sudah diurut:
∆𝑃𝑖 = 𝑃(𝑋𝑖) − 𝑃’(𝑋𝑖) (2.18)

5. Tentukan apakah Pi< ∆P kritis, jika “tidak” artinya Distribusi Probablitas


yangdipilih tidakdapat dierima, demikian sebaliknya.

6. P kritis lihat (Tabel 2.3).

Tabel 2.8Tabel Nilai ∆𝐏 Kritis Smirnov-Kolmogrov (Kamiana, 2011)


𝛂 (derajat kepercayaan)
N
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
N > 50 107 1,22 1,36 1,63
𝑁 0.5 𝑁 0.5 𝑁 0.5 𝑁 0.5
2.3.5Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi, Lubis (1992). Dalam penelitian
ini intensitas hujan diturunkan dari data curah hujan harian. Menurut Lubis
(1992)intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian
(mm) empirik menggunakan metode mononobe sebagai berikut:
2
𝑅24 24 3
𝐼= 24 t
(2.19)

dimana, I: Intensitas curah hujan (mm/jam),


t: Lamanya curah hujan (jam) dan
R24 : Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).

2.3.6 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan
yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluar DAS (Titik
Kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Salah
satu rumus untuk memperkirakan waktu konsentrasi (tc) adalah rumus yang
dikembangkan oleh Kirpich (1940), yang dapat ditulis sebagai berikut.

tc= 0,87 x L 21000 x S x 0,385(2.20)

dimana,L: Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras dalam km dan
S:Kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakan menjadi dua


komponen yaitu:

1. Inlet time (t0) yakni waktu yang diperlukan air untuk mengalir di
permukaan lahan sampai saluran terdekat.

2. Conduit time (td)yakni waktu perjalanan dari pertama masuk sampai titik
keluaran.

tc = t 0 + t d (2.21)
dimana, t0 = 23 x 3,28 x L x nS (menit) dan td = Ls 60 V (menit),
n: Angka kekasaranManning,
Ls: Panjang lintasan aliran di dalam salura/sungai (m).

2.3.7 Koefisien Limpasan


Nilai koefisien limpasan ataupun koefisien pengaliran sangat berpengaruh
terhadap debit banjir. Limpasan air hujan yang langsung mengalir di atas
permukaan suatu lahan dapat memberikan aliran yang cepat maupun lambat pada
saat menuju suatu saluran drainase dan yang nantinya menuju ke saluran primer
atau sungai, hal ini tergantung dari tata guna lahan yang telah terjadi disekitar
saluran tersebut.
Nilai koefisien ini juga dapat digunakan untuk menentukan kondisi fisik dari
suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang artinya memiliki kondisi fisik yang baik.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kodoatie dan Syarief (2005) yang menyatakan
bahwa angka koefisien aliran permukaan itu merupakan salah satu indikator untuk
menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 – 1, nilai C = 0
menunjukkan bahwa semua air hujan terinterepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah
dan sebaliknya untuk C = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir
sebagai aliran permukaan (run off). Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara
langsung mempengaruhi debit puncak yang terjadi pada suatu DAS.

Tabel 2.4 Nilai Koefisien Limpasan

Sumber: SNI 03-2415—1991


2.4Debit Banjir

2.4.1 Debit Banjir


Daerah dataran banjir diprediksi berdasarkan debit banjir dengan kala
ulang tertentu.Debit banjir dengan kala ulang 100 tahun Q100 bermakna banjir
yang memiliki probabilitas kejadian 0.01 dalam setahun yang akan menggenangi
daerah dataran banjir. Daerah dataranbanjir Q100 tentu jauh lebih besar dari daerah
dataran banjir Q10. Mengingat banyak sungai diIndonesia yang tidak dilengkapi
dengan alat pengukur debit, maka debit banjir biasanya dihitung berdasarkan
curah hujan dengan menggunakanmetode Gumbel, metode Log Pearson III, untuk
pemodelan steady flow. Dan dengan metode hidrograf sintetis (Nakayasu, Snyder,
dll) untuk pemodelan unsteady flow.

2.4.2 Metode Perhitungan Debit Banjir

 Metode Rasional

Besarnya debit rencana dihitung dengan memakai metode Rasional kalau


daerah alirannya kurang dari 80 Ha. Untuk daerah yang alirannya lebih luas
sampai dengan 5000 Ha, dapat digunakan metode rasional yang diubah. Untuk
luas daerah yang lebih dari 5000 Ha, digunakan hidrograf satuan atau metode
rasional yang diubah. Rumus metode rasional:

Q=fxCxIxA (2.22)

dimana, C: Koefisien pengaliran,


I: Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam),
A: Luas daerah aliran (km2) dan
f: Faktor konversi = 0,278.

 Metode Hidrograf Banjir

Kebanyakan daerah aliran sungai sebagian besar curah hujan akan menjadi
limpasan langsung. Aliran semacam ini dapat menghasilkan puncak banjir yang
tinggi. Teori hidrograf satuan menghubungkan hujan netto atau hujan efektif,
yaitu sebagian hujan total yang menyebabkan adanya limpasan permukaan,
dengan hidrograf limpasan langsung sehingga merupakan sarana untuk
menghitung hidrograf akibat hujan sembarang. Ini dikerjakan atas dasar anggapan
bahwa transformasi hujan netto menjadi limpasan langsung tidak berubah karena
waktu (time invariant).

Jadi hidrograf tersebut didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu


unsur aliran terhadap waktu. Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada 2 macam
hidrograf, yaitu hidrograf muka air dan hidrograf debit. Hidrograf muka air tidak
lain adalah data atau garafik hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level
Recorder). Sedangkan hidrograf debit, yang dalam pengertian sehari hari disebut
hidrograf, diperoleh dari hidrograf muka air dan lengkung debit. Hidrograf
tersusun atas dua komponen, yaitu aliran permukaan, yang berasal dari aliran
langsung air hujan, dan aliran dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air
tanah yang pada umumnya tidak memberikan respon yang cepat terhadap hujan.

1. Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh


hujan efektif yang terjadi merata diseluruh DAS dan dengan intensitas tetap
selama satu satuan waktu yang ditetapkan, yang disebut hujan satuan. Hujan
satuan adalah curah hujan yang lamanya sedimikian rupa sehingga lamanya
limpasan permukaan tidak menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi
pendek.Periode limpasan dari hujan satuan semuanya adalah kira kira sama dan
tidak ada sangkut pautnya dengan intensitas hujan.

Hidrograf satuan merupakan model sederhana yang menyatakan respon


DAS terhadap hujan. Tujuan dari hidrograf satuan adalah untuk memperkirakan
hubungan antara hujan efektif dan aliran permukaan. Konsep hidrograf saatuan
pertama kali dikemukakan oleh Sherman pada tahun 1932. Dia menyatakan
bahwa suatu sistem DAS mempunyai sifat khas yang menyatakan respon DAS
terhadap suatu masukan tertentu yang berdasarkan 3 prinsip:
1. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu,
intensitas hujan yang berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan
limpasan dengan durasi sama, meskipun jumlahnya berbeda. Ini merupakan
aturan empiris yang mendekati kebenaran.

2. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu,
intensitas hujan yang berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan
hidrograf limpasan, dimana ordinatnya pada sembarang waktu memiliki
proposi yang sama dengan proposi intensitas hujan efektif. Dengan kata lain,
ordinat hidrograf satuan sebanding dengan volume hujan efektif yang
menimbulkannya. Hal ini berarti bahwa hujan sebanyak n kali lipat dalam
satuan waktu tertentu akanmenghasilkan suatu hidrograf dengan ordinat
sebesar n kali lipat.

3. Prinsip superposisi dipakai pada hidrograf yang dihasilkan oleh hujan efektif
berintensitasseragam yang memiliki periode periode yang berdekatan atau
tersendiri. Jadi, hidrograf yang merepresentasikan kombinasi beberapa
kejadian aliran permukaan adalah jumlah dari ordinat hidrograf tunggal yang
member kontribusi.

Ketiga asumsi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tanggapan


DAS terhadap hujan adalah linier, walaupun sebenarnya kurang tepat. Namun
demikian, penggunaan hidrograf satuan telah banyak memberikan hasil yang
memuaskan untuk berbagai kondisi. Sehingga, teori hidrograf satuan banyak
dipakai dalam menentukan debit atau banjir rencana.

2. Hidrograf satuan sintetik


Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa untuk menurunkan hidrograf
satuan diperlukan rekaman data limpasan dan data hujan, padahal sering kita
jumpai ada beberapa DAS tidak memiliki sama sekali catatan limpasan. Dalam
kasus ini, hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data-data dari sungai pada
DAS yang sama atau DAS terdekat yang mempunyai karakteristik yang sama.
Karakteristik atau parameter daerah pengaliran tersebut terlebih dahulu perlu
dicari waktu, lebar dasar, luas, kemiringan, panjang, koefisien limpasan dan lain
sebagainya. Hasil dari penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satuan
sintetik (HSS). Ada tiga jenis hidrograf satuan sintetis, yaitu:

1. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu


2. Hidrograf Satuan Sintetik Snyder
3. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I
4. Hidrograf Satuan Sintetik SCS

Dalam penelitian ini hanya akan dibahas mengenai Hidrograf Satuan


Sintetik Nakayasu. Hidrograf tersebut penulis rasa cocok dengan kedaan lokasi
studi yaitu DAS Deli dan DAS Belawan khususnya untuk sungai-sungai utama
pada kedua DAS tersebut yaitu Sungai Deli, Sungai Babura dan Sungai Belawan.
3. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Stasiun pengukur debit dantinggi muka air sungai (stasiun hidrometri)


pada umumnya hanya dipasang di tempat tempat tertentu yang dipandang oleh
pengelolanya mempunyai arti yang cukup penting. Hal tersebut disebabkan karena
tidak mungkin memasang stasiun hidrometri disembarang tempat dan biaya
pemasangannya juga tidak murah. Hingga pada saat dibutuhkan untuk analisis
data tidak tersedia, atau tersedia dalam jangka waktu yang sangat pendek.
Untuk mengatasi hal ini sebenarnya di Indonesia telah dikenal dan banyak
digunakan berbagai cara untuk memperkirakan banjir rancangan yang didasarkan
atas persamaan rasional. Cara ini mengandalkan data curah hujan sebagai dasar
hitungan. Namun dari penelitian terbukti bahwa metode seperti Melchior, Der
Weduwen dan Haspers mempunyai penyimpangan yang berkisar antara 2% -
80%, dengan penyimpangan rata rata berturut turut sebesar 89%, 85% dan 56%.
Selain itu tercatat pula bahwa 77% dari kasus yang ditinjau menunjukkan
perkiraan lebih (overestimated). Cara-cara rasional untuk memperkirakan banjir
yang mendapatkan kritikan tajam, karena pemakaian koefisien limpasan (runoff
coefficient) mengundang subjektivitas yang sangat besar dan merupakan salah
satu faktor penyebab penyimpangannya. Penyebab lainnya adalah koefisien
reduksi (reduction coefficient).
Persamaan rasional hanya dianjurkan untuk DAS kecil kurang dari 80
hektar atau untuk DAS yang memiliki unsur unsur penyusun yang seragam.Dalam
perancangan diharapkan perkiraan banjir rancangan yang menyimpang sekecil
mungkin. Sudah barang tentu perkiraan yang tepat tidak akan dapat diharapkan,
karena proses pengalihragaman hujan menjadi banjir merupakan proses alam yang
sangat kompleks yang tidak dapat diungkapkan dengan persamaan matematik
secara tuntas.

Cara lain yang lebih baik hampir seluruhnya menuntut ketersediaan data
pengukuran sungai yang memadai. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ini
merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesulitan kesulitan tersebut. Cara ini
dapat digunakan disembarang lokasi yang dikehendaki dalam suatu DAS
tanpatergantung ada atau tidaknya data pengukuran sungai. Akan tetapi, perlu
ditegaskan bahwa kegiatan hidrometrik masih tetap merupakan pilihan utama,
sehingga walaupun telah ditemukan cara pendekatan yang akan banyak mengatasi
masalah kelangkaan data, namun prioritas pengukuran sungai ditempat mutlak
masih diperlukan. Hidrograf satuan ini secara sederhana dapat disajikan sebagai
berikut pada gambar 2.12.

Gambar 2.12 Kurva Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di Jepang dan


memberikan seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan
sebagai berikut:
1. Waktu kelambatan (tg), rumusnya:
untuk L > 15 𝑘𝑚: 𝑡𝑔 = 0,4 + 0, 058 𝑥𝐿(2.23)

untuk L < 15 𝑘𝑚: 𝑡𝑔 = 0,21 𝑥𝐿0,7 (2.24)

2. Waktu puncak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan


sebagai berikut:
𝑡𝑝 = 𝑡𝑔 + 0,8 𝑇𝑟 (2.25)

3. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:


𝑡0,3 = 𝛼𝑥𝑡𝑔 (2.26)

4. Waktu puncak
𝑡𝑝 = 𝑡𝑔 + 0,8 𝑇𝑟(2.27)

5. Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:


1 1
𝑄𝑝 = 𝑥𝐴𝑥𝑅0 𝑥 (0,3 𝑥𝑡 (2.28)
3,6 𝑝 𝑥𝑡 0,3 )

6. Bagian lengkung naik (0 < t < tp)


2,4
𝑡
𝑄 = 𝑄𝑝 𝑥 (2.29)
𝑡𝑝

7. Bagian lengkung turun


Jika 𝑡𝑝 < 𝑡 < 𝑡0,3
𝑡−𝑡 𝑝

𝑄 = 𝑄𝑝 𝑥0,3 𝑡 0,3 (2.30)

Jika 𝑡𝑝 > 𝑡 > 𝑡0,3


𝑡−𝑡 𝑝 + 0,5 𝑥 𝑡 0,3
1,5 𝑥 𝑡 0,3
𝑄 = 𝑄𝑝 𝑥0,3 (2.31)
Jika 𝑡 > 1,5 𝑡0,3
𝑡−𝑡 𝑝 + 1,5 𝑥 𝑡 0,3
2 𝑥 𝑡 0,3
𝑄 = 𝑄𝑝 𝑥0,3 (2.32)

Dari sudut limpasan langsung semua hujan yang tidak memberikan


sumbangan terhadap terjadinya banjir dipandang sebagai kehilangan. Kehilangan
tersebut terdiri atas:
1. Air hujan yang tersangkut didahan pohon dan tumbuhan (interception)
2. Tampungan di cekungan (depression storage)
3. Pengisian lengas tanah (replenisment of soil moisture)
4. Pengisian air tanah (recharge) dan
5. Evapotranspirasi

2.5Analisis Hidraulika

Analisis hidrolika bertujuan untuk menentukan acuan yang digunakan


dalam menentukan dimensi hidrolis dari saluran drainase maupun bangunan
pelengkap lainnya dimana aliran air dalam suatu saluran dapat berupa aliran
saluran terbuka maupun saluran tertutup.

 Saluran Terbuka

Pada saluran terbuka terdapat permukaan air yang bebas, permukaan bebas
ini dapat dipengaruhi oleh tekanan udara luar secara langsung. Kekentalan dan
gravitasi mempengaruhi sifat aliran pada saluran terbuka.Saluran terbuka
umumnya digunakan pada daerah yang:

 Lahan yang masih memungkinkan (luas)


 Lalu lintas pejalan kakinya relatif jarang
 Beban di kiri dan kanan saluran relatif ringan

Beberapa rumusan yang digunakan dalam menentukan dimensi saluran:


 Kecepatan dalam saluran Chezy

V = C RI (2.33)
dimana:
V = kecepatan rata-rata (m/detik)
C = koefesien Chezy
R = jari-jari hidrolis (m)
I = kemiringan atau gradien dari dasar saluran

Koefesien C dapat diperoleh dengan menggunakan salah satu dari pernyataan


berikut:
0, 0015 1
23 +
 Kutter: C= s n (2.34)
n  23 + 0, 00155 
1+
R s

1 16
 Manning: C= R (2.35)
R

87
 Bazin: C= (2.36)
m
1+
R

dimana:
V = kecepatan (m/detik)
C = koefesien Chezy (m1/2/detik)
R = jari-jari hidraulis (m)
S = kemiringan dasar saluran (m/m)
n = koefesien kekasaran Manning (detik/m1/3)
m = koefesien kekasaran, harganya tergantung jenis bahan saluran

 Debit aliran bila menggunakan rumus Manning

2 1
1
Q = A×V = × R 3 × I 2 × A (m3/detik) (2.37)
n
Kondisi debit aliran berfluktuasi sehingga perlu memperhatikan kecepatan
aliran. Diupayakan agar pada saat debit pembuangan kecil masih dapat
mengangkutsedimen, dan pada keadaan debit besar terhindar dari bahaya erosi.

 Penampang saluran

Penampang saluran yang paling ekonomis adalah saluran yang dapat


melewatkandebit maksimum untuk luas penampang basah, kekasaran dan
kemiringan dasartertentu. Berdasarkan persamaan kontinuitas, tampak jelas bahwa
untuk luas penampang melintang tetap, debit maksimum dicapai jika kecepatan
aliran maksimum. Dari rumus Manning maupun Chezy dapat dilihat bahwa untuk
kemiringan dasar dan kekasaran tetap, kecepatan maksimum dicapai jika jari-jari
hidraulik R maksimum.

Selanjutnya untuk penampang tetap, jari-jari hidraulik maksimum keliling


basah, P minimum. Kondisi seperti itu yang telah kita pahami tersebut memberi
jalan untuk menentukan dimensi penampang melintang saluran yang ekonomis
untuk berbagai macam bentuk seperti tampang persegi dan tampang trapesium.

1. Penampang persegi paling ekonomis

Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar


B dan kedalaman air h, luas penampang basah A = B x h dan keliling basah P.
Maka bentuk penampang persegi paling ekonomis adalah jika kedalaman setengah
dari lebar dasar saluran atau jari-jari hidrauliknya setengah dari kedalaman air.

B
Gambar 2.13 Penampang saluran persegi

Untuk bentuk penampang persegi yang ekonomis:

A = B× h (2.38)

P = B + 2h (2.39)

B
B = 2h atau h = (2.40)
2

Jari-jari hidraulik R:

A B× h
R= = (2.41)
P B + 2h
2. Penampang saluran trapesium paling ekonomis

Luas penampang melintang A dan keliling basah P, saluran dengan


penampangmelintang bentuk trapesium dengan lebar dasar b, kedalaman h dan
kemiringan dinding 1: m (gambar 2.6) dapat dirumuskan sebagai berikut:

h
1
m 0

mh B mh
Gambar 2.14 Penampang saluran trapesium

A =  B + mh  h (2.42)

P = B + 2h m2 +1 (2.43)

B = P - 2h m2 +1 (2.44)

Penampang trapesium paling ekonomis adalah jika kemiringan dindingny

m = 1 3 atau θ = 60o . Dapat dirumuskan sebagai berikut:

2
B= h 3 (2.45)
3

A = h 2 3 (2.46)

 Kemiringan dinding saluran m (berdasarkan kriteria)


 Luas penampang  A  =  b + mh  h (m2)

 Keliling basah  P  = b + 2h 1+ m2 (m)

A
 Jari-jari hidrolis R = (m)
P
2 1
1
 Kecepatan aliran V = × R × I 2 (m/detik)
3
n

Anda mungkin juga menyukai