Anda di halaman 1dari 104

Judul:

Konsep Sungai Berwawasan Ekologi Lingkungan

Kata Pengantar

Daftar Isi

1. Definisi Sungai dan Ekosistem Fluvial


2. Habitat Sungai
3. Siklus Hidrologi
4. Geomorfologi Sungai
5. Abiotik Sungai
6. Aliran Sungai
7. Kimia Air Sungai
8. Biotik Sungai

2 HABITAT DAN ALIRAN SUNGAI


2.1 Ekosistem Sungai
2.1 Siklus Air
2.2 Jenis Siklus Air
2.3 Siklus Air Global
2.4 Neraca Keseimbangan Air
2.5 Variasi Aliran
3 GEOMORFOLOGI FLUVIAL
3.1 Jaringan Drainase
3.1.1 Sistem Jaringan Drainase
3.1.2 Jenis-Jenis Sistem Drainase
3.1.3 Pola-Pola Drainase
3.2 Saluran Air
3.3 Lika-Liku Saluran
3.4
4 SALURAN TERBUKA
4.1 Bilangan Froude
4.2 Bilangan Reynold
4.3 Hubungan Bilangan Froude dan Bilangan Reynold
4.4 Persamaan Aliran
4.5 Persamaan Perhitungan Aliran
5 KIMIA AIR SUNGAI
5.1 Gas Terlarut
5.2 Parameter Terlarut Aliran Sungai
5.3 Pengaruh Faktor Kimiawi terhadap Biota
6 ABIOTIK PADA LINGKUNGAN HIDUP
6.1 Arus Lingkungan
6.2 Variabel Hidrolik
6.3 Subtrat
6.4 Temperatur
7 PROSEDUR UTAMA
7.1 Alga Bentik
7.1.1 Cahaya
7.1.2 Nutrisi
7.1.3 Arus
7.1.4 Subtrat
7.1.5 Temperatur
7.2 Makrofit
7.3 Fitoplankton
8 SUMBER ENERGI DETRITAL
8.1
8.2
8.3
9 HUBUNGAN TROFIK
Kata Pengantar

Permasalahan keairan sebaiknya ditinjau dari beberapa sudut pandang/perpektif.


Hal ini sangat diperlukan mengingat permasalahan keairan yang terjadi kerapkali
disebabkan dan berdampak kepada banyak hal sehingga penanganannya tidak bisa
parsial melainkan harus terintegrasi dengan berbagai aspek yang terkait. Kasus
banjir adalah salah satu masalah keairan yang setiap tahunnya dihadapi oleh kita
namun masih memiliki berbagai kendala yang masih belum terselesaikan.
Pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan yang bersifat sementara dan
sangat mengedepankan pembangunan yang bersifat struktural. Pembangunan yang
bersifat struktural sekadang mengubah karakteristik fisik maupun aliran/hidraulika
pada badan air tersebut seperti misalnya pelebaran sungai, sudetan sungai,
pelurusan sungai, tanggul pada sisi sungai dan masih banyak lagi. Hal ini tentunya
tidak salah bila ditinjau dari tujuan yang hendak dicapai namun bila ditinjau dari
perpektif lainnya yang terkait tentunya akan ada dampak negatif yang ditimbulkan
terutama dari sisi aspek ekologis lingkungan. Sungai sendiri adalah salah satu
badan air yang vital dalam proses ekosistem lingkungan di wilayah perairan.
Sungai memiliki fungsi yang sangatlah beragam namun penting bagi manusia
maupun makhluk hidup lainnya baik biotik maupun abiotik. Oleh karena itu, buku
ini bertujuan untuk memberikan pendekatan dari sisi lainnya yang diharapkan para
pembaca dapat memahami konsep sungai secara menyeluruh termasuk aspek
ekologi lingkungannya. Banyak kekurangan yang disadari oleh penulis, oleh
karena itu dengan rendah hati penulis menerima setiap masukan yang diberikan.

Di dalam buku ini, pembahasan sungai yang berwawasan ekologi lingkungan


dimulai dari pembahasan tentang definisi dan konseptualisasi sungai secara singkat
kemudian dijabarkan juga komponen yang terkait seperti ekosistem sungai, aliran
sungai, biotik dan abiotik sungai dan juga permasalahan sungai yang terjadi seperti
banjir.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof.


Ir. Sri Widiyantoro, M.Sc. Ph.D selaku Rektor Universitas Kristen Maranatha yang
telah sangat mendukung penulis sehingga diterbitkannya buku perdana ini. Terima
kasih juga kepada Ackerley Sawita Unsur, S.T., rekan yang senantiasa membantu
dalam proses pembuatan buku juga kepada seluruh kolega di Program Studi
Teknik Sipil Universitas Kristen Maranatha penulis juga mengucapkan terima
kasih.

Bandung, November 2021

Penulis

Robby Yussac Tallar


BAB 1

Definisi dan Konsep Ekosistem Fluvial Sungai

1.1 Definisi Sungai

Sungai adalah salah satu jenis badan air permukaan yang berfungsi untuk
mengalirkan air dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam berbagai perspektif,
sungai memiliki berbagai jenis. Perspektif tersebut antara lain adalah lokasi sungai,
morfologi sungai atau lebar sungai, proses pembentukannya, dan lain sebagainya.
Sungai alamiah adalah salah satu jenis sungai dari bila ditinjau dari perspektif
proses pembentukannya dan sangat terkait dengan ekonsistem fluvial. Fluvial
adalah semua proses yang mengakibatkan adanya perubahan bentuk permukaan
bumi, yang dapat disebabkan oleh aksi air permukaan, baik yang merupakan aliran
mengalir secara terpadu (sungai) maupun air yang tidak terkonsentrasi. Pada
dasarnya, sungai di Indonesia hanya dibedakan terhadap satu jenis sungai tanpa
ditinjau dari ukuran atau panjang dari suatu saluran sungai. Beberapa
menggunakan istilah “sungai besar” untuk membedakan sungai Kapuas,
Mambremamo, Mahakam, dan lain sebagainya.

Secara umum pengertian/definisi sungai adalah suatu penampang tertentu


yang memiliki fungsi utama untuk mengalirkan air dan berhubungan langsung
dengan udara bebas atau biasa disebut aliran permukaan. Pemerintah Indonesia
sendiri pada tahun 2011 telah merevisi peraturan sebelumnya dan mengeluarkan
kembali aturan tentang sungai termasuk definisi-definisi terkait yaitu Peraturan
Pemerintah no 38 yang biasa disebut PP 38 Tahun 2011. PP 38 Tahun 2011
menjabarkan definisi sungai yaitu alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa
jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara,
dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Disamping itu, sungai juga
memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mendukung sungai-sungai atau badan
air lainnya yang berada dalam suatu wilayah DAS tersebut.

DAS menurut PP 38 Tahun 2011 adalah suatu wilayah daratan yang


merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Pada
prinsipnya, suatu sungai dan DASnya memiliki interaksi atau hubungan baik
secara geohidrobiologi dengan alam maupun secara sosial budaya dengan manusia
(antropogenik) yang tinggal di wilayah DAS tersebut. Sementara itu, perlu
diketahui juga definisi dari lingkup sungai yang lebih luas lagi dari DAS yaitu
wilayah sungai. Berdasarkan PP 38 Tahun 2011, wilayah sungai adalah kesatuan
wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai
dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000
Km2 (dua ribu kilo meter persegi). Definisi lainnya yang sering digunakan adalah
bantaran sungai. Bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki
tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai menurut
definisi dari PP 38 Tahun 2011.

Secara topografinya, posisi sungai berada paling rendah dalam elevasi


permukaan bumi, sehingga secara alamiah DAS akan berkontribusi kepada proses
pembentukan, pengaliran maupun kondisi sungai lainnya. Aliran air yang mengalir
dari wilayah hulu ke wilayah hilir pada suatu sistem sungai, memiliki urutan atau
biasa yang disebut orde sungai. Suatu sungai yang berukuran mikro atau relatif
kecil dan berada di bagian hulu bisa disebut sebagai urutan pertama atau sungai
orde ke-1. Pertemuan dari dua sungai orde ke-1 menjadi sungai urutan kedua atau
sungai orde ke-2, pertemuan dari dua sungai orde ke-2 menjadi sungai urutan
ketiga atau sungai orde ke-3, dan begitu seterusnya sampai ditampung oleh sungai
utama pada bagian hilir. Visualisasi konsep orde sungai ini dapat dilihat pada
Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Konsep orde sungai

1.2 Konsep Ekosistem Fluvial Sungai

Dari beberapa macam ekosistem yang ada di bumi terutama yang terkait dengan
perairan atau badan air salah satunya adalah ekosistem sungai. Seperti namanya,
ekosistem sungai ini mempunyai arti sebagai ekosistem yang berada di wilayah
badan air berupa sungai dengan segala macam interaksi atau hubungan timbal balik
dari makhluk hidup dan juga lingkungannya yang meliputi seluruh kawasan sungai
tersebut. Sementara itu, aliran air yang mengalir di sungai seringkali berwarna
coklat. Hal ini dikarenakan tingkat konsentrasi sedimen terlarut yang tinggi yang
diakibatkan dari aliran sungai yang mengalir menuruni lereng curam melewati
bebatuan besar, tanah berpasir, atau berkelok-kelok melalui lembah yang stabil
menuju ke laut.

Ekosistem fluvial sungai mengintregasikan biota dan interaksi biologis dengan


semua yang berinteraksi langsung terhadap proses fisik maupun kimiawi yang
menentukan bagaimana sistem suatu sungai berfungsi. Secara garis besar, proses-
proses terjadi di sungai baik secara fisika maupun kimiawi adalah sebagai berikut:

 Proses erosi adalah gaya pelebaran air yang mengalir diatas permukaan air
tanah yang menyebabkan terjadinya lembah-lembah.
 Proses transportasi adalah proses perpindahan atau pengangkutan material
oleh suatu tubuh air yang dinamis yang diakibatkan oleh tenaga kinetis yang
ada pada sungai sebagai efek dari gaya gravitasi.
 Proses sedimentasi terjadi bila sungai tidak mampu lagi mengangkut
material yang dibawanya. Apabila tenaga angkut berkurang, maka material
yang berukuran kasar akan diendapkan terlebih dahulu diikuti dengan
material yang lebih halus.

Hal-hal tertentu yang dapat dikenali menjadi ciri-ciri dari suatu ekosistem sungai
adalah keseluruhan produksi dan proses metabolism di dalam sungai tersebut
seperti proses efisiensi nutrisi yang digunakan, keragaman cadangan energi, jumlah
spesies, dan lain sebagainya. Semua ekosistem pada prinsipnya memiliki ambang
batas kapasitasnya termasuk ekosistem fluvial sungai, namun bersifat sangat
terbuka dan memiliki hubungan lateral maupun longitudinal yang erat.

Ekosistem fluvial sungai bila ditinjau dari sisi proses pembentukannya, setidaknya
memiliki komponen-komponen diantaranya:

1. Dataran Aluvial Sungai


Dataran aluvial sungai merupakan dataran yang terbentuk akibat proses-
proses geomorfologi yang lebih didominasi oleh tenaga eksogen antara lain
iklim, curah hujan, angin, jenis batuan, topografi, suhu, yang semuanya akan
mempercepat proses pelapukan dan erosi. Hasil erosi diendapkan oleh air ke
tempat yang lebih rendah atau mengikuti aliran sungai. Dataran alluvial ini
menempati daerah pantai, daerah antar gunung, dan daratan lembah sungai.
Daerah aluvial ini tertutup oleh bahan hasil rombakan dari daerah sekitarnya,
daerah hulu ataupun dari daerah yang lebih tinggi letaknya. Potensi air tanah
daerah ini ditentukan oleh jenis tekstur bebatuan.

2. Dataran Banjir

Dataran banjir berupa dataran yang luas yang berada pada kiri kanan sungai
yang terbentuk oleh sedimen akibat limpasan banjir sungai tersebut.
Umumnya berupa pasir, lanau, dan lumpur.

3. Tanggul Sungai Alami (Natural Leeve)

Tanggul yang terbentuk akibat banjir sungai di wilayah dataran rendah yang
berperan menahan air hasil limpasan banjir, sehingga terbentuk genangan
yang dapat kembali lagi ke sungai. Seiring dengan proses yang berlangsung
terus menerus, akan terbentuk akumulasi sedimen yang tebal sehingga
akhirnya membentuk tanggul alam.

4. Rawa (Backswaps)

Rawa adalah bagian dari dataran banjir dimana simpanan tanah liat menetap
setelah banjir. Rawa biasanya terletak di belakang sungai alam pada sebuah
tanggul.

5. Kipas Aluvial
Bila suatu sungai dengan muatan sedimen yang besar mengalir dari bukit
atau pegunungan dan masuk ke dataran yang lebih rendah, maka akan terjadi
perubahan gradien kecepatan yang drastis, sehingga terjadi pengendapan
material yang cepat, yang dikenal sebagai kipas aluvial. Biasanya kipas
aluvial terdiri dari perselingan pasir dan lempung, sehingga merupakan
lapisan pembawa air yang baik.

6. Teras Sungai

Teras sungai dapat dimanfaatkan untuk mengetahui proses-proses sungai


yang terjadi sebelumnya. Teras sungai merupakan satu morfologi yang
sering dijumpai di sungai. Proses deposisi, proses migrasi saluran, proses
erosi sungai meander, dan aliran overbank sangat berperan dalam
pembentukan dataran banjir.

7. Sungai Teranyam (Braided Stream)

Terbentuk pada bagian hilir sungai yang memiliki kemiringan atau slope
yang hampir datar dimana alurnya luas dan langkal, terbentuk karena adanya
erosi yang berlebihan pada bagian hulu sungai sehingga terjadi pengendapan
pada bagian alurnya dan membentuk endapan gosong tengah. Karena adanya
endapan gosong tengah yang banyak, maka alirannya memberikan kesan
teranyam. Keadaan ini disebut juga sebagai anastomosis.

8. Sungai Meander

Bentukan pada dataran banjir sungai yang berbentuk kelokan karena


pengikisan tebing sungai, daerah alirannya disebut sebagai sabuk kelokan
atau Meander Belt yang terbentuk apabila pada suatu sungai yang berstadia
tua mempunyai dataran banjir yang cukup luas, sehingga aliran sungai yang
melintasinya tidak cukup teratur sebab adanya pembelokan aliran.
Pembelokan ini terjadi karena ada batuan yang menghalangi, sehingga
alirannya membelok dan terus melakukan penggerusan ke batuan yang lebih
lemah.

9. Delta

Delta adalah bentang alam hasil sedimentasi sungai pada bagian hilir setelah
masuk pada daerah base level. Pada saat aliran mendekati muara, seperti
danau atau laut, maka kecepatan alirannya akan menjadi lambat. Akibatnya,
terjadi pengendapan sedimen oleh air sungai. Pasir akan diendapkan
sedangkan tanah liat dan lumpur akan tetap terangkut oleh aliran air. Setelah
sekian lama, akan terbentuk lapisan-lapisan sedimen yang kemudian
membentuk dataran yang luas pada bagian sungai yang mendekati muaranya
dan membentuk delta.

Ekosistem fluvial sungai tidak terlepas juga dari aktivitas manusia. Pada dasarnya,
keberadaan sungai selalu menjadi magnet untuk pengembangan wilayah
pemukiman manusia, menyediakan air untuk minum dan bercocok tanam, maupun
jenis aktivitas yang terkait transportasi air, pembangkit listrik tenaga air, maupun
terkait dengan sumberdaya lainnya. Pada kenyataannya, sejumlah besar badan air
atau perairan yang ada saat ini menunjukkan beberapa bukti modifikasi atau
perubahan kondisi ekosistem fluvial sungai sebagai akibat dari adanya aktivitas
manusia. Ekosistem fluvial sungai juga menerangkan fungsi hubungan antara biota
dengan interaksi biologis di dalam sungai yang dilakukan baik secara fisik maupun
kimiawi.

Pada paparan sebelumnya dijabarkan konsep dasar suatu ekosistem fluvial


sungai. Selanjutnya istilah ekosistem fluvial sungai seringkali disederhanakan
menjadi ekosistem sungai. Ekosistem sungai terdapat beberapa ciri khas, dimana
ciri khas pada ekosistem sungai adalah adanya aliran air yang searah sehingga
memungkinkan adanya perubahan fisik dan kimiawi di dalamnya yang
berlangsung secara terus menerus. Beberapa ciri kasar karateristik utama yang
dimiliki oleh ekosistem sungai antara lain:

 Dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup yang telah beradapatasi dalam
kondisi air pada masing-masing jenis sungai.

 Perubahan secara fisik maupun kimiawi yang telah berlangsung secara terus
menerus.

 Variasi-varasi kondisi fisik dan kimiawi dalam macam-macam tingkat aliran


air.

 Adanya aliran air yang terus mengalir dari hulu ke hilir.

Komponen-komponen pada aliran sungai dibagi menjadi 2 jenis, yaitu komponen


biotik dan abiotik. Komponen biotik adalah komponen yang terdiri dari makluk
hidup, baik tumbuhan maupun binatang. Tumbuhan yang dimaksud pada
ekosistem sungai, seperti ganggang, angkung liar, lumut, enceng gondok, dan
sebagainya, sedangkan binatang yang dimaksud adalah siput, remis, kerrang,
keong, ular, udang, serangga, fitoplankton, zooplankton, dan organisme lainnya.
Komponen abiotik adalah komponen ekosistem yang non hidup yang memiliki
bentuk berbeda-beda. Meskipun merupakan benda non hidup, tetapi
keberadaannya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan komponen biotik pada
ekosistem sungai. Komponen abiotik yang dimaksud adalah batuan, suhu, cahaya
matahari, kelembaban udara, dan sebagainya. Penjelasan lengkap terkait kedua
komponen ini dapat dilihat pada bab-bab kemudian.
Ekosistem sungai bila ditinjau dari lokasi geomorfologinya, maka dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa zona. Pembagian zona tersebut bertujuan
sebagai pembeda dalam mengklasifikasi aliran pada sungai.

 Zona aliran tenang, adalah zona yang sedikit lebih tenang, lebih dalam, dan
arus sungai tidak terlalu deras. Di zona ini, kita juga akan menemukan
lumpur dan endapan pada dasar sungai yang telah mengendap selama waktu
yang cukup lama. Dikarenakan terdapat banyaknya lumpur dan endapaan,
maka dasar sungai menjadi terasa lunak dan tidak sesuai lagi dengan bentos.
Bentos merupakan hewan dan tumbuhan yang hidup di atas atau di bawah
dasar laut pada wilayah yang disebut dengan zona bentik (benthic zone).
Zona aliran tenang lebih cocok atau sesuai bagi plankton atau nekton yang
mempunyai kebiasaan menggali dasar sungai.

 Zona aliran deras, adalah suatu zona dimana sungainya cenderung dangkal,
dengan aliran yang sangat deras atau tinggi. Biasanya zona aliran deras
berada pada hulu saluran atau pada daerah pegunungan. Aliran yang deras
menjadi penyebab dimana pada saluran ini jarang terdapat lumpur ataupun
endapan-endapan. Pada zona ini, kita dapat menenemukan bentos yang
mempunyai kemampuan untuk melekat atau berpegang pada material dasar
sungai yang bersifat padat, atau ikan yang dapat berenang dengan kuat.

Semua ekosistem pada prinsipnya memiliki fungsinya masing-masing, demikian


pula dengan ekosistem sungai. Ekosistem sungai sangat bermanfaat bagi kita
semua. Beberapa manfaat ekosistem sungai, antara lain:

 Berperan sebagai bottle neck dalam siklus hidrologi yang ada di Bumi.

 Tempat yang mudah dan murah untuk membuang limbah yang bersifat
tersier.
 Sebagai tempat budidaya tanaman tertentu.

 Sumber air tawar, mencakupi segala kebutuhan manusia, seperti minum,


memasak, mencuci, hingga kebutuhan untuk industri.

Ekosistem sungai juga terkait didalamnya adalah sistem siklus hidrologi,


keanekaragaman dan tipe habitat, zat terlarut dan sedimen yang terbawa, dan biota.
Terkait dengan siklus hidrologi, habitat maupun biota akan dipaparkan pada bab
selanjutnya. Terkait dengan rantai makanan yang terjadi pada suatu ekosistem
sungai, semua energi dalam bentuk bahan makanan yang tersedia untuk konsumen
tidak selamanya berasal dari tanaman akuatik. Bahan makanan berbentuk organik
seperti daun yang rontok dan sisa tumbuhan dan hewan lainnya dapat memasuki
sungai lalu terbawa aliran sungai. Hal tersebut merupakan sumber energi yang
paling penting pada suatu aliran sungai. Sementara itu, bakteri dan jamur adalah
konsumen langsung substrat organik dan dengan demikian membuat pasokan
makanan menjadi kaya akan mikroba dan bergizi, termasuk biofilm baik anorganik
maupun organik. Sungai biasanya menerima bahan makanan organik dari wilayah
hulu sungai namun tetap tergantung dari karakteristik vegetasi dan hubungannya
dengan badan sungai termasuk dataran banjir di dalam suatu wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS).

Sementara itu, komponen rantai makanan lainnya yaitu vertebrata dari suatu
ekosistem fluvial sungai, memiliki keberanekaragaman atau diversifikasi yang
cukup besar dalam peran memberi makanan. Berbagai kategori vertebrata seperti
algivora, detritivora, omnivora, invertivora, dan piscivora yang dapat ditemukan
dan dibedakan berdasarkan lokasi pemberian makanan. Algivora adalah hewan
pemakan alga, detritivora adalah organisme heterotrof yang memperoleh energi
dengan cara memakan sisa-sisa makhluk hidup atau pemakan bangkai seperti
cacing, bakteri pembusuk, dan jamur. Omnivora adalah hewan pemakan tumbuhan
dan hewan sebagai sumber makanan. Invertivora adalah hewan pemakan jenis
invertebrate, sementara piscivora adalah jenis hewan air pemakan ikan seperti
misalnya udang dan sejenisnya. Pada dasarnya di suatu ekosistem fluvial sungai,
berbagai jenis ikan mengkonsumsi berbagai sumber makanan yang berbeda-beda
tergantung wilayahnya sebagai contoh alga adalah makanan utama sejumlah
spesies ikan yang hidup di daerah tropis. Sementara jenis ikan lainnya yang
memiliki bentuk perut yang memanjang mampu mencerna detritus ataupun materi-
materi daun yang terbawa aliran sungai.
Bab 2

Habitat Sungai

Ekosistem sungai terbentuk dan berkaitan erat dengan habitat sungai


alamiahnya. Habitat sungai alamiah bila ditinjau dari berbagai sudut pandang
tentunya sangatlah beragam baik dari aspek fisik, kimia maupun biologi dalam
suatu sistem ekosistem sungai secara ruang dan waktunya. Dalam sungai alamiah,
aliran air didominasi oleh pengaruh komunitas biologi yang terstruktur dan
terbentuk dari waktu ke waktu. Dalam kondisi fluvial, organisme yang tumbuh
berkembang dalam suatu habitat sungai alamiah mengalami perubahan secara
heterogen dan bersifat sementara. Selanjutnya, pengaruh organisme pada suatu
segmen sungai bila ditinjau dari waktu tertentu, sebagian besar didominasi oleh
pengaruh morfologi sungai dan kondisi hidraulis yang ada. Oleh karena itu, setiap
spesies makhluk hidup dalam habitat sungai memiliki hubungan yang unik dan
spesifik terkait dengan perbedaan karakteristik fisik habitat sungai dan
hubungannya dengan kebutuhan biologisnya dalam hal bertahan hidup, seperti
mencari tempat tinggal, mencari makanan, dan bereproduksi atau berkembang
biak. Semakin tinggi kompleksitas struktur fisik habitat pada suatu sungai, semakin
tinggi pula potensi hubungan variable-variabel antara spesies dan habitat tersebut.
Maka dari itu, suatu hal yang penting untuk dimengerti oleh para ahli keairan
paradigma sungai secara utuh yang mempertimbangkan tidak hanya konsep sudut
pandang geomofologi dan proses hidraulisnya saja namun juga keberagaman dan
kompleksitas struktur fisik dan ekologi habitat sungai yang berkelanjutan.

Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi habitat sungai semakin menurun


dengan berbagai penyebabnya terutama faktor manusia seperti perubahan tata guna
lahan di suatu DAS maupun perubahan fisik sungai yang sengaja dilakukan yang
turut menyebabkan terjadinya perubahan habitat sungai. Sebagai contoh kasus
yang dapat terjadi bila terdapat perubahan pada kondisi fisik suatu sungai adalah
kecepatan aliran, perpindahan/transpor sedimen, penerimaan dan akumulasi unsur
hara (nutrient) dan lain sebagainya terutama yang terkait dengan kebutuhan biologi
suatu organisme. Perubahan fisik sungai ini biasanya berupa pelurusan sungai,
normalisasi sungai, pelebaran sungai dan lainnya yang mengakibatkan perubahan
bentuk, dimensi dan penampang sungai sebelumnya. Penjelasan terkait
permasalahan perubahan tata guna lahan dan juga urbanisasi ini misalnya
pembangunan wilayah yang tadinya berupa hutan, pertanian, perkebunan atau jenis
lahan terbuka lainnya berubah atau bergeser menjadi lahan kedap air seperti
perumahan, gedung-gedung bertingkat, perkantoran, dan lain sebagainya yang
secara otomatis mempengaruhi siklus hidrologi dengan akibat terjadinya
peningkatan debit banjir puncak dan volume air larian atau runoff. Hal tersebut
tentunya dapat berdampak negatif pada penurunan kondisi struktur fisik habitat
sungai karena adanya peningkatan angkutan rata-rata sedimen sungai maupun
faktor lainnya yang terjadi. Adanya gangguan dari aktivitas manusia ke perubahan
morfologi sungai ini juga berakibat pada penurunan keragaman komunitas biologi
dalam kompleksitas struktur fisik habitat pada sungai, dimana terjadi ketiadaan
pemenuhan sumber makanan atau kebutuhan biologi lainnya dari beberapa spesies.
Oleh karena itu, diperlukan banyak penelitian ataupun kajian terkait permasalahan
lingkungan perairan secara umum seperti sungai dan hubungannya dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut terutama yang berujung pada
penurunan dan kehilangan kompleksitas dan keragaman habitat sungai.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kondisi sungai harus bisa


direstorasi atau dikembalikan ke kondisi alamiah awalnya atau yang biasa dikenal
dengan istilah naturalisasi atau restorasi sungai (stream restoration). Konsep
pendekatan ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahapan awal berupa identifikasi
awal atau penilaian kondisi awal habitat sungai terkait. Tahapan berikutnya adalah
pemilihan, penentuan dan pembentukan kriteria perencanaan dalam suatu proyek
restorasi sungai. Adapun hasil dari tahapan tersebut adalah klasifikasi habitat
sungai sesuai dengan penilaian dari aktivitas identifikasi awal kondisi habitat
sungai baik secara fisik maupun biologi termasuk morfologi fisik sungai seperti
palung (pools), jeram (riffles), area perpindahan dari palung ke jeram (glides), area
perpindahan dari jeram ke palung (run), dan bantaran sungai. Gambar 2.1 dan 2.2
adalah deskripsi habitat sungai baik secara konseptual maupun secara lapangan.
Klasifikasi habitat sungai ini setidaknya memberikan informasi data yang
diperlukan untuk menyusun kriteria perencanaan yang mempertimbangkan faktor
biologi serta hubungan sebab-akibat yang terjadi dari adanya gangguan aktivitas
manusia. Hubungan ekologi di dalam habitat sungai juga harus diperhatikan
sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan kriteria perencanaan dalam
suatu proyek restorasi sungai melibatkan banyak aspek kriteria terutama
geomorfologi, hidraulis, dan ekologi.
Gambar 2.1 Deskripsi habitat sungai baik secara konseptual maupun secara
lapangan
Bab 3

Siklus Hidrologi

Bab ini akan memaparkan hal dasar ilmu hidrologi yaitu siklus hidrologi
yang merupakan hal penting lainnya yang sangat penting dalam memahami konsep
sungai secara umum. Pada tahapan analisis, perhitungan hidrologi seringkali
dikaitkan dengan parameter sungai lainnya seperti kecepatan aliran. Hal ini
diperlukan untuk melindungi dan memulihkan kondisi ekosistem suatu sungai.

Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang pergerakannya tidak akan terhenti
dari atmosfer ke bumi, kembali ke atmosfer, dan seterusnya melalui proses
transpirasi, evaporasi, kondensasi, dan presipitasi. Siklus hidrologi ini yang
menyebabkan kenapa kita tidak pernah kehabisan pasokan air meskipun
menggunakannya setiap hari. Dampak dari siklus air ini mampu mengatur hujan,
cuaca, suhu lingkungan, dan menjaga keseimbangan ekosistem di muka bumi.
Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan kunci dari proses siklus air di
muka bumi ini tidak terhenti. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi
dalam beberapa macam bentuk, yaitu hujan, salju, hujan es dan salju (sleet), dan
kabut.

Dalam siklus hidrologi, beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas


atau langsung jatuh ke bumi yang kemudian diintersepsi oleh tanaman yang
tergenangi maupun tealiri sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus
hidrologi terus bergerak secara terus menerus dalam tiga cara berbeda, yaitu:

 Evaporasi/transpirasi. Air yang ada di laut, daratan, tanaman, sungai, dan


sebagainya menguap ke atmosfer dan menjadi awan. Pada keadaan ini, uap
air akan berubah menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun
(presipitasi) dalam bentuk hujan, salju, dan hujan es.
 Infiltrasi/Perlokasi ke dalam tanah. Air bergerak ke dalam tanah melalui
celah-celah atau pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air
dapat bergerak akibat aksi kapiler atau dapat secara vertikal atau horizontal
ke bawah permukaan tanah berdasarkan bantuan gaya gravitasi hingga air
tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
 Air Permukaan. Air bergerak di atas permukaan tanah dekat dengan aliran
utama dan danau, dimana makin landau lahan dan makin sedikit pori-pori
tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Air permukaan dapat dilihat,
biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lainnya dan
membentuk suatu sungai utama dan membawa seluruh air permukaan di
sekitar daerah aliran sungai menuju ke laut dan siklus air terulang kembali.

2.1 Jenis Siklus Hidrologi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa jenis siklus hidrologi
yang bergantung pada proses pendek atau panjangnya tahapan siklus. Jenis-jenis
siklus hidrologi meliputi siklus hidrologi pendek, sedang, dan panjang.

a. Siklus Hidrologi Pendek


Siklus hidrologi pendek atau biasanya disebut dengan siklus hidrologi kecil
dikarenakan secara prosesnya merupakan siklus air paling sederhana dan
hanya mencapai beberapa tahapan saja (Gambar 2.2). Uap air yang terbentuk
melalui evaporasi air laut kemudian akan diturunkan sebagai hujan pada
daerah sekitar. Siklus ini tergolong siklus yang pendek karena tidak adanya
proses adveksi atau pergerakan uap air oleh angin. Proses-proses terjadinya
siklus hidrologi pendek.
1. Sinar matahari memberikan energi panas ke laut sehingga menyebabkan
air laut menguap dan kemudian berubah menjadi uap air.
2. Setelah mengalami penguapan, uap air akan mengalami kondensasi
(pengembunan) dan menjadi awan yang mengandung uap air.
3. Awan yang terbentuk kemudian mencapai titik jenuh sehingga akan
menyebabkan terjadinya hujan di permukaan laut.

Gambar 2.2 Siklus Hidrologi Pendek

b. Siklus Hidrologi Sedang


Siklus hidrologi sedang (Gambar 2.3) sangat umum terjadi di Indonesia. Uap
air yang terbentuk dari proses penguapan air sungai, danau, laut, dan sumber
air lainnya. Kemudian mengalami kondensasi yang terkonsentrasi
membentuk awan, karena proses adveksi, awan yang terbentuk dibawa oleh
angin dan kemudian bergerak menuju wilayah di dekat laut. Proses-proses
terjadinya siklus hidrologi sedang.
1. Uap air yang terbentuk dari proses penguapan karena pemanasan sinar
matahari.
2. Setelah proses evaporasi, uap air akan terbawa angin sehingga mampu
bergerak menuju daratan.
3. Uap air akan membentuk awan dan berubah menjadi hujan.
4. Air hujan akan turun di permukaan kemudian mengalami perjalanan
aliran menuju sungai dan mengalir kembali ke laut.

Gambar 2.3 Siklus Hidrologi Sedang

c. Siklus Hidrologi Panjang


Siklus hidrologi panjang (Gambar 2.4) adalah siklus air yang biasanya
terjadi pada daerah beriklim subtropic atau empat musim, yaitu musim
panas, musim semi, musim gugur, dan musim dingin. Jangkauan siklus
hidrologi panjang lebih luas dibandingkan dengan siklus hidrologi pendek
dan sedang. Proses-proses terjadinya siklus hidrologi panjang.
1. Sinar matahari menyebabkan air laut menguap.
2. Uap air mengalami proses sublimasi. Sublimasi menyebabkan uap
air menjadi awan yang mengandung kristal-kristal es.
3. Kemudian awan akan bergerak terbawa angin menuju darat.
4. Awan akan mengalami presipitasi dengan turunnya hujan dalam
bentuk salju.
5. Penumpukkan salju akan memunculkan gletser.
6. Gletser inilah yang akan mencair menjadi air kemudian mengalami
perjalanan aliran ke permukaan tanah dan menuju ke suatu aliran
sungai.

Gambar 2.4 Siklus Hidrologi Panjang

2.2 Siklus Hidrologi Global

Hingga abad ke-16, samudra dianggap menjadi sumber sungai dan mata air melalui
rembesan bawah tanah, sehingga muncul beberapa saranan dari para ahli bahwa
penyimpanan air hujan adalah sumber yang sebenarnya. Dulu tercatat bahwa mata
air tidak akan mengering di musim panas jika samudra adalah sumbernya. Siklus
hidrologi menggambarkan siklus air yang terus menerus dari atmosfer ke bumi dan
samudra, dan kembali lagi ke atmosfer (Gambar 2.5).

Secara konseptual, siklus ini dapat dipandang sebagai suatu serangkaian tempat
penyimpanan dan perpindahan antar daratan dengan lautan. Siklus hidrologi ini
didukung oleh energi matahari yang mendorong terjadinya penguapan, mengirim
air dari permukaan tanah dan terutama dari lautan ke atmosfer, dan juga kehilangan
air yang dialami tanaman sebagai konsekuensi pertukaran gas yang diperlukan
untuk fotosintesis.

Siklus hidrologi dijabarkan pada Gambar 2.5 menekankan pentingnya pengiriman


kelembaban atmosfer dari laut ke daratan. Laut menerima 79% dari curah hujan
global dan menyumbang 88% dari penguapan global (Dingman, 2002).
Pengendapan di permukaan tanah bumi melebihi penguapan sebesar 40.000 km 3.
Hal ini diimbangi dengan persamaan jumlah air yang mengalir dari daratan ke
lautan. Limpasan tahunan sebesar 40.000 km 3 adalah jumlah total air yang
berpotensi tersedia untuk semua penggunaan manusia, termasuk air minum dan
kebutuhan kota lainnya, kebutuhan industri, dan pertanian non-irigasi. Namun,
hanya sekitar 12.500 km3 dari limpasan air yang benar-benar dapat digunakan,
dikarenakan kebanyakan terjadi pada daerah yang berpenduduk sedikit (Postel dkk,
1996).
Gambar 2.5 Penggambaran yang disederhanakan dari siklus air global. Arus
adalah perkiraan, dalam kilometer kubik per tahun. Panas ke bawah menandakan
pengendapan, panah ke atas menandakan evapotranspirasi. Garis horizontal
melambangkan perpindahan kelembaban dari lautan ke daratan, panas diagonal
melambangkan limpasan air dari daratan ke lautan. (Direproduksi dari Postel dkk.
1996, setelah Gleick 1993)

2.3 Neraca Keseimbangan Air

Untuk daerah apapun, persamaan neraca keseimbangan air adalah sebagai berikut:

P + Gmasuk – (Q + ET + Gkeluar) = ΔS

Dimana P adalah pengendapan, Gmasuk adalah air tanah yang masuk ke area
tersebut, Q adalah aliran keluar, ET adalah kehilangan air karena evotranspirasi,
Gkeluar adalah air tanah yang keluar dari area tersebut, dan ΔS mengacu pada
perubahan penyimpanan (Dingman, 2002). Jika dirata-ratakan lebih dari suatu
periode tahunan dan tidak terjadi perubahan iklim yang signfikan atau karena
pengaruh antropogenik, perubahan penyimpanan dapat diasumsikan dengan nol
(tetapi ini tidak benar dalam interval waktu yang singkat), sehingga kami dapat
menulis ulang persamaan ini sebagai berikut:

P + Gmasuk = Q + ET + Gkeluar

Limpasan mencakup aliran permukaan dan aliran keluar air tanah, tetapi aliran air
tanah biasanya kecil dan tidak terukur, sehingga kedua istilah tersebut tidak selalu
dibedakan dalam penggunaan umum.

Jika air tanah yang masuk dan keluar kurang lebih seimbang atau cukup kecil
untuk diabaikan, maka pengendapan tidak lagi menggunakan sistem sebagai aliran.
Istilah-istilah ini bervariasi secara spasial. Curah hujan meliputi hujan dan salju.
Penilaian lebih bervariasi pada skala waktu per jam dan harian daripada selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dan disetujui dengan pola pada nilai rata-rata
curah hujan, yang dikenali sebagai bulan basah dan bulan kering, dan sejak itu nilai
rata-rata tahunan yang membantu untuk menentukan iklim dari suatu daerah.
Hujan menyusup ke tanah atau mengalir dengan cepat, tetapi salju terus turun ke
permukaan bumi dalam waktu berjam-jam hingga berbulan-bulan sebelum
mencair. Di banyak daerah, salju merupakan sumber utama pasokan air permukaan
dan pengisian ulang air tanah, dan pencairan air mempengaruhi banjir pada siklus
mata air dan dalam mempertahankan aliran dasar pada saat musim panas.

2.4 Variasi Aliran (masih dipertimbangkan)

Karakteristik aliran sungai telah dilakukan penelitian secara praktek untuk desain
struktur pengendalian banjir, evaluasi stabilitas saluran, dan dalam menentukan
apakah air yang tersedia cukup pada waktu yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
baik manusia maupun lingkungan. Memperkirakan kemungkinan banjir tahunan
yang ekstrim, seperti yang mungkin terjadi pada rata-rata sekali dalam 10 atau 50
tahun juga sangat berguna. Kemungkinan banjir (P) dan rata-rata pengulangan (T)
adalah timbal balik sebagai berikut:

1
P=
T

Dengan catatan arus maksimum tahunan atau tindakan lain dari peristiwa banjir,
sejumlah metode dapat digunakan untuk memperkirakan P dan T (Gordon
dkk.,2004). Yang pertama dimulai dengan daftar aliran tertinggi tunggal setiap
tahun, berdasarkan debit puncak hidrograf banjir daripada menggunakan debit
harian rata-rata. Khususnya, ini penting untuk sungai kecil dimana tempat puncak
aliran lewat dalam kurun waktu beberapa jam, meskipun ini mungkin tidak terlalu
penting untuk sungai yang ukurannya lebih besar. Dengan menyesuaikan distribusi
probabilitas ke kumpulan data, dimungkinkan untuk memprediksi interval
pengulangan rata-rata untuk banjir tertentu. Interval pengulangan (T) untuk banjir
individu dihitung sebagai:

n+1
T=
m

dimana n adalah ¼ tahun dari rekor banjir dan m adalah ¼ tingkat besarnya banjir
tersebut.

Memperkirakan kemungkinan terjadinya kejadian langka cukup berisiko, dan


menjadi lebih berisiko jika hanya sebuahcatatan hidrologi singkat yang tersedia
untuk dianalisis. Selain kemungkinan tersebut, memperkirakan kemungkinan tetap
dilakukan tiap tahun untuk dapat mencakup data-data banjir individu yang interval
terjadinya masih lama. Perubahan penggunaan lahan atau iklim dapat
menghasilkan kumpulan data yang heterogen. Misalnya, kurva frekuensi banjir
untuk sungai sebelum dan sesudah pembangunan bendungan besar, penghijauan
skala besar, atau kemungkinan urbanisasi akan sangat berbeda.

Urbanisasi bisa memiliki pengaruh yang sangat kuat pada aliran arus (Dingman
2002). Penggantian vegetasi dengan trotoar dan bangunan dapat mengurangi
transpirasi dan infiltrasi, dan permukaan yang kedap air secara substansial
meningkatkan jumlah limpasan yang mengalir dengan cepat melalui darat.
Selokan-selokan pada saat terjadinya badai akan membanjiri jalan raya yang
merugikan masyarakat perkotaan, dan dimungkinakan untuk memerlukan
pembangunan kolam retensi sebagai upaya untuk memperlambat puncak banjir.
Arnold dan Gibbons (1996) menjelaskan perkiraan data aliran dengan penggunaan
permukaan yang kedap air (Gambar 2.6). Puncak banjir meningkat dan waktu ke
puncak akan memendek (Paul dan Meyer, 2001). Karena fraksi airnya lebih besar
diekspor sebagai limpasan, pengisian ulang air tanah menjadi lebih sedikit, dan
aliran dasar berkurang juga.

Karakterisasi pada variabilitas aliran sungai mengidentifikasi sejumlah aliran yang


menunjukkan beberapa pengelompokan secara geografis, yang biasa disebut
sebagai hidroklimatologi. Hidroklimatologi adalah langkah awal bagaimana
terjadinya risiko pada manusia akibat gempa. Hidroklimatologi membuat
kesiapsiagaan manusia mengurangi risiko. Analisis lebih lanjut menggunakan
sebanyak 420 alat pengukur aliran yang telah didistribusikan secara berdekatan dan
dipilih untuk mewakili modifikasi manusia untuk mendokumentasikan
pengelompokan regional indikasi perbedaan fitur iklim dan geologi.

Meskipun karakterisasi aliran dibagi ke dalam kelompok yang berbeda secara


regional dapat terus berlanjut disempurnakan, konsep masing-masing individu
pada sungai memiliki aliran alami berdasarkan integritas ekologi (Gambar 2.7).
Besaran aliran itu adalah volume air yang bergerak melewati suatu titik per satuan
waktu. Frekuensi digunakan untuk mengukur seberapa sering aliran dengan
besaran tertentu terjadi, dan berbanding terbalik dengan besaran. Durasi, waktu
(prediktabilitas), dan perubahan semua kecepatan menggambarkan aspek aliran
sementara.

Iklim, vegetasi, geologi, dan medan pada daerah aliran menentukan jenis aliran
alami yang terjadi. Di sungai yang sangat teratur, aliran musiman yang terjadi
menjadi hampir mencapai konstan karena penampungan air selama musim hujan
tercapai. Berdasarkan 21 situs dengan catatan hidrologi jangka panjang yang
memadai, Magilligan dan Nislow (2005) menemukan bahwa bendungan umumnya
menyebabkan peningkatan aliran rendah dan penurunan statistik aliran tinggi.
Gambar 2.6 Perubahan aliran hidrologi dengan peningkatan tutupan permukaan
yang kedap air di daerah tangkapan perkotaan (Direproduksi dari Paul dan
Meyer ,2001 setelah Arnold dan Gibbons, 1996)

Gambar 2.7 Variabel utama dalam aliran


Bab 4

Geomorfologi Sungai

Geomorfologi (fluvial) sungai adalah proses dinamika interaksi antara sungai


dengan permukaan lanskap termasuk proses pembentukan saluran sungai dan
jaringan drainase. Studi yang terkait dengan geomorfologi sungai adalah studi
tentang keterkaitan antar saluran, dataran banjir, jaringan, dan daerah tangkapan
hujan dengan menggunakan keragaman pendekatan analisis termasuk stratigrafi,
studi transportasi sedimen, pemodelan fisik, maupun pendekatan statistik yang
sesuai untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari dinamika fisik sistem
sungai yang terjadi. Dalam suatu sistem geomorfologi sungai, perlu diperhatikan
juga pemahaman akan keberagaman biota, habitat dan kondisi lingkungan yang
terjadi. Proses kuantifikasi hubungan antara keberagaman fitur sungai dan analisis
yang mendasarinya dapat membantu proses pemahaman yang lebih dalam tentang
bagaimana suatu sistem sungai merespons perubahan yang disebabkan oleh
manusia termasuk pasokan sedimen yang dapat menyebabkan sungai mengalami
perubahan bentuk dari waktu ke waktunya.

Hal penting lainnya dalam geomorfologi sungai adalah proses pembentukan


saluran aliran dan seluruh jaringan sungai atau saluran drainase dalam berbagai
pola secara teratur sehingga mencapai keseimbangan dinamis antara erosi dan
pengendapan yang terjadi pada proses hidrolis secara umum. Lebar dan kedalaman
saluran, kecepatan, ukuran butir sedimen, kekasaran dasar saluran, serta variabel
lainnya adalah variabel penting lainnya yang harus diperhatikan saat menganalisa
suatu sistem sungai secara kompleks.

Bila ditinjau dari perspektif ekologi, kompleksitas sistem sungai juga


memperhitungkan fitur sungai atau saluran yang melibatkan unit habitat dan
keberagaman komunitas biologis yang terjadi pada zona permukaan dan bawah
permukaan, dataran banjir, dan koridor sungai yang membentuk secara kompleks
dan mengalami perubahan pada model fisik sungai atau saluran. Untuk suatu
perubahan sistem sungai atau saluran yang diakibatkan oleh manusia seperti
pembuatan bendung, kanalisasi, normalisasi dan lain sebagainya diperlukan suatu
manajemen sungai terpadu dengan mempertimbangkan wilayah sungai sebagai
suatu satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan.

Untuk suatu wilayah sungai secara alamiah akan mengalami peristiwa ekuilibrium
dinamis, yang merupakan fungsi dari aliran dan sedimen terkait dengan saluran
utama dan daerah rawan banjir (Leopold dkk. 1964). Hal ini berarti suatu saluran
akan mengalami perubahan dinamis terhadap dimensi, profil aliran terhadap debit
yang fluktuatif, transportasi sedimen, maupun variabel lainnya. Di dalam suatu
pengembangan wilayah, istilah saluran drainase sering digunakan sebagai
pengganti saluran alamiah yang mengalami proses geomorfologi sungai. Oleh
karena itu perlu diketahui beberapa konsep dasar terkait drainase itu sendiri.

3.1 Jaringan Drainase

Jaringan drainase merupakan salah satu sistem pengaliran air hujan atau fasilitas
dasar yang dirancang untuk mengalirkan air hujan dan merupakan komponen
penting dalam perencanaan infrastruktur suatu wilayah kota. Pada bagian hulu
suatu jaringan drainase, umumnya sebagian besar saluran memiliki ukuran atau
dimensi yang lebih kecil bila dibandingkan dengan saluran pada bagian hilir.
Disamping itu saluran drainase bagian hulu biasanya hanya mengalirkan air pada
saat terjadi hujan saja, sementara saluran pada bagian hilir dialiri air sepanjang
tahun. Ini adalah titik dimana suatu saluran urutan pertama dimulai.
3.1.1 Sistem Jaringan Drainase

Menurut Suripin (2004), sistem jaringan drainase merupakan suatu bagian dari
fasilitas infrastruktur yang terletak pada suatu kawasan. Sistem jaringan drainase
termasuk pada kelompok infrastruktur air yang sering dijumpai disamping
infrastruktur lainnya seperti gorong-gorong, jembatan, pelimpah, pintu-pintu air,
bangunan terjun, dan sebagainya. Secara umum, sistem jaringan drainase dibagi
menjadi dua yaitu sistem jaringan drainase mayor dan minor.

1. Sistem Jaringan Drainase Mayor


Pada umumnya, sistem jaringandrainase mayor ini disebut sebagai sistem
saluran pembuangan utama atau drainase primer dikarenakan sistem ini
menampung dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan yang dilanda
air hujan. Pada sistem ini, digunakan metode periode ulangan antara 5-10
tahun dan diperlukan denah topografi yang detail.
2. Sistem Jaringan Drainase Minor
Sistem jaringan drainase minor adalah saluran yang terletak pada selokan di
sekitar bangunan, sepanjang sisi jalan, gorong-gorong, dan sebagainya,
dimana sistem drainase mikro adalah sistem saluran dan bangunan
pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah
tangkapan hujan. Sistem drainase ini hanya bersikap sementara tergantung
dengan penggunaan lahan disekitarnya.

3.1.2 Jenis-Jenis Drainase

Drainase dibagi berdasarkan beberapa kategori, yaitu menurut asal muasalnya,


fungsinya, letaknya, dan konstruksinya.

1. Menurut asal muasalnya.


a. Drainase alami
Drainase alami (Natural Drainage) adalah sistem drainase yang
terbentuk secara alami tanpa sedikitpun campur tangan dari manusia.
b. Drainase buatan
Drainase buatan (Artificial Drainage) adalah sistem drainase yang
terbentuk dengan maksud dan tujuan tertentu untuk membantu kehidupan
manusia seperti selokan, gorong-gorong, dan lain sebagainya.
2. Menurut fungsinya.
a. Single Purporse
Single Purpose adalah sistem drainase yang hanya memiliki 1 fungsi dan
tujuannya.
b. Multi-Purpose
Multi-Purpose adalah sistem drainase yang berfungsi mengalirkan
beberapa jenis pembuangan.
3. Menurut letaknya.
a. Drainase permukaan tanah
Drainase permukaan tanah (Surface Drainage) adalah sistem drainase
yang berfungsi untuk mengalirkan limpahan-limpahan air hujan dan
sebagainya.
b. Drainase bawah tanah
Drainase bawah tanah (Sub Surface Drainage) adalah sistem drainase
yang terletak dibawah tanah untuk mengalirkan material-material melalui
pipa-pipa dengan alasan tertentu.

3.1.3 Pola-Pola Drainase

Terdapat beberapa jenis pola drainase yang ada di dunia. Pola drainase dibuat
berdasarkan topografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

1. Jaringan Drainase Siku


Jaringan Drainase Siku berbentuk siku antara saluran cabang dengan saluran
utama.

Gambar 3.1 Pola Jaringan Drainase Siku (gambar nanti buat sendiri!)

2. Jaringan Drainase Pararel


Jaringan Drainase Pararel terbenntuk dikarenakan saluran cabang bergerak
pararel dengan saluran utama tetapi pada akhirnya saluran cabang menyatu
dengan saluran utama.

Gambar 3.2 Pola Jaringan Drainase Pararel (gambar nanti buat sendiri!)
3. Jaringan Drainase Grid Iron
Jaringan Drainase Grid Iron biasanya terletak pada pinggiran kota dimana
seluruh saluran cabang pada kota akan dipertemukan pada saluran utama
yang berada di pinggiran.

Gambar 3.3 Pola Jaringan Drainase Grid Iron


4. Jaringan Drainase Alamiah
Jaringan Drainase Alamiah adalah jaringan drainase yang terbentuk secara
alamiah tanpa campur tangan dari manusia.

Gambar 3.4 Pola Jaringan Drainase Alamiah


5. Jaringan Drainase Radial
Jaringan Drainase Radial adalah suatu pola jaringan yang saluran cabangnya
bergerak ke segala arah.

Gambar 3.5 Pola Jaringan Drainase Radial


6. Jaringan Drainase Webs (Jaring-Jaring)
Jaringan Drainase Jaring-Jaring adalah suatu pola jaringan yang
mempertemukan saluran cabang dengan saluran cabang lainnya yang
akhirnya bertemu dengan saluran utama.

Gambar 3.6 Pola Jaringan Drainase Webs


3.2 Saluran Aliran

Bentuk saluran dan luas penampangnya akan berbeda meskipun pada suatu aliran
yang sama karena beberapa lokasi tergolong lebar dan dangkal, dan beberpaa
lokasi lainnya sempit dan dalam. Tetapi, debit saluran yang dihasilkan akan sama
ketika mencapai hilir saluran. Penampang saluran pada dasarnya bentuknya
kebanyakan trapesium tetapi tidak akan simetris pada saat tikungan. Pengendapan
sedimen akan terjadi pada bagian dalam suatu tikungan saluran dikarenakan
kecepatan aliran yang cenderung lebih rendah daripada saluran yang satunya lagi.

Hal lain yang menyebabkan pengendapan pada bagian dalam tikungan karena arus
mengalir ke bagian luar tikungan tetapi hal ini dapat menyebabkan pelebaran
saluran pada salah satu tikungan dan terjadinya perubahan bentuk alami sungai
seiring berjalannya waktu. Biasanya pemancing menggunakan titik luar
dikarenakan lokasi tersebut biasanya akan lebih dangkal untuk mendapatkan hasil
yang lebih maksimal. Di lembah yang curam dan sempit, biasanya saluran dibatasi
oleh topografi, sedangkan lembah yang datar dan lebar memungkinkan lebih
banyak gerakan lateral dan berkelok-kelok (Gambar 3.1)

Gambar 3.1 (a) Penampang lembah yang menunjukkan saluran saat ini, dataran
banjir ditempati secara berkala, dan teras yang mewakili dataran banjir sebelumnya
(Direproduksi dari Dunne dan Leopold, 1978). (b) Sebuah saluran yang memiliki
sedikit kemungkinan untuk dikembangkan menjadi dataran banjir (Direproduksi
dari Ward dkk. 2002)
3.3 Liku Saluran (Sinuosity)

Air yang mengalir akan mengikuti jalur pada suatu aliran, apakah itu merupakan
air bekas lelehan es, arus pada teluk, arus pada danau, atau suatu saluran sungai.
Namun, jenis aliran biasanya sangat berlika-liku (Sinuosity), dari saluran yang
lurus sampai dengan yang sangat berkelok-kelok, hingga saluran dengan tikungan
yang sangat tidak teratur dapat diukur sebagai berikut:

Panjang Saluran
Sinuosity = Garis Lurus Menuruni Jarak Lembah

Banyak variabel yang dapat mempengaruhi derajat lika-liku dan nilainya berkisar
satu pada saluran yang mendekati sederhana dan terdefinisi hingga empat pada
saluran yang sangat berkelok-kelok. Sinuosity dapat diartikan sebagai suatu tingkat
lika-liku ekstrim bila didapatkan nilai > 1,5 (Gordon dkk. 2014)
Bab 5

Abiotik Sungai

Dalam ekosistem sungai terdapat hubungan timbal balik antara komponen faktor
abiotik dan komponen faktor biotiknya. Komponen abiotik pada ekosistem sungai
yaitu arus, substrat, suhu, dan variabel kimia yang terdapat pada aliran sungai.
Penjelasan lebih terperici terkait komponen abiotik sungai akan dipaparkan pada
sub bab dibawah ini. Pada dasarnya zat kimia pada aliran sungai termasuk di
dalamnya oksigen terlarut merupakan hal yang penting dalam suatu ekosistem
sungai. Pembahasan lebih mendalam terkait dengan kimia air sungai terdapat pada
Bab 6.

5.1 Arus Sungai

Dalam sistem sungai, arus sungai seringkali disamaartikan dengan aliran sungai.
Kedua hal ini tentunya memiliki perbedaan walaupun sedikit saja terutama dalam
hal materi dengan garis alirannya. Aliran sungai lebih bersifat umum dan sangat
mempengaruhi struktur fisik sungai dan aspek hidrolis yang beroperasi pada suatu
level sungai. Sementara arus sungai lebih menekankan pada materi dengan besaran
kecepatan tertentu yang membentuk garis aliran. Arus sungai dapat mempengaruhi
mikrohabitat yang ada dan ditempati oleh sebagian biota sungai. Hal ini tentunya
sangat penting untuk interaksi ekologi, kecepatan transfer energi, dan siklus materi
tersebut. Arus sungai dapat menjadi dominan dan dapat menentukan karakterisasi
variabel lainnya juga dapat mempengaruhi keberagaman ekosistem sungai. Sebagai
contoh arus sungai yang memiliki kecepatan dan bergerak dalam garis aliran dapat
mempengaruhi organisme bentik pada sungai adalah organisme bentik yang
biasanya menempel pada suatu substrat dapat terpisah atau terkikis karena adanya
perubahan arus sungai yang semakin tinggi sehingga kemampuan organisme bentik
untuk mempertahankan posisinya semakin berkurang. Hal ini tentunya dapat
mempengaruhi secara tidak langsung pada proses rantai makanan makanan
termasuk nutrisi dan gas terlarut di dalamnya sehingga metabolisme dan
pertumbuhan organisme bentik menjadi terganggu.

Kecepatan pada arus sungai sangat bervariasi dan terjadi tidak hanya di sepanjang
sungai dengan variasi hidrograf yang terjadi, tetapi juga dari satu tempat ke tempat
lain dalam suatu segmen sungai pada skala habitat mikro karena gesekan lapisan,
topografi, dan kekasaran lapisan karena partikel substrat yang relatif besar. Profil
kecepatan aliran vertikal sangat penting untuk pertimbangkan dari efek arus pada
organisme karena kondisi aliran yang berada di dekat sisi aliran sungai dapat
sangat berbeda dari tengah aliran sungai.

Kapan kedalaman aliran jauh lebih besar dari ketinggian elemen kekasaran, yang
diharapkan lapisan luar yang kecepatannya sedikit berbeda dengan keadaan yang
lebih dalam (Gambar 6.2). Di kebanyakan keadaan alami, bagaimanapun, aliran
tiga dimensi yang diinduksi oleh kekasaran dan turbulensi mencirikan lingkungan
di dekat lapisan tempat tinggal sebagian besar organisme aliran.
Gambar 6.2 Pembagian aliran saluran terbuka kasar secara hidrolik menjadi
lapisan horizontal. Kecepatan aliran dalam '' Lapisan kekasaran '' tidak dapat
diprediksi hanya berdasarkan pengetahuan tentang aliran di lapisan logaritmik.
Angka ini tidak ditarik ke skala. (Direproduksi dari Hart dan Finelli, 1999)

Pengenalan terhadap bagaimana rumitnya suatu kondisi aliran yang berada di dasar
memicu munculnya beberapa perhitungan kecepatan dan tekanan hidrolik.
Penggunaan metode-metode terhadap suatu aliran menetapkan bahwa perkiraan
terhadap kecepatan diukur 2 cm dari dasar saluran sampai 10 cm dari dasar
saluran, dikarenakan makhluk hidup yang berukuran mikro ditemukan pada
ketinggian tersebut.

6.2 Variabel Hidrolik

Kekasaran permukaan dapat diukur langsung dari dimensi partikel atau dengan
menggunakan alas profiler seperti pelat tingkat yang melaluinya sejumlah batang
vertikal geser yang ditekan ke bawah untuk menghasilkan ukuran topografi.
Kecepatan rata-rata, kedalaman, dankekasaran permukaan adalah variabel hidrolik
sederhanayang memberikan informasi berguna tentang aruslingkungan Hidup.
Menggunakan pengukuran saluran terbuka dan konstanta tertentu dapat
diperkirakan hidrolik variabel termasuk bilangan Reynolds (Re) dan nomor Froude
(Fr).

Re mengukur rasio gaya inersia darimemindahkan fluida ke sifat kental suatu


fluida yang menolak pencampuran (Newbury dan Bates, 2006). Itu adalah bilangan
tak berdimensi yang dapat digunakan membedakan jenis aliran dan gaya yang
dialami oleh suatu organisme. Kedalaman aliran digunakan untuk estimasi Re
untuk saluran,

Tabel 6.1 Beberapa istilah dan persamaan dalam menggambarkan aliran sungai
(Direproduksi dari Davis dan Barmuta, 1989 dan Carling, 1992)

Istilah Penjelasan Satuan Pengukuran


U Kecepatan cm/s-1 Diukur pada kedalaman 0,4 dari bawah
rata-rata saluran terbuka pada profil kecepatan
U* Kecepatan cm/s-1 Diperkirakan dari kecepatan skala halus
geser yang diplotkan terhadap kedalaman aliran
D Kedalaman aliran cm Total kedalaman ke permukaan saluran
k Kekasaran cm Ketinggian kekasaran elemen pada
subtrat permukaan yang diukur secara individual
D/k Kekasaran relatif - Ketinggian kekasaran elemen relative
terhadap kedalaman air
g Gravitasi m/s-2 9,81
v Viskositas m2/s-1 1,004 x 10-6 pada suhu 20 derajat celcius
kinematik
Re Bilangan - Re = U D/v Re < 500 = Laminar
Reynold 500 < Re < 1000 = Transisi
Re > 1000 = Turbulen
Fr Froude - Fr = U(gD)-0,5 Fr < 1 = Sub-kritis
Fr = 1 = Kritis
Fr > 1 = Super-kritis
Re* Batas bilangan - Re* = U*k/v Re* < 5 = halus
Reynold 5 < Re* < 70 = transisi
Re* > 70 = kasar

dan panjang seekor ikan atau serangga dapat digunakan untuk memperkirakan
kekuatan yang bertindak langsung pada organisme. Pada Re rendah, aliran adalah
gaya laminar dan kental mendominasi, sedangkan pada turbulensi Re tinggi terjadi
dan gaya inersia mendominasi. Laminar aliran biasanya membutuhkan kecepatan
arus dengan baik di bawah 10 cm/s -1, terutama jika kedalaman melebihi 0,1 m;
singkatnya, cukup dangkal dan bergerak lambat. Karenanya aliran turbulen adalah
norma saluran sungai dan aliran. Fr adalah rasio kecepatan dan kedalaman tak
berdimensi, dan membedakan aliran tenang dari aliran putus dan turbulen aliran
(Davis dan Barmuta, 1989).

Nilai rendah Fr adalah karakteristik habitat kolam dan lebih tinggi nilai-nilai
habitat riffle. Di beberapa aliran di Selandia Baru, Fr umumnya <0,18 dan jarang
seperti setinggi 0,4 di kolam, > 0,41, dan setinggi 1 inci riffle, dan intermediate in
run (Jowett, 1993). Menggunakan perkiraan kecepatan geser (U*), yaitu dapat
diturunkan dari profil kecepatan dan menggantikan ketinggian elemen kekasaran
untuk kedalaman air dan satu perkiraan kekasaran (batas) bilangan Reynolds (Re*)
(Tabel 6.1). Variabel ini dan tegangan geser tak berdimensi, yang terkait dengan
kuadrat kecepatan geser dan berbanding terbalik dengan ukuran partikel.

Kondisi fisik terhadap Re yang rendah dan tinggi sangat berbeda. Dengan
mengurangi efek dari turbulensi, maka efisiensi dari bentuk juga digunakan untuk
mengurangi perbedaan tekanan pada posisi hulu dan hilir. Pada Re rendah, air
lebih kental daripada air biasa dan gaya yang terjadi lebih besar satu sama lainnya.
Tekanan terakhir yang muncul dikarenakan kondisi yang tidak licin menghasilkan
gesekan pada dasar saluran. Ini dikurangi dengan pengurangan luas permukaan,
sehingga bentuk akan menjadi memungkinkan. Pelurusan jenis saluran akan sedikit
bermanfaat dikarenakan tekanan seret akan berkurang.

Arus berperan sebagai faktor lingkungan yang buruk ketika terjadinya banjir yang
menyebabkan longsor akibat gaya geser yang bekerja secara langsung terhadap
individu. Distribusi organisme yang dipengaruhi oleh gangguan mulai dari
frekuensi yang tinggi dan magnitude yang rendah yang dihasilkan dari turbulensi
dan curah hujan rendah. Tingkat kerusakan dari dampak bencana itu selanjutnya
ditentukan oleh adanya aliran tempat perlindungan dan kemampuan organisme
mencari, melindungi, dan mengkolonisasi kembali.

6.3 Substrat

Substrat yang mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya sangat penting untuk
ganggang atau makhluk hidup lainnya dikarenakan tempat mereka tinggal
memungkinkannya untuk bertahan hidup dari ancaman lainnya. Suhu juga
mempengaruhi seluruh proses siklus kehidupan dikarenakan sebagian besar
organisme yang hidup di arus bersifat ektotermik.

Substrat adalah variabel kompleks dari suatu sistem lingkungan. Seringkali kita
memikirkan substrat yang dalam persyaratan material aliran, termasuk jalan
berbatu dan batu besar di aliran gunung, lumpur, dan pasir yang lebih khas pada
sungai dataran rendah. Selain itu, masih ada berbagai macam substrat organik
dalam jalannya suatu aliran, dari fragmen organik kecil hingga seukuran pohon
tumbang, bersama dengan tanaman yang berakar, ganggang berserabut, bahkan
hewan lainnya.

Pada intinya, substrat mencakup segala sesuatu yang ada di sungai, tidak
mengecualikan variasi artefak dan puing-puing manusia, dan tempat organisme
tinggal (Minshall, 1984). Ada contoh di mana substrat relatif seragam, seperti pada
dasar sungai berpasir dengan kemiringan rendah tetapi biasa itu sangat heterogen.

Pengukuran terhadap partikel anorganik sangat mudah dilakukan dan disimpulkan


menjadi suatu ukuran tertentu tetapi untuk pengamatan dalam mengambil nilai
rata-ratanya akan sangat sulit dilakukan, misalnya pengamatan pada lumut,
bebatuan, dan kayu yang terendam.

Sebagai suatu perhitungan, substrat biasanya terdiri dari banyak jenis. Bahkan
ketika dalam penentuan jumlah substrat tidaklah mudah, seperti memperkirakan
ukuran partikel atau volume pada kayu, dan sebagainya.

Penjumlahan substrat masih menjadi suatu masalah dalam pengukurannya


dikarenakan baik secara vertical maupun horizontal akan selalu berubah dari waktu
ke waktu sebagai suatu respon terhadap fluktuasi aliran.

Sungai pada dataran yang rendah dimana sebagian besar substratnya adalah pasir,
sobekan batang pohon, dan pohon tumbang. Penelitian yang dilakukan oleh Benke
dkk. (1985) pada salah satu sungai di Georgia memperkirakan bahwa ratio antar
halangan, lumpur, dan substrat pasir berkisar 1 : 1,4 : 14 pada lokasi hulu, dan 1 :
3,6 : 18 pada lokasi hilir. Halangan yang dimaksud telah banyak dipengaruhi boleh
biomassa invertebrata (Tabel 6.2).

Total unit angka per luas tidak berbeda nyata antara halangan dan pasir. Namun,
sebagian besar invertebrata pada substrat pasir adalah oligo chaetes dan pengusir
hama psammophilous. Pada semua habitat yang terletak pada aliran sungai,
permukaan halangan menyumbang lebih dari setengah biomassa invertebrata.
Dikarenakan pasir merupakan 70-80% substrat, maka itu merupakan penyebab dari
sebagaian besar biomassa yang tersisa meskipun juumlah biomassa per satuannya
kecil.

Tabel 6.2 Jumlah substrat kayu, pasir, dan lumpur pada salah satu sungai di
Georgia

Substrat Kayu Pasir Lumpur


Jumlah mg m-2 Jumlah mg m-2 Jumlah mg m-2
Hilir Hulu Hilir Hulu Hilir Hulu
Diptera 17 243 696 15 64 124 11 148 309
Trichoptera 9 4222 1581 0 - - 3 24 30
Ephemeroptera 5 97 56 0 - - 0 - -
Plecoptera 2 137 109 0 - - 0 - -
Coleoptera 3 218 117 1 8 11 0 - -
Megaloptera 1 379 259 0 - - 0 - -
Odanata 3 529 578 1 - - 0 - -
Oligochaeta 0 - - 3 22 22 0 420 290
Total 40 5825 3396 20 94 157 14 592 629

Serangkaian penelitian yang dilakukan pada sungai Steavenson di Australia


terhadap induksi substrat ditemukan bahwa luas permukaan bebatuan
diperhitungkan sekitar 70-80% dalam berbagai jenis kekayaan spesies, batu-batu
kecil memiliki spesies yang lebih sedikit karena kekasaran permukaannya yang
juga jauh lebih sedikit. Kekasaran alga merah (Audouinella hermannii)
ditingkatkan dan dengan datangnya makroinvertebrata.

Penggunaan batu bata sebagai suatu percobaan, Downes dkk. (1988) memanipulasi
tiga aspek tentang habitat struktur, yaitu lubang permukaan besar dan retakan,
tekstur permukaan (lubang kecil), dan kelimpahan makroalga. Sampel penelitian
diambil setelah 14 hari dan 28 hari, spesies yang mayoritas terjadi pada substrat
kasar, ada suatu akumulasi yang tidak proporsional dari individu-individu kecil,
dan masing-masing dari tiga elemen struktur habitat yang telah dimanipulasi
terpisah (Gambar 6.3).
700

600

500

400 14 Hari Pengaruh Alga Kasar


28 Hari Pengaruh Alga Kasar
14 Hari Pengaruh Alga Halus
300
28 Hari Pengaruh Alga Halus

200

100

0
Pengaruh Alga

(a)
450

400

350

300

250 14 Hari Tanpa Pengaruh Alga Kasar


28 Hari Tanpa Pengaruh Alga Kasar
200 14 Hari Tanpa Pengaruh Alga Halus
28 Hari Tanpa Pengaruh Alga Halus
150

100

50

0
Tanpa Alga

(b)
500

450

400

350

300
14 Hari Dengan Celah
250 28 Hari Dengan Celah
14 Hari Tanpa Celah
200 28 Hari Tanpa Celah

150

100

50

0
Dengan dan Tanpa Celah

(c)
Gambar 6.3 Jumlah rata-rata spesies (1 SE) yang berkoloni pada batu kasar dan
halus dari setiap mikroalaga baik (a) dilepas atau dibiarkan utuh dan (b) dengan
atau tanpa celah-celah. Nilai ini disesuaikan dengan luas batu

Penggunaan prosedur statistik yang dikenal sebagai penghalusan untuk


membandingkan jumlah spesies (S) distandarisasi untuk kelimpahan keseluruhan
(n), ditarik suatu kesimpulkan bahwa S meningkat secara tidak proposional
menjadi n, menunjukkan bahwa kekayaan spesies meningkat ditambah dengan
kompleksitas habitat.

Meskipun studi ini memberikan bukti kuat untuk pentingnya kekasaran substrat,
mekanisme oleh celah dan kekasaran permukaan yang terpengaruh oleh biota tidak
jelas. Secara khusus, A. hermannii merespon kuat terhadap tekstur permukaan,
tidak mungkin memisahkan efeknya pada fauna dengan tutupan alga yang
meningkat dari kombinasi dengan permukaan yang kasar.

Celah dan kekasaran permukaan jelas melindungi mikroorganisme dan invertebrata


dari gangguan yang terkait dengan arus tinggi, gerusan sedimen, dan jatuhnya
substrat. Penggunaan beberapa jenis substrat dari batu halus dan kasar, Bergey
(2005) menunjukkan bahwa biomassa alga yang tersisa setelah gangguan dari
bebatuan ditingkatkan dengan jumlah celah dan kekasaran permukaan. Pada
bebatuan yang kasar, beberapa 60-80% alga tersisa, menunjukkan efek dari
peningkatan luas permukaan dan perlindungan yang lebih besar.

Kehadiran organisme tertentu dapat menambah dimensi biologi pada tekstur dan
stabilitas substrat. Keberadaan larva meningkatkan kecepatan partikel, dikarenakan
efek dari sekresi sutranya. Dengan melimpahnya larva dan mempengaruhi taksa
lain untuk mempertahankan posisi saat arus pada suatu aliran meningkat.

6.4 Temperatur

Suhu adalah variabel lingkungan utama menentukan tingkat metabolisme


organisme, distribusinya, dan sangat menentukan keberhasilannya dalam
berinteraksi dengan spesies lainnya. Aliran suhu biasanya bervariasi pada musim
dan skala waktu harian dan di antara lokasi karena iklim, luasnya vegetasi tepi
sungai, dan kepentingan relatif dari input air tanah.

Untuk alasan ini, termal sangat beragam dan dapat bervariasi pada semua skala
spasial dari skala mikro bercak ke gradien membujur dari hulu ke muara sungai.
Aktivitas manusia bisa mengubah suhu alami dalam banyak hal, termasuk
penghilangan vegetasi peningkat naungan, perubahan jalur aliran seperti
peningkatan permukaan kedap air, konstruksi bendungan, dan tentu saja dengan
mempengaruhi iklim.

Suhu pada aliran air biasanya sangat bervariasi. Suhu aliran bisa menjadi cukup
konstan dimanapun input air tanah terjadi. Sungai yang berukuran sedang yang
dialiri akuifer air tanah yang besar akan menunjukkan pemanasan musiman yang
jauh lebih sedikit dan lebih dingin daripada sungai di iklim yang sama.

Suhu pada sungai yang sangat konstan juga ditemukan pada daerah tropis yang
lokasinya terus menerus terpapar sinar matahari. Sungai Amazon di Brazil
merupakan salah satu sungai dengan suhu termal stabil di dunia. Di sebagian besar
sungai yang beriklim sedang, kisaran suhu tahunan antara 0°C sampai dengan
25°C, tetapi pada sungai daerah gurun bisa mencapai hampir 40°C.

Perubahan suhu pada sungai mengikuti perubahan musim pada wilayahnya,


terutama pada musim dingin, dimana suhu air turun sampai ke titik beku dan
sungai menghangat lebih lambat di musim semi. Meskipun sering digunakan
hubungan antara suhu udara dan air, radiasi mathaari, bukan pemanasan konvektif
air oleh udara, dikarenakan pemasukan panas utama aliran akan juga
mempengaruhi suhu pada aliran dan sekitarnya.

Suhu pada sungai besar tidak banyak dipengaruhi oleh bayangan, dikarenakan
ukurannya yang besar dan termal inersia yang cukup besar dan hampir bisa
dipastikan bahwa sungai tersebut akan sangat terpapar matahari. Pada sungai yang
kecil pada daerah perhutanan, dengan terjadi penghalangan sinar matahari masuk
ke perairan juga mempengaruhi suhu pada aliran tersebut.

Sebuah literatur mendokumentasikan pengaruh ada atau tidak adanya bayangan


terhadap suhu pada aliran, terutama dalam konteksi praktik pada aliran sungai yang
dihuni oleh ikan salmonid. Suhu rata-rata pada sungai yang terletak di hutan di
dunia berkisar hanya 13°C, dan pada keseharian suhu dapat meningkat sebesar 7-
8°C. Pada suatu sungai pada hutan yang telah ditebang akan sangat mempengaruhi
perubahan suhunya tetapi seiring berjalannya waktu, suhu akan kembali normal
dalam kurun waktu 5-10 tahun.

Pengaruh ukuran sungai dari pemanasan dari radiasi matahari terhadap urutan-
urutan sungai di dunia dijelaskan pada Gambar 6.4. Lokasi sungai pada hulu
biasanya stabil secara termal dikarenakan topografinya dan lokasinya yang pasti
berada di kawasan pepohonan, dan sungai di hilir biasanya stabil juga secara
termal dikarenakan massa air yang sangat besar, sedangkan pada sungai yang
berada pada orde menegah terjadi perubahan termal yang cukup signifikan karena
dipengaruhi oleh naungan tepi sungai dan volume yang cukup kecil untuk hangat
dan sejuk pada siang dan malam hari.

12
Perubahan Suhu Maksimal

10

0
0 2 4 6 8 10 12 14
Urutan Orde pada Sungai

Gambar 6.4 Rentang perubahan suhu harian dalam urutan-urutan sungai di dunia

Kesimpulan dari Bab ini adalah….

Hubungan antara invertebrate makro dengan kecepatan, ukuran substrat, dan


ukuran kedalaman menggambarkan suatu perbedaan terhadap masing-masing
habitat. Tetapi, faktor lingkungan juga menjadi suatu variabel yang memungkinkan
variabel tersebut sulit untuk saling berkolerasi. Ketika suatu medan menjadi tidak
memungkinkan yang disebabkan terjadinya penggerusan yang berlebihan atau
beberapa bagian sungai yang menjadi terlalu hangat dalam rentang waktu yang
tidak terduga, maka hal tersebut juga merupakan salah satu dari sekian variabel
yang memungkinkan untuk sulit dalam berkolerasi.
Bab 6
Aliran Sungai

Aliran sungai adalah aliran yang biasanya mengalir pada saluran terbuka alamiah.
Pengertian dari saluran terbuka sendiri adalah suatu saluran yang terjadi secara
alamiah atau buatan yang memiliki bentuk permukaan yang bebas atau
berhubungan langsung dengan udara luar. Aliran sungai dipengaruhi oleh beberapa
parameter hidraulis antara lain jari-jari tampang basah, kemiringan dasar saluran,
kekasaran dasar, kekentalan zat cair, dan bervariasinya geometri saluran.

5.1 Bilangan Froude

Bilangan Froude adalah suatu bilangan tak bersatuan yang digunakan untuk
mengukur resistensi dari suatu objek yang bergerak melalui suatu aliran air dan
membandingkannya dengan ukuran yang berbeda-beda.

Pengelompokkan aliran yang dijabarkan dalam bilangan Froude.

Fr = ¿V¿

Fr adalah Bilangan Froude, V adalah kecepatan aliran, g adalah gravitasi, dan h


adalah kedalaman aliran. Bilangan Froude yang diketahui dapat didefinisikan
menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Aliran Sub kritis (Fr < 1)

Aliran sub kritis adalah aliran yang memiliki ciri fisik yaitu kecepatan aliran
lambat, kedalaman aliran lebih besar, kurang dari kecepatan pada
perambatan gelombang dan perambatan gelombang ke hilir dan ke hulu.
b. Aliran Kritis (Fr = 1)

Aliran kritis adalah aliran air yang mempunyai kecepatan aliran sebanding
dengan kecepatan gelombang gravitasi beramplitudo kecil. Umumnya
kecepatan kritis dipakai sebagai pegangan dalam menentukan ukuran
bangunan ukur debit aliran air dimana kondisi tersebut disebut kondisi
keadaan aliran modular.

c. Aliran Super kritis (Fr > 1)

Aliran super kritis adalah aliran yang memiliki ciri fisik yaitu kecepatan
aliran deras, lebih besar daripada kecepatan pada gelombang dan
perambatan gelombang ke daerah hilir.

5.2 Bilangan Reynolds

Bilangan Reynolds adalah rasio antara gaya inersia terhadap gaya viskos yang
mengkuantifikasikan hubungan kedua gaya tersebut dengan suatu kondisi aliran
tertentu.

Pengelompokkan aliran yang dijabarkan dalam bilangan Reynolds.

ρVsh ρVsh Gaya Inersia


Re = μ
= v = Gaya Viskos

μ
v=
ρ

Vs adalah kecepatan fluida, μ adalah viskositas absolut fluida dinamis, v adalah


viskositas kinematik fluida, dan ρ adalah densitas fluida. Bilangan Reynold yang
diketahui dapat didefinisikan menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Aliran laminer/berlapis (Re < 500)


Aliran laminar adalah aliran yang ciri utama dari aliran ini adalah arah aliran
air lurus dan tidak saling bertabrakan maupun memotong.

b. Aliran transisi (500 < Re < 1000)


Aliran transisi adalah aliran yang ciri utama dari aliran ini adalah arah aliran
cenderung bersifat lurus, tetapi di tengah aliran bersifat berbelok, akan tetapi
belum saling bertabrakan atau berbelok.

c. Aliran turbulen/bergolak (Re > 1000)


Aliran turbulen adalah aliran yang ciri utama dari aliran ini adalah arah
aliran air tidak teratur dan saling memotong atau bertabrakan dan berolak.

5.3 Hubungan Bilangan Froude dan Bilangan Reynolds

Menurut Chou (1989), terdapat hubungan antar bilangan Froude dan bilangan
Reynolds yaitu hubungan berdasarkan kekentalan dan aliran berdasarkan gaya
gravitasi untuk saluran terbuka dijabarkan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Pengelompokkan aliran berdasarkan bilangan Froude dan Reynolds

No. Pengelompokkan Bilangan Froude Bilangan


Reynolds
1 Aliran sub kritis - berlapis <1 < 500
2 Aliran super kritis - berlapis >1 < 500
3 Aliran sub kritis - transisi <1 500 < Re < 2000
4 Aliran super kritis – transisi >1 500 < Re < 2000
5 Aliran kritis =1 Bebas
6 Aliran sub kritis - bergolak <1 > 2000
7 Aliran super kritis – bergolak >1 > 2000

5.4 Persamaan Aliran

Tidak seperti gerak benda padat, gerak cairan cukup kompleks dan tidak selalu
dapat diselesaikan atau dipecahkan dengan pasti hanya dengan analisis secara
matematis. Hal ini dikarenakan elemen cairan merupakan suatu elemen yang
mengalir terus menerus dan bergerak dengan kecepatan dan percepatan yang
berbeda juga. Terdapat tiga konsep penting dalam aliran benda cair, yaitu:

1. Hukum ketetapan massa, dimana hukum ini diturunkan dari persamaan


kontinuita.
Q = A1.V1 = A2.V2
Dimana Q adalah debit aliran, A adalah luas penampang, dan V adalah
kecepatan aliran.
2. Hukum ketetapan energi, dimana hukum ini melibatkan energi kinetik,
energi potensial, dan energi internal.
2
V
H = z + d cos θ +
2g
Prinsip-prinsip ketetapan energi dimana jumlah tinggi fungsi suatu energi
pada penampang 1 yang posisinya terletak pada hulu akan sama dengan
fungsi suatu energi pada penampang 2 yang posisinya yang terletak pada
hilir dan fungsi hf diantara kedua penampang tersebut.
2 2
V1 V2
H = z1+d1cos θ + α1+ = z2+d2cos θ + α2+ +hf
2g 2g
Dimana z adalah fungsi suatu titik diatas garis referensi, h adalah fungsi
tekanan di suatu titik, v adalah kecepatan aliran, dan g adalah gaya
gravitasi.

3. Hukum momentum, dimana hukum ini diturunkan dari persamaan


dinamis.
ΣF = PQ . V
Dimana P adalah tekanan hidrostatis, Q adalah debit aliran, dan V adalah
kecepatan aliran.

4.5 Perhitungan Perhitungan Aliran

Perhitungan terhadap dimensi suatu penampang saluran dengan analisis secara


hidrolis bertujuan untuk mendapatkan penampang yang efisien. Penampang yang
efisien tersebut bertujuan untuk tidak mengakibatkan endapan terhadap sedimen
pada saluran. Adapun persamaan perhitungan dimensi saluran menggunakan
beberapa persamaan berikut.

1. Persamaan Chezy

Seperti yang telah diketahui, perhitungan terhadap suatu aliran terbuka


hanya dapat dilakukan menggunakan rumus-rumus empiris. Hal ini
disebabkan oleh banyak variabel yang inkonsisten (berubah-ubah). Chezy
berusaha mencari hubungan bahwa zat cair yang melalui suatu saluran
terbuka akan menimbulkan tahanan atau biasa disebut tegangan geser pada
dinding-dinding saluran yang akan diimbangi oleh komponen gaya berat
yang bekerja pada zat cair dalam suatu aliran.

Pada suatu aliran yang bersifat seragam, komponen gaya berat dalam arah
aliran adalah seimbang dengan tahanan geser. Setelah melalui beberapa
penurunan terhadap rumus Chezy, didapatkan suatu persamaan umum
sebagai berikut.

V = √ RI
Dimana V adalah kecepatan aliran, R = A/P = adalah jari-jari hidraulik, I
adalah kemiringan dasar saluran, C adalah koefisien Chezy, A adalah luas
basah penampang, dan P adalah keliling basah penampang.

Tabel 4.2 Koefisien Chezy

No Jenis Saluran Koefisien Pengaruh


Chezy Original
1 Banyak rerimbuan setinggi saluran air 7 - 12,5 10%
2 Banyak semak semak setinggi air 12,5 – 20 30%
3 Dasar saluran bersih dengan sedikit 20 – 30 50%
rerimbuan sedang di dinding saluran
4 Saluran dengan sedikit rumput pendek/ 30 – 45 80%
rumput liar
5 Saluran bersih tapi bukan saluran baru 40 - 55 100%

2. Persamaan Manning

Persamaan Manning sering digunakan pada saluran terbuka dan pada


pengaliran di pipa. Persamaannya sebagai berikut.

1 2 1
V = n R3 I 2

Dimana V adalah kecepatan aliran, n adalah koefisien Manning, R adalah


jari-jari hidraulik, dan I adalah kemiringan dasar saluran.

Tabel 4.3 Koefisien Manning

No Tipe Saluran dan Jenis Bahan Nilai n


1 Beton Min Normal Maks
Gorong-gorong lurus dan bebas dari 0,01 0,011 0,013
kotoran
Gorong-gorong dengan kelengkungan dan 0,011 0,013 0,014
sedikit gangguan
Beton dipoles 0,011 0,012 0,014
Saluram pembuangan dengan bak control 0,013 0,015 0,017
2 Tanah Lurus dan Seragam Min Normal Maks
Bersih baru 0,016 0,018 0,020
Bersih telah melapuk 0,018 0,022 0,025
Berkerikil 0,022 0,025 0,030
Berumput pendek, sedikit tanaman 0,022 0,027 0,033
3 Saluran Alami Min Normal Maks
Bersih Lurus 0,025 0,030 0,033
Bersih dan berkelok 0,033 0,040 0,045
Banyak tanaman penganggu 0,050 0,070 0,080
Dataran bajir berumput pendek dan tinggi 0,025 0,030 0,035
Saluran di belukar 0,035 0,050 0,070

3. Persamaan Strickler

Persamaan Strickler juga banyak digunakan pada saluran terbuka dan pada
penampang pipa. Persamaan Strickler adalah sebagai berikut.
2 1
V = kR 3 I 2

Dimana V adalah kecepatan aliran, k adalah koefisien Strickler, R adalah


jari-jari hidraulik, dan I adalah kemiringan dasar saluran.
Tabel 4.4 Koefisien Strickler

No Debit Rencana k m 1/3/dt


1 Q > 10 45
2 5 < Q < 10 42,5
3 1<Q<5 40
4 Q<1 35
Bab 6

Kimia Air Sungai

Proses kimiawi pada air sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hujan
merupakan salah satu dari sekian material kimiawi yang input ke sungai. Material-
material pada sungai dibagi menjadi beberapa bagian yang telah diperinci Berner
dan Berner (1987), sebagai berikut:

1. Air
2. Material anorganik
3. Ion-ion yang terlarut (Ca2+, Na+, Mg2+, K+, HCO3-, SO42-, Cl-)
4. Nutrisi yang terlarut (N, P, sampai batas tertentu Si)
5. Bahan organik terlarut
6. Gas (N2, CO2, O2)
7. Logam yang terlarut maupun tersuspensi.

6.1 Gas Terlarut

Oksigen, karbondioksida, dan nitrogen terjadi sebagai gas terlarut pada aliran
sungai dengan jumlah yang signifikan. Meskipun gas nitrogen dikenalkan pada
siklus nitrogen pada ekosistem sungai dengan jumlah bakteri tertentu, konsentrasi
nitrogen yang terlarut sendirinya berjumlah sangat sedikit. Oksigen dan
karbondioksida umumnya yang telah diketahui terjadi pada atmosfer dan terlarut
dalam air berdasarkan tekanan dan suhu tertentu. Jadi, semakin tinggi suatu lokasi,
maka oksigen dan karbondioksida akan menipis (Tabel 6.1).

Tabel 6.1 Konsentrasi dari oksigen dan karbondioksida yang terlarut


Temperatur (oC) O2 (mg L-1) CO2 (mg L-1)
0 14,2 1,1
15 9,8 0,6
30 7,5 0,4

Di udara, terdapat sekitar 21% oksigen dan hanya sekitar 0,03% karbondioksida,
sehingga air jenuh tawar memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi daripada
karbondioksida, meskipun perbedaannya tidak sebesar yang di udara. Pada air
tanah, jumlah kadar oksigen sangat rendah dibandingkan dengan karbondioksida
dikarenakan pengolahan mikroba dan bahan organik sebagai air yang telah
melewati sela-sela pada tanah.

Pada aliran yang kecil, difusi berfungsi sebagai suatu hal yang berguna untuk
mempertahankan kadar oksigen dan karbondioksida. Difusi memainkan peran yang
berkurang ketika pada aliran yang besar karena luas permukannya yang lebih kecil
terhadap perbandingan volume, dan sungai tentu saja mengalir lebih lancar
dikarenakan kurangnya terjadi turbulen.

Dalam hal ini, aktivitas biologis yang terjadi secara alamiah dapat mengubah
konsentrasi oksigen dan karbondioksida, sehingga polusi organic juga meningkat
karena dibutuhkan proses respirasi untuk oksigen dan proses presipitasi pada asam
yang berfungsi untuk mengubah sistem karbonat yang dapat menpengaruhi nilai
dari karbondioksida dalam suatu larutan aliran.

Respirasi dan fotositensis adalah proses biologis yang sangat penting yang dapat
mengubah konsentrasi oksigen dan karbondioksida. Konsumsi oksigen meningkat
dengan peningkatan beban bahan organic dikarenakan reaksi kimia langsung.
Kebutuhan akan oksigen bisa tinggi atau rendah tergantung pada daerah dan
musim tertentu. Produktivitas oksigen terjadi pada siang hari, sementara respirasi
menjadi produksi oksigen menurun pada malam hari.

6.2 Parameter Terlarut Aliran Sungai

Kandungan total dari padatan yang terlarut pada air adalah jumlah dari konsentrasi
ion utama terlarut dengan rata-rata global sekitar 100 mg L -1 (Tabel 6.2). Salinitas
mengacu pada jumlah konsentrasi dari semua ion yang terlarut. Salinitas adalah
tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Meskipun, untuk semua
tujuan praktisi dengan jumlah parameter yang sama, kandungan total dari padatan
yang terlarut diukur dengan penguapan dan penimbangan residu.

Selain itu, ion utama dapat diukur secara langsung dengan berbagai cara, salah
satunya adalah metode kolorimetri dimana ion tertentu berekasi dengan bahan
kimia tertentu untuk membentuk senyawa berwarna, ion kromatografi (suatu
teknik pemisahan molekul berdasarkan perbedaan pola pergerakan antara fase
gerak dan fase diam), dan melalui ion spesifik.

Tabel 6.2 Komposisi kimiawi dari aliran sungai global (mg L -1). Kation dan Anion
dalam µeq L-1. (Direproduksi dari Wetzel (2001))

Ca2 Mg2 Na+ K+ Co32- SO42 Cl- NO3 Fe Si02 Tota


+ + - -
HCO3 l
-

Amerika 21,0 5,0 9,0 1, 68,0 20,0 8,0 1,0 0,1 9,0 142
Utara 4 6
Amerika 7,2 1,5 4,0 2, 31,0 4,8 4,9 0,7 1,4 11, 65
Selatan 0 9
Eropa 31,1 5,6 5,4 1, 95,0 24,0 6,9 3,7 0,8 7,5 182
7
Asia 18,4 5,6 5,5 3, 79,0 8,4 8,7 0,7 0,0 11, 142
8 1 7
Afrika 12,5 3,8 11, - 43,0 13,5 12, 0,8 1,3 23, 121
0 1 2
Australi 3,9 2,7 2,9 1, 31,6 2,6 10, 0,05 0,3 3,9 59
a 4 0
Global 15,0 4,1 6,3 2, 58,4 11,2 7,8 1,0 0,6 13, 120
3 7 1

Kation 750 342 274 59 - - - - - - 1425


Anion - - - - 958 233 220 17 - - 1428

Konsentrasi ionik air hujan (Tabel 6.3) jauh lebih encer daripada kebanyakan air
sungai dengan nilai rata-rata beberapa milligram per liter (Berner dan Berner,
1997). Ca2+, Na+, Mg2+, K+, Cl- merupakan partikel yang diturunkan dari udara,
sedangkan SO42- dan NO3- berasal dari gas atmosfer. Garam laut (NaCl) sangat
penting bagi laut.

Tabel 6.3 Konsentrasi ion utama pada daratan dan pesisir pantai

Ion Hujan daratan Hujan pesisir pantai


Ca2+ 0,2-0,4 0,2-1,5
Mg2+ 0,05-0,5 0,4-1,5
Na+ 0,2-1 1-5
K+ 0,1-0,5 0,2-0,6
NH4+ 0,1-0,5 0,01-0,05
SO42- 1-3 1-3
Cl- 0,2-2 1-10
NO3- 0,4-1,3 0,1-0,5
pH 4-6 5-6

Air sungai akan lebih pekat dibandingkan dengan air hujan dikarenakan
konsentrasi ion yang masuk ke air sungai hampir tiga kali lipat lebih besar daripada
konsentrasi dalam air hujan. Ion-ion yang masuk ke dalam air sungai terdiri dari
pelapukan batuan, sumber alam lainnya, dan masuknya antropogenik.

Kalsium adalah kation yang paling banyak yang dapat ditemui pada sungai di
dunia, dikarenakan hampir seluruh zat kalsium berasal dari pelapukan bebatuan
sedimen berkarbonat. Polusi dan input atmosfer juga menyumbang zat kalsium ke
sungai, tetapi dalam kadar yang kecil. Sebagian besar magnesium juga berasal dari
sumber yang sama dengan kalsium, yaitu berasal dari pelapukan bebatuan dan
polusi serta input atmosfer juga menyumbangnya ke dalam sungai dalam kadar
yang kecil.

Biasanya sodium ditemukan dalam hubungannya dengan klorida. Pelapukan antar


bebatuan yang mengandung Natrium Klorida dimana sebagian natrium ditemukan
pada daerah sungai. Namun, pengaruh air hujan dari garam laut sangat
berkontrubusi secara signifikan terhadap kandungan natrium di aliran sungai
(terutama dekat pantai). Telah diteliti sebelumnya, bahwa 28% natrium yang
berada di sungai bersifat antropogenik.

Kalium merupakan zat yang paling sedikit pada sungai, dimana hampir 90%
berasal dari pelapukan bahan bersifat silikat. Konsetrasi zat kalium juga bervariasa
tergantung dengan geologi yang mendasarinya. Silika biasanya digunakan dalam
pembentukan sel dinding luar alga.
Bikarbonat (HCO3-) dihasilkan dari pelapukan mineral karbonat. Namun sumber
utama dari zat bikarbonat adalah karbondioksida yang terlarut dalam tanah. Zat
yang terlarut ke dalam tanah tersebut diproduksi oleh bakteri dan didekomposisi
oleh bahan organik. Zat bikarbonat adalah anion yang paling penting secara
biologis dikarenakan konsentrasinya yang tinggi yang tercrmin dalam ukuran
alkalinitas dan menunjukkan perairan yang subur.

Klorida pada dasarnya hampir mirip dengan natrium dimana berasal dari
pelapukan bebatuan. Secara kimiawi dan biologis, klorida berfungsi sebagai
sebuah pelacak dalam pelepasan nutrisi ke sungai yang bertujuan untuk
eksperimental.

Sulfat memiliki banyak sumber, yaitu pelapukan batuan sedimen, polusi dari
pupuk, limbah, kegiatan penambangan, pembakaran bahan bakar fosil, dan
aktivitas vulkanik. Di suatu daerah yang terdapat hujan asam sulfat, konsetrasi zat
sulfat relative tinggi terhadap seluruh ion. Konsentrasi zat sulfat dan bikarbonat
berhubungan timbal balik pada air sungai, khususnya pada daerah dengan
alkalinitas rendah.

Zat-zat terlarut P dan N adalah bersifat anorganik adalah nutrisi primer yang
membatasi produksi mikroba pada tanaman, dan siklus cepat antara pembentukan
bentuk anorganiknya yang tergabung ke jaring makanan pada sungai.

Konsentrasi pada ion hidrogen adalah zat yang sangat penting baik secara kimiawi
maupun biologis karena dapat digunakan untuk menentukan keasaman pada suatu
aliran yang dinyatakan dalam pH. pH 7 adalah netral, dimana diatas 7 adalah basa
dan dibawah 7 adalah asam.

6.3 Pengaruh Faktor Kimiawi terhadap Biota


Konsekuensi biologis dari variasi ion pada air menjadi tidak terlalu signifikan
ketika suatu kondisi tertentu hampir mendekati suatu nilai rata-rata. Namun, ketika
suatu parameter kimiawi mencapai suatu batas ketentuan, maka manusia dapat
terpengaruh dari efeknya sehingga variasi kimiawi dari satu tempat ke tempat
lainnya pasti akan terpengaruh secara signifikan.

Banyak faktor yang mempengaruhi komposisi air sungai, sehingga variabelnya


menjadi sangat tinggi dalam komposisinya secara kimiawi. Konsentrasi ion utama
terlarut (Ca2+, Mg2+, K+, SO42-, Cl-) dengan nilai perkiraan rata sebesar 120 mg L -1 di
dunia). Namun, aliran sungai sangat bervariasi dimulai dari beberapa milligram per
liter dimana air hujan terkumpul di daerah tangkapan bebatuan yang sangat keras
hingga beberapa ratus milligram per liter di daerah kering.

Perairan alami mengandung larutan CO2, asam karbonat dan ion bikarbonat dan
karbonat dalam kesetimbangan yang berfungsi sebagai penentu utama
keseimbangan keasaman alkalinitas segar dalam perairan. Air tawar dapat sangat
bervariasi dalam keasaman dan alkalinitas, dan nilai pH ekstrim (di bawah 5 atau
di atas 9) dimana sangat berbahaya bagi sebagian besar organisme.

Meskipun air tawar sangat bervariasi dalam komposisi kimiawinya, kepentingan


biologis yang dihasilkan oleh manusia sangat banyak yang menyebabkan polutan
pada suatu aliran. Air dengan konsentrasi ionik yang rendah tampaknya
mempegaruhi fauna, khususnya krustasea dan moluska. Penambahan aktivitas
manusia dinilai paling berpengaruh pada ekosistem di daerah sungai, dengan nilai
pH dibawah 5 akan sangat menyebabkan masalah serius pada daerah sungai untuk
waktu yang mendatang.

Jika seseorang berencana untuk membudidayakan makhluk hidup pada daerah


sungai untuk dilakukan penelitian, maka riwayat zat kimiawi pada sungai tersebut
sangat dianjurkan untuk dipertimbangkan. Tidak diragukan lagi, organisme
penghuni pada sungai sangat membutuhkan air dengan konsentrasi ionik yang
sedikit.
7 PRODUSER UTAMA

Dalam bab ini dan selanjutnya kita memeriksa sumber energi untuk jaring
makanan lotik. Autotrof atau produsen utama adalah organisme yang memperoleh
energi mereka dari sinar matahari dan bahan dari sumber tak hidup. Alga,
tumbuhan tingkat tinggi, dan beberapa bakteri dan protista adalah autotrof penting
di perairan mengalir. Semua hewan tentu saja termasuk heterotrofik, tetapi begitu
juga jamur dan banyak lagi protista dan bakteri yang mendapatkan nutrisi melalui
pengolahan bahan organik mati dan seringkali membuat bahan organik itu lebih
bergizi kaya dan lebih mudah diakses oleh konsumen lainnya.

Autotrof utama dari air mengalir meliputi tumbuhan besar, yang disebut makrofit,
dan berbagai produsen kecil termasuk sel individu, koloni, dan bentuk
pertumbuhan berserabut. Alga ditangguhkan di kolom air dimaksud sebagai
fitoplankton; yang melekat pada substrat disebut sebagai alga bentik atau perifiton.

Lumut distribusinya terbatas, tetapi bisa berlimpah pada beriklim sejuk dan di
aliran air hulu yang teduh. Ganggang bentik muncul di hampir semua permukaan
di sungai, biasanya berhubungan erat dengan mikroba heterotrofik. Jadi, tampilan
profil longitudinal sungai, ganggang bentik, dan lumut kadang-kadang
mendominasi di bagian hulu, dan alga bentik menjadi lebih melimpah di hilir.
Makrofit tumbuh di sungai berukuran sedang dan sepanjang tepi sungai yang lebih
besar, dan populasi fitoplankton substansial berkembang hanya dalam jumlah
besar.

7.1 Alga Bentik

Hampir semua media yang menerima cahaya, baik di sungai kecil atau sungai
besar, menopang bentik komunitas alga. Alga bentik mendukung jaringan fluvial,
menghilangkan nutrisi dari air kolom, dan dapat menipiskan arus dan menstabilkan
sedimen, memodifikasi perairan habitat (Stevenson 1996, Dodds dan Biggs 2002).
Beberapa spesies alga bersentuhan dengan substrat di sepanjang dinding sel,
koloni, atau sistem berserabut. Sebagai konsekuensi dari ini variasi dalam bentuk
pertumbuhan dan gaya hidup, dekat melihat komunitas alga bentik
mengungkapkan banyak hal keragaman struktural (Gambar 7.1).

Gambar 7.1 Representasi hipotetis dari bentuk pertumbuhan utama kumpulan


perifiton. Berbagai mode herbivora diharapkan paling efektif dengan bentuk
pertumbuhan tertentu. (Direproduksi dari Steinman 1996.)
Diatom, alga hijau, dan cyanobacteria biasanya menyumbang sebagian besar
spesies yang ditemukan di dalam perifiton, meskipun alga merah, chrysophyceans,
dan tribophyceans juga dapat terjadi (Graham dan Wilcox 2000). Prevalensi
diatom terlihat dari sel-sel (Patrik, 1961) dihitung dari slide kaca yang ditempatkan
di tiga sungai AS. Studi Moore (1972) tentang epipelon sebuah aliran selatan
Ontario, dan Chudyba's (1965) studi tentang epifit dari Cladophora glomerata di
Sungai Skawa, Polandia. (Tabel 7.1)

Dalam survei ekstensif makroalga dari 1.000 aliran mencapai di Amerika Utara,
Sheath dan Cole (1992) mencatat 259 taksa makroalga, dari dimana 35% adalah
alga hijau, 24% adalah cyanobacteria, 21% adalah diatom dan chrysophytes
lainnya, dan 20% adalah alga merah. Banyak diatom jangan membentuk tikar,
koloni agar-agar, atau filamen, dan karenanya akan kurang terwakili dalam sebuah
survei makroalga yang terlihat.

Tabel 7.1 Representasi tentang jumlah taksa

Jumlah Taksa
Seluruh Habitat Epipelon Epiphyton
Diatom 81 80 59 321 176
Alga Hijau 12 12 7 32 27
Cyanobakteria 9 9 6 14 19
Euglenophyta 17 15 7 29 -
Chrysophyta 0 1 1 1 2
Alga Merah 1 3 0 0 1
Total 120 120 80 388 225

Faktor-faktor pendekatan yang dapat mempengaruhi alga bentik meliputi cahaya,


suhu, arus, substrat, penggerusan yang disebabkan oleh banjir, zat kimiawi, dan
detrivitor Pengusulan yang sempat diajukan bahwa fitur regional, seperti topografi,
geografi, pengunaan lahan, vegetasi, dan iklim juga mempengaruhinya yang secara
langsung mengatur akumulasi dan hilangnya biomassa pada alga bentik.

Cahaya dan nutrisi pasti berinteraksi dengan suhu yang juga mempengaruhi
biomassa pada saat alga bentik melakukan pergantian dan pengangkutan substrat
serta detrivitor menyebabkan menghilangnya biomassa pada alga yang
diilustrasikan (Gambar 7.2)

Gambar 7.2 Faktor-faktor yang mengendalikan biomassa

Kelimpahan dari biomassa dapat diukur dengan beberapa cara. Area khas pada
substrat yang diketahui diambil sampelnya menggunakan sebuah sikat untuk
menghilangkan ganggang. Beberapa peneliti menyukai menggunakan alat
penghisat yang dibuat dengan memasang kuas dalam silinder dimana di sisi
silinder ditambahkan dengan zat tertentu. Hasilnya zat tersebut dapat disaring ke
kertas saringan dan sel-sel yang tertempel dihitung. Jumlah biomassa dihitung
dengan metode ditambang, atau pigmen klorofil diesktraksi dan diuji
menggunakan spektrofotometer.

Substrat buatan termasuk ubin dari tanah liat dan kaca dibiarkan untuk dijajah oleh
biomassa, dan sedimen dapat dikumpulkan dengan memasukkan dari bagian atas
cawan dan kemudian dilucurkan pada piringan kaca dibawahnya. Jumlah sel
biasanya diketahui sebagai angka per sentimeter persegi.

Untuk memperkirakan biomassa pada alga tersebut biasanya dengan menimbang


sampel kering, lalu ditimbang sebentar setelah pembakaran semua bahan organik
di 500 derajat celcius. Hilangnya massa akibat pembakaran mewakili material
organik yang terbaru (dimana semuanya telah diubah menjadi CO2 melalui
pembakaran), dan disebut sebagai massa kering bebas.

Cahaya bisa menjadi faktor pembatas pada aliran yang kecil dikarenakan tertutup
oleh hutan yang lebat sehingga populasi alga bentik cenderung menjadi maksimal
sebelum perkembangannya dan menurun selama musim panas. Nutrisi, terutama
fosfor dan nitrogen mungkin diharapkan untuk memberikan suatu pengaruh kritis
pada autotroph di sungai sama seperti yang terjadi pada air tawar. Arus dialiri oleh
air secara terus menerus sehingga meminimalkan penipisan nutrisi, dan stratifikasi
termal tidak terjadi untuk membatasi pencampuran nutrisi ke seluruh jaringan air.

Dalam beberapa studi, aliran air yang terdiri dari nitrogen dan fosfor tidak
berpengaruh terhadap perkembangan alga bentik. Fosfor dan nitrogen telah
ditemukan membatasi, terkadang dalam suatu kombinasi yang tergantung pada
masing-masing lokasi. Nutrisi lain, seperti zat logam dan bikarbonat mungkin bisa
dibilang penting. Suhu meningkatkan laju metabolism dan penggembalaan
terkadang dapat membatasi perkembangan populasi alga.
Arus cepat membatasi pembentukan markofit dan mempengaruhi distribusi pada
ganggang bentik dalam hal taksa dan pertumbuhannya. Banjir dan penggerusan
sedimen dapat menyebabkan pengurangan besar dalam tanaman alga. Namun, di
perairan yang terus mengalir dengan debit yang rendah, efek langsung dari arus
mungkin kurang berguna bagi ganggang bentik.

7.1.1 Cahaya

Cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi komunitas komposisi serta biomassa


dan produktivitas alga bentik. Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa ada
perbedaan tanggapan dari kelompok utama alga untuk radiasi. Ganggang hijau
biasanya dikaitkan dengan tingkat cahaya tinggi, dan diatom dan cyanobacteria
tampaknya membutuhkan intensitas cahaya yang lebih rendah daripada alga hijau
(Hill, 1996).

Alga motil mampu menghindari yang ekstrim dengan gerakan di sepanjang gradien
cahaya, sementara nonmotile, taksa bersujud yang tumbuh di dekat substrat dapat
berkurang jumlahnya bila tingkat cahaya menurun karena diarsir oleh pertumbuhan
berlebih dari komunitas alga. Menjadi heterotrofik memungkinkan beberapa
spesies yang tidak bergerak bertahan selama kondisi cahaya sangat redup.

Beberapa penelitian tidak menemukan perbedaan antara lokasi yang tertutup


bayangan dan tidak ad bayangan. Hal tersebut bisa ditarik suatu hipotesis bahwa
dengan mengesampingkan cahaya, terdapat faktor lain yang menjadi keterbatasan
produksi ganggang bentik.

Pada aliran subtropic di Queensland di Australia, tidak ada perbedaan klorofil yang
diamati dibawah 3 jenis bayangan (0%, 50%, 90%), tetapi dengan penambahan
nitrogen mengakibatkan peningkatan klorofil (Gambar 7.3).
Hewan herbivora juga mempengaruhi respon biomassa pada ganggang bentik
untuk meningkatkan level cahaya. Peningkatan radiasi secara substansial aliran
yang sangat teduh dengan menggunakan lampu menunjukkan bahwa tingkat fiksasi
karbon naik secara signifikan. Namun, peningkatan biomassa perifiton telah
diamati hanya ketika populasi siput berkurang drastis.

Hewan herbivora juga berperan untuk mencegah pengaruh positif cahaya. Dalam
metaanalisis dari efek cahaya dengan alga bentik, Hillebrand (2005) menemukan
bahwa peningkatan cahaya memiliki efek positif pada biomassa alga, dan efek
peningkatan cahaya umumnya diamati dengan tidak adanya hewan pemakan
rumput.

2.5

2
Klorofil

1.5 0%
50%
1 90%

0.5

0
Nutrisi secara berurutan (C, N, P, C+P)

Gambar 7.3 Pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa 3 bar yang


bersampingan secara berurutan adalah 0% bayangan, 50% bayangan, dan 90%
bayangan dan dibagi menjadi 4 segmen yang secara berurutan adalah C, N, P, dan
C+P

Penelitian tentang pengaruh dari radiasi ultraviolet pada alga bentik dijabarkan
dalam hasil yang beragam. Hill dkk. (1997) mengamati aliran sungai di Teneesee,
terhadap perubahan efek yang signifikan pada biomassa perifiton dan fotosintesis
saat aliran tersebut terpancar radiasi ultraviolet. Hasil yang didapatkan bahwa
radiasi ultraviolet yang besar yang terkena pada alga bentik di aliran menyebabkan
laju fotosintesis menjadi berkurang. Rata-rata ukuran diatom juga berkurang, tetapi
sel nitrogen dan fosfat tidak terpengaruh sama sekali.

Kelly dkk. (2003) juga melakukan penelitian terhadap radiasi ultraviolet pada
aliran pantai di British Columbia dengan menggunakan kanopi yang tertutup.
Hasilnya adalah jangkauan dengan kanopi penuh menunjukkan bahwa tidak ada
respon terhadap radiasi ultraviolet, inversi biomassanya meningkat, dan biomassa
alga yang lebih rendah dibandingkan dengan jangkauan kanopi lainnya.

Pada lokasi penelitian dengan tutupan kanopi yang lebih sedikit, hasil yang
didapatkan adalah biomassa alga menurun sebagai respon dari UV-A yang tinggi,
sedangkan biomassa invertebrata menurun sebagai respon terhadap UV-A dan UV-
B. Ini merupakan efek negatif dari radiasi ultraviolet pada biomassa invertebrata.

7.1.2 Nutrisi

Studi pengayaan nutrisi memberikan banyak hal bukti bahwa suplai nutrisi
memang bisa dibatasi pertumbuhan alga bentik di alam. Studi dinamika perifiton di
sungai kecil di pantai barat Pulau Vancouver, hutan hujan beriklim sedang
pengaturan, telah menunjukkan batasan fosfot yang kuat (Stockner dan Shortreed
1978). Pengayaan nitrogen menghasilkan sedikit respon, kecuali perifiton
terakumulasi dengan cepat saat anorganik posfat terlarut.

Selanjutnya menunjukkan peningkatan sekitar lima kali lipat dalam menanggapi


pengayaan fosfor saja, dan bahkan peningkatan yang lebih besar saat kedua nutrisi
itu ditambahkan (Gambar 7.4). Alga hijau berserabut menanggapi secara dramatis
pengayaan posfat Cyanobacteria, yang dapat memperbaiki nitrogen atmosfer dan
dengan demikian harus memiliki keunggulan kompetitif di bawah rendah kondisi
nitrogen, tidak tumbuh subur di bawah nitrat pengobatan, terlepas dari kenyataan
bahwa nitrogen turun hingga rendah level.

Gambar 7.4 Perubahan jumlah yang dominan spesies diatom di palung yang
diperkaya dengan NO3-N, PO4-P, atau keduanya dalam kombinasi. Palung
ditempatkan di Carnation Creek, Pulau Vancouver, dibiarkan 4 minggu untuk
menjajah, lalu dibuahi selama 52 hari. Tercatat bahwa populasi perifiton mencapai
puncaknya setelah 30-40 hari, dan kemudian menurun tajam sebelum penghentian
percobaan pemupukan. (Direproduksi dari Stockner dan Shortreed 1978.)

Namun, frekuensi diatom Achnanthes Minutissima menurun di pengobatan hanya


nitrogen sementara itu meningkat di palung lainnya, dan ini mungkin merupakan
indikasi bahwa perubahan rasio Nitrogen/Fosfor dapat memberikan pengaruh yang
merugikan taksa tertentu. Selanjutnya, daerah tangkapan ini telah dicatat,
memungkinkan uji langsung efeknya peningkatan cahaya pada biomassa perifiton.
Pada dasarnya tidak ada perubahan yang terjadi, dan kasusnya tampaknya jelas
bahwa konsentrasi fosfor rendah adalah yang utama faktor pembatas di lingkungan
ini.

Nitrogen telah menjadi faktor yang penting sebagai pembatas untuk ganggang
bentik di sejumlah kasus. Penelitian yang telah dilakukan oleh Flecker dkk. (2002)
dengan penambahan nitrat ke aliran tropis kaki bukit Andes di Venezuela selama
musim keramau menyebabkan peningkatan biomassa alga besar-besaran,
sedangkan fosfat tidak menambah (Gambar 7.5).

Selain itu, peningkatan nutrisi terjadi pada nitrat-N dan ammonium-N daripada
fosfat-P. Penambahan nitrogen menghasilkan respon yang lebih besar dikarenakan
kehadiran ikan-ikan, menunjukkan bahwa ikan memiliki efek ganda dengan
mengonsumsi alga dan meregenrasi nutrisi.

Pendemonstrasikan batasan nitrogen dilakukan oleh Peterson dan Grimm (1992) di


sungai gurun di Arizona, dengan menambahkan nitrat-N ke dalam piringan tanah
liat yang ditempatkan di dasar saluran. Substrat yang tidak diperkaya telah
didominasi oleh diatom pengikat-nitrogen, sedangkan substrat yang diperkaya
memiliki keragaman yang lebih banyak diatom non-pengikat-nitrogen, dan transisi
yang tertunda ke non-pengikat cyanobacterium boasanya melimpah di kemudian
hari.

Sungai tropis di Queensland, Australia, klorofil meningkat pada substrat yang


diperkaya oleh nitrogen dibandingkan dengan pengendalian terhadap fosfor
(Gambar 7.3).

18000

16000

14000

12000
Volume Alga

10000
Cyanobakteria
8000 Desmids
Filamen Hijau
6000 Diatom
4000

2000

0
Nutrisi secara berurutan (C, N, P, C+P)

Gambar 7.5 Respon komunitas alga setelah dilakukan penambahan nutrisi ke


saluran aliran di Rio las Marias, Venezuela selama 8 hari

Tank dan Dodds (2003) menyampaikan bahwa hubungan nitrogen dan fosfat
mungkin sangat umum ditemukan dikarenakan perifiton mencakup banyak spesies
yang memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda.

Wold dan Harsley (1999) juga menyampaikan bahwa dalam suatu sistem
konsentrasi nitrogen dan fosfat rendah, penambahan kedua nutrisi tersebut secara
bersamaan mungkin mengakibatkan penyerapan yang cepat dari pembatasan
elemen sekunder dan dikarenakannya munculnya suatu respon tertentu.
Borchardt (1996) membuat suatu kesimpulan bahwa penelitian tentang nutrisi
nitrogen dan fosfat banyak dilakukan di wilayah dengan zona beriklim sedang,
khususnya di Amerika Serikat. Tetapi, hanya sedikit yang dilakukan oleh daerah
yang tropis maupun daerah yang dekat dengan daerah kutub. Penelitian tentang
nutrisi nitrogen dan fosfat harus terus dilakukan pada beberapa daerah lainnya
untuk menarik suatu kesimpulan yang merata terhadap pengaruh nutrisi nitrogen
dan fosfat pada suatu aliran.

7.1.3 Arus

Arus aliran memiliki efek berlawanan pada alga bentik. Aliran air membawa
secara terus menerus pembaruan gas dan nutrisi, dan seterusnya menguntungkan
pertumbuhan alga dengan meningkatkan nutrisi serapan. Namun, arus juga
menggunakan gaya geser pada alga bentik, yang dapat menyebabkan pengelupasan
sel, dan aliran tinggi mengganggu dan menjelajahi substrat.

Di bawah kecepatan arus tinggi, alga biasanya diwakili oleh diatom kecil yang
melekat pada substrat sepanjang panjangnya (Stevenson 1996). Dalam arus yang
lebih lambat mereka menemukan diatom yang lebih padat, dengan proporsi yang
lebih tinggi tumbuh dalam posisi tegak dan lebih banyak bentuk kolonial besar. Di
kecepatan tinggi sebagian besar diatom terdapat banyak di celah-celah, dan rapat.

Pembaharuan terus menerus dari nutris yang diberikan dengan mengalirnya air,
dan dengan pencampuran yang mendukung difusi pada nutrisi, dapat merangsang
terhadap pertumbuhan alga, respirasi, dan reproduksi. Efek dari debit yang tinggi
pada alga bentik tergantung pada bentuk, pertumbuhan, dan substratnya. Jadi,
komunitas alga bnetik yang koheren seperti diatom-cyanobacteria cenderung
meningkatkan biomassa mereka yang dimana pada saat ini dalam periode
interflood.
Alga bentik juga dapat meningkatkan kecepatan aliran tergantung pada
tumbuhannya. Dodds dan Biggs (2002) menemukan bahwa kumpulan diatom yang
padat dapat mengurangi kecepatan aliran daripada ganggang hijau berserabut atau
ganggang merah.

Eksperimen dan survei lapangan terhadap komunitas perifiton di Selandia Baru


memberikan dukungan yang cukup untuk menyimpulkan pengaruh alga bentik
terhadap kecepatan aliran. Biomassa dari salah satu kumpulan diatom-
cyanobacterial mucilaginous meningkat dengan meningkatnya kecepatan aliran,
dianggap bahwa aliran tersebut mengandung nutrisi yang dibutuhkan.

Respon terhadap komunitas diatom- cyanobacterial mucilaginous yang pendek


menunjukkan bahwa komunitas tersebut menerima nutrisi seiring dengan
meningkatnya kecepatan dan menurunkan biomassanya. Hal ini dibuktikan bahwa
diatom- cyanobacterial mucilaginous mengalami seret dan pencopotan sel yang
lebih besar.

Ketika terjadinya badai, alga bentik dapat mengubur dan menggeser substrat di
dekatnya. Ini tentu saja tergantung terhadap tempat yang ditempati dan bagaimana
peningkatan arus dikarenakan oleh badai. Di aliran pegunungan di Montana
dimana es dari musim dingin dan banjir dari musim semi adalah suatu parameter
yang menjadi penggosok utama dalam aliran tersebut dikarenakan lumut
ditemukan hanya menentupi batu yang berukuran diatas 400 cm2.

Kelimpahan lumut juga dikaitkan dengan substrat yang stabil di aliran hutan
Tennesse. Steinman dan Boston (1993) menyimpulkan bahwa kekayaan spesies
alga bentik menurun setelah banjir di sungai di New Zealand dikarenakan sungai
tersebut dialiri oleh sedimen yang tinggi.
Biggs dan Smith (2002) juga mengusulkan bahwa pemulihan alga bentik
berkembang pesat dalam waktu 1 minggu dan melibatkan taksa dengan toleransi
tinggi terhadap gangguan serta taksa dengan tingkat repoduksi dan imigrasi yang
tinggi. Durasi fase kedua yaitu lebih dari 1 bulan akan memunculkan hasil yang
lebih variatif dan rentan terhadap pasokan sumber daya yang bergantung kepada
masing-masing aliran.

7.1.4 Substrat

Burkholder (1996) menyampaikan bahwa substrat, baik hidup maupun mati,


menyediakan sebuah permukaan untuk pertumbuhan alga bentik dimana fisik dan
kondisi kimiawi berbeda dengan air di sekitarnya. Fisik struktur dan stabilitas
media mungkin mempengaruhi kolonisasi alga. Alga yang tumbuh menjadi tikar
besar biasanya ditemukan di atas batu yang berukuran lebih besar, sementara alga
yang kecil menjajah sedimen dan partikel kecil lainnya.

(Hodoki (2005) menyampaikan bahwa kondisi mikroba pada substrat dapat


mempengaruhi kolonisasi alga, menghasilkan kolonisasi alga yang lebih tinggi
ketika perkembangan biofilm atau kelimpahan bakteri lebih besar terjadi. Peterson
dan Stevenson (1989) menemukan kolonisasi diatom ditingkatkan dengan
pengkondisian substrat dengan biofilm nonalga, meskipun hasilnya hanya diamati
pada arus cepat.

Steinman dan Parker (1990) menyatakan bahwa pengkondisian substrat memiliki


sebuah pengaruh jangka pendek pada pertumbuhan alga bentik dan mungkin lebih
penting dengan frekuensi gangguan yang tinggi.
7.1.5 Temperatur

Dengan mempengaruhi laju pertumbuhan alga, suhu mempengaruhi biomassa dan


produktivitas alga bentik. Divisi utama dari alga menunjukkan kecenderungan
untuk mendominasi dalam rentang suhu yang berbeda: diatom antara 5 oC dan
20oC, ganggang hijau dan kuning-coklat antara 15 oC dan 30oC, dan cyanobacteria
di atas 30oC, meskipun ini sama sekali bukan pola universal (DeNicola 1996).

Perubahan musim dengan komposisi kumpulan alga bentik diamati pada sungai
beriklim sedang, atau lebih hangat lagi, dimana suhu mungkin ikut bertanggung
jawab untuk representasi ganggang hijau dan cyanobacteria selama musim panas.
Dengan mengumpulkan data tentang produktivitas primer untuk aliran perifiton
serta dan danau dan laut yang berisi fitoplanton, Morin dkk. (1999)
mengembangkan sebuah model empiris untuk memprediksi produksi primer dari
klorofil dan suhu air.

Meskipun produksi di sungai perifition lebih rendah daripada di danau atau di laut
yang berisi fitoplanton, mungkin dikarenakan berkurangnya difusi nutrisi ke dalam
lapisan alga dapat mengakibatkan keterkaitan produksinya dengan suhu air yang
mengalir.

7.1.6 Detrivitor

Detrivitor atau pemakan bangkai adalah organisme heteretrof yang memperoleh


energi dengan cara memakan sisa-sisa makhluk hidup. Sejumlah penelitian
memberikan pembuktian yang cukup kuat terhadap pengaruh penting detrivitor
pada alga bentik dalam ekosistem fluvial. Detrivitor dapat mengurangi biomassa
alga dan mempengaruhi komposisi dengan menghilangkan spesies dan bentuk
pertumbuhan tertentu dan juga mempengaruhi kandungan dan keanekaragaman
nutrisi.

Regulasi biomassa alga dengan detrivitor telah dilaporkan pada beberapa lokasi.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hillebrand (2002) dengan 85 percobaan
untuk meneliti keberadaan detrivor terhadap suplai nutrisi. Hasilnya ditemukan
bahwa keduanya memiliki pengaruh yang kuat dan efek dari detrivitor lebih besar
pada pengaruh nutrisinya.

Flecker (2002) mengamati efek kuat dari penambahan nitrogen dan ikan herbivora
pada alga di sungai tropis, dan ternyata keterbatasan konsumen jauh lebih kuat
daripada keterbatasan sumber daya dalam mempengaruhi biomassa dan komposisi
alga. Variabilitas hidrologi adalah mediator penting antara interaksi detrivitor,
alga, dan nutrisi.

Biomassa pada alga lebih responsif terhadap nutrisi sungai yang sering dialiri,
sedangkan di aliran yang lebih stabil, detrivitor dapat menekan alga tanpa
memperhatikan konsentrasi unsur haranya.

7.2 Makrofit

Makrofit adalah tanaman yang tumbuh di dalam atau di dekat air dimana tanaman
tersebut dapat muncul, terendam, atau mengambang. Di danau dan sungai,
makrofit menyediakan penutup untuk ikan, substrat untuk binatang invertebrate,
menghasilkan oksgien, dan bertindak sebagai makanan bagi beberapa ikan dan
satwa liar.

Makrofit adalah produsen utama dan merupakan dasar dari jaring makanan bagi
banyak organisme. Mereka memiliki efek yang signifikan pada kimia tanah dan
tingkat cahaya karena memperlambat aliran air dan menangkap polutan serta
menjebak sedimen. Endapan berlebih akan mengendap dibantu dengan penurunan
laju aliran yang disebabkan oleh keberadaan batang, daun, dan akar tanaman.

Namun, efek ini kemungkinan besar bervariasi di antara spesies makrofit, seperti
yang dilaporkan Sand-Jensen (1998). Callitriche Cophocarpa membentuk sebuah
kanopi lebat sedangkan Sparganium Emersum memiliki panjang dan daun fleksibel
dan membentuk tambalan yang lebih terbuka. Kecepatan saat ini turun drastis.

Lapisan Callitriche Cophocarpa, yang meningkatkan akumulasi sedimen halus dan


meninggikan permukaan substrat (Gambar 7.6). Sebaliknya, sifat terbuka kanopi
Sparganium Emersum memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap arus
kecepatan, komposisi sedimen, dan topografi. Pengayaan bahan organik dan nutrisi
di sedimen juga lebih tinggi pada Callitriche Cophocarpa dibandingkan di
Sparganium Emersum, menekankan bahwa makrofit tidak boleh dipandang sebagai
unit homogen ekologi.
Gambar 7.6 Profil kecepatan vertikal sepanjang transek yang melewati pusat
bidang (a) Callitriche Cophocarpa dan (b) Sparganium Emersum. Kecepayan
diukur di 6 posisi: hulu dari tambalan (I), di dalam tambalan (II-V), dan dibagian
bawah tambalan (VI). Garis yang diarsir pada sumbu x menunjukkan tambalan
panjang, dan lokasi permukaan (S) juga ditampilkan. (Direproduksi dari Sand-
Jensen, 1998)

Nasib paling utama pada produksi makrofit primer adalah saat memasuki rantai
makanan detritus (Polunin, 1984). Selain pergantian musim, lebih dari 50%
biomassa baru hilang selama periode pertumbuhan. Dikarenakan kualitas detritus
makrofit cenderung tinggi dan muncul saat musim panas dan mungkin memudar
sebelum musim gugur. Hill dan Webster (1983) berpendapat bahwa pemasukan
adalah salah satu hal yang penting bagi konsumen.

Untuk mendukung saran tersebut, sebuah studi tentang dekomposisi makrofit air di
cekungan sungai di Atchafalaya, sebuah sungai dataran banjir yang besar di selatan
Louisiana. Studi tersebut menemukan bahwa amfipoda dan lalat capung berlimpah
pada detritus markofit di musim gugur dan musim dingin. Namun, ada bukti bahwa
rantai makanan di dataran banjir Amazon dan Orinoco dipicu oleh fitoplanton dan
perifition dan bukan oleh makrofit, meskipun makrofit berlimpah pada sistem
aliran tersebut.

7.3 Fitoplankton

Fitoplankton memperoleh energi melalui proses yang dinamakan fotosintesis


sehingga mereka harus berada pada bagian permukaan (zona euphotic) lautan,
danau atau kumpulan air yang lain. Melalui fotosintesis, fitoplankton menghasilkan
banyak oksigen yang memenuhi atmosfer bumi dan plankton ini yang
menghasilkan oksigen lebih dari 70% di bumi.

Di samping cahaya, fitoplankton juga sangat tergantung dengan ketersediaan


nutrisi untuk pertumbuhannya. Nutrisi-nutrisi ini terutama untuk markonutrisi
seperti nitrat, fosfat atau asam silikat, yang ketersediaannya diatur oleh
kesetimbangan antara mekanisme yang disebut pompa biologis.

Fitoplankton terdiri dari sel dan koloni alga dan cyanobakteria yang tersuspensi di
kolom air dan diangkut oleh arus. cahaya, nutrisi, aliran, dan suhu yang
mempengaruhi variasi kelimpahan fitoplankton. Tidak dapat mempertahankan
populasi di aliran deras, fitoplankton bisa menjadi berlimpah di bagian hilir. Di
sungai besar, cahaya penetrasi mungkin <1 meter dan pencampuran vertikal dalam
kolom air yang dalam dan keruh membatasi kesempatan untuk fotosintesis.
Di sungai besar dengan nutrisi yang cukup dan waktu transit yang cukup lama
memungkinkan untuk memperbanyak fitoplanton yang kemungkinan besar
fitoplankton tersebut dibatasi oleh cahaya melalui interaksi antara kekeruhan,
kedalaman, dan turbulensi. Jika kolom air bercampuir hingga kedalaman yang
lebih besar dari zona fotik, maka sel individu akan menghabiskan sebagian besar
hari pada tingkat cahaya yang terlalu rendah untuk mendukung fotosintesis.

Cole dkk. (1991) memperkirakan bahwa rata-rata sel fitoplankton di Sungai


Hudson akan menghabiskan waktu 18 hingga 22 jam di bawah level cahaya 1%.
Ini merupakan teka teki yang nyata, dikarenakan biomassa plankton meningkat
selama musim semi dan musim panas.

Salah satu penjelasan yang mungkin adalah fitoplankton mekar hanya pada sungai
dengan kedalaman dibawah 4 meter. Demikian pula, Lewis (1988) beralasan
bahwa sebagian besar fitoplankton diangkut secara massal di sistem yang lebih
rendah dan berasal dari genangan air di dalam atau di dekat saluran tersebut,
karena sekali di saluran utama, fitoplankton menghabiskan terlalu sedikit waktu
pada tingkat cahaya yang cukup untuk pertumbuhan.
Gambar 7.7 Diagram skematik yang membandingkan pengaruh kedalaman
terhadap pencampuran pada produksi primer fitoplankton antara danau dan sungai.
(a) Di danau, pembatasan suhu antara permukaan dan perairan dalam membatasi
pencampuran ke beberapa meter diatasnya. (b) Di sungai, stratifikasi suhu
terhalang oleh turbulensi aliran, dan kolom air biasanya bercampur dari atas ke
bawah. Kedalaman 5-20 m biasa ditemukan di sungai besar. Sungai sering
membawa sedimen dari hulu ke hilir, dan membatasi penetrasi cahaya
8 SUMBER ENERGI DETRITAL

Detrital merupakan kata sifat dari kata detritus. Detritus adalah partikel batuan
yang berasal dari batuan yang sudah ada jauh sebelumnya yang tentu saja telah
melalui proses pelukan dan erosi. Partikel detrital dapat terdiri dari fragmen
monomineralik (butiran mineral) atau fragmen litik (partikel batuan yang dapat
dikenali). Pengendapan yang terjadi pada daerah sungai, danau, laut, dan
sebagainya merupakan tempat dimana partikel-partikel tersebut terangkut.

Perubahan sedimen menjadi bebatuan melalui sementasi dan litifikasi adalah


proses diagenesis. Sementasi melibatkan ion yang dibawa dalam air tanah yang
diendapkan secara kimiawi untuk membentuk material kristal baru di antara
butiran sedimen, sedangkan litifikasi adalah proses dimana sedimen memadat di
bawah tekanan yang mengeluarkan cairan ikat dan kemudian secara bertahap
menjadi batuan padat.

Detritus mencakup semua bentuk dari organik mati karbon (C) termasuk daun-
daun yang berguguran, limbah produk dan bangkai biantang, bahan organik yang
asalnya tidak diketahui, dan senyawa organik. Karbon dari berbagai sumber
memberi pemasukan yang penting untuk sumber energi kepada seluruh jaringan
makanan, dan ini adalah hal yang sangat penting bagi ekosistem fluvial.

Tanaman-tanaman dan puing-puing kasar lainnya yang jatuh atau berhembus ke


suatu aliran, partikel-partikel halus yang berasal dari berbagai sumber, dan bahan
organic merupakan tiga kategori utama bahan utama organik mati (Tabel 7.1).
Beberapa dari bahan ini berasal dari suatu aliran, seperti makrofit yang sekarat,
kotoran hewan, dan pelepasan senyawa terlarut diangkut ke sungai.

Tabel 8.1 Sumber Material Organik pada Ekosistem Fluvial

Sumber Keterangan
Bahan Organik Partikular Kasar
 Dedaunan Sungai hutan, biasanya hutan musiman
 Makrofit Bersifat penting
 Puing-puing kayu Komponen utama biomassa
 Bunga, buah, dan serbuk sari Kurangnya informasi yang tersedia
 Kotoran dan bangkai hewan Kurangnya informasi yang tersedia
Bahan Organik Partikular Halus
 Bagian kecil dari partikular kasar Daun gugur atau makrofit
menyediakan bahan organik partikular
kasar
 Kotoran dari konsumen kecil Transformasi penting dari bahan
organik partikular kasar
 Bahan organik terlarut dari Lapiran mikro organik di atas bebatuan
serapan mikroba dan permukaan lainnya
 Bahan organik terlarut melalui Flokulasi dan adsorpsi, kurang penting
proses fisika-kimiawi bagi rute penyerapan mikroba
 Pengelupasan alga Kepentingan sebagian, menunjukkan
denyut temporal
 Pengelupasan lapisan organik Kurangnya informasi yang tersedia
 Sampah-sampah hutan Dipengaruhi oleh badai yang
menyebabkan lebar saluran meningkat
dan terjadinya genangan
 Saluran Berhubungan dengan badai
Bahan Organik Terlarut
 Air tanah Relatif konstan dari waktu ke waktu,
tahan api
 Permukaan antar aliran Lebih berguna saat terjadinya badai
 Aliran permukaan Mungkin berguna selama badai
 Leachate dari detritus yang Bergantung terhadap musim gugur
berasal dari darat
 Musim gugur Bergantung terhadap pengendapan
 Pelepasan ekstraseluler dari alga Hanya terjadi pada suatu musim
 Pelepasan ekstraseluler dari Hanya terjadi pada suatu musim
makrofit

8.1 Dekomposisi dari Partikel-Partikel Bahan Organik

Setelah organik partikular kasar memasuki aliran, maka terjadi kerusakan atau
ekspor (Webster, 1999). Studi tentang pemecahan bahan organik dimulai dari
bahan sumbernya, menggunakan daun yang dipetik dari pepohonan dan
menghilang seiring waktu. Seiring kemajuan proses, daun melepaskan zat terlarut
dan dijajah oleh mikroorganisme dan invertebrata, yang meningkatkan fragmentasi
dan mineralisasi (konversi senyawa C organik menjadi karbon dioksida anorganik
[CO2]).

Daun diubah menjadi beberapa produk, yaitu mikroba dan biomassa penghancur,
bahan organik partikular halus, bahan organik terlarut, nutrisi, dan CO2 (Gessner,
1999). Webster dan Benfield (1986) berpendapat bahwa eksponensial sederhana
model memberikan gambaran umum tentang proses pemecahan,

Wt = Wie-kt

dimana Wt adalah massa kering pada waktu t, Wi adalah massa kering awal, dan t
adalah satuan waktu, diukur dalam harian. Statistik k (dalam satuan hari 1) yang
merupakan kemiringan dari plot logaritma alami massa daun berbanding dengan
waktu, memberikan nilai kerusakan tunggal.

Variasi yang luas dalam tingkat kerusakan daun spesies tumbuhan yang berbeda
kini telah disusun secara teratur (Gambar 8.1). Tanaman bukan kategori pepohonan
menyebabkan daun membusuk jauh lebih cepat daripada daun tanaman berkayu
dengan nilai rata-rata pada Gambar 8.1. Tanaman terendam dan makrofit
mengambang termasuk mengalami pembusukan yang cepat, mungkin karena
mengandung paling sedikit jumlah jaringan pendukung dan terdapat konsentrasi
tertinggi dari unsur-unsur yang berpotensi membatasi, seperti nitrogen (N) dan
fosfor (P).
Gambar 8.1 Tingkat kerusakan berbagai tanaman berkayu dan bukan berkayu,
berdasarkan 596 perkiraan yang dikumpulkan secara studi lapangan dimana semua
jenis termasuk jenis ekosistem air tawar. Hal tersebut menunjukkan 1 kesalahan
standar, yaitu variasi dari efek situs, teknik, dan berbagai variabel lingkungan.
Jumlah taksiran individu ditampilkan pada angka yang diberi tanda kurung.
(Direproduksi dari Webster dan Benfield, 1986).

Urutan dalam pemecahan bahan organik partikular kasar, diilustrasikan dalam


Gambar 8.2. Daun jatuh langsung atau tertiup angin ke dalam aliran, menjadi
basah, dan setiap unsur organik dan anorganik larut. Sebagian besar pencucian
terjadi dalam beberapa hari dan diikuti oleh periode kolonisasi dan pertumbuhan
mikroba, menyebabkan banyak perubahan kondisi daun.

Tahap selanjutnya, fragmentasi oleh sarana mekanis dan aktivitas invertebrata,


biasanya mengikuti beberapa periode pelunakan jaringan enzim mikroba, dan
selesai bila tidak ada partikel besar tetap ada. Sebagai contoh fragmentasi dapat
terjadi selama kolonisasi mikroba dan tidak hanya di akhir proses, dan kolonisasi
invertebrata akan segera dimulai setelah daun memasuki sungai (Gessner dkk.,
1999, Hieber dan Gessner, 2002).
Gambar 8.2 Proses atau urutan daun pohon yang gugur (Direproduksi dari
Webster dan Benfield, 1986).

Sebanyak 25% dari massa kering awal daun yang baru gugur hilang karena
pencucian dalam 24 jam pertama. Material yang hilang selama pencucian pertama
adalah karbohidrat dan polifenol (Suberkropp dkk. 1976). Daun-daun dari tanaman
yang berbeda menunjukkan tingkat pencucian, yaitu: alder (Alnus Rugosa) hanya
hilang sekitar 4% dari massa kering selama beberapa hari sedangkan Ulnus
Americana kehilangan 16% dalam studi awal oleh Kaushik dan Hynes (1971).

Selama hari pertama, Tsuga Heterophylla kehilangan 14% dari total karbon
organik terlarut yang dilepaskan selama periode 7 hari, dibandingkan dengan 30%
untuk cedar merah barat (Thuja plicata) dan 74% untuk red alder (Gambar 7.4). Di
akhir percobaan, Hemlock dan Cedar telah melepaskan 40% dan 20%, masing-
masing karbon organik terlarut yang dilepaskan oleh Alde.
300

250

Pelepasan Karbon Terlarut


200

150
Hemlock
Cedar
100 Ader

50

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hari

Gambar 8.3 Pelepasan karbon organik terlarut dari Hemlock, Cedar, dan Alder
(Direproduksi dari McArthur dan Richardson, 2002)

8.2 Bahan Organik Partikular Halus

Sedikit diketahui tentang jalur energi yang melibatkan bahan organik partikular
halus daripada bahan organik partular kasar. Salah satu sumber bahan organik
partikular halus jelas merupakan pemecahan pada daun (Gambar 8.3). Keberadaan
dan aktivitas populasi mikroba pada partikular halus diukur dalam sebuah angka.
Konsentrasi jumlah sel memberikan perkiraan biomassa, sedangkan laju respirasi,
tes enzim, potensi denitrifikasi, laju fiksasi Nitrogen, dan serapan substrat berlabel
memberikan perkiraan aktivitas metabolik (Bonin, 2000 dan Findlay, 2002).

Kualitas bahan organik partikular halus yang berasal dari ekosistem darat
dipengaruhi oleh komposisi vegetasi lahan, posisinya sepanjang jaringan sungai,
dan variasi temporal dalam suatu debit yang mengalirkan bahan organik dengan
rasio karbon / nitrogen dan potensi denitrifikasi yang lebih tinggi, serta amonium
yang dapat diekstraksi, aktivitas fosfatase yang lebih besar, dan laju respirasi,
menyarankan kualitas substrat yang lebih tinggi dan aktivitas mikroba
dibandingkan dengan sungai yang lebih tua.

Respirasi bentik dan aktivitas mikroba juga telah diamati meningkat saat bergerak
ke hilir (Webster dkk. 1999), yang mungkin merupakan hasil perubahan dalam
kualitas bahan organik serta suhu yang lebih tinggi, ketersediaan nutrisi yang lebih
besar, dan peningkatan kualitas substrat terkait dengan asupan alga yang lebih
tinggi (Gambar 8.4).

0.7

0.6
Nilai Oksigen Terangkut

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 2 4 6 8 10 12 14
Jarak dari Sungai (km)

Gambar 8.4 Variasi pada hilir dalam bahan organik partikular halus.
(Direproduksi dari Webster dkk., 1999)

8.3 Bahan Organik Terlarut

Bahan organik terlarut biasanya merupakan kumpulan karbon organik terbesar di


perairan mengalir (Fisher dan Likens 1973, Karlsson, 2005), dan fluktuasi
kuantitas dan kualitas dapat sangat mempengaruhi mikroba, metabolisme, dan
struktur komunitas (Bott dkk., 1984 dan Judd dkk., 2006). Semua bahan organik
terlarut berasal sebagai produk biologis alami.
Selain itu, tanah dan air tanah merupakan jalur utama pengangkutan bahan organik
terlarut dari vegetasi darat dan lahan basah ke air sungai bahan organik terlarut
dikeluarkan dari air sungai melalui proses abiotik dan biotik. Biotik utama yang
diambil oleh mikroorganisme, asimilasi karbon organik menjadi biomassa
mikroba, konsumsi produksi heterotrofik dan terakhir remineralisasi menjadi CO2
melalui respirasi komunitas.

Namun, selama beberapa hari, penyerapan mikroba sebagian besar bertanggung


jawab pada karbon organik terlarut ke dalam lapisan sedimen. Hasil degradasi
fotokimia dalam transformasi karbon organik terlarut menjadi anorganik dan
organik lainnya. Meski tidak jelas apakah produk organik ini kurang lebih tersedia
untuk bakteri daripada karbon organik terlarut awal, sebagian besar penelitian
dilakukan di sistem air tawar dengan menggunakan karbon organik terlarut dari
tumbuhan yang memiliki pembuluh darah menemukan bahwa degradasi fotokimia
meningkat dengan ketersediaan biologis (Moran dan Covert 2003).

Penggabungan karbon organik terlarut ke dalam biomassa mikroba menarik karena


potensinya sebagai energi ke dalam jaring makanan. Ini adalah prinsip utama dari
bab ini bahwa jalur energi detrital bisa sama atau lebih penting dari produksi
primer dan karbon organik terlarut bisa menjadi karbon utama sumber
mikroorganisme heterotrofik. Bakteri kemungkinan besar memainkan peran lebih
besar dalam hal ini selain jamur, tetapi juga jelas bahwa berbagai mikroorganisme
terkait erat dengan berbagai sumber bahan organik serta alga di situs pemrosesan
energi kompleks yang dikenal sebagai biofilm (Gambar 8.5).
Gambar 8.5 Model struktural dan fungsional komunitas mikroba organik
ditemukan sebagai permukaan biofilm pada batu dan benda terendam lainnya di
sungai. Matriks fibril polisakarida yang diproduksi oleh komunitas mikroba
mengikat bakteri, alga, dan jamur bersama, dan dihuni oleh protozoa dan
mikrometazoa yang merumput di materi ini. Input detrital termasuk bahan organik
terlarut, koloid, dan partikulat halus, sedangkan cahaya energi terperangkap oleh
fotosintesis alga. mikroorganisme. (Direproduksi dari Lock, 1981)

Bahan organik partikular dan terlarut adalah sumber energi penting di hampir
semua ekosistem lotik dan seringkali dapat menjadi sumber energi yang dominan.
Detritus dan biomassa mikroba terkait, bersama dengan alga dan produsen utama
lainnya, membentuk sumber daya dasar untuk berbagai tingkat trofi yang ditempati
oleh invertebrata, ikan, dan konsumen lain di jaringan aliran makanan. Hal ini
merupakan keragaman konsumen dan adaptasi makanan yang mengatur
keefektifannya dengan beragam jenis dan sumber daya detrital.

Kesimpulan dari biotik sungai ….

Habitat sering digambarkan sebagai suatu spesies hidup, dan begitu juga bagian
dari spesies relung. Istilah spesies relung menggambarkan tempat spesies dalam
komunitas biologis dan menggabungkan semua dari kondisi fisik dan biologis yang
dibutuhkan bagi suatu spesies untuk mempertahankan populasinya di suatu daerah
(Begon dkk, 2005). Konsep relung menggabungkan interaksi spesies, khususnya
persaingan dalam membedakan ruang pada suatu spesies yang akan ditempati.

Anda mungkin juga menyukai