Anda di halaman 1dari 20

1.

1 Latar Balakang

Pembentukan gambut ditentukan oleh laju masukan dan dekomposisi bahan


organik, suhu dan kondisi aerasi. Masukan bahan organik untuk pembentukan
gambut berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang tumbuh diatasnya. Pada kondisi jenuh
air, ruang pori gambut ditempati oleh air yang menghambat suplai oksigen yang
dibutuhkan dalam proses dekomposisi aerobik sehingga laju dekomposisi aerobik
terhambat. Dekomposisi anaerobik tetap berlangsung tetapi dengan laju yang
lambat. Sebaliknya, dalam kondisi tidak jenuh ruang pori gambut ditempati oleh
udara yang menyediakan suplai oksigen untuk dekomposisi aerobik. Semakin tinggi
suhu tanah semakin cepat laju dekomposisi, sesuai dengan hukum Arrhenius.

Diperlukan kombinasi geologic setting dan hydrologic setting (kondisi geologi dan
hidrologi setempat pada umur geologi yang berpadanan) yang khas dalam proses
formasi gambut, mustahil diciptakan secara artifisial pada kondisi geologi dan iklim
yang ada sekarang. Landscape yang memungkinkan formasi gambut ditandai oleh
keberadaan basin dan fitur alam yang menghambat drainase, seperti coastal basin,
dsb. Terdapat hubungan yang sangat erat antara vegetasi-hidrologi-dan tanah
gambut. Salah satu karakteristik unik hutan rawa gambut adalah bahwa tanah
gambut dimana hutan itu berada dibentuk oleh vegetasi itu sendiri. Contoh saling
ketergantungan yang erat ini dapat dilihat dalam bentuk keberadaan zonasi struktur
hutan berdasarkan hidrotopografi lahan gambut Sebangau, Kalimantan Tengah
dimana tegakan pada puncak kubah memperlihatkan pola tumbuhan yang lebih
kerdil dibandingkan pada kaki kubah

Pada kondisi alami, hutan rawa gambut terdiri atas tiga komponen utama: Vegetasi,
Gambut dan Hidrologi. Vegetasi memberikan input bahan organik dan dekomposisi
merupakan keluaran dari sistem neraca karbon. Sistem hidrologi ditandai oleh
simpanan yang relatif stabil dimana input dari curah hujan disetimbangkan oleh
keluaran melalui evapotranspirasi dan aliran ke sungai

1
1.2 Rumusan Masalah
- Memahami mekanisme hidrologi lahan gambut secara regional
- Mengetahui peranan hidrologi dalam lahan gambut
- Memahami pengertian lahan gambut dan manfaatnya
- Memahami proses rehabilitasi lahan gambut

2. Hidrologi Lahan Gambut

Sistem hidrologi menentukan kelestarian lahan gambut dan keberlangsungan jasa


lingkungannya. Neraca air yang setimbang diperlukan untuk berlangsungnya neraca
karbon yang setimbang. Kelestarian jasa lingkungan ekosistem gambut hanya dapat
dicapai dengan neraca karbon yang setimbang. Diperlukan tata air yang baik agar
kelestarian ekosistem gambut dan layanan jasa lingkungannya tetap lestari.

Peranan hidrologi dalam kelestarian lahan gambut dan jasa lingkungan :


• Lapisan gambut merupakan akuifer yang menjadi sumber aliran utama
sungai-sungai air hitam pada musim kemarau
• Neraca karbon lahan gambut yang setimbang hanya dapat dicapai apabila
neraca air juga setimbang
• Neraca air dan neraca karbon yang setimbang diperlukan untuk
keberlangsungan ekosistem hutan rawa gambut yang lestari
• Drainase buatan mempengaruhi kondisi siklus hidrologi pada lahan gambut
(Katimon 2004)
• Tata air yang baik diperlukan untuk menjaga kelestarian ekosistem gambut
dan peranannya dalam menyediakan jasa lingkungan

Hidrotopografi lahan gambut adalah karakteristik lahan gambut dalam konteks


keruangan muka bumi dan siklus air setempat. Keberadaan lahan gambut Indonesia
yang sebagian besar pada elevasi rendah (<20 m dpl, hanya porsi kecil yang
merupakan gambut pedalaman dan beradap pada elevasi yang lebih tinggi)

2
menyebabkan sebagian zona gambut mengalami pengaruh pasang surut.
Kelerengan <1m/km memberikan sifat pengaliran (air tanah dan overland flow)
yang lambat karena rendahnya head gradient. Mikrotopografi yang berbentuk
hummock and hollow (sebaran cekungan dan gundukan) menciptakan resistansi
yang tinggi terhadap aliran permukaan, sehingga sering terjadi sebaran-sebaran
genangan temporer di musim hujan. Adanya sebaran acak hummock dan hollow
dan arah aliran permukaan yang cenderung baur menciptakan pola drainase baur
pada permukaan lahan gambut. Bentuk lahan yang cembung berakibat pada
pembagian zona pengisian di bagian atas kubah dan zona drainase pada kaki kubah,
yang mencirikan gambut ombrogenous.

Konduktivitas hidrolik (daya hantar aliran air dalam media sarang) tanah gambut
umumnya tinggi karena pedogenesis yang berbeda dari tanah mineral. Tingginya
konduktivitas hidrolik berperan penting dalam regulasi alam terhadap sistem aliran
air tanah pada head gradient (kelerengan energi hidrolik) yang rendah. Kurva
retensi air tanah (Water retention curve, kurva hubungan antara energi dan
kandungan air tanah) menentukan profil kadar air diatas zona freatik (zona yang
berada diatas permukaan air tanah) dan ketersediaan air untuk kebutuhan biologis
dan evapotranspirasi (penguapan dari permukaan tanah dan serapan perakaran
tumbuhan). Bersama-sama dengan evaporation demand (permintaan evaporasi
dalam setiap kondisi aliran energi dalam atmosfir diatas dan antar muka permukaan
tanah), kurva retensi air tanah menentukan seberapa dalam deplesi air tanah
(penurunan muka air tanah) dan tingkat kekeringan diatas zona freatik.

Konduktivitas hidrolik akuifer gambut sangat beragam, tergantung pada kekasaran


substrat, tingkat dekomposisi dan humifikasi gambut. Gambut berserat kasar
cenderung memiliki konduktivitas hidrolik lebih tinggi dibandingkan yang berserat
lebih halus.

Curah hujan tahunan dalam areal lahan gambut Indonesia umumnya tinggi tetapi
tidak merata sepanjang tahun. Hal ini mengakibatkan munculnya periode defisit

3
yang panjang selama musim kemarau. Neraca air hutan rawa gambut Indonesia
didominasi oleh limpasan permukaan dan evapotranspirasi. Hanya fraksi kecil yang
merupakan ground water flow (aliran air tanah). Kombinasi antara lereng yang
sangat landai dan elevasi yang rendah menyebabkan muka air tanah lahan gambut
berada sangat dekat di permukaan tanah. Hal ini selanjutnya menyebabkan keadaan
jenuh air cepat tercapai pada intensitas hujan yang tinggi terutama di musim hujan.
Begitu keadaan jenuh air tercapai hujan yang turun selanjutnya berubah menjadi
limpasan permukaan langsung menuju saluran dan sungai.

Pembentukan kubah gambut membutuhkan proses akumulasi bahan organik yang


terjadisangat lambat. Namun laju kehilangan karbon dalam kondisi rusak
berlangsung sangat cepat. Stok karbon gambut yang membutuhkan ribuan tahun
untuk terbentuk dapat mengalami kepunahan hanya dalam waktu puluhan-ratusan
tahun. Pada lahan gambut yang didrainase dan dilakukan pendalaman saluran
secara berkala maupun on-demand akan terjadi amblasan lahan (subsiden) yang
terus menerus. Pada akhirnya permukaan lahan akan turun sedemikian rupa
mencapai elevasi dimana drainase secara gravitasi tidak dimungkinkan lagi, kecuali
bila dasar gambut terletak lebih tinggi daripada elevasi muka air sungai/laut
terdekat dengan slope lebih besar daripada slope limit. Limit elevasi ini disebut
drainage limit. Bila drainage limit dicapai atau dilewati diperlukan pemompaan
mekanis agar kelebihan air di lahan dapat dibuang, seperti yang terjadi pada polder-
polder di negara Belanda.

Drainase Limit

• Subsiden yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan permukaan lahan


turun sampai mencapai batas drainage limit

• Drainase limit adalah bidang imaginer elevasi relatif terhadap elevasi


sungai/laut terdekat dimana drainase secara gravitasi tidak dimungkinkan lagi

4
• Penghitungan dan pemetaan ditentukan oleh: Elevasi sungai/laut terdekat, jarak
ke sungai/laut terdekat, slope limit

• Drainage limit dapat dihitung/dipetakan berdasarkan elevasi muka air sungai/laut


terdekat, dan jarak dari sungai/laut terdekat serta slope limit. Slope limit yang
umum digunakan adalah 20 cm/kilometer. Waktu sampai tercapainya drainage limit
dapat dihitung bila laju subsiden pada lahan yang ditinjau diketahui. Pada ilustrasi
ini diperlihatkan peta jarak ke sungai terdekat (peta kiri) dan peta elevasi bidang
drainage limit (peta kanan) yang dihitung berdasarkan peta peta kiri. Bila
permukaan lahan amblas sampai mencapai drainage limit maka resiko banjir
meningkat, aerasi pada zona perakaran terganggu dan tanaman yang tidak toleran
genangan tidak dapat tumbuh.

Lahan gambut pedalaman berada pada landscape dengan elevasi yang lebih tinggi
dari lahan gambut pantai, dan ditandai dengan adanya masukan lateral kedalam
sistem hidrologi dari lahan-lahan sekitar yang lebih tinggi. Sebaran lahan gambut
pedalaman Indonesia belum terpetakan dengan baik. Diperlukan data dan informasi
pendukung yang lebih lengkap untuk memetakan sebaran gambut pedalaman secara
lebih rinci, yang mencakup peta elevasi, neraca air, dan contoh-contoh pewakil
yang memadai untuk menentukan tingkat minerotropik lahan-lahan yang ditinjau.

Tingkat minerotropik lahan gambut ikut menentukan tingkat kesuburannya.


Semakin besar pengaruh masukan lateral dibanding curah hujan dalam sistem
neraca air lahan gambut semakin dekat lahan gambut tersebut ke dalam tipe
minerotropik dibandingkan ombrotropik dan kesuburannya cenderung semakin
tinggi. Koefisien minerotropik dapat digunakan untuk klasifikasi dan pemetaan
tingkat minerotropik lahan gambut yang ditentukan oleh besaran curah hujan, debit
masuk dan debit keluar dari suatu sistem lahan gambut

Tantangan dalam pengelolaan hidrologi lahan gambut Indonesia :

5
• Akses ke lahan gambut umumnya sulit (terutama pada kondisi yang masih
berhutan dan jauh dari infrastruktur) yang berimbas pada tinggi cost penelitian

• Sebaran stasiun-stasiun pengamat sangat jarang

• Data dasar penunjang yang masih minim

• Knowledge gap pada sejumlah fungsi-fungsi hidrologis penting

• Sharing knowledge di antara para peneliti yang masih jarang

• Jurang informasi dan pemahaman antara temuan-temuan saintifik-teknis


dengan kebijakan pengelolaan lahan gambut

• Kompetisi antara pemanfaatan ekonomis dan perlindungan ekosistem gambut


yang belum menemukan titik temu yang sling menguntungkan

Mempertahankan hutan rawa gambut yang ada merupakan salah satu upaya yang
baik dalam mencegah kerusakan hidrologi lahan gambut. Katimon (2004)
memperlihatkan bahwa kerusakan hidrologis lahan gambut bersifat tidak balik.
Upaya restorasi berupa pengembalian tutupan hutan dan rewetting mampu
mengembalikan fungsi-fungsi hidrologi sampai batas teretentu tetapi tidak dapat
mencapai kondisi seperti asalnya. Upaya restorasi harus mengkombinasikan
tindakan-tindakan vegetatif (penanaman kembali maupun assisted natural
regenarion) dan engineering (seperti penutupan saluran drainase buatan dan aplikasi
geomembran).

Sejumlah upaya restorasi hidrologi lahan gambut telah dilakukan di Indonesia,


seperti lahan gambut Merang Kepahyang Sumatra Selatan, eks PLG Kalimantan
Tengah dan sejulah lahan gambut Riau. Tetapi upaya restorasi ini masih terbatas
baik secara kualitas maupun kuantitas

6
3. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut

Hutan tropika basah Indonesia dikenal sebagai hutan yang selalu basah dan tahan
terhadap kebakaran. Tetapi pada tahun 1982/1983, sekitar 3,6 juta ha hutan tropika
basah di Kalimantan Timur terbakar (Hess, 1994). Pada saat itu terjadi fenomena
El Nino dimana musim kering berkepanjangan melanda Indonesia dalam jangka
waktu 10 bulan berturut-turut. Akibatnya hutan yang telah dieksploitasi dan
tajuknya relatif lebih terbuka karena terganggu mengalami kekeringan dan mudah
terbakar, ditambah lagi adanya kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran yang
dilakukan oleh peladang berpindah yang kemudian menjadi salah satu pemicunya.
Sejak saat itu, kebakaran terus berlanjut sampai terjadi kebakaran hutan dan lahan
yang lebih luas pada tahun 1997/1998, dimana hampir 10 juta ha hutan dan lahan
terbakar (Bappenas 1999; Taconi, 2003). Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran
tersebut adalah kabut asap yang menyelimuti kawasan regional ASEAN yang
dikenal sebagai Transboundary Haze Pollution. Gambar 1 menunjukkan distribusi
hotspot sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 1997-2013
yang menunjukkan fluktuasi.

Hasil pengolahan data hotspot oleh Kementerian Kehutanan (2013) menunjukkan


bahwa sampai dengan tahun 2012 hotspot lebih banyak ditemukan di kawasan non
hutan/Areal penggunaan lain (APL) yang memang tidak berhutan yang didominasi
oleh semak belukar dan areal relatif terbuka sehingga memungkinkan untuk open
akses (hampir 70 %), hanya 20% yang dijumpai di kawasan hutan.

Kebakaran di lahan gambut biasanya diawali dengan penyulutan api di atas


permukaan tanah. Api akan bergerak ke segala arah, bawah permukaan, atas
permukaan, kiri, kanan, depan dan belakang. Penjalaran api ke bawah permukaan
yang membakar lapisan gambut dipengaruhi oleh kadar air lapisan gambut dan
tidak dipengaruhi angin sebagai kebakaran bawah (ground fire). Api akan bergerak
ke atas permukaan dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin sebagai kebakaran

7
permukaan (surface fire) dan bila mencapai tajuk pohon akan menjadi kebakaran
tajuk (crown fire) . Bagian pohon/ranting/semak yang terbakar dapat diterbangkan
angin dan jatuh ke tempat baru sehingga menyebabkan kebakaran baru sebagai api
loncat (spot fire/spotting). Sehingga kebakaran di lahan gambut (peatland fire)
dapat terdiri dari kebakaran bawah, kebakaran permukaan dan kebakaran tajuk.
Sedangkan kebakaran gambut (peat fire) merupakan tipe kebakaran bawah yang
membakar lapisan gambut.

Kebakaran gambut (peat fire) dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik karakteristik
gambut maupun cuaca, yaitu: kadar air gambut, tingkat dekomposisi gambut, tinggi
muka air, maupun curah hujan. Gambar menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar
air gambut semakin rendah laju pembakaran. Kebakaran gambut masih bisa terjadi
pada kadar air 119% yang merupakan kadar air kritis kebakaran gambut (Syaufina
et al. 2004b). Tingkat dekomposisi gambut juga mempengaruhi keterbakaran
gambut, semakin matang gambut (jenis saprik) semakin sulit terbakar dibandingkan
dengan jenis gambut yang belum matang (jenis fibrik dan hemik). Tinggi muka air
akan mempengaruhi kadar air gambut, sementara curah hujan mempengaruhi tinggi
muka air lahan gambut.

Musim kebakaran di wilayah MRP Kalimantan Tengah terjadi pada periode


Agustus-November dengan puncaknya pada bulan Agustus-Oktober. Puncak
kebakaran terjadi pada kondisi tinggi muka air sebesar – 40 cm, sehingga tinggi
muka air tersebut dapat dijadikan indikator sebagai tinggi muka air kritis. Kondisi
tanah gambut yang terbakar di areal HTI yang terletak di Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Sumatera Selatan, didominasi oleh proses smoldering (pembaraan)
tanpa nyala api yang terjadi di permukaan gambut karena energi yang dihasilkan
dalam proses pembakaran sudah melemah dan tidak cukup untuk membakar bahan
bakar gambut yang terdapat di permukaan dan sumber bahan bakar lainnya.
Kondisi kebakaran yang terjadi di areal land clearing (penyiapan lahan) dan
tanaman sagu muda milik korporasi yang berlokasi di Kepulauan Meranti, Provinsi

8
Riau. Kebakaran terjadi sejak akhir Januari 2014 dan berakhir sekitar April 2014.
Luas lahan yang terbakar sekitar 3000 ha, meliputi 2000 ha lahan yang sedang di
land clearing dan 1000 ha lagi merupakan arela tanaman sagu yang sudah berumur
lebih dari 10 tahun. Luas areal terbakar bertambah karena early warning system,
early detection system tidak bekerja karena didukung oleh sarana dan prasarana
pengendalian kebakaran yang tidak mamadai sehingga korporasi tidak mampu
melindungi arealnya dari ancaman bahaya kebakaran sehingga terjadi pembiaran
(omission).

Kondisi kebakaran yang terjadi di Cagar Biosfir Giam Siak Kecil yang merupakan
areal konservasi yang seharusnya dilindungi dari ancaman bahaya kebakaran
namun sekarang sebagian dari wilayah tersebut telah berubah menjadi kebun kelapa
sawit yang penyiapan lahannya menggunakan api.

Kondisi kebakaran di areal perkebunan sawit yang bergambut yang penyiapan


lahannya menggunakan api. Asap tebal menunjukkan bahwa proses pembakaran
terjadi pada lahan yang memiliki kadar air yang tinggi.

Kondisi kebakaran di areal masyarakat yang masih diliputi oleh tumbuhan hijau dan
belum ditebas tebang serta kebakaran yang terjadi pada lahan yang memang sudah
disiapkan dalam rangka penyiapan lahan menggunakan api.

Sampai saat ini hasil kajian tentang penyebab kebakaran (Saharjo, 1995, 1997,
1998, Suyanto 2007) menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
di Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung yaitu:
• API DIGUNAKAN DALAM PEMBUKAAN LAHAN
Api telah lama digunakan oleh peladang berpindah dalam rangka penyiapan lahan,
dan hal tersebut dilakukan karena mereka mengharapkan lahannya bersih, mudah
dikerjakan, bebas hama dan penyakit serta mendapatkan abu hasil pembakaran yang
kaya mineral, motif demikian pulalah yang dilakukan oleh korporasi saat ini baik

9
oleh perkebunan kelapa sawit maupun oleh pengusaha hutan tanaman industri
maupun non hutan seperti sagu
• API DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA DALAM PERMASALAHAN
KONFLIK TANAH
Dalam rangka untuk melakukan perlawanan maka tidak sedkit para petani yang
dirugikan melakukan perlawanan dengan cara membakar tanaman pihak korporasi
sehingga mengalami kerugian yang tidak sedkit
• API MENYEBAR SECARA TIDAK SENGAJA
Akibat kondisi lapangan yang tidak kondusif maka tidak sedikit api yang berasal
dari lahan masyarakat masuk ke dalam lahan korporasi secara tidak sengaja (lalai),
namun tidak sedkit juga pihak korporasi yang memanfaatkannya, namun tidak
sedikit juga api yang berasal dari korporasi masuk ke dalam lahan masyarakat
sehingga menderita kerugian yang tidak sedikit
• API YANG BERKAITAN DENGAN EKSTRAKSI SUMBERDAYA
ALAM
Beberapa kegiatan terkait estraksi sumberdaya alam menggunakan api dalam
aplikasinya di lapangan, seperti pemanenen madu di pohon-pohon besar,
pemanenan getah damar, dan lain sebagainya.
Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari:
 Penguasaan lahan
Untuk menyatakan penguasaan lahan yang diinginkannya maka tidak sedikit pihak-
pihak yang ingin menguasai lahan tersebut dilakukannya dengan membakar dan
lahan yang telah bersih tersebut kemudian dikuasainya
 Alokasi penggunaan lahan
Untuk memudahkan dalam pengalokasian lahan sehingga dapat segera dilakukan
maka digunakan api
 Insentif/Dis-insentif ekonomi
Tidak jelasnya insentif/dis-insenti membuat pelaku ekonomi melakukan
pembakaran karena dianggap dapat menghemat biaya produksi dalam pelaksanaan
kegiatan di lapangan, sehingga pembakaran menjadi suatu pilihan.

10
 Degradasi hutan dan lahan
Setelah hutan ditebang dan dimanfaatkan kayunya maka tindakan selanjutnya
adalah pemanfaatan lahan bekas ditebang tersebut dengan pembakaran
 Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan
Meningkatnya jumlah penduduk maka meningkat pula kebutuhannya baik akan
papan, pangan, dan sebagainya, sebagai konsekuensinya maka dilakukan perluasan
areal-areal tersebut yang pada akhirnya membutuhkan lahan yang luas sehingga
hutan yang tersisa menjadi gantungannya. Dalam kondisi tertentu maka tindakan
pintas dilakukan yaitu menggunakan api.
 Lemahnya kapasitas kelembagaan
Banyak terdapat lembaga terkait dalam upaya pengendalian kebakaran dalam satu
sisi namun keberadaan lembaga tersebut ternyata belum mampu mengendalikan
kebakaran yang terjadi akibat berbagai persoalan yang membelitnya termasuk
persoalan internal. Selain itu ketiadaan dana yang cukup dan ketidakmampuan
aparat setempat berhadapan dengan pejabat yang berada diatasnya juga menjadi
persoalan serius untuk dituntaskan.

Dampak kebakaran terhadap vegetasi dapat dikelompokkan menjadi 3 kelas, yaitu:


Terbakar ringan: Sekurangnya ada 50 persen pohon tidak menunjukkan kerusakan,
dengan sisa pohon lainnya menunjukkan tajuk yang terbakar, kematian pucuk tetapi
bertunas, atau mati akar (tidak bertunas); lebih dari 80 persen pohon yang rusak
dapat bertahan.
Terbakar sedang: Duapuluh atau 50 persen pohon tidak menunjukkan kerusakan,
dengan sisa pohon lainnya rusak; 40 sampai 80 persen pohon yang terbakar dapat
bertahan.
Terbakar berat: Kurang dari 20 persen pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa
pohon lainnya rusak terutama akibat mati akar; kurang dari 40 persen dari pohon
yang rusak dapat bertahan.

11
Terhadap kualitas udara, kebakaran lahan gambut menyebabkan buruknya kualitas
udara yang ditunjukkan oleh Indeks Standar Kualitas Udara (ISPU) yang
merupakan integrasi dari kandungan beberapa senyawa seperti: PM10, SO2, CO,
O3, dan NO2. Kualitas udara dikatakan baik jika nilai ISPUnya kurang dari 100 dan
dikatakan dalam kondisi yang berbahaya bila nilai ISPUnya lebih dari 300. Slide
ini menunjukkan nilai ISPU di Riau pada bulan Juni 2013 dimana sebagian besar
wilayah Riau berada pada kondisi udara yang berbahaya.

Pencegahan kebakaran adalah kegiatan pengendalian kebakaran yang dilakukan


sebelum terjadi kebakaran dengan tujuan untuk meminimalkan kejadian kebakaran
hutan dan lahan. Salah satu cara pencegahan adalah Sistem Peringatan Dini (early
warning system) yang merupakan integrasi dari unsur-unsur cuaca dan bahan bakar.
Cara lainnya adalah penyiapan lahan tanpa bakar (zero burning) dan manajemen
bahan bakar antara lain: pembuatan kompos/briket arang, biogas, pemanfaatan log
bekas tebangan untuk bahan baku pembangkit tenaga listrik.

Dalam hal pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut, yang perlu disiapkan
adalah: organisasi pemadam kebakaran, sistem deteksi dini melalui informasi
hotspot dan sistem patroli, pelatihan teknik dan strategi pemadaman kebakaran
(langsung maupun tidak langsung), pemadaman udara, maupun teknologi hujan
buatan.

Berdasarkan PP No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, kegiatan


penanganan pasca kebakaran hutan dan lahan gambut meliputi kegiatan penegakkan
hukum dan rehabilitasi lahan gambut. Kegiatan penegakkan hukum didasarkan
pada peraturan perundangan yang terkait dengan pembakaran, antara lain: UU No.
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
yang kemudian diganti menjadi UU No.39 tahun 2014. Rehabilitasi lahan gambut
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan jenis-jenis endemik yang tumbuh di

12
lahan gambut seperti jelutung yang dapat ditanam dengan pola agroforestry,
sehingga produktivitas lahan menjadi optimal.

4. Lahan Gambut dan Mitigasi Perubahan Iklim

Lahan gambut : akumulasi bahan organik dalam kurun waktu yang lama,
menyimpan air 0,8-0,9 m3 /m3 gambut, jika di drainase akan mengalami
kekeringan, mudah terbakar, subsiden dan mengemisikan GRK (WI-IP 2004)

Mitigasi perubahan iklim : upaya menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan


GRK dari berbagai sumber emisi (Perpres No 61/2011 tentang RAN Penurunan
Emisi GRK).

Penabatan Saluran/Canal blocking di lahan gambut: Penyekatan saluran atau


parit yang bertujuan untuk mengangkat muka air tanah/ lahan gambut (rewetting)
sebagai salah satu opsi mitigasi

Rehabilitasi vegetasi : usaha untuk mengembalikan kondisi vegetasi seperti


semula sebelum terjadi gangguan pada areal yang bervegetasi.

Kapasitas mitigasi GRK oleh lahan gambut sangat dipengaruhi oleh keberadaan
vegetasi di permukaannya. Namun kapasitas tersebut terancam oleh adanya
drainase air gambut, sehingga gambut menjadi kering, teroksidasi, mudah terbakar
dan subsiden. Ketiga hal peretama akan mengemisikan GRK, sedangkan subsidensi
menyebabkan depresi permukaan gambut yang berpotensi menimbulkan genangan.

Pasal 23 (ayat 3) dari PP Gambut No 71/2014, membatasi air tanah gambut hanya
boleh diturunkan maksimum sedalam 0,4 m (agar lahan tidak dikategorikan rusak).
Jika kondisi demikian diterapkan pada perkebunan sawit atau akasia di lahan
gambut, maka nilai emission savings dapat mencapai 60 ton CO2/Ha/tahun
(dibandingkan jika air tanah gambut dibiarkan turun hingga 1 meter). Menurut
IPCC 2014, faktor emisi GRK untuk perkebunan sawit di lahan gambut adalah 11
ton C-CO2/Ha/Th (atau setara 40 ton CO2/Ha/th); sedangkan untuk akasia adalah

13
20 ton C-CO2/ha/th (setara 73,4 ton CO2/ha/th). Nilai faktor emisi ini tentunya
bersifat subjektif, karena muka air tanah gambut dalam kenyataannya sulit
dipertahankan secara konstan.

Terdapat beberapa langkah-langkah untuk penyusunan persamaan biomassa pohon


dengan menggunakan destructive sampling yaitu:

1. Pemilihan dan pengukuran pohon contoh (sample trees). Pohon contoh dipilih
di tipe hutan yang memiliki kesamaan karakteristik dengan hutan yang akan
kita duga cadangan karbonnnya. Untuk itu pohon contoh perlu diambil dari
hutan rawa gambut yang mewakili lokasi yang akan kita ukur. Pemilihan pohon
contoh dapat melibatkan kegiatan pengukuran cepat hutan, karenanya
memerlukan beberapa alat survey hutan seperti, GPS, kompas, diameter tape,
meteran dan alat tulis. Selain itu juga diperlukan pengenal jenis pohon

2. Setelah pohon dipilih, pohon ditebang menggunakan chainsaw atau parang jika
diameternya kecil. Pastikan chainsaw bekerja dengan baik dan tersedia spare
part cdadangan seperti busi dan rantai serta alat seperti kikir dan kunci busi.
Selain itu bahan bakar dan oli juga dipastikan cukup hingga seluruh kegiatan.
Pohon yang sudah rebah diukur panjang bebas cabang dan panjang total.

3. Pembagian fraksi pohon dilakukan setelah pohon rebah dengan menggunakan


chainsaw dan parang

4. Setelah itu bagian pohn diukur dan ditimbang. Pengukuran batang dan cabang
besar menggunakan diameter tape. Untuk penimbangan, sebaiknya
menggunakan timbangan gantung dijital (mini crane scale) yang telah
dikalibrasi oleh badan metrologi

5. Pengambilan s=contoh kayu dan daun menggunakan parang atau chainsaw.


Diperlukan timbangan untuk menimbang sample dan plastic untuk
penyimpanan sampel

14
6. Analisa kayu dilakukan di laboratorium yang memiliki oven, desikator,
timbangan analitik, gelas ukur dan bak air ukuran besar

7. Tahap akhir adalah pengembangan persamaan menggunakan software statistic

Mitigasi perubahan iklim sangat erat hubungannya dengan berbagai perundangan


dan peraturan pemerintah. Ia tidak saja terkait dengan upaya-upaya penurunan
emisi (seperti PP No 61/2011 tentang RAN-GRK dan PP No 71/2014 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut), tapi juga terkait dengan upaya
penanggulangan bencana kebakaran yang sering terjadi di lahan gambut (UU No
24 Tahun 2007). Sangsi hukum yang tercantum dalam, UU No 24/2007 bagi
pelaku yang menyebabkan kebakaran jauh lebih berat dibanding pada peraturan
pemerintah lainnya (seperti PP 71/2014).

Pemerintah dan Masyarakat Indonesia telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan


terkait mitigasi perubahan iklim (terutama melalui penanaman pohon dan restorasi
hidrologi di lahan gambut), terkait dengan komitmennya untuk menurunkan emisi
GRK 26% pada tahun 2020. Namun demikian, kegiatan-kegiatan tsb kurang/tidak
terkordinasi dan tidak terinventarisasi dengan baik. Untuk mengetahui besarnya
nilai perolehan karbon akibat kegiatan-kegiatan tsb, perlu dilakukan inventarisasi
nasional dan dikordinasikan dengan baik.

Restorasi Hidrologi (Rewetting) di Lahan gambut akan menyebabkan gambut


basah dan sulit terbakar, selanjutnya akan membantu terjadinya pertumbahan
vegetasi/tanaman. Peristiwa ini akan mencegah lepasnya emisi GRK (karena
gambut basah) dan disisi lain akan terjadi penyerapan GRK (akibat adanya
fotosintesa vegetasi). Rehabilitasi vegetasi hendaknya dilakukan setelah tata air di
lahan gambut dibenahi. Rehabilitasi tidak perlu dilakukan, jika di lahan gambut
masih banyak dijumpai bibit-bibit alami (Suryadiputra et al. 2005)

Prinsip Restorasi Hidrologi di lahan gambut adalah menaikkan muka air tanah
gambut setinggi mungkin, yang pada akhirnya diharapkan dapat: menurunkan laju

15
oksidasi dan subsidensi gambut, membasahi gambut untuk mengurangi resiko
kebakaran dan meningkatkan kelembaban tanah untuk pertumbuhan vegetasi.
Semua di atas akhirnya akan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dan
meningkatkan kapasitas penyerapan GRK.

Prinsip & konsep restorasi hidrologi telah ditulis oleh Suryadiputra et al. 2005
dalam buku berjudul “Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut
Bersama Masyarakat”. Juga dapat dibaca pada buku yang ditulis Stoneman S dan
S Brooks 1997. Berjudul “Conservating Bogs, The Management Handbook”.

Kegiatan restorasi hidrologi lahan gambut mesti mengikuti tahapan-tahapan yang


benar dan mempertimbangkan aspek iklim (musim hujan mengangkut bahan
kontruksi tabat/bendung dan musim kemarau, saat air dalam saluran rendah,
membangun tabat). Keterlibatan masyarakat lokal adalah merupakan keharusan,
baik saat pembangunan kontruksi maupun saat perawatan (Suryadiputra et al.
2005).

Sebagai informasi, foto diatas diambil dari keberhasilan kegiatan Wetlands


International-Indonesia Program di eks PLG Kalimantan Tengah. Selain itu,
terdapat juga keberhasilan dari kegiatan restorasi tersebut di area lainnya, seperti di
Sei Ahas eks PLG yang dikerjakan PU.

Jarak antar tabat sebaiknya dibangun cukup berdekatan (beda tinggi muka air
dalam saluran antar tabat maksimum 20 cm) agar gambut sekitar saluran menjadi
basah. Angka 20 cm tersebut mengacu pada PP 150/2000 tetang Produksi
Biomassa yang menyebutkan bahwa gambut dikatakan rusak jika air tanah gambut
turun > 25cm. Oleh karena itu angka 20 cm diharapkan mengurangi kerusakan
gambut.

Pada Gambar pojok kanan atas (tidak ideal), jumlah bendung banyak dengan
puncak bendung lebih rendah dari muka gambut, pada kondisi demikian air tanah
tidak akan mencapai permukaan gambut dan disekitarnya. Pada Gambar pojok

16
kanan bawah (Ideal), jumlah bendung banyak dan puncak bendung tinggi, air
mendekati permukaan tanah gambut dan akan membasahi gambut dalam jangkauan
lebih luas (lihat foto pada pojok kiri atas dan bawah).

Pembangunan Tabat/bendung harus dimulai pada bagian paling atas/hulu dari


saluran. Penabatan di atas berlangsung di ujung paling utara/hulu dari Saluran
Primer Utama /SPU-7 (Blok A utara eks PLG-Kalteng) pada Tahun 2003. Beda
muka air dalam saluran hampir 2 meter (karena lokasi bendung tepat berada di
puncak kubah gambut), dan bendung yang dibangun tsb cukup kuat mengatasi
tekanan (‘head differences hampir 2 m’) dikarenakan konstruksinya sangat kokoh
(juga di atasnya, sekitar 300 meter dari bendung ini dibangun juga bendung
lainnya). Kondisi lahan gambut di kiri kanan sebelah luar saluran SPU-7, sebelum
dibendung adalah gersang (foto Pojok Kiri atas), namun setelah di bendung, bibit-
bibit alami tumbuh dengan subur (foto bawah). (Suryadiputra et al. 2005)

Rehabilitasi tanaman di lahan gambut yang rusak akan membantu mitigasi


perubahan iklim. Namun kegiatan ini memerlukan tahapan-tahapan lebih komples
dibandingkan rehabilitasi pada tanah mineral. Tantangan utama yang dihadapi
pada lahan gambut adalah miskinnya hara, hama, adanya genangan saat musim
hujan, atau kekeringan (bahkan terbakar) saat kemarau. Informasi terperinci
tentang rehabilitasi vegetasi di lahan gambut telah ditulis oleh Wibisono et al.
2005.

Rehabilitasi lahan gambut yang rusak akibat terbakar dengan menggunakan tehnik
gundukan (mounding) gambut telah diterapkan oleh WI-I pada tahun 2004-2007
pada lokasi kawasan penyangga Taman Nasional Berbak di Jambi. Jenis vegetasi
yang ditanam saat itu terdiri dari Ramin, Gonystylus bancanus, Perepat
Combretocarpus rotundatus and Rengas manuk Mellanoorhoea walichii .

Lokasi gambar: Bufferzone TN Berbak di Jambi (tepatnya dekat HPH Putra Duta).
Lokasi gambut ini terbakar beberapa kali. Kegiatan rehabilitasi menggunakan
system mound dengan melibatkan para nelayan setempat.

17
Rehabilitasi tanaman pada lahan gambut yang terdegradasi akan mulai terlihat
hasilnya dengan nyata setelah 6 tahun kemudian. Dari 7 species tanaman lahan
basah yang ditanam (penanaman dilakukan setelah saluran ditabat) di bagian tepi
Saluran SPI eks PLG Kalteng antara th 2004-2007 (terdiri dari Belangiran,
Jelutung, Bintangur, Sungkai, Meranti telur, Terentang, Arang-arang), ternyata
Jelutung rawa paling cepat tumbuh (Wibisono et al. 2005).

Beberapa masyarakat yang tinggal di dusun Muara Puning (Barito Selatan),


membangun kolam-kolam memanjang di lahan gambut (disebut “BEJE”) sebagai
perangkap ikan alami saat air sungai di sekitar kolam meluap di musim hujan (Jan-
Mar). Selanjutnya ikan-ikan yang terperangkap di dalam beje (saat akhir musim
hujan) akan dibiarkan selama beberapa bulan hingga akhirnya di panen (sekalian
dikeduk lumpurnya) menjelang dan selama musim kemarau (Juli – September).
Pola kolam beje dapat diciptakan dengan menabat/menyekat saluran-saluran eks
penebang liar. Dengan cara demikian air gambut dapat ditahan (menjaga gambut
tetap basah agar tidak terbakar), tapi disisi lain menghasilkan ikan. Tidak kurang
dari 16 jenis ikan yang terperangkap di dalam parit yang disekat (diantaranya ikan
Gabus, Lele, Betok, Sepat, dan Tambakan). (Suryadiputra et al. 2005)

Pengalihan sistem surjan di lahan gambut, dari padi dan palawija menjadi tanaman
agro-forestry perkebunan karet dan nenas pada bagian guludannya serta tanaman
rumput purun pada bagian tabukannya, dapat mengoptimalkan daya mitigasi GRK
di lahan gambut. Karena pada sistem surjan tidak dilakukan drainase air tanah
gambut. (Najiyati S et al. 2005). Untuk detail tekniknya, dapat membaca buku
sesuai referensi tersebut.

18
5. Kesimpulan dan Saran
- Mitigasi Perubahan Iklim di Lahan Gambut dapat dilakukan melalui: Restorasi
Hidrologi (Canal blocking), Rehabilitasi Vegetasi dan Penerapan kegiatan Best
Practice (kolam beje & surjan)
- Rewetting lahan gambut akan mencegah kebakaran, mencegah subsidensi,
menurunkan emisi GRK, dll
- Rehabilitasi vegetasi di lahan gambut, jika diperlukan, harus dilakukan setelah
restorasi Hidrology
- Penerapan PP No 71/2014, dimana penurunan air tanah gambut dibatasi 0,4 m
(emisi sekitar 35 ton CO2/Ha/th) akan berkontribusi menurunkan emisi
(emission savings) sebesar 60 ton CO2/Ha/tahun, dibandingkan jika air tanah
dibiarkan turun hingga 1 meter (dimana emisi pada kondisi demikian = 95 ton
CO2/Ha/th)
- Berbagai program pemerintah terkait rehabilitasi (seperti OBIT/ One Billion
Indonesian Trees oleh KemHut), program Kampung Iklim – KLH, program
Desa Pesisir Tangguh-KKP, Program Penanggulangan Bencana – BNPB) dan
kegiatan rehabilitasi/restorasi oleh inisiatif masyarakat luas termasuk LSM /
NGOs perlu di inventarisasi sebaran dan capaiannya; semuanya ini
berkontribusi terhadap upaya mitigasi.
- Hasil capaian / inventarisasi di atas dapat memperkaya informasi capaian
mitigasi GRK oleh Indonesia khususnya terkait komitmen penurunan GRK 26%
pada tahun 2020

19
DAFTAR PUSTAKA

Najiyati S, Muslihat L dan Suryadiputra INN. 2005. Panduan pengelolaan lahan


gambut untuk pertanian berkelanjutan. Bogor: Wetlands International - IP. xi + 231
hlm; 15 x 23 cm. ISBN: 979-97373-2-9

Peraturan Pemerintah RI No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Ekosistem Gambut

Wahyunto, Ritung S dan Subagjo H, 2003. Peta luas sebaran lahan gambut dan
kandungan karbon di Pulau Sumatera 1990 – 2002. Proyek Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme
dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Wahyunto, Ritung S dan Subagjo H. 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan
Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and
Carbon Content in Kalimantan, 2000 – 2002. Wetlands International - Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada. ISBN : 979-95899-9-1

Wahyunto, Heryanto B, Bekti H dan Widiastuti F, 2006. Peta-Peta Sebaran Lahan


Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Papua / Maps of Peatland Distribution,
Area and Carbon Content in Papua, 2000 - 2001. Wetlands International –
Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada.

Wibisono ITC, Siboro L dan Suryadiputra INN. 2005. Panduan Rehabilitasi dan
Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor: Wetlands International - IP, xxiii + 174
hlm; 15 x 23 cm. ISBN: 979-99373-0-2.

20

Anda mungkin juga menyukai