Anda di halaman 1dari 7

Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia1

oleh Ir. M. Donny Azdan, MA, MS, PhD dan Candra R. Samekto, MSc

1. Pendahuluan

Air merupakan sendi utama kehidupan manusia. Air bukan hanya sekadar memenuhi
kebutuhan mendasar manusia sebagai air minum, namun juga berfungsi untuk sumber penghidupan
seperti mengairi lahan pertanian, perikanan, hingga pembangkit listrik. Terdapat berbagai kegiatan
perekonomian lain juga sangat tergantung kepada ketersediaan air, bahkan air bisa menjadi salah
satu limiting factors dalam pertumbuhan ekonomi jika ketersediaannya sangat terbatas.

Kebutuhan air hampir dapat dipastikan mempunyai kecenderungan tidak sejalan dengan
tingkat ketersediannya baik terkait dengan dimensi waktu dan ruang, maupun jumlah dan kualitasnya.
Untuk itu manusia melakukan intervensi ke pola ketersediaan air melalui pembuatan tampungan-
tampungan air melalui pembangunan bendungan. Dengan tampungan ini diharapkan kelebihan air di
musim hujan dapat disimpan untuk digunakan di musim kemarau yang mempunyai tingkat kebutuhan
air relatif tinggi.

Bendungan juga bermanfaat untuk melakukan konservasi air. Dengan menahan air lebih
lama di darat sebelum mengalir kembali ke laut akan memberikan waktu untuk meresap dan
memberikan kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah. Meskipun nilai manfaat yang besar
tersebut, pembangunan bendungan juga menyimpan berbagai potensi permasalahan. Di dalam
makalah ini akan dipaparkan potret kondisi bendungan di Indonesia saat ini untuk menjadi masukan
bagi rencana pembangunan bendungan baru yang akan datang. Selain itu juga akan
direkomendasikan kebijakan penanganan bendungan-bendungan yang telah ada untuk meminimalkan
resiko dengan tetap mengoptimalkan keberlanjutan fungsinya.

2. Potret Kondisi dan Permasalahan Bendungan di Indonesia

Dari data yang telah dihimpun sebelumnya sejak tahun 1970-an, waduk di Indonesia
terutama di Pulau Jawa sudah mulai terganggu fungsinya. Dalam laporan Project Implementation Plan
for Dam Operational Improvement and Safety Project (DOISP) dijelaskan bahwa perubahan sangat
cepat terjadi pada kurun 1990-an sampai tahun 2000. Dari tiap 100 hektar lahan di kawasan
tangkapan air mengalami konversi sebanyak 60 persennya. Hal ini tentunya berakibat meningkatkan
sedimentasi di dasar waduk. Sebagai contoh; survei terhadap tingkat erosi dan sedimentasi yang
dilakukan tahun 1980-an terhadap Waduk Wonogiri sudah menunjukkan tingkat sedimentasi yang
sangat tinggi hingga mengakibatkan pendangkalan. Setiap tahun laju sedimentasi akibat erosi di
Waduk Gajah Mungkur Wonogiri mencapai 3 juta m3. Bagian penampung sedimen kini daya
tampungnya berkurang dari 500 juta m3 menjadi 300 juta m3.

Pada Tabel 3 di bawah ini diperlihatkan nilai resiko kerusakan bendungan yang terjadi di
Indonesia (DPU, 2008). Besaran tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam tingkatan low, moderate,
high, dan extreme dimana penilaian low berkisar antara nilai 0 – 15, penilaian moderate berkisar
antara nilai 16 – 45, penilaian high berkisar antara nilai 46 – 75, dan penilaian extreme berkisar antara
nilai 76 - 90. Faktor – faktor yang menjadi acuan dalam penilaian di atas mencakup penilaian terhadap
kapasitas eksisting volume tampung bendungan, ketinggian bendungan, persyaratan evakuasi

1 Dipresentasikan dalam Seminar Komite Nasional Indonesia untuk bendungan Besar (KNI-BB) atau
Indonesian National Committee on Large Dams (INACOLD) di Surabaya 2-3 Juli 2008

1
terhadap kerusakan bendungan, potensi kerusakan daerah hulu, catatan historis terhadap jadwal
pemeliharaan bendungan, kapasitas jagaan banjir, dan stabilitas struktur bendungan terhadap potensi
gempa bumi yang terjadi. Dari data ini dapat dilihat bahwa sebagian bendungan besar di Indonesia
telah termasuk kedalam resiko kerusakan tinggi, seperti Sermo dan Wonorejo. Dalam laporan
tersebut juga disebutkan bahwa Selorejo mempunyai tingkat resiko kerusakan paling tinggi.

RISK SCORE OF INDONESIAN DAM

70

60

50
SCORE

40

30

20

10

Tabel 1: Penilaian Resiko Bendungan di Indonesia


Sumber : Project implementation Plan for DAM Operational Improvement and Safety Project (2008)

Waduk yang dirancang memiliki umur efektif pemanfaatan selama 100 tahun kini hanya
memiliki sisa waktu selama sekitar 10 tahun, dari 30 tahun sisa umur layanan rencananya. Waduk
Wonogiri dibangun mulai 1977 hingga selesai 1982. Artinya waduk telah beroperasi 25 tahun. Waduk
Wonogiri memiliki daya tampung total 780 juta m3, meliputi 120 juta m3 untuk penampungan sedimen,
440 juta m3 untuk menampung air baku, dan 220 juta m3 pengendalian banjir dengan masa operasi 25
tahun. dari sumber informasi yang didapatkan dari Departemen Pekerjaan Umum, saat ini sedimen
telah terisi 58 juta m3 atau 49% dari daya tampung awal. Pada Waduk Wonorejo terdapat delapan
sistem sungai yang masuk waduk, yaitu Keduang, Tirtomoyo, Temon, Solo Hulu, Alang, Unggahan,
Wuryantoro, dan Remnan, dimana penyumbang sedimen terbesar adalah DAS Keduang karena
sebagian besar daerahnya merupakan permukiman, lahan pertanian, tegalan yang rentan terjadinya
erosi permukaan dan sumber sedimen.

Selain Gajah Mungkur nampak bahwa waduk-waduk lain di Jawa juga menghadapi masalah
yang sama, pendangkalan oleh sedimentasi akibat erosi di bagian hulu dan DAS. Waduk itu antara
lain adalah Kedung Ombo yang mengairi Pati, Kudus, dan Demak. Waduk Mrica untuk wilayah
Wonosobo dan Rawa Pening mengairi wilayah Ambarawa.

2.1. Analisa Permasalahan Bendungan di Indonesia

Potensi permasalahan pembangunan bendungan dapat dibagi menjadi dua hal utama yaitu
(1) dampak dari konstruksi bendungan, dan (2) paska konstruksi atau masa pemanfaatan dari
bendung. Pembangunan bendungan tidak bisa dipungkiri akan memberikan dampak yang besar baik

2
bagi lingkungan maupun sosial. Pembebasan lahan untuk daerah genangan dan lokasi tubuh bendung
telah menjadi isu yang sering kali mengemuka. Dengan mudahnya sharing informasi sebagai
konsekuensi majunya teknologi akan menempatkan isu pemindahan penduduk ini menjadi isu global
yang menjadi concern dunia internasional. Permasalahan yang sering dikaitkan dengan isu hak asasi
manusia ini akan menghambat pelaksanaan pekerjaan pembangunan bendungan, bahkan bisa
menghasilkan keputusan pemberhentian pelaksanaan pembangunan. Tidak sedikit pula protes dari
para pemerhati lingkungan terhadap potensi perubahan lingkungan yang akan ditimbulkan.

Potensi permasalahan tidak berhenti seiring dengan selesainya pelaksanaan konstruksi.


Masih terdapat isu-isu lain dalam tahap pemanfaatan bendungan ini, yaitu (1) potensi kegagalan
konstruksi yang akan mengancam masayarakat yang bermukim di hilir bendungan, dan (2)
permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan.

Mengingat sifatnya yang termasuk kedalam heavy construction maka bendungan menyimpan
potensi bahaya yang besar. Namun di sisi lain, pada saat ini pemeliharaan merupakan suatu tahapan
pasca konstruksi yang sering terabaikan bahkan terlupakan. Hasrat untuk membangun terkadang tidak
diimbangi oleh kemampuan dari setiap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk memelihara apa
yang telah dibangun. Potensi kegagalan dan kerusakan yang terjadi pada bendungan di Indonesia
sangat terkait dengan rendahnya tingkat pemeliharaan termasuk di dalamnya sistem monitoring
keamanan bendungan. Akibat minimnya biaya Operasi dan Pemeliharaan (OP) yang dianggarkan oleh
pemerintah saat ini yang tidak sebanding dengan tingginya biaya pemeliharaan bendungan, maka
tingkat resiko kerusakan bendungan akan semakin tinggi.

Meninjau permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan,


sedimen yang menyebabkan kritisnya kondisi bendungan diIndonesia pada umumnya diakibatkan oleh
tingginya tingkat erosi yang terjadi di daerah hulu bendungan, akibat maraknya pengalihan fungsi
lahan hutan menjadi lahan permukiman penduduk atau areal pertanian baru. Dengan adanya
tumpukan sedimen dibeberapa wilayah tersebut, maka daya tampung air waduk atau bendungan pada
waktu musim hujan menjadi semakin berkurang yang pada akibatnya mengakibatkan banjir, ditambah
lagi pemenuhan kebutuhan air baku baik untuk air minum, industri maupun air untuk irigasi tidak
sesuai dengan desain layanan yang telah direncanakan sebelumnya.

Seperti disampaikan di atas, yang menjadi penyebab utama pengurangan kapasitas


tampungan bendungan-bendungan di Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi yang disebabkan
karena adanya kerusakan hutan budidaya dan lahan pertanian di daerah hulu. Oleh karena itu upaya-
upaya vegetasi dalam konservasi hutan harus dilakukan secepatnya . Upaya vegetasi ini tidak bisa
langsung dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam jangka waktu tersebut kebutuhan air semakin
meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat maupun pertambahan penduduk.

Upaya yang dilakukan pemerintah selama ini adalah bagaimana agar bagian penampung
sedimen tidak cepat penuh, antara lain dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun cekdam
penampung sedimen, dan mengonservasi areal penangkap air hujan di sekitar waduk, mencegah
erosi, yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak
menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali.

3. Belajar dari Pengalaman

Mengingat potensi permasalahan yang ada sekaligus melihat potret kondisi bendungan-
bendungan di Indonesia saat ini, maka dapat diambil sebagai spelajaran dalam memformulasikan
kebijakan pembangunan dan penanganan bendungan ke depan. Dalam paparan kami mencoba
membagi kebijakan menjadi dua opsi utama, yaitu (1) Kebijakan pembangunan bendungan baru, dan
(2) Kebijakan terhadap bendungan yang telah ada.

3
3.1. Kebijakan Pembangunan Bendungan Baru

Dalam kebijakan pembangunan bendungan baru, pemerintah harus lebih berhati – hati
sesuai dengan beberapa fakta kondisi bendungan di Indonesia seperti pada apa yang telah diuraikan
di atas. Mengingat kebutuhan investasi yang sangat besar dalam pembangunan bendungan, embung-
embung skala kecil dan menengah bisa menjadi salah opsi dalam menyediakan tampungan air. Selain
itu, lebih luasnya kesempatan partisipasi masyarakat dalm operasi dan pemeliharaan embung akan
menjadi point tambahan dalam mempertimbangkan opsi ini.

Perlu diingat pula bahwa fungsi bendungan juga sekaligus untuk sarana konservasi guna
meningkatkan muka air tanah di daerah hulu dikarenakan air yang ditampung akan terserap ke dalam
tanah. Oleh karena itu diharapkan pembangunan embung skala kecil dan medium dengan jumlah
yang lebih banyak akan meningkatkan distribusi peningkatan muka air tanah. Selain fungsi tersebut
hal ini juga dapat menurunkan dan meringankan kapasitas tampungan banjir yang harus dilayani
daerah hilir. Debit banjir di daerah hulu akan dapat didistribusikan dan ditampung secara sementara
oleh bendungan- bendungan skala kecil dan menengah di daerah tersebut.

Berbeda halnya apa yang terjadi di Pulau Jawa. Melihat kenyataan karakteristik sungai –
sungai di pulau Jawa yang cenderung pendek dan tajam akan lebih cocok untuk pembangunan
bendungan. Namun pembangunan bendungan baru akan memberikan dampak sosial tinggi terkait
dengan isu resettlement mengingat tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang sangat tinggi.

Baik dalam investasi pembangunan waduk maupun embung, pemerintah harus


memperhatikan aspek Integrated Water Resources Management (IWRM) mengingat bahwa intervensi
ini memberikan dampak yang cukup besar dan memerlukan penanganan yang menyeluruh.
Penanganan yang terintegrasi antara hulu-hilir, air permukaan dan air tanah, antar sector maupun
antar wilayah ini akan mendukung keberlanjutan fungsi dan mengoptimalkan manfaatnya. Pengelolaan
daerah hulu akan mempertahankan laju sedimentasi yang akan masuk ke tampungan waduk sehingga
dapat memperpanjang umur manfaat waduk. Konsolidasi antar wilayah dan antar sector akan
meminimalkan konflik antar pengguna air dan sekaligus menentukan peran dan tanggungjawab
masing-masing pihak. Pembangunan bendungan juga harus didukung setting kelembagaan yang
mampu mengakomodasi tanggungjawab pengelolaan asset tersebut.

Pada akhirnya perlu ditekankan bahwa perencanaan pembangunan bendungan ke depan


membutuhkan:
• Perencanaan pembebasan lahan dan pemukiman penduduk yang matang dengan
melibatkan peran serta masyarakat untuk meminimalisasi gejolak sosial yang
ditimbulkan. Selain itu diperlukan penanganan keseluruhan DAS secara terintegrasi dan
menyeluruh terutama di daerah hulu untuk menjamin keberlanjutan fungsi bendungan.
• Perhitungan prediksi tingkat sedimentasi yang akurat dan tepat yang memperkirakan
perubahan tata guna lahan sampai dengan 25 - 50 tahun kedepan
• Perencanaan bangunan pengendali sedimen di hulu bendungan yang merupakan satu
paket perencanaan bendungan sehingga dapat mengurangi beban sedimen yang masuk
ke tubuh bendungan.
• Pedoman Operasi dan Pemeliharaan (SOP) yang sesuai dengan karakteristik setiap
bendungan sehingga bendungan yang telah direncanakan dapat memenuhi usia
layanan bendungan sesuai dengan apa yang telah menjadi perencanaan sebelumnya.
• Sosialisasi yang baik dalam proses pemeliharaan, berupa pengerukan sedimen
bendungan, rehabilitasi outlet dan inlet serta tindakan teknis lainnya, sehingga
masyarakat dapat berperan aktif dalam melaksanakan fungsi kontrol dan dapat lebih
bersahabat dengan bendungan yang ada di arealnya.

4
• Rencana Tindak Darurat (RTD), dalam setiap perencanaan bendungan harus didukung
dengan adanya suatu Rencana Tindak Darurat (RTD) yang disesuaikan dengan
karakteristik setiap bendungan, sebagai salah satu standar dalam pengamanan
bendungan apabila terjadi kegagalan bendungan. Pada RTD tersebut harus dapat
tercantum Klasifikasi Tingkat Bahaya Bendungan (Hazzard Classification) yang memuat
tingkatan – tingkatan bahaya, potensi kerusakan, dan upaya yang harus dilakukan dalam
rangka mengeliminir kerugian dan korban jiwa. Setiap bendungan yang dibagun harus
memiliki permodelan bahaya (Hazzard Model) yang diketahui dan dapat diakses oleh
masyarakat atau stake holder yang terkait, sehingga setiap komponen yang terlibat di
dalamnya memiliki kesiagaan yang lebih baik dalam menghadapi kegagalan bendungan
yang terjadi di kemudian hari.

3.2. Kebijakan Penanganan Bendungan yang Sudah Terbangun

Untuk menangani bendungan yang telah ada, pertama-tama diperlukan penanganan yang
cukup mendesak untuk mengembalikan kapasitas tampungan yang pada akhirnya dapat
meningkatkan fungsi bendungan itu sendiri. Pembilasan kembali waduk – waduk dengan tingkat
sedimen tinggi bisa menjadi salah satu alternatif selain upaya pengerukan (dredging). Dalam hal ini
perlu adanya perancangan desain terhadap low level outlet sehingga waktu pengurasan sedimen
dapat dilakukan lebih cepat. Pengerukan kembali waduk – waduk yang memiliki tumpukan sedimen
besar perlu disertai analisis mendalam terhadap dampak lingkungan hidup terkait dengan adanya
kandungan contaminated sludge.

Selain itu, pemerintah perlu merevisi kembali manual prosedur operasi dan pemeliharaan dari
bendungan yang ada di Indonesia, terutama yang memiliki tingkat resiko sedimen dan kerusakan
tinggi. Dengan menerapkan sistem ini maka upaya yang dilaksanakan tidak hanya menyentuh sektor
fisik semata, namun juga akan menyentuh sektor sosial yang turut menentukan dalam
keberlangsungan fungsi bendungan kedepan.

Dalam upaya mengimplementasikan IWRM perlu diingat kembali prinsip-prinsip dasar dalam
pendekatan terintegrasi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi -
economic growth, kesetaraan sosial -social equity, dan keberlanjutan lingkungan - environmental
sustainability (Gabbrielli, 2006). Permasalahan yang terjadi di catchment area tidak hanya
permasalahan lingkungan saja, tetapi mungkin justru berasal dari masalah-masalah sosial. Isu konflik
kepentingan dalam penggunaan lahan, kemiskinan serta rendahnya pendapatan penduduk di
kawasan hulu dan sekitar areal bendungan harus menjadi perhatian utama, dalam rangka mendukung
pelaksanaan IWRM.

Selain itu, perlu ditekankan pula pentingnya monitoring dan pemeliharaan yang
berkesinambungan terhadap instrumen pemantau sedimen di setiap bendungan, sehingga sedimen
tersebut tidak tertumpuk terlalu lama di dasar bendungan yang mengakibatkan volume pengerukan
menjadi sangat besar di kemudian hari. Pengoptimalan kembali fungsi bangunan cek-dam juga dapat
dioptimalkan agar sedimen sudah dapat termitigasi sebelum masuk ke dalam bendungan. Operasi dan
pemeliharaan cek dam ini dapat memanfaatkan kelembagaan komunitas penggali pasir yang berbasis
masyarakat sehingga dicapai bentuk kerjasama yang sinergis dan saling menguntungkan.

4. Dampak Kebijakan Bandungan terhadap Optimalisasi Sumber Energi Primer

Mengingat potensi tenaga air dengan head yang besar, sangat disadari bahwa bendungan
juga berfungsi sebagai sumber energi primer melalui pembangkit listrik tenaga airnya (PLTA). Kondisi
kritis yang dialami bendungan-bendungan besar secara tidak langsung akan mempengaruhi kapasitas

5
listrik yang dihasilkan. Kabijakan terkait bendungan yang diterapkan juga akan berdampak terhadap
pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik.

Isu global warming maupun climate change akibat dari penumpukan green house gasses
(GHGs) ditambah harga minyak dunia yang semakin melonjak telah memaksa pemerintah untuk
mencari sumber energi primer yang lebih ramah lingkungan dan renewable. Keputusan pemerintah
untuk lebih berhati-hati dalam pembangunan bendungan baru akan mengarahkan kepada pencarian
alternative sumber energi primer yang lain dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional, misalnya
panas bumi. Dengan strategi pengelolaansumber daya air ke arah pembangunan tampungan air skala
kecil dan menengah akan menyebabkan potensi tenaga air tidak akan bisa dimanfaatkan secara
maksimal. Tapi keputusan ini merupakan konsekuensi dari potensi permasalahan yang akan
ditimbulkan dalam pembangunan bendunganbesar. Di lain sisi, optimalisasi PLTA yang sudah
terbangun telah sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan fungsi bendungan
melalui rehabilitasi waduk dan penanganan kawasan tangkapan air.

6
5. Referensi

Balai Besar Sungai Bengawan Solo. (2008). Dipresentasikan di Departemen Pekerjaan Umum tanggal
11 Januari 2008.
Balai Keamanan Bendungan. (2006) Kegagalan Bendungan di Indonesia. Direktorat Sungai, Danau
dan Waduk, Departemen Pekerjaan Umum
Balitbang Pekerjaan Umum. (2003). Bendungan Besar di Indonesia. Proyek Pembinaan Teknis
Pembangunan dan Pengamanan Waduk, Direktorat Jendral Pengairan, Departemen
Pekerjaan Umum
Departemen Pekerjaan Umum (2008) Project Implementation Plan for Dam Operational Improvement
and Safety Project (DOISP). Water Resources and Irrigation Sector Management Project
(WISMP)
Dinas Infokom Jatim. (2004). Minimalkan Resiko, Pemerintah Susun Operasi Pemeliharaan Dan
Pengamanan Bendungan. Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.d-infokom-
jatim.go.id/news.php?id=1148. Surabaya: Pemda Jatim
Gabbrielli, E. (2006) Why Integrated Water Resources Management is relevant to water utilities.
Diakses 11 Juni 2008, dari http://www.adb.org/water/operations/2006/ Gabbrielli.pdf.
Kemitraan Air Indonesia. (2008). Bendungan di Indonesia dalam Kondisi Kritis Akibat Sedimentasi.
Diakses 11 Juni 2008, dari www.inawater.com/news/ wmview.php. Jakarta : KAI
Kuswardono, T. (2006). Bendungan Jatigede, Pengulangan Sejarah Kegagalan. Diakses 11 Juni 2008,
dari http://www.walhi.or.id/kampanye/air/bendungan/061026_ jatigede_li/ . Jakarta:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Maryono, E., et al. (2004). Atasi Krisis Air, Haruskah Dengan Bendungan Besar ? Diakses 11 Juni
2008, dari http://www.suarapublik.org/index.php?option=com_content&task
=view&id=67&Itemid=26 .Jakarta: Suara Publik, Jaringan Informasi Kebijakan Publik
Washington Departemen of Ecology. (2005) Dam Safety Guidelines. Washington

Anda mungkin juga menyukai