Anda di halaman 1dari 3

Program Penanggulangan Banjir (Konsep Eko Hidraulik) Duwi Santosa Selasa, 23 April 2013 PENDEKATAN MASALAH

Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya serta Jepang sudah meninggalkan konsep kuno hidraulik murni dan memulai era baru yaitu ecological hydraulic . Konsep ecological hydraulic (eko-hidraulik) yang dimulai tahun 1980-an, dewasa ini di Eropa, Amerika dan Jepang sudah sampai pada tahap implementasi yaitu restorasi sungai . dengan banyaknya proyek-proyek renaturalisasi atau

Program renaturalisasi tersebut diantaranya adalah dengan :


Membelok-belokkan lagi sungai yang dulunya telah diluruskan. Mengganti usulan pelurusan, sudetan, tanggul dan pembuatan talud sungai dengan proyek reboisasi dan renaturalisasi sempadan sungai. Menghidupkan oxbow sungai lama dengan membuka tanggul pelurusan yang membatasinya. Memelihara kealamiahan sungai-sungai menengah mengkonservasi sungai-sungai besar yang masih alami. dan kecil dan

Mengganti taludisasi sungai dengan membebaskan areal sempadan sungai untuk konservasi. dll.

Sementara itu sangat ironis sekali kita di Indonesia justru sedang ramai-ramainya menyudet, meluruskan, membuat tanggul dan membuat beton dinding sungai secara besar-besaran.

Embung Nglanggeran, Yogyakarta (salah satu bentuk konsep eko-hidraulik)

PELAKSANAAN PROGRAM (KONSEP EKO-HIDRAULIK) Dalam penanggulangan banjir dengan konsep eko-hidraulik dikenal kunci pokok penyelesaian banjir, yaitu bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS), Wilayah Sungai (WS), Sempadan Sungai (SS), dan Badan Sungai (BS) harus dipandang sebagai kesatuan sistem dan ekosistem ekologi hidraulik yang integral. Penyelesaian banjir harus dilakukan secara komprehensif dengan metode menahan atau meretensi air di DAS bagian hulu , tengah dan hilir, serta menahan air di sepanjang wilayah sungai, sempadan sungai, dan badan sungai di bagian hulu, tengah dan hilir.

Jadi dalam konsep dasar penanggulangan banjir eko-hidraulik adalah dengan meretensi air dari hulu hingga hilir secara merata. Cara ini sekaligus merupakan cara menanggulangi kekeringan suatu kawasan atau DAS, karena sebenarnya banjir dan kekeringan ini merupakan kejadian yang saling susul dan saling memperparah. Dalam menahan air ini diberlakukan konsep keseimbangan alamiah, dalam arti mengacu pada kondisi karakteristik alamiah sebeumnya.

Penanganan banjir dengan konsep ekologi-hidraulik secara konkret dimulai dari : 1. DAS bagian hulu dengan reboisasi atau konservasi hutan untuk meningkatkan retensi dan tangkapan air di hulu. Selanjutnya reboisasi juga mengarah ke DAS bagian tengah dan hilir. Secara selektif membangun atau mengaktifkan situ atau embung-embung alamiah di DAS yang bersangkutan.

2. Penataan tata guna lahan yang meminimalisir limpasan langsung dan mempertinggi retensi dan konservasi DAS. 3. Di sepanjang wilayah sungai serta sempadan sungai tidak perlu diadakan pelurusan dan sudetan atau pembuatan tanggul, karena cara-cara ini bertentangan dengan kunci utama retensi banjir. 4. Sungai yang bermeander justru dipertahankan sehingga dapat menyumbangkan retensi, mengurangi erosi, dan meningkatkan konservasi. 5. Komponen retensi alamiah di wilayah sungai, di sepanjang sempadan sungai dan badan sungai justru ditingkatkan, dengan cara menanami atau merenaturalisasi sempadan sungai yang telah rusak. 6. Erosi tebing sungai harus ditangani dengan ekologi eko-engineering dengan menggunakan vegetasi setempat. 7. Memfungsikan daerah genangan atau polder alamiah di sepanjang sempadan sungai dari hulu sampai hilir untuk menampung air. 8. Mencari berbagai alternatif untuk mengembangkan kolam konservasi alamiah disepanjang sungai atau lokasi-lokasi yang memungkinkan baik di perkotaanhunian atau di luar perkotaan. Genangan-genangan alamiah ini berfungsi meretensi banjir tanpa menyebabkan banjir lokal karena banjir dibagi-bagi di DAS dan di sepanjang wilayah, sempadan dan badan sungai. 9. Konsep drainase konvensional yang mengalirkan air buangan secepatcepatnya ke hilir perlu direvisi dengan mengalirkan secara alamiah (lambat) ke hilir, sehingga waktu untuk konservasi air cukup memadai dan tidak menimbulkan banjir. 10. Di samping solusi eko-hidro-teknis tersebut, sangat di diperlukan juga pendekatan sosio-hidraulik sebagai bagian dari eko-hidraulik dengan meningkatkan kesadaran masyarakat secara terus-menerus akan peran mereka dalam ikut mengatasi banjir.

SUMBER REFERENSI : Maryono, A., 2007. Restorasi Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Maryono, A., 2005. Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai. Yogyakarta : Magister Sistem Teknik Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai