Anda di halaman 1dari 11

RESTORASI SUNGAI

Sungai dan daerah bantarannya banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk


berbagai kegunaan, sehingga terjadi degradasi (penurunan) kemampuan sungai
untuk mendukung berbagai macam fungsinya.
Restorasi sungai adalah mengembalikan fungsi alami/renaturalisasi sungai yang
telah terdegradasi oleh intervensi manusia. Restorasi sungai merupakan perubahan
paradigma dalam ilmu rekayasa sungai (river engineering) yaitu perubahan dari pola
penyelesaian berdasarkan aspek teknik sipil hidro secara parsial menjadi
penyelesaian terintegrasi aspek hidraulik, fisik, ekologi, dan sosial.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki
kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Mengkaji dari konsep pembangunan berkelanjutan dan restorasi sungai maka
dapat disimpulkan bahwa restorasi sungai adalah jawaban dari pembangunan sungai
yang berkelanjutan yaitu restorasi sungai bertujuan memperbaiki
kehancuran lingkungan sungai tanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Salah satu bentuknya dengan menginisiasi dan mendorong peran serta
komunitas pemerhati sungai. Kita harus memahami bahwa Indonesia kaya dengan
sumberdaya air, namun sering mengalami banyak persoalan justru karena air
disebabkan oleh kurang siapnya atau salah mengelola air hujan yang berakibat
peristiwa banjir dan tanah longsor saat musim hujan, sebaliknya kekeringan di musim
kemarau.
Keberadaan sungai dan air merupakan sumber kehidupan, untuk itu diperlukan
pemeliharaan dan pengelolaan secara serius, mindset sungai di belakang sebagai
tempat pembuangan limbah rumah tangga dan menampung sampah harus dirubah
sungai ada di depan rumah, sebagai halaman rumah yang selalu harus dibersihkan
dan dipelihara, selanjutnya sungai kembali menjadi habitat ikan sungai.
Sungai yang mempunyai karakteristik yang khas harus dicermati persoalan dan
potensinya, persoalan tersebut berasal dari pemanfaatannya, pencemaran,
maupun budidaya masyarakat sekitar sungai.
Sungai juga memiliki potensi yang dapat dioptimalkan, sebagai heritage area,
sumber mata air, habitat kehidupan ikan sungai, dan komunitas penggiat sungai.
Dalam menjaga kelestarian sumber daya air dapat dimulai dari diri sendiri sebagai
upaya yang paling mendasar yaitu dengan tidak membuang sampah sembarangan
di sungai.
UMS telah memanfaatkan sebagaian luasan kampus untuk ruang terbuka hijau
berupa edu-park di kampus utara dan sebagian luasannya untuk telaga/situ yang
akan berfungsi menampung/menangkap air hujan sekaligus memberi imbuhan air
tanah di zone bawah lapisan lahan dan mengurangi air yang mengalir di atas lahan
yang menjadi banjir.
Upaya membangun tampungan air dinamakan upaya structural, sedangkan
upaya non struktural adalah upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap
sumber daya air khususnya sungai yang selama ini selalu dijadikan tempat
pembuangan sampah dan limbah industri dan limbah rumah tangga.
Saat ini terjadi peningkatan debit banjir dua kali lipat akibat sedimentasi dan
sampah, sehingga gerakan restorasi sungai yang akan mengembalikan fungsi
alami/renaturalisasi sungai yang telah terdegradasi oleh intervensi manusia.
Gerakan masyarakat sekitar sungai untuk memelihara sungai ini akan
menjadikan adanya ruang terbuka publik di sepanjang sungai untuk edukasi, rekreasi
(amphiteater), olahraga (jogging track, luncuran rafting), dan membuka peluang
pemberdayaan masyarakat sekitar sungai.
Terbentuknya komunitas-komunitas yang memelihara sungai, bekerja sama
untuk kelestarian sumber air sungai, tidak membuang sampah, tidak membangun
permukiman di badan sungai selanjutnya masyarakat akan dapat menikmati river
view.
Gerakan restorasi sungai akan mengembalikan fungsi sebagaimana sungai
zaman dahulu yang erat sekali dengan kehidupan manusia, kota-kota umumnya
tumbuh disekitar daerah aliran sungai, sungai memberikan banyak manfaat seperti
air bersih, bahan pangan, energi, lalu lintas air, dan kebutuhan lainnya.
Kita menyadari bahwa seiring dengan bertambahnya kawasan terbangun di
perkotaan dan meningkatnya populasi, banyak sungai menjadi tercemar dan rusak.
Kerusakan itu telah mematikan berbagai organisme, menghancurkan lansekap
sungai yang indah dan meningkatkan daya rusak banjir, sehingga menurunkan daya
dukung perkotaan.
Hal ini yang menjadikan restorasi sungai dan ekosistemnya menjadi kebutuhan
yang mendesak untuk segera dilakukan agar generasi mendatang tetap memperoleh
manfaat dari sungai tersebut.
Gerakan restorasi sungai di Korea Selatan telah dimulai pada 1960 yang
berkonsentrasi pada penanganan banjir. Memasuki 1980 aksi restorasi sungai mulai
menyentuh pada peningkatan kualitas air sungai dan perbaikan ekosistem dengan
cara melakukan purification of polluted river.
Studi kasus restorasi Sungai Yangjecheon yang dimulai tahun 1990 dilanjutkan
di awal 2000 dengan merestorasi Sungai Jungrangcheon, Ceonggyecheon, dan
Anyangcheon. Dalam kurun waktu tersebut pemerintah Korea Selatan juga
menerbitkan kebijakan, panduan dan standar pengelolaan sungai.
Restorasi sungai-sungai di Seoul dilakukan dengan tujuan memurnikan air
sungai dari polutan, memerbaiki ekosistem, membentuk tempat pembelajaran alam,
peningkatan lansekap sungai, dan membentuk Eco-corridor dan open space.
Hasil restorasi ini cukup signifikan. Tejadi peningkatan sangat tinggi terhadap
kualitas hidup perkotaan, kualitas air menjadi baik, meningkatnya kualitas ekosistem
sungai dan daya saing kawasan, serta nilai properti semakin membaik. Restorasi
sungai tidak selesai hanya dengan melakukan penghijauan di sekitar aliran sungai,
akan tetapi juga merestorasi daerah alirannya (DAS), meminimalisir pencemaran
yang dilakukan oleh manusia, dan yang tidak kalah pentingnya adalah merestorasi
hubungan yang baik antara manusia dan sungai.
Membangun kesadaran dan tanggung jawab betapa pentingnya sungai dan
ekosistem yang ada didalamnya bagi keberlanjutan kehidupan flora dan fauna
maupun manusia yang menerima manfaatnya.
Belajar dari Korea Selatan inilah, bahwa dalam restorasi sungai pemerintah
membuat perencanaan dan desain yang sedekat mungkin dengan alam, mengetahui
sejarah dan budaya yang membentuk sungai tersebut, mengetahui dinamisme
terbentuknya sungai, beradaptasi dengan iklim, menjaga keutuhan daerah aliran
sungai (DAS), dan yang tidak kalah pentingnya adalah bekerja sama dengan
komunitas masyarakat lokal.
Jejaring dengan komunitas dan stakeholder sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat tentang pentingnya peran tata ruang dalam
mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Ratusan
penggal pelurusan sungai dan ratusan proyek pembuatan talud sungai di Indonesia
ternyata telah menyebabkan keruskan ekosistem sungai dan mematikan fungsi
sungai sebagai habitat dan menciptakan bahaya banjir dan erosi lebih besar di
bagian hilir.
Pembangunan sempadan sungai yang justru menghilangkan jalur hijau
sempadan sungai ternyata tidak ramah lingkungan dan telah menggiring kita ke
permasalahan ketidak sehatan sungai yang lebih berat.
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011 menarik untuk dicermati bahwa sungai
adalah sebuah ekosistem yang terdiri dari palung sungai dan sempadan sungainya
yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem sungai dan daratan, harus dilakukan
perlindungan dari hulu sampai hilir.
Dengan demikian pengelolaan sungai dan sempadannya harus berbasis pada
konsep ekosistem hulu hingga hilir baik pada palung sungai maupun sempadan
sungainya. Sungai perlu mendapatkan perlindungan pada aliran pemeliharaan dan
pada ruas restorasi sungai. Berdasarkan perkembangan dan latar belakang tersebut,
maka perlu dilakukan upaya pemeliharaan ekosistem sungai (palung dan sempadan)
atau upaya me-renaturalisasi sungai atau restorasi sungai (river restoration).
Hal ini sekaligus sebagai usaha koreksi terhadap kekurangan konsep
pengelolaan alur sungai dekade lalu dan sebagai upaya pengereman laju pentalutan
sungai, pelurusan sungai, pemindahan sungai dan pembabatan tanaman sempadan
sungai.
Lokasi renaturalisasi dapat dipilih secara selektif, sehingga restorasi sungai
melalui penghijauan sempadan sungai bermanfaat secara integral bagi kelestarian
ekosistem sungai, bagi kegiatan pariwisata sungai dan pemanfaatan sumberdaya air
sungai, dan bagi penanggulangan bencana banjir.
Berbagai macam metode renaturalisasi yang sedang giat dilakukan di beberapa
negera di Eropa dan Kanada, Amerika, Jepang dan lain-lain kiranya dapat
diimplementasikan di Indonesia. Di antara metode tersebut adalah: membuka
kembali tanggul yang menutup Oxbow sungai lama (seperti di Grogol, Sukoharjo
dengan mengaktifkan Oxbow kembali menjadi sungai tanpa harus menutup sungai
sudetan), menanami bantaran dan tebing sungai yang telah diluruskan; menginisiasi
sungai yang diluruskan menjadi meander kembali; membangun pulau buatan di
sungai; memperlebar bantaran banjir disepanjang sungai, membanguan tangga ikan
pada bendung dan ground sill, dan menginisiasi munculnya habitat aquatik dan
amphibie sungai (Maryono, 2006).
Di samping cara tersebut, masih banyak lagi cara renaturalisasi lainnya dengan
prinsip merubah mendekati kondisi sungai aslinya. Sungai-sungai di Indonesia
terutama di daerah perkotaan dan daerah sub-urban, banyak mengalami kerusakan
daerah sempadannya misalnya pada sempadan didirikan rumah, dipasang talud
perkutan tebing dipasang side pile dan lainnya.
Sebenarnya sempadan sungai mempunyai manfaat yang sangat signifikan
terhadap kelestarian sungai dan sumberdaya air secara umum. Berdasarkan kajian
integral eko-hydraulik (Maryono, 2006), beberapa fungsi utama sempadan sungai
adalah sebagai berikut: (1) memperbesar infiltrasi air limpasan; (2) memelihara aliran
dasar sungai; (3) melindungi tebing sungai dari pengikisan dan erosi; (4) memberikan
ruang bagi alur sungai untuk bergerak secara lateral; dan (5) mempertahankan
kualitas habitat amphibie (ular, katak, dll.), organisme akuatik (ikan, kepiting, udang,
dan sebagainya). *) Wakil Ketua LPPM UMS Bidang Pengabdian Masyarakat

Bencana banjir yang tempo lalu terjadi di kota-kota di Indonesia di awal tahun
2014 ini merupakan pertanda bahwa adanya ketidakseimbangan ekologi antara
pembangunan dengan kondisi alam. Banjir umumnya terjadi karena air limpasan
tidak mengalir sempurna pada saluran drainase dan tidak banyak meresap ke dalam
tanah atau vegetasi. Bencana banjir akhir-akhir ini tidak hanya terjadi di Kota
Semarang saja, tetapi juga terjadi di beberapa kota/kabupaten di jalur pantura Pulau
Jawa yang sebelumnya jarang terjadi banjir, sebut saja Kendal, Kudus, Pemalang,
dan lainnya. Salah satu penyebab dari ketidakseimbangan kondisi ekologi ini terlihat
dari peran sungai yang sudah tidak berfungsi optimal. Kondisi yang paling umum
adalah pendangkalan sungai akibat endapan yang terlalu tinggi. Akibatnya, sungai
tidak sanggup menampung debit air yang tinggi seperti saat ini. Kondisi tersebut
diperparah juga dengan perilaku masyarakat sekitar yang cenderung “mengabaikan”
sungai. Kebanyakan sungai di perkotaan penuh sampah, memiliki kualitas air yang
buruk, bahkan dijadikan lokasi MCK. Seringkali sepanjang bantaran sungai menjadi
lokasi “kantong kemiskinan” yang ditinggali masyarakat berpenghasilan rendah.
Vollmer dan Gret-Regamey (2013) dalam penelitiannya di Sungai Ciliwung
menyebutkan bahwa di negara berkembang seringkali pembangunan infrastruktur
perkotaan jauh tertinggal dibanding pertumbuhan penduduk. Akibatnya, masyarakat
berpenghasilan rendah memilih bertempat tinggal di sepanjang bantaran sungai
untuk memenuhi kebutuhan air, sanitasi, dan rekreasi dengan mudah. Adanya
penghuni di bantaran sungai tentu akan memberikan peluang sampah rumah tangga
menggenangi sungai. Bukan salah masyarakat saja, pemerintah pun juga
berkontribusi karena tidak tegasnya perlindungan daerah aliran sungai sebagai
kawasan konservasi. Tidak adanya akses hunian vertikal murah (misal rusunawa)
juga menjadikan lahan terbuka semakin terbatas karena dijadikan rumah-rumah tidak
sehat. Di Kota Semarang sendiri, kondisi tersebut bisa terlihat di Kali Semarang di
sepanjang Kelurahan Purwodinatan, Kauman, Kuningan, hingga Bandarharjo.
Sedangkan di Kota Surakarta misalnya, kondisi tersebut terlihat di sekitar Kali Pepe
yang dikenal sebagai salah satu kawasan kumuh, padahal sejatinya memiliki nilai
historis yang tinggi. Sudah saatnya setiap kota memuliakan sungainya secara lestari
dengan merestorasi sungai. “Restorasi sungai” berbeda dengan sekadar
“normalisasi sungai” yang fokus hanya pada pengerukan dan pelebaran sungai.
Menurut Riley (1998) dalam bukunya Restoring Streams in City menjelaskan bahwa
restorasi sungai merupakan sebuah proses menampilkan ekosistem sungai seperti
aslinya termasuk menghidupkan kembali hubungan lestari antara alam dan budaya.
Restorasi sungai singkatnya tidak hanya mengembalikan fungsi utama sungai
sebagai daerah aliran air, tetapi bagi kepentingan alam juga dijadikan daerah
resapan air dan bagi kepentingan sosial dijadikan area kenyamanan sungai bagi
masyarakat untuk berekreasi. Penerapan terbaik (best practice) restorasi sungai
yang seringkali disebut dalam berbagai referensi adalah Sungai Cheonggyecheon di
Seoul, Korea yang awalnya adalah jalan layang. Walikota Seoul saat itu berinisiasi
membongkar jalan yang tidak memiliki nilai ekologis tersebut untuk disulap menjadi
sungai perkotaan yang jernih dan alami (bahkan ikan bisa hidup di situ).

Salah satunya penerapan restorasi sungai yang cukup baik di Indonesia adalah
Sungai Banjir Kanal Barat di Kota Semarang. Selain fungsi sungai yang optimal
sebagai sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan, sungai tersebut telah
menjadi area kenyamanan sungai yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk
berekreasi. Pemerintah Kota Semarang juga aktif mengadakan kegiatan untuk
mengajak masyarakat aktif peduli terhadap kondisi dan sejarah sungai dengan
mengadakan Festival Banjir Kanal Barat dan Festival Perahu Warak.

Restorasi sungai ini tentu saja perlu diterapkan di sungai-sungai lain terutama
yang memiliki nilai historis tinggi seperti Kali Semarang misalnya. Kali Semarang
memiliki rekam jejak sejarah Kota Semarang yang sangat tinggi. Hingga saat ini, Kali
Semarang menjadi linkage bagi kawasan historis di Kota Semarang yaitu Kawasan
Pecinan, Kampung Melayu, dan Kawasan Kota Lama. Namun, kondisinya yang
buruk seperti sedimentasi yang tinggi, kualitas air yang buruk, dan sampah yang
menggenang di sungai menjadikan Kali Semarang seperti “terlupakan”. Sudah
saatnya Kali Semarang dirawat tidak hanya dengan dilebarkan dan dinormalisasi
saja pada badan sungainya, tetapi juga harus dilakukan penataan di sepanjang
sempadannya menjadi area vegetasi, resapan, dan lebih-lebih bisa menjadi area
publik dan wisata air untuk masyarakat. Menjadikan sungai lebih indah dan
bermanfaat bagi masyarakat akan mendorong masyarakat untuk tidak merusak
sungai dan turut menjaganya. Partisipasi masyarakat juga hendaknya diperhatikan
pemerintah mulai sejak rencana, implementasi, hingga monitoring. Partisipasi
masyarakat bisa diwujudkan dengan membentuk komunitas pengawas kebersihan
sungai. Manfaatnya, kegiatan monitoring akan lebih efektif karena ditinjau langsung
oleh masyarakat yang merupakan ultimate beneficiary atau pihak yang paling
mengerti manfaat dari restorasi sungai. Kuncian dari restorasi sungai adalah adanya
identifikasi nilai historis, mengembalikan fungsi ekologis sungai, dan menjadikan
sungai sebagai area rekreasi masyarakat. Sungai sudah seharusnya dipedulikan,
menjadi halaman depan, dan menjadi “pahlawan” dalam mencegah banjir. Bukan
menjadi “kambing hitam” saat luapannya menyebabkan banjir di perkotaan.

Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/zulfikasatria/memuliakan-sungai-mencegah-bencana_5
4f82ee0a33311cd5d8b4733

Sungai adalah suatu sistem yang komplek namun sungai mempunyai


karakteristik yang teratur. Karakteristik sungai ini secara sektoral sudah banyak
diungkap oleh para ahli morfologi, hidraulik, dan ekologi sungai. Namun konsep
integralitas (meliputi ekologi dan hidraulik) belum banyak dikembangkan.
Pengetahuan tentang karakteristik integral suatu sungai yang dikelola sangat
penting. Setiap pengelolaan harus melihat, menyesuaikan, dan
mengharmonisasikan dengan karakteristik keteraturan sungai yang
bersangkutan. Dengan cara demikian dampak negatif yang timbul akibat kesalahan
dalam pengelolaan dapat diminimalisir.

Pada era permulaan pembangunan dan pengembangan sungai, para insinyur hidro
sama sekali tidak memasukkan karakteristik keteraturan sungai secara hidraulik dan
ekologi sebagai bagian dari masukan untuk pengambilan keputusan. Sehingga hail
pembangunan sungai justru banyak yang bertentangan atau melawan karakteristik
keteraturan sungai tersebut. Sebagai suatu contoh konkrit adalah pelurusan sungai
di daerah midstream (bagian tengah) dan downstream (bagian hilir) yang banyak
dilakukan di Eropa, Jepang, dan Amerika. Pelurusan sungai ini sangat bertolak
belakang dengan karaktersitik bentuk meander sungai didaerah tengah dan
hilir. Akibatnya adalah bahwa disamping kerusakan ekologi sungai, harus
disediakan dana operasi dan pemeliharaannya secara ekstra dan terus menerus,
karena sungai yang diluruskan tersebut mempunyai kecenderungan kuat untuk
kembali bermeander sehingga mengerosi tebing kanan kiri tanggul pelurusan.
Demikian juga sebaliknya didaerah hulu karakteristik sungai relatif lurus, jika
dibelokkan akan berakibat fatal, karena sungai akan tetap cenderung mencapai alur
lurus. Jadi untuk melakukan suatu rekayasa sungai diperlukan pengetahuan dan
filosofi karakteristik sungai secara lengkap. Jika tidak maka upaya rekayasa apapun
akan justru merusak sungai secara serius.

Seperti kita ketahui sungai dan aliran sungai mempunyai banyak kesamaan
dalam bidang ekonomi, dan nilai lingkungan seperti halnya danau. Terkait dengan
penggunaan manusia terhadap sungai telah mulai lebih
awal di sungai karena pentingnya sungai sebagai jalur transportasi. Sayangnya
selain memiliki fungsi sebagai sarana yang sangat nyaman dan murah, tetapi juga
dapat merupakan sarana aliran untuk pembuangan limbah industri dan rumah
tangga. Sungai mampu membersihkan melalui proses alami sebelum air
mencapai hilir. Akibat perluasaan permukaan dalam volume dan jarak yang lebih
dekat menyebabkan limbah banyak mengandung senyawa toksik yang tinggi,
rusaknya ekologi dan kemungkinan untuk pembersihannya terbatas.

Pada saat yang sama, pertanian, pertambangan, dan kegiatan pemanenan


kayu dipercepat, mengakibatkan perubahan luas DAS, dataran banjir, dan tepi
pantai yang pada gilirannya mengubah air dan sedimen di
sungai danalirannya, sehingga memberikan dampak buruk
terhadap komunitas tumbuhan dan hewan. Arus dan kapasitas pengenceraanya
berkurang atau dirubah dengan adanya bendungan, irigasi, aliran air di interbasin.
Dampak kumulatif dari semua perubahan ini kadang tidak berpengaruh langsung
karena sifat tambahan dari perubahan yang terjadi.

Perubahan yang menekankan sistem air mengalir dapat memberikan kerugian


diantaranya manusia sebagai pengguna dan jasa lingkungan. Lebih ditekankan pada
(1) Kuantitas air dan alirannya (2) modifikasi dari saluran dan zona tepi pantai (3)
erosi dan sedimentasi yang berlebihan, (4) penurunan kualitas substrat, (5)
penurunan kualitas air, (6) penurunan spesies asli, dan (7) introduksi spesies asing
dan sumber masalah bisa di daerah aliran sungai, di sepanjang zona tepi
pantai atau dataran banjir, atau di saluran dan kolam.
Menekankan pada komponen biotik ekosistem sungai dan aliran, timbul dari (1)
perubahan dalam jumlah, mutu, dan ketersediaan musiman makanan bagi
organisme, (2) penurunan kualitas air, termasuk perubahan suhu dan kekeruhan
yang berlebihan dan sedimen, (3) modifikasi habitat, termasuk substrat; (4) kuantitas
air, dan (5) interaksi biotik (Gambar 4) .fokus masalah bisa di daerah aliran sungai, di
sepanjang zona tepi pantai atau dataran banjir, atau di saluran dan kolam.

Gany (2010) menjelaskan mengenai peta kerusakan sungai, dapat disimpulkan


bahwa di samping kurangnya upaya pemeliharaan dan pelestarian, juga diakibatkan
karena kurangnya pemahaman terhadap lokasi dan kharakteristik morfologi sungai
yang semustinya bisa dicegah kerusakannya kalau diketahui peta lokasi yang rawan
di tiap-tiap bagian sungai. Dari penangan masalah persungaian, baik yang bersifat
protektif, repressif, maupun rehabilitatif, pada umumnya, yang menjadi pertimbangan
utama yang selalu menjadi prioritas utama, adalah pengenalan kharakteristik fisik
sungai melalui identifikasi dan pemetaan lokasi morfologi, khususnya yang rawan
dan memerlukan kehati-hatian dan penangan khusus. Dengan demikian lembaga
yang berwenang menangani pengelolaan dapat mengendalikan sesuai dengan
perlakuan yang dibutuhkan lokasi yang teridentifikasi.

Pengenalan Lokasi dan Kharakteristik Morfologi Sungai: Secara teoritis,


pentingnya pengenalan morfologi sungai ini, sudah diketahui oleh kebanyakan ahli
teknik persungaian, namun mengingat bahwa hal ini perlu pengkajian yang rinci
untuk mengidentifikasi dan memetakannya, memerlukan upaya yang sangat intensif
dan mahal, (sementara pengelolaan jangka pendek tidak dianggap sebagai urgensi
yang mendesak), maka hal ini selalu tertinggal ketimbang upaya pembangunan
infrastruktur fisik terkait. Sebagaimana dalam pengembangan dan pengelolaan
infrastruktur lainnya, dalam bidang persungaian, bagaimanapun piawainya
seseorang dalam pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan, tanpa mengetahui
dan mengenal kharakter yang akan ditangani, tentu akan mengalami kesulitan. Hal
hal yang mutlak untuk dimiliki lembaga pengelola sungai antara lain adalah:
Kharakeristik pembentukan jalur-jalur sungai yang sangat tergantung pada kondisi
geologi dan kondisi geomorfologi di mana sungai mengalir, di mana kategori
morfologi pengaliran sungai pada umumnya dikelompokkan atas: (1) Dataran rendah
alluvial; dan (2) Dataran tinggi.

Dataran Rendah Alluvial: Kategori di dataran rendah alluvial adalah:


Anastomatik di mana alirannya airnya berkelok-kelok dengan danau-danau
berbentuk bulan sabit, alur kelokan sungai saling tertutup, kemiringan dasar
sungainya yang relatif kecil. Bisa juga berbentuk Braided, karena penurunan
kemiringan sangat rendah sehingga menyebabkan akumulasi sedimentasi, morfologi
badan sungai berubah ubah, sehingga tidak mampu mengalirkan debiet;

Kharakteristik lain yang sangat penting namun sering dilupakan adalah bahwa di
dataran rendah alluvial adalah, sering terjadi bentuk dichotomic, khususnya pada
tanah alluvial berbutir kasar dengan bentuk kipas, umumnya badan sungai hilang
karena resapan air yang besar. Biasa juga terjadi bentuk reticular khususnya pada
pada kawasan pantai yang terpengaruh pasang surut, kemiringan kecil, dan melebar
dengan lahan rawa merata;

Dataran Tinggi: Katagori bentuk aliran di dataran tinggi umumnya terdiri atas: (1)
Kendali struktur; dan (2) Kendali material. Dimana Kendali struktur terdiri umumnya
dari bentuk annular, yaitu struktur yang berbentuk kubah akibat daya sedimentasi
vertikal membentuk tipe radial. Sering juga terjadi bentuk rectangular, biasanya pada
daerah patahan, dengan bentuk aliran mengikuti patahan batuan. Juga bisa terjadi
bentuk trellis, yaitu alur sungai berbentuk lurus paralel akibat pembentukan
sedimentasi di daerah patahan di kawasan tersebut. Sementara itu, Kendali material,
bisa berbentuk radial, yang umumnya terbentuk tanpa terpengaruh struktur geologi di
daerah pegunungan berapi. Terkadang juga berbentuk dendritic, yakni bentuk
percabangan yang tidak teratur seperti bentuk cabang pohon, umumnya karena
bentuk badan sungai ditentukan oleh kelandaian dasarnya. Dalam hal berbentuk
parallel, umumnya terjadi bentuk sesuai dengan kesetaraan kemiringan dasar sungai,
di mana struktur struktur geologi tidak menjadi penentu bentuk parallel ini.

Faktor yang mempengaruhi morfologi: Faktor lain yang sangat penting untuk
menjadi pertimbangan dalam penetapan langkah struktur pengelolaan sungai adalah
faktor yang mempengaruhi terbentuknya morfologi sungai. Karena dengan
mengetahui hal tersebut, langkah-langakah yang bersifat struktural maupun non
struktural dapat ditempuh baik untuk langkah yang bersifat preventive, repressive
maupun yang bersifat rehabilitatif. Setiap langkah struktural maupun non struktural
yang ditempuh tanpa mempertimbangkan karakteristik pembentukan morfologi,
berarti akan menentang daya air yang cenderung akan berdampak ke arah yang
tidak dikehendaki. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan kharakter morfologi
yang juga harus diidentifikasi dan diketahui antara lain: (1) Volume aliran sungai,
lama berlangsungnya volume aliran tertentu dan distribusi pengaliran air dan
kandungan sedimen. Hal ini haruslah dipantau dan dicatat secara rutin, karena
variasi kejadiannya sulit diketahui melalui model simulasi; (2) Material yang menjadi
bahan dasar terbentuknya tanah yang dilewati sungai, ini juga sangat penting untuk
diteliti agar tidak keliru dalam menetapkan variabel dalam perhitungan fisik untuk
langkah struktural; (3) Kondisi topografi apakah landai, datar, bergelombang, sangat
menentukan besaran parameter; (4) Kondisi cuaca yang berpengaruh; (5) Kondisi
dan jenis vegetasi yg menutupi; dan (6) Tataguna lahan di daerah aliran sungai.
Semua faktor tersebut di atas, harus terus menerus diamati dan dicatat agar dapat
mengenal serta menyesuaikan dengan pendekatan penanganan pengelolaan yang
harus ditempuh.

Model tes Micro untuk Menyelidiki Kharakteristik Sungai: Berdasarkan


pengalaman pengalaman penerapan pendekatan struktural penanganan sungai,
dengan metode trial-and-error, hal tersebut sangat mahal dan memerlukan waktu
yang sangat lama, maka dalam proses mengetahui karakteristik sungai yang akan
kita manfaatkan dalam perencanaan pengembangan dan pengelolaan sungai,
misalnya untuk perencanaan jembatan yang melintasi sungai besarsaat ini
diperlukan model test mikro yang pada dasarnya bertujuan untuk: (1) Menguji
fenomena kharakter sungai yang sulit diantisipasi di lapangan; (2) Mengantisipasi
pengaruh perubahan morfologi pada berbagai besaran debiet banjir; (3) Mengamati
simulasi proses perubahan sungai terburuk setelah jembatan dibangun; dan (4)
Simulasi kejadian terburuk dalam skala mikro – sebagai upaya menghemat biaya
penelitian dengan skala lapangan (1:1).

Model tes dilakukan di laboratorium hidrolika yang sudah terakreditasi, baik di


ruangan tertutup (indoor) maupun laboratorium terbuka (outdoor). Pelaksanaannya
supaya lebih effektif, harus menggunakan peta skala kecil yg memuat profil
memanjang - melintang sungai ditempat akan dibangun jembatan arah hulu dan hilir
sejauh aliran air akan berpengaruh

Anda mungkin juga menyukai