Bencana banjir yang tempo lalu terjadi di kota-kota di Indonesia di awal tahun
2014 ini merupakan pertanda bahwa adanya ketidakseimbangan ekologi antara
pembangunan dengan kondisi alam. Banjir umumnya terjadi karena air limpasan
tidak mengalir sempurna pada saluran drainase dan tidak banyak meresap ke dalam
tanah atau vegetasi. Bencana banjir akhir-akhir ini tidak hanya terjadi di Kota
Semarang saja, tetapi juga terjadi di beberapa kota/kabupaten di jalur pantura Pulau
Jawa yang sebelumnya jarang terjadi banjir, sebut saja Kendal, Kudus, Pemalang,
dan lainnya. Salah satu penyebab dari ketidakseimbangan kondisi ekologi ini terlihat
dari peran sungai yang sudah tidak berfungsi optimal. Kondisi yang paling umum
adalah pendangkalan sungai akibat endapan yang terlalu tinggi. Akibatnya, sungai
tidak sanggup menampung debit air yang tinggi seperti saat ini. Kondisi tersebut
diperparah juga dengan perilaku masyarakat sekitar yang cenderung “mengabaikan”
sungai. Kebanyakan sungai di perkotaan penuh sampah, memiliki kualitas air yang
buruk, bahkan dijadikan lokasi MCK. Seringkali sepanjang bantaran sungai menjadi
lokasi “kantong kemiskinan” yang ditinggali masyarakat berpenghasilan rendah.
Vollmer dan Gret-Regamey (2013) dalam penelitiannya di Sungai Ciliwung
menyebutkan bahwa di negara berkembang seringkali pembangunan infrastruktur
perkotaan jauh tertinggal dibanding pertumbuhan penduduk. Akibatnya, masyarakat
berpenghasilan rendah memilih bertempat tinggal di sepanjang bantaran sungai
untuk memenuhi kebutuhan air, sanitasi, dan rekreasi dengan mudah. Adanya
penghuni di bantaran sungai tentu akan memberikan peluang sampah rumah tangga
menggenangi sungai. Bukan salah masyarakat saja, pemerintah pun juga
berkontribusi karena tidak tegasnya perlindungan daerah aliran sungai sebagai
kawasan konservasi. Tidak adanya akses hunian vertikal murah (misal rusunawa)
juga menjadikan lahan terbuka semakin terbatas karena dijadikan rumah-rumah tidak
sehat. Di Kota Semarang sendiri, kondisi tersebut bisa terlihat di Kali Semarang di
sepanjang Kelurahan Purwodinatan, Kauman, Kuningan, hingga Bandarharjo.
Sedangkan di Kota Surakarta misalnya, kondisi tersebut terlihat di sekitar Kali Pepe
yang dikenal sebagai salah satu kawasan kumuh, padahal sejatinya memiliki nilai
historis yang tinggi. Sudah saatnya setiap kota memuliakan sungainya secara lestari
dengan merestorasi sungai. “Restorasi sungai” berbeda dengan sekadar
“normalisasi sungai” yang fokus hanya pada pengerukan dan pelebaran sungai.
Menurut Riley (1998) dalam bukunya Restoring Streams in City menjelaskan bahwa
restorasi sungai merupakan sebuah proses menampilkan ekosistem sungai seperti
aslinya termasuk menghidupkan kembali hubungan lestari antara alam dan budaya.
Restorasi sungai singkatnya tidak hanya mengembalikan fungsi utama sungai
sebagai daerah aliran air, tetapi bagi kepentingan alam juga dijadikan daerah
resapan air dan bagi kepentingan sosial dijadikan area kenyamanan sungai bagi
masyarakat untuk berekreasi. Penerapan terbaik (best practice) restorasi sungai
yang seringkali disebut dalam berbagai referensi adalah Sungai Cheonggyecheon di
Seoul, Korea yang awalnya adalah jalan layang. Walikota Seoul saat itu berinisiasi
membongkar jalan yang tidak memiliki nilai ekologis tersebut untuk disulap menjadi
sungai perkotaan yang jernih dan alami (bahkan ikan bisa hidup di situ).
Salah satunya penerapan restorasi sungai yang cukup baik di Indonesia adalah
Sungai Banjir Kanal Barat di Kota Semarang. Selain fungsi sungai yang optimal
sebagai sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan, sungai tersebut telah
menjadi area kenyamanan sungai yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk
berekreasi. Pemerintah Kota Semarang juga aktif mengadakan kegiatan untuk
mengajak masyarakat aktif peduli terhadap kondisi dan sejarah sungai dengan
mengadakan Festival Banjir Kanal Barat dan Festival Perahu Warak.
Restorasi sungai ini tentu saja perlu diterapkan di sungai-sungai lain terutama
yang memiliki nilai historis tinggi seperti Kali Semarang misalnya. Kali Semarang
memiliki rekam jejak sejarah Kota Semarang yang sangat tinggi. Hingga saat ini, Kali
Semarang menjadi linkage bagi kawasan historis di Kota Semarang yaitu Kawasan
Pecinan, Kampung Melayu, dan Kawasan Kota Lama. Namun, kondisinya yang
buruk seperti sedimentasi yang tinggi, kualitas air yang buruk, dan sampah yang
menggenang di sungai menjadikan Kali Semarang seperti “terlupakan”. Sudah
saatnya Kali Semarang dirawat tidak hanya dengan dilebarkan dan dinormalisasi
saja pada badan sungainya, tetapi juga harus dilakukan penataan di sepanjang
sempadannya menjadi area vegetasi, resapan, dan lebih-lebih bisa menjadi area
publik dan wisata air untuk masyarakat. Menjadikan sungai lebih indah dan
bermanfaat bagi masyarakat akan mendorong masyarakat untuk tidak merusak
sungai dan turut menjaganya. Partisipasi masyarakat juga hendaknya diperhatikan
pemerintah mulai sejak rencana, implementasi, hingga monitoring. Partisipasi
masyarakat bisa diwujudkan dengan membentuk komunitas pengawas kebersihan
sungai. Manfaatnya, kegiatan monitoring akan lebih efektif karena ditinjau langsung
oleh masyarakat yang merupakan ultimate beneficiary atau pihak yang paling
mengerti manfaat dari restorasi sungai. Kuncian dari restorasi sungai adalah adanya
identifikasi nilai historis, mengembalikan fungsi ekologis sungai, dan menjadikan
sungai sebagai area rekreasi masyarakat. Sungai sudah seharusnya dipedulikan,
menjadi halaman depan, dan menjadi “pahlawan” dalam mencegah banjir. Bukan
menjadi “kambing hitam” saat luapannya menyebabkan banjir di perkotaan.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/zulfikasatria/memuliakan-sungai-mencegah-bencana_5
4f82ee0a33311cd5d8b4733
Pada era permulaan pembangunan dan pengembangan sungai, para insinyur hidro
sama sekali tidak memasukkan karakteristik keteraturan sungai secara hidraulik dan
ekologi sebagai bagian dari masukan untuk pengambilan keputusan. Sehingga hail
pembangunan sungai justru banyak yang bertentangan atau melawan karakteristik
keteraturan sungai tersebut. Sebagai suatu contoh konkrit adalah pelurusan sungai
di daerah midstream (bagian tengah) dan downstream (bagian hilir) yang banyak
dilakukan di Eropa, Jepang, dan Amerika. Pelurusan sungai ini sangat bertolak
belakang dengan karaktersitik bentuk meander sungai didaerah tengah dan
hilir. Akibatnya adalah bahwa disamping kerusakan ekologi sungai, harus
disediakan dana operasi dan pemeliharaannya secara ekstra dan terus menerus,
karena sungai yang diluruskan tersebut mempunyai kecenderungan kuat untuk
kembali bermeander sehingga mengerosi tebing kanan kiri tanggul pelurusan.
Demikian juga sebaliknya didaerah hulu karakteristik sungai relatif lurus, jika
dibelokkan akan berakibat fatal, karena sungai akan tetap cenderung mencapai alur
lurus. Jadi untuk melakukan suatu rekayasa sungai diperlukan pengetahuan dan
filosofi karakteristik sungai secara lengkap. Jika tidak maka upaya rekayasa apapun
akan justru merusak sungai secara serius.
Seperti kita ketahui sungai dan aliran sungai mempunyai banyak kesamaan
dalam bidang ekonomi, dan nilai lingkungan seperti halnya danau. Terkait dengan
penggunaan manusia terhadap sungai telah mulai lebih
awal di sungai karena pentingnya sungai sebagai jalur transportasi. Sayangnya
selain memiliki fungsi sebagai sarana yang sangat nyaman dan murah, tetapi juga
dapat merupakan sarana aliran untuk pembuangan limbah industri dan rumah
tangga. Sungai mampu membersihkan melalui proses alami sebelum air
mencapai hilir. Akibat perluasaan permukaan dalam volume dan jarak yang lebih
dekat menyebabkan limbah banyak mengandung senyawa toksik yang tinggi,
rusaknya ekologi dan kemungkinan untuk pembersihannya terbatas.
Kharakteristik lain yang sangat penting namun sering dilupakan adalah bahwa di
dataran rendah alluvial adalah, sering terjadi bentuk dichotomic, khususnya pada
tanah alluvial berbutir kasar dengan bentuk kipas, umumnya badan sungai hilang
karena resapan air yang besar. Biasa juga terjadi bentuk reticular khususnya pada
pada kawasan pantai yang terpengaruh pasang surut, kemiringan kecil, dan melebar
dengan lahan rawa merata;
Dataran Tinggi: Katagori bentuk aliran di dataran tinggi umumnya terdiri atas: (1)
Kendali struktur; dan (2) Kendali material. Dimana Kendali struktur terdiri umumnya
dari bentuk annular, yaitu struktur yang berbentuk kubah akibat daya sedimentasi
vertikal membentuk tipe radial. Sering juga terjadi bentuk rectangular, biasanya pada
daerah patahan, dengan bentuk aliran mengikuti patahan batuan. Juga bisa terjadi
bentuk trellis, yaitu alur sungai berbentuk lurus paralel akibat pembentukan
sedimentasi di daerah patahan di kawasan tersebut. Sementara itu, Kendali material,
bisa berbentuk radial, yang umumnya terbentuk tanpa terpengaruh struktur geologi di
daerah pegunungan berapi. Terkadang juga berbentuk dendritic, yakni bentuk
percabangan yang tidak teratur seperti bentuk cabang pohon, umumnya karena
bentuk badan sungai ditentukan oleh kelandaian dasarnya. Dalam hal berbentuk
parallel, umumnya terjadi bentuk sesuai dengan kesetaraan kemiringan dasar sungai,
di mana struktur struktur geologi tidak menjadi penentu bentuk parallel ini.
Faktor yang mempengaruhi morfologi: Faktor lain yang sangat penting untuk
menjadi pertimbangan dalam penetapan langkah struktur pengelolaan sungai adalah
faktor yang mempengaruhi terbentuknya morfologi sungai. Karena dengan
mengetahui hal tersebut, langkah-langakah yang bersifat struktural maupun non
struktural dapat ditempuh baik untuk langkah yang bersifat preventive, repressive
maupun yang bersifat rehabilitatif. Setiap langkah struktural maupun non struktural
yang ditempuh tanpa mempertimbangkan karakteristik pembentukan morfologi,
berarti akan menentang daya air yang cenderung akan berdampak ke arah yang
tidak dikehendaki. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan kharakter morfologi
yang juga harus diidentifikasi dan diketahui antara lain: (1) Volume aliran sungai,
lama berlangsungnya volume aliran tertentu dan distribusi pengaliran air dan
kandungan sedimen. Hal ini haruslah dipantau dan dicatat secara rutin, karena
variasi kejadiannya sulit diketahui melalui model simulasi; (2) Material yang menjadi
bahan dasar terbentuknya tanah yang dilewati sungai, ini juga sangat penting untuk
diteliti agar tidak keliru dalam menetapkan variabel dalam perhitungan fisik untuk
langkah struktural; (3) Kondisi topografi apakah landai, datar, bergelombang, sangat
menentukan besaran parameter; (4) Kondisi cuaca yang berpengaruh; (5) Kondisi
dan jenis vegetasi yg menutupi; dan (6) Tataguna lahan di daerah aliran sungai.
Semua faktor tersebut di atas, harus terus menerus diamati dan dicatat agar dapat
mengenal serta menyesuaikan dengan pendekatan penanganan pengelolaan yang
harus ditempuh.