Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat,
taufik, dan hidayah. Sehingga saya dapat menyelesaikan laporan penelitian mengenai
“Stasiun Bandung: Stasiun Terbesar di Kota Bandung (Sejarah & Arsitektur)” dalam mata
kuliah Arkeologi Islam yang diampu oleh bapak Dr. Aam Abdillah, M.Ag dan bapak
Mardani, M.Hum. Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan, dan masukan
dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya
dalam menyelesaikan laporan ini.
Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan
di dalam penulisan laporan ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga
penulis secara terbuka menerima saran dan kritik dari pembaca. Demikian apa yang dapat
saya sampaikan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk para pembaca, dan untuk saya
sendiri khususnya.

Bandung, 6 Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2
D. Metode Penelitian ........................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN UMUM OBJEK PENELITIAN ............................................................... 3
A. Sejarah Perkeretaapian di Indonesia ............................................................................... 3
1. Masuknya Kereta Api di Indonesia ............................................................................. 3
2. Masuknya Kereta Api di Bandung .............................................................................. 8
B. Sejarah Stasiun Bandung .............................................................................................. 12
BAB III TINJAUAN KHUSUS OBJEK PENELITIAN ......................................................... 16
A. Arsitektur Stasiun Bandung .......................................................................................... 16
1. Tahap Awal (1884).................................................................................................... 16
2. Tahap Kedua (1909) ................................................................................................ 175
3. Tahap Akhir (1928) ................................................................................................... 17
B. Gaya Art Deco pada Revitalisasi Stasiun Bandung ...................................................... 18
1. Konsep Tapak ............................................................................................................ 18
2. Konsep Masa dan Bentuk Bangunan ........................................................................ 18
3. Desain Fasad ............................................................................................................. 19
4. Konsep Interior .......................................................................................................... 22
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 23
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 23
B. Saran ............................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 26
LAMPIRAN ............................................................................................................................. 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan di era kolonial Hindia Belanda merupakan pembangunan yang relatif
terencana dengan baik. Salah satu contoh pencapaian pembangunan yang ada saat itu ialah
pembangunan infrastruktur transportasi, seperti jalan raya dan jalur perkeretaapian.
Perkembangan kereta api di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme Belanda di
Indonesia. Pada zaman tersebut didirikan perusahaan kereta api pertama di Indonesia yang
bernama Naamlooze Venootscahp Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij. Sejarah
perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama jalur kereta api di
Semarang oleh Gubernur Hindia Belanda, LAJ Baron Sloet Van den Beele pada tahun 1864.
Jalur tersebut memiliki panjang 26 km yang melintasi Semarang-Tanggung dan digunakan
untuk jenis kereta dengan lebar 1435 mm.1 Selain itu, didirikan pula stasiun pertama di
Indonesia yaitu Stasiun Samarang. Pembangunan infrastruktur perkeretaapian di Hindia
Belanda tentu membawa dampak bagi daerah-daerah yang menjadi target pembangunannya,
tak terkecuali Bandung.
Adanya stasiun kereta api di Bandung membuat pengiriman komoditas perkebunan
dari Bandung semakin cepat. Selain itu, muncul bangunan perdagangan di sekitar stasiun
tersebut. Bandung yang saat itu hanya merupakan daerah perkebunan dataran tinggi, tumbuh
menjadi daerah yang ekonominya berkembang dari komoditas perkebunannya. Pada akhir
abad ke-19, Bandung dipersiapkan oleh Hindia Belanda untuk menggantikan Batavia sebagai
ibukota Hindia Belanda.2
Stasiun Bandung merupakan salah satu fasilitas yang disediakan pemerintahan
kolonial Belanda untuk masyarakatnya. Stasiun Bandung didirikan sebagai tempat
pemberhentian dan keberangkatan kereta dari Jakarta menuju Bandung atau sebaliknya. Salah
satu kegiatan awal yang dilakukan di stasiun ini adalah bongkar muat hasil perkebunan
Bandung pada zaman itu. Bangunan ini telah mengalami beberapa kali renovasi di zaman
kolonial sampai zaman kemerdekaan. Stasiun ini diresmikan tahun 1884. Hingga saat ini
Stasiun Bandung masih beroperasi untuk melayani transportasi antarkota.3

1
heritage.keretaapi.co.id, diakses pada tanggal 28 November 2018 jam 16.31 WIB.
2
Jurnal Febri Nur Fitrianto, Studi Dampak Pembangunan Stasiun Bandung Terhadap Daerah Sekitarnya,
Seminar Heritage IPLBI 2017.
3
Jurnal Muhammad Aodyra Khaidir, Sejarah Stasiun Bandung dari Masa ke Masa, Seminar Heritage IPLBI
2017.

1
Stasiun lama yang ada di Indonesia merupakan bangunan peninggalan Belanda yang
menyimpan nilai sejarah. Setiap stasiun memiliki ciri khasnya sendiri. Stasiun Bandung
memiliki kekhasan gaya art deco. Art deco merupakan gaya yang berkembang di era modern,
dan banyak digunakan untuk seni dekorasi. Perancangan revitalisasi bangunan kolonial
dilakukan dengan mempertahankan ciri khas yang menjadikannya bangunan cagar budaya
dan mengembangkan karakter art deco pada bangunan baru. Bagian bangunan yang
dipertahankan adalah bangunan hall utama dengan kaca patri yang dominan pada fasad
bangunan. Sedangkan untuk desain fasad bangunan baru mengacu pada ciri gaya art deco.
Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan
teknologi saat ini.4

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang penulis sampaikan, penulis ingin menjelaskan dua bagian
dalam laporan penelitian ini. Pertama, tinjauan umum mengenai objek penelitian dan kedua,
tinjauan khusus atau hasil temuan objek penelitian. Dalam tinjauan umum, penulis
menjelaskan sejarah perkeretaapian di Indonesia, terutama di Bandung dan sejarah mengenai
Stasiun Bandung. Sedangkan untuk tinjauan khususnya, penulis menjelaskan mengenai
arsitektur dari Stasiun Bandung dan perkembangannya dari awal pembangunan hingga
sekarang.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan penelitian ini adalah penulis ingin mengetahui dan
memahami bagaimana Stasiun Bandung itu, dimulai dari sejarah sampai ke arsitektur
bangunan tersebut.

D. Metode Penelitian
Dalam laporan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian Arkeologi dan
Sejarah dan juga menggunakan metode Deskriptif Analitik dimana penulis mengunjungi
langsung Stasiun Bandung pada tanggal 26 November 2018 untuk mengamati langsung
Stasiun Bandung. Selain itu, penulis juga menghimpun dan mengumpulkan berbagai data
yang berkenaan dengan sejarah maupun arsitektur dari Stasiun Bandung.

4
Jurnal Priska Paramita Pradipta dan Muhammad Faqih, Gaya Art Deco pada Revitalisasi Stasiun Bandung,
Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

2
BAB II
TINJAUAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sejarah Perkeretaapian di Indonesia


Mulanya alat transportasi berupa kereta ini berawal dari tahun 1620 yang baru
dikenalkan dengan sebuah alat angkut berupa gerobak yang didudukkan di atas jaringan rel
yang terbuat dari kayu dan ditarik oleh kuda. Alat ini diperkenalkan oleh Huntingdon
Beaumont, seorang sarjana Pertambangan di Newcastle, Inggris.5 Selanjutnya pada tahun
1730 alat tersebut digunakan untuk mengangkut barang dalam skala besar, dan pada 1777
bahan rel diganti menjadi rel yang terbuat dari besi. Kemudian pada tahun 1807 sistem
angkutan ini mulai mengangkut penumpang, dan Lokomotif Blucher adalah lokomotif uap
pertama yang diciptakan pada tahun 1814 oleh George Stephenson.
1. Masuknya Kereta Api di Indonesia
Di Indonesia sendiri alat transportasi berupa kereta api ini bermula dari sebuah
gagasan yang dikemukakan oleh Jhr. Van der Wijk, pada tanggal 15 Agustus 1840. Wijk
beranggapan bahwa sarana dan prasarana transportasi di pulau Jawa ditinjau dari sudut
pertahanan dan keamanan serta sudut ekonomi sejak awal abad ke-19 kurang memadai,
maka dari itu ia mengusulkan untuk dibangunnya jaringan rel kereta api untuk sarana
transportasi di pulau Jawa.
Selain hal itu ia juga melihat keberhasilan di Eropa dalam mengatasi masalah yang
serupa. Menurutnya, pemasangan jalan rel kereta api di pulau Jawa akan mendatangkan
keuntungan yang tak ternilai harganya bagi kepentingan pertahanan. Karena di Indonesia
pada awalnya keberadaan jalan rel di Indonesia diketahui sudah digunakan dalam aktivitas
perkebunan sejak awal abad ke-18. Meskipun tidak bisa disebut sebagai jalur kereta api,
pabrik gula pertama di Tegal pada 1813 telah memasang jalan rel untuk memudahkan
distribusi panen tebu menuju pabrik pengolahan.6 Tenaga penariknya ketika itu masih
berupa kuda. Barulah pada tahun 1865 untuk pertama kalinya sebuah lokomotif dengan
penggerak mesin uap tiba di Indonesia yang berasal dari Jerman. Kemudian pada tahun
1867 sudah mulai digunakan untuk menarik rangkaian kereta atau gerbong. Lokomotif

5
Sudarsono Katam, Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe, (Bandung: Pustaka Jaya, 2014), hlm. 5.
6
Ibnu Murti Mariyadi, Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia, (Bandung: PT. KAI), hlm. 53.

3
yang digunakan adalah lok uap seri B1, yaitu lokomotif yang mempunyai 2 gandar roda
penggerak dan 1 gandar roda pengantar dan mempunyai uap.7
Mengenai sebuah usulan yang dikemukakan oleh Wijk adalah berupa jalan rel yang
terbentang dari Surabaya ke Batavia melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung beserta
simpangan-simpangannya.8 Dengan sebuah usul tersebut tentunya ada pula pihak yang
menentang, pada umumnya pihak yang menentang tersebut merupakan dari kalangan
pemerintah. Mereka berpendapat bahwa pembangunan jalan rel kereta api akan membuka
kesempatan bagi masuknya modal asing, sedangkan negeri Belanda sendiri akan dibebanni
dengan hutang dari bekas biaya pembangunan jalan rel kereta api dan terancam kehilangan
daerah jajahan mereka yang sangat menguntungkan.9 Justru mereka lebih memilih
perbaikan tata-cara pengangkutan dengan memeperbanyak jumlah hewan untuk menarik
kereta beroda dua.
Berbagai cara dikemukakan dari pihak yang menentang akan usul pembangunan
jalur rel kereta api di Pulau Jawa, seperti mendatangkan kuda, unta, dan gajah dari luar
negeri. Ada pula sebuah usul agar perkembangan populasi hewan dipercepat, bila perlu
penyembelihan hewan yang biasa digunakan untuk menarik kereta dilarang selama 5 tahun.
Tentunya sebuah usulan tersebut tidak dapat dilaksanakan dan cenderung sedikit
memaksakan. Sementara itu, usul Wijk didukung oleh J. Trom, seorang insinyur kepala
Bagian Pengairan dan Bangunan. Trom sendiri berpendapat bahwa jalan rel kereta api itu
sebaiknya menghubungkan Surabaya dengan Cilacap.
Kiranya usul dari Wijk itu dipandang baik, sehingga pemerintah Kerajaan Belanda
mengeluarkan sebuah surat keputusan (Koninklijk Beslut) nomor 270 tertanggal 28 Mei
1842 yang menetapkan bahwa pemerintah akan membangun jalan rel kereta api dari
Semarang ke Kedu dan Yogyakarta.10 Keputusan tersebut sesungguhnya berdasarkan atas
pertimbangan akan kebutuhan peningkatkan sarana transportasi tradisional berupa kereta
yang ditarik dengan hewan, seperti kuda, sapi, dan kerbau serta meningkatkan daya angkut
bagi barang-barang ekspor. Barang-barang ekspor tersebut yang nantinya akan dijual untuk
mengisi kas negara. Selain itu keputusan tersebut dipengaruhi oleh kepentingan pertahanan

7
Hartono, Lokomotif & Kereta Rel Diesel di Indonesia, (Bandung: Ilalang Sakti Komunikasi), hlm 3.
8
Departemen Perhubungan Perusahaan Jawatan Kereta Api, Sejarah Perekeretaapian di Indonesia I,
(Bandung: Incarto Indonesia, 1989), hlm. 40.
9
Departemen Perhubungan Perusahaan Jawatan Kereta Api, Sejarah Perekeretaapian di Indonesia I, (Bandung:
Incarto Indonesia, 1989), hlm. 41.
10
Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Jilid I, (Bandung: APKA) hlm. 49.

4
dan keamanan, mengingat peristiwa Perang Diponegoro yang baru reda sekitar 12 tahun
silam.
Sayangnya keputusan tersebut tidak berjalan dengan lancar dan tidak sampai
terwujud dalam bentuk pelaksanaan. Mungkin pada saat itu situasi dan kondisi belum
menunjang bagi pelaksanaannya. Mungkin juga dikarenakan di Belanda sendiri kehadiran
kereta api baru berjalan selama tiga tahun. Namun pada 31 Oktober 1852, pemerintah
Kerajaan Belanda mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan pemberian kemudahan-
kemudahan bagi kalangan pengusaha swasta yang bermaksud untuk mendapatkan izin
pembukaan jalan rel kereta api atau usaha alat transportasi kereta api di pulau Jawa.11
Berdasarkan surat keputusan tersebut, banyak kalangan pengusaha swasta yang
mengajukan permohonan izin untuk membuka perusahaan kereta api di Pulau Jawa.
Beberapa permohonan berasal dari perusahaan perkebunan swasta. Tentunya maksud dari
mereka yang mengajukan permohonan tersebut demi memudahkan untuk mengangkut hasil
produksi perkebunan mereka yang mula melimpah. Namun hingga tahun 1861 belum juga
ada permohonan izin yang disetujui dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
a. Belum adanya kesepakatan di kalangan pemerintah, apakah perusahaan kereta
api itu akan diserahkan kepada pihak pengusaha swasta atau akan dikerjakan
oleh pemerintah sendiri.
b. Kesulitan lapangan, karena belum ada peta yang dapat dipercaya sehingga harus
melakukan penelitian dan pemetaan terlebih dahulu.
c. Anggaran biaya yang diajukan oleh para pemohon izin masih merupakan
perkiraan-perkiraan yang belum nyata.
d. Tidak adanya data mengenai sarana transportasi, sehingga sulit memperkirakan
keuntungan yang bisa diperoleh.
e. Sulit menentukan tenaga kerja dan upah kerja.12
Dengan hal tersebut, maka Raja Belanda saat itu, Willem III menugaskan T. J.
Stieltjes, orang kepercayaannya dan penasihat Menteri Urusan Jajahan untuk mengadakan
penelitian pada tahun 1860. Penelitian tersebut meliputi penilaian terhadap sarana angkutan
yang ada serta tentang pemikian baru untuk pemecahan masalah perhubungan yang
sesmakin mendesak di pulau Jawa. Beliau memberi saran kepada pemerintah Hindia
Belanda agar jalan rel yang diusulkan itu dibangun melalui Ungaran dan Salatiga. Beliau

11
Departemen Perhubungan Perusahaan Jawatan Kereta Api, Sejarah Perekeretaapian di Indonesia I,
(Bandung: Incarto Indonesia, 1989), hlm. 43.
12
Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Jilid I, (Bandung: APKA) hlm. 50.

5
memberi saran berdasarkan pertimbangan agar jalan rel dapat menghubungkan pusat-pusat
kedudukan tentara kolonial Hindia Belanda yang berada di Ungaran, Ambarawa, dan
Salatiga.
Sebuah komisi sarana angkutan segera dibentuk untuk membuat rumusan secara
menyeluruh. Dalam hal itu, suatu konsorsium13 yang terdiri para ahli, yakni Poolman,
Fraser, dan Kol. Mereka mengajukan sebuah usulan pembangunan jaringan rel kereta api
dari Semarang melalui Solo dan diteruskan hingga ke Yogyakarta. Karena mereka tidak
setuju dengan usulan Stieltjes yang beralasan pembangunan jalan rel melalui Ungaran,
Ambarawa, dan Salatiga akan sangat mahal dan memakan waktu lama, mengingat jalur itu
terletak di daerah pegunungan yang berdekatan dengan Gunung Ungaran, Gunung
Merbabu, dan Gunung Merapi.14
Barulah pada tahun 1862 konsesi atau izin dari permohonan tersebut disetujui.
Gubernur Jendral Hindia Belanda Mr. L.A.J.W Baron Sloet van den Beele menyetujui
permohonan izin dari Poolman dan kawan-kawan, dengan beberapa syarat berupa beberapa
perubahan rute yaitu Semarang-Solo-Yogyakarta dan ditambah lintas cabang di Kedungjati
menuju Ambarawa.15 Pada akhirnya dengan kebutuhan yang saling berkaitan, maka pada
tahun 1862 untuk pertama kalinya pemerintah memberikan izin kepada beberapa orang
pengusaha swasta yang kemudian mendirikan perusahaan kereta api swasta pertama yaitu
Naamlooze Venootscahp Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau NISM.
Namun pada awalnya permohonan izin NISM yang mengajukan sebuah permohonan untuk
pemasangan dan pengusahaan jalan rel dari Semarang ke Surakarta dan Yogyakarta. NISM
mengajukan permohonan tersebut karena pertimbangan wilayah yang akan dilewati itu
berupa daerah-daerah seperti Semarang bagian selatan, Surakarta, dan Yogyakarta yang
merupakan daerah-daerah tersebut penghasil barang ekspor seperti kayu, tembakau, dan
gula. Permohonan izin Poolman dan kawan-kawan itu akhirnya dikabulkan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui surat keputusan Gubernur Jendral No. 1
tanggal 28 Agustus 1862.16
Pada 27 Maret 1864, Poolman dan rekannya memperoleh izin untuk membangun
jalan rel kereta api di daerah Jawa Barat, yaitu Batavia-Bogor. Pada tanggal 10 Agustus

13
Konsorsium adalah pembiayaan bersama suatu proyek atau perusahaan yang dilakukan oleh dua atau lebih
sebuah lembaga keuangan.
14
Sudarsono Katam, Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe, (Bandung: Pustaka Jaya, 2014), hlm. 8.
15
Ibnu Murti Mariyadi, Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia, (Bandung: PT. KAI), hlm. 68.
16
Yati Nurhayati, Sejarah Kereta Api Indonesia, (Bandung: Rizki Mandiri CV, 2014), hlm. 15.

6
1867 jalur lintas Semarang ke Tanggung sepanjang 25 km dibuka dan kereta api mulai
dioperasikan untuk umum. Dengan demikian, pembangunan rel kereta meluas hingga ada
21 Mei 1873 resmi beroprasi untuk wilayah Semarang-Surakarta-Yogyakarta, Kedungjati-
Ambarawa, dan Batavia-Bogor.17
Namun semua usaha NISM sepertinya tidak berjalan dengan mulus begitu saja,
mereka pada awalnya mengalami kesulitan finansial. Akan tetapi masalah tersebut dapat
diatasi dengan mulai adanya titik terang pada tahun 1873 bahkan pada tahun-tahun
berikutnya NISM meraih keuntungan yang sabgat besar. Penerimaan laba tersebut berasal
dari hasil angkutan berupa 507.528 orang penumpang, 85.166 ton barang, 25.134 kg
bagasi, 89.663 kg barang kiriman, 78.114 kg alat-alat berat, 85.436 kg barang dagangan,
315 kereta yang ditarik kuda, 1.171 ekor kuda, dan 213 ekor ternak lainnya.18 Tak kala
pentingnya peran pemerintah dalam keberhasilan NISM itu. Jika saja pemerintah tidak
memberikan bantuan berupa pinjaman modal, bisa saja mereka kesulitan dan bahkan bisa
menggagalkan rencana mereka untuk membangun sarana transportasi berupa kereta api di
pulau Jawa untuk pertama kalinya karena bermasalah dengan biaya pemodalan yang sangat
besar.
Akhirnya pada 6 April 1875 pemerintah mengambil keputusan untuk membangun
sendiri jalan rel kereta api dan mengeksploitasi kereta api. Tak mau mengulangi kesalahan
dari sebelumnya yang dilakukan NISM, maka Staatsspoorwegen atau SS selaku perusahaan
milik pemerintah ini melakukan pembangunan dengan cara-cara yang terbaik serta
perhitungan yang sangat teliti, sehingga pelaksanaannya dapat berlangsung dengan hasil
yang cukup sempurna. Cara untuk mengantisipasi adanya finansial atau kegagalan dalam
pembangunan, pemerintah sebelumnya sudah melakukan perolehan data-data terperinci
mengenai keadaan medan yang dihadapi, keperluan akan angkutan, biaya, dan taksiran
pendapatan yang kelak akan diperoleh. Pembangunan pertama yang dilakukan pemerintah
adalah jalan rel jalur Surabaya-Pasuruan-Malang. Pembangunan tersebut dilakukan dengan
2 tahap.
Seiring dengan pembangunan yang dilakukan dengan bertahap, maka pembukaan
jalur dan pengoperasian kereta apinya pun dilakukan secara bertahap pula. Berawal dari
jalan rel jalur Surabaya-Pasuruan yang dibuka untuk umum pada 18 Mei 1878. Kemudian

17
Melly Trirahmi dan Melati Elandis, Double Track 727 Kilometer, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2014), hlm. 50.
18
Departemen Perhubungan Perusahaan Jawatan Kereta Api, Sejarah Perekeretaapian di Indonesia I,
(Bandung: Incarto Indonesia, 1989), hlm. 58.

7
pembukaan jalur Pasuruan-Malang yang diersmikan pada 20 Juli 1879. Pembangunan jalan
rel kereta api yang dijalankan oleh pemerintah ini dilakukan oleh Staatsspoorwegen.
Selanjutnya pada tahun 1875-1877 diadakan penelitian lanjutan untuk pembukaan
lintas Batavia-Bandung dan Sidoarjo-Madiun-Surakarta, serta pembukaan lintas cabang
Kertosono melalui Kediri-Blitar. Alhasil SS pun berhasil meraih keuntungan dari
pembangunan alat transportasi berupa kereta api tersebut. Selain itu keuntungan yang
sebelumnya diperoleh NISM dan juga keuntungan yang diperoleh SS memberi gambaran
dan harapan baru kepada para pengusaha swasta yang telah berminat untuk menanamkan
modal mereka dalam kegiatan jasa angkutan kereta api.
Dengan demikian, sejak saat itu kereta api menjadi incaran para pengusaha swasta
untuk menanamkan modalnya karena alasan keuntungan yang besar tersebut. Sejak itulah
banyaknnya bermunculan perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat konsesi atau izin
untuk memasang jalan rel dan mengeksploitasi kereta api dan trem sebagai alat angkutan di
Indonesia. Dari hal tersebut maka ada total 17 perusahaan swasta pada saat itu yang
bermunculan, diantaranya adalah: Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS),
Javaasche Spoorweg Maatschappij (JSM), Deli Spoorweg Maatschappij (DSM),
Poerwodadi-Goendih Stoomtram Maatschappij (PGSM) Bataviaasche Ooster spoorweg
Maatschappij (BOS), Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS), Solosche Tramweg
Maatschappij (SoTM), Serajoedal Stoomtram Maaschappij (SDS), Semarang-Cheribon
Stoomtram Maatschappij (SCS), Pasoeroean Stoomtram Maatschappij (PsSM),
Bataviasche Stoomtram Maatschappij (BSTM), Probolinggo Stoomtram Maatschappij
(PbSM), Kediri Stoomtram Matshcappij (KSM), Mdjokerto Stoomtram Maatschappij
(MSM), Babat-Djombangg Stroomtram Maatschappij (BDSM), Madoera Stoomtram
maatschappij (MT), Malang Stoomtram Maatschapij (MS).19
2. Masuknya Kereta Api di Bandung
Sejarah perkeretaapian di Kota Bandung tidak lepas dari sejarah perkeretaapian di
Indonesia yang kemudian berimbas ke perkeretaapian di Priangan, khususnya kota
Bandung. Hal ini dikarenakan saling berkaitan dengan asal mula transportasi berupa kereta
api ini masuk ke dataran tinggi Priangan dan ke kota Bandung. Seperti yang sudah dibahas
di atas, perkeretaapian di kota Bandung bermula dari keberhasilan dari pengoperasian alat
transportasi dan alat angkut barang berupa kereta api yang dijalankan oleh NISM dan SS.

19
Departemen Perhubungan Perusahaan Jawatan Kereta Api, Sejarah Perekeretaapian di Indonesia I,
(Bandung: Incarto Indonesia, 1989), hlm. 65-66.

8
Karena dengan keberhasilan mereka pemerintah semakin berhasrat untuk membangun jalan
rel baru.
Dengan disahkannya undang-undang yang mengatur perkeretaapian pada tanggal 6
Juni 1878, maka asas pengusahaan kereta api mulai diakui oleh pemerintah dan hal tersebut
berpengaruh terhadap struktur organisasi perkeretaapian. Kemudiaan pada tahun 1884-
1898 SS membuka beberapa jalur rel kereta api baru, yaitu sebagai berikut:
a. Lintas Pasuruan-Probolinggo pada tanggal 3 Mei 1884.
b. Lintas Surabaya-Surakarta melalui Wonokromo serta Sidoarjo pada tahun 1884.
c. Lintas Sidoarjo-Madiun – Blitar pada 16 Mei 1884.
d. Lintas Bogor-Bandung – Cicalengka pada 10 September 1884.
e. Lintas Yogyakarta-Cilacap pada 1887.
f. Lintas Cicalengka-Cilacap pada 1894.
g. Lintas Wonokromo-Tarik, sehingga kereta api lintas Surabaya-Surakarta tidak perlu
ke Sidoarjo.
h. Lintas Cicalengka-Garut pada 1886.
Dari penjelasan diatas perlu digarisbawahi pada lintas Bogor=Bandung-Cicalengka
yang diresmikan pada tanggal 10 September 1884, bahwa pada tahun tersebutlah
perkeretaapian masuk ke Kota Bandung. Namun sebenarnya untuk yang pertama kali kereta
api masuk ke Kota Bandung yaitu pada tanggal 17 Mei 1884. Selanjutnya dilanjutkan ke
Cicalengka yang penyelesaiannya pada tanggal 10 September 1884.
Masuknya kereta api ke kota Bandung bermula dari setelah dioperasikannya kereta
api yang menghubungkan Batavia dengan Bogor pada 31 Januari 1873. Kemudian
pemerintah Hindia Belanda melanjutkan pembangunan jalur rel kereta api ini sampai ke
Bandung dan Cicalengka. Namun pemasangan jalur rel ini tidak lagi dilaksanakan oleh
NISM, melainkan diambil alih oleh perusahaan milik negara yaitu Staatsspoorwegen. Di
Priangan seluruh jaringan kereta api dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah, walaupun
lintas antara Batavia-Bogor dibangun oleh NISM yang pada akhirnya diambil alih oleh SS.
Jadi perusahaan kereta api swasta hanya beroperasi di dalam kota Batavia saja.
Pembangunannya diawali dari Bogor ke Cicurug kemudian dilanjutkan ke Sukabumi
terlebih dahulu. Pembangunan jalur rel kereta api Bogor-Bandung yang kemudian dilanjutkan
ke Cicalengka ini melalui beberapa tahap pembangunan. Tahap pertama yaitu dari Bogor ke
Cicurug yang dapat diselesaikan pada tanggal 5 Oktober 1881, dan dilanjutkan sampai

9
Sukabumi yang dapat diselesaikan pada tanggal 21 Maret 1882.20 Selanjutnya pembangunan
dari Sukabumi ke Bandung berjarak 99 km tersebut melalui Cianjur. Barulah pada 17 Mei
1884 jalur kereta api ini sampai ke kota Bandung melalui Cianjur. Dengan demikian pada
tahun 1884 ini terhubungnya jalur rel kereta api antara Batavia dengan Bandung.
Diwaktu yang sama pada 17 Mei 1884 dibangun juga Stasiun Bandung yang menjadi
pusat kegiatan perkeretaapian di kota Bandung bahkan di Priangan. Dibangunnya Stasiun
Bandung atas dasar dengan kegiatan pengangkutan barang hasil perkebunan. Dengan
dibukanya jalur Batavia-Bandung melewati Bogor dan Cianjur ini, maka untuk memudahkan
pengangkutan barang dibangunlah gudang-gudang penyimpanan dekat Stasiun Bandung.
Letak gudang-gudang penyimpanan tersebut terletak di Cibangkong, Cikudapateuh,
Kiaracondong, Braga, Pasar Kaliki, Ciroyom dan Andir.
Sejak saat itulah dusun kecil pegunungan yang sunyi sepi ini terbuka dari
isolasinya, tergugah bangkit menjadi kota yang ramai. Untuk para penduduknya terutama
untuk orang gunung di dataran tinggi Priangan, sejak masuknya kereta api ke kota
Bandung, mereka rela turun dari gunung hanya untuk menyaksikan sebuah lokomotif yang
mereka beri nama “Si Gombar” dan “Si Kuik”. Si Gombar adalah lokomotif jalur
pegunungan yang modern dari seri nomor D.D yang berarti memiliki 8 buah roda besar di
depan berpasangan.21 Asal nama Si Gombar menurut kamus Sunda adalah berasal dari
nama tokoh dalam film Amerika yang berbadan besar dan tenaga besar, saat itu orang
Bandung menggunakan kata gombar untuk menggambarkan hal-hal besar termasuk kereta
api yang bentuknya besar dan rodanya kecil.22 Lokomotif ini pada dasarnya digunakan
untuk mengangkut barang hasil perkebunan yang letaknya di dataran tinggi priangan.
Sedangkan Si Kuik, kereta yang lebih kecil dan bunyi suaranya kuik-kuik, maka dari itu
orang Bandung menyebutnya “Si Kuik”.23

B. Sejarah Stasiun Bandung


Pada tahun 1870, orang-orang Belanda di Bandung membuka beberapa perkebunan.
Berkembangnya perkebunan di Bandung menjadi salah satu alasan dibuatnya Stasiun
Bandung. Stasiun ini selesai dibangun dan diresmikan pada tahun 17 Mei 1884 di masa

20
Haryoto Kunto, Seabad Kereta Api Mampir di Kota Bandung 1884-1984, (Bandung: Granesia, 1994),
hlm. 18-19.
21
Haryoto Kunto, Wajah Bandoeng Tempo Doloe, (Bandung: Granesia, 1984), hlm. 100.
22
Yati Nurhayati, Sejarah Kereta Api Indonesia, (Bandung: Rizki Mandiri CV, 2014), hlm. 71.
23
Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Jilid I, (Bandung: APKA) hlm. 103.

10
pemerintahan bupati Koesoemadilaga.24 Peresmian ini sekaligus dilakukan untuk melakukan
pembukaan jalur kereta antara Batavia-Bandung. Jalur tersebut melalui Bogor dan Cianjur.
Para preangerplanters yaitu sebutan untuk tuan tanah perkebunan menggunakan jalur ini
untuk mengirimkan hasil pekebunannya ke Batavia. Sebelum pembangunan jalur kereta ini,
masyarakat memerlukan waktu hampir tiga hari untuk melakukan perjalanan antara Jakarta
sampai Bandung. Namun, jalur kereta ini mempercepat perjalanan sekitar tiga jam.
Para tuan tanah membangun penampungan atau penyimpanan hasil perkebunan yang
akan diangkut dengan kereta di sekitar Stasiun Bandung. Pembangunan gudang-gudang
penimbunan hasil perkebunan berada di beberapa lokasi yaitu, jalan Cibangkong, jalan
Cikudapateuh, daerah Kosambi, Kiaracondong, Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, dan Andir.
Beberapa hasil pekebunan yang dikirimkan dari Bandung ke Jakarta adalah kina, teh, kopi,
dan karet. Pengiriman hasil perkebunan ini mempercepat pertumbuhan ekonomi di kota
tersebut. Pertumbuhan ekonomi inilah yang menyebabkan Bandung menjadi salah satu kota
dengan banyak peninggalan zaman kolonial. Hal ini disebabkan masyarakan Belanda yang
tinggal di Bandung banyak membangun bangunan untuk mempermudah dan menikmati hasil
yang didapat dari perkebunannya.25
Berdirinya Stasiun Bandung memiliki hubungan dengan daerah di sekitarnya. Pada
awal berdirinya, Stasiun Bandung merupakan sarana transportasi hasil perkebunan di
Bandung. Para tuan tanah banyak menggunakan kereta api untuk mengirimkan hasil
perkebunannya ke Batavia. Pengiriman hasil perkebunan menggunakan kereta api dinilai
lebih cepat daripada menggunakan angkutan darat lainnya. Hal ini tentu saja berdampak pada
keadaan perekonomian Bandung. Pertumbuhan ekonomi di Bandung meningkat pesat
dibandingkan sebelum adanya stasiun. Atas jasanya, stasiun ini mendapatkan penghargaan
dari pemerintah kolonial. Penghargaan tersebut berupa monumen yang berada tepat di depan
stasiun tersebut. Monumen tersebut diterangi oleh 1.000 lentera. Saat ini monument tersebut
telah digantikan dengan lokomotif uap seri TC008.26
Sebelum diangkut menggunakan kereta api, barang-barang hasil perkebunan perlu
disimpan. Pada zaman itu dibangunlah gudang-gudang perkebunan di sekitar Stasiun
Bandung. Beberapa lokasi didirikannya gudang tersebut ada di Cibangkong, Cikudapateuh,
Kosambi, Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, dan Andir. Hal ini membuktikan bahwa adanya
Stasiun Bandung dapat membuat perekonomian di Bandung semakin berkembang.

24
stasiun-madiun.komunikasi.web.id.html, diakses pada tanggal 1 Desember 2018 jam 10.39 WIB.
25
Jurnal Muhammad Aodyra Khaidir, Sejarah Stasiun Bandung dari Masa ke Masa, Seminar Heritage IPLBI
2017.
26
Gregorius Magnus Finesso, Bangkitnya Tatar Sunda, (Kompas: 2010).

11
Pada tahun 1894, dibuka jalur perkeretaapian Bandung-Surabaya. Jalur ini dapat
memudahkan hubungan para pemilik tanah dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dengan adanya kemudahan tersebut, dilaksanakanlah Kongres Pengusaha Perkebunan di
Bandung. Hal ini tentu membuat perekonomian Bandung, khususnya di sektor perkebunan,
semakin meningkat. Selain alasan ekonomi, pembangunan stasiun di Bandung tidak lepas
dari rencana politik yang telah disiapkan oleh Hindia Belanda. Stasiun Bandung merupakan
inisiasi yang dilakukan oleh pemerintah sebelum membangun infrastruktur lainnya. Setelah
dibangun Stasiun Bandung, dibangun pula stasiun-stasiun lain di sekitarnya. Stasiun tersebut
antara lain: Padalarang, Kiaracondong, Tanjungsari, Rancaekek, Cicalengka, Citiis,
Lebakjero, Cimanuk, Cibatu, dan Nagreg. Stasiun-stasiun tersebut terletak di pegunungan
daerah Priangan.27
Pembangunan Stasiun Bandung mengakibatkan munculnya kegiatan-kegiatan
ekonomi baru. Kegiatan-kegiatan ekonomi seperti warung, pasar, kantor, dan lain-lain
menambah daya Tarik dan keramaian kota. Daya Tarik tersebut membuat banyak penduduk
desa berpindah ke Bandung. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan tanah sebagai tempat
tinggal ataupun tempat usaha semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan perluasan
daerah Bandung. Pemerintah Hindia Belanda berencana untuk memindahkan pusat
pemerintahan ke Bandung. Pada tahun 1916, sebuah studi dari HF Tillme, menyimpulkan
bahwa kondisi dan kualitas fisik perkotaan di pantai utara Pulau Jawa kurang sehat dan tidak
ideal sebagai pusat administrasi pemerintahan, oleh Karena itu diusulkan untuk
memindahkan pusat kota ke pedalaman, dan Bandung menjadi salah satu alternatifnya.
Beberapa instansi pemerintahan telah dipindahkan ke Bandung.
Rencananya, semua instansi pemerintahan akan ditampung di sebuah kompleks
perkantoran yang sekarang dikenal dengan Gedung Sate. Pada tahun 1930, kisis malaise
menyerang dunia, tak terkecuali Hindia Belanda. Saat itu tanaman yang dibudidayakan para
petani berupa padi, buah-buahan, dan sayur-sayuran, mengalami kelebihan produksi sehingga
harganya lebih murah. Akibatnya, nilai jual yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya
produksi yang dikeluarkan. Petani, pedagang, dan peternak mengalami kerugian yang besar
pada masa tersebut. Krisis ini menyebabkan perekonomian di Hindia Belanda menurun dari
sebelumnya. Hal ini menyebabkan kegagalan rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda
dari Batavia ke Bandung.

27
Jurnal Febri Nur Fitrianto, Studi Dampak Pembangunan Stasiun Bandung Terhadap Daerah
Sekitarnya, Seminar Heritage IPLBI 2017.

12
Tumbuhnya transportasi mengakibatkan kota-kota persinggahan tumbuh semakin
cepat, tak terkecuali Bandung. Adanya Stasiun Bandung mengakibatkan perdagangan
semakin cepat sehingga tumbuh pasar sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi. Banyak
bangunan-bangunan perdagangan yang didirikan di sekitarnya. Salah satu bangunan tersebut
adalah Pasar Baroeweg atau yang saat ini dikenal dengan nama Pasar Baru. Bangunan pasar
baru didirikan pada tahun 1906 oleh pemerintah Hindia Belanda, dan dikembangkan pada
tahun 1926. Daerah di sekitar Stasiun Bandung pun menjadi pusat perdagangan di Kota
Bandung saat itu.28

28
Jurnal Febri Nur Fitrianto, Studi Dampak Pembangunan Stasiun Bandung Terhadap Daerah Sekitarnya,
Seminar Heritage IPLBI 2017.

13
BAB III
TINJAUAN KHUSUS OBJEK PENELITIAN

A. Arsitektur Stasiun Bandung


Dalam segi arsitektur dan desain bangunan Stasiun Bandung mengalami beberapa
tahap perubahan, yaitu pada awal pembangunan (1884), kedua yaitu pada tahun 1909, dan
yang terakhir hingga saat ini pada tahun 1928.
1. Tahap Awal (1884)
Untuk tahap awal yaitu bersamaan dengan diresmikannya pada tahun 1884. Pada
tahap ini tidak ada yang begitu mencolok dan istimewa dari segi bangunannya.
Dikarenakan pada tahap awal ini belum menggunakan jasa seorang arsitek atau perancang
bangunan yang ahli. Jadi pada tahap awal ini dikerjakan oleh tenaga sipil saja. Dalam segi
gaya bangunannya, Stasiun Bandung pada tahap awal bergaya campuran antara kolonial
dan Cina.29 Karena pada masa itu bangunan di kota-kota besar Indonesia hampir semua
bergaya kolonial dan Cina.
Hal tersebut dikaerenakan bangunan-bangunan yang ada di kota Bandung pada saat
itu bentuknya yang masih sederhana, berupa perumahan panggung dengan dinding
anyaman bambu, terutama di daerah selatan kota yang dikenal sebagai kawasan masyarakat
Sunda. Kemudian berkembang desain bangunan dengan arsitektur tradisional Eropa yang
dibangun sejak masa abad ke-19. Beberapa dari bangunan tersebut dapat ditemukan di
sekitar kawasan pusat kota dan kawasan militer yang ada di dalam kota Bandung. Dengan
bagian depan yang monumental dan kolom klasik, serta dinding tembok yang tebal,
bangunan-bangunan tersebut memperlihatkan gaya tradisional Eropa yang unik dan indah.
Kemudian banyak ditemukannya juga bangunan dengan gaya tradisional Eropa tersebut
pada akhir abad ke-19 di sekitar alun-alun, sekitar stasiun kereta api, dan kawasan militer.30
Bagian depan bangunan dengan kolom-kolom klasik dan dinding tebal adalah ciri-
ciri bangunan tradisional Eropa. Gaya tradisional Eropa dengan tata ruang interior simetris
adalah salahsatu pemecahan desain yang dikenal dengan gaya rumah Dutch Indisch.31
Gaya ini dianggap sebagai hasil akulturasi antara budaya Eropa dan Cina. Hal ini lah yang

29
Haryoto Kunto, Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung, (Bandung: Granesia, 2008), hlm. 159.
30
Sudarsono Katam, Oud Bandoeng dalam Kartu Pos: Menjelang 200 Tahun Bandung, (Jakarta: Khazanah
Bahari, 2009), hlm. 182.
31
Dibyo Hartono, Architectural Conservation Award Bandung, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 3.

14
menyebabkan mengapa gaya bangunan dari Stasiun Bandung bergaya campuran antara
kolonial dengan Cina.
2. Tahap Kedua (1909)
Pada tahap ini Stasiun Bandung sudah mulai menggunakan jasa seorang arsitek untuk
desain Stasiun Bandung. Pada tahap ini, Stasiun Bandung direnovasi dengan memperluas
stasiun oleh seorang arsitek yang bernama FJA Cousin. Cousin melakukan perubahan
bangunan Stasiun Bandung yaitu perluasan bangunan. Bangunan hasil perluasan ini memiliki
hiasan kaca patri yang bergaya art deco.32 Di peron bagian selatan ditandai dengan hiasan
kaca patri bergaya art deco. Art deco itu sendiri adalah gaya hias yang lahir setelah Perang
Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai
bidang, seperti eksterior, interior, mabel, patung, poster, pakaian, perhiasan, dan lain-lain.33
Suatu perkembangan arus arsitektur modern setelah Perang Dunia I yang
menampilkan berbagai fenomena modern yang dikenal dengan art deco. Dalam periode ini
kota Bandung seolah-olah disulap dengan diperindah dengan bangunan bergaya art deco ini.
kota Bandung pada akhir Perang Dunia I memperlihatkan mulai terjadinya evolusi bentuk
bangunan ke arah yang semakin modern. Masyarakat kota Bandung sudah mulai
menggunakan bahan beton bertulang untuk kebutuhan kontruksi bangunan dengan teknik dan
bentuk yang kreatif. Jadi dengan pemaparan tersebut bisa dibayangkan kontruksi bangunan
Stasiun Bandung pada masa itu yang sudah mulai modern dengan menggunakan bahan beton
untuk kontruksi bangunannya.
Selanjutnya pada tanggal 5 Juni 1926 demi memperingati hari jadi ke-50
Staatsspoorwagen (SS) di depan bangunan Stasiun Bandung dibangun sebuah tugu peringatan
hari jadi tersebut yang dirancang oleh Ir. E. H. de Roo. Tugu tersebut dibuat dengan hiasan
berbahan besi, berbentuk pilar segi delapan dengan lentera kaca, dan di puncak tugu
dipasangi lampu listrik dengan daya penerangan 1000 lilin.34
3. Tahap Akhir (1928)
Sebenarnya pada tahap ini tidak berbeda jauh dengan tahap kedua. Dikatakan tahap
akhir karena dalam segi arsitektur Stasiun Bandung dari tahun 1928 hingga saat ini
keaslian bangunannya masih terjaga. Belum adanya perombakan besar-besaran yang
mengakibatkan perubahan arsitektur bangunannya. Pada tahap ini masih juga

32
Jurnal Muhammad Aodyra Khaidir, Sejarah Stasiun Bandung dari Masa ke Masa, Seminar Heritage IPLBI
2017.
33
Pradaningrum Mijarto, Bangunan Kereta Api Bersejarah: Pesona yang Tak Lekang Digerus Waktu,
(Jakarta: PT Kereta Api, 2012), hlm. 60.
34
Sudarsono Katam, Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe, (Bandung: Pustaka Jaya, 2014), hlm. 59.

15
menggunakan arsitektur bangunan bergaya art deco. Namun pada tahap ini arsitektur
bangunan dirancang oleh seorang arsitek Belanda yaitu Ir. E. H. de Roo. Di tahap ini
dicirikan dengan satu sisi, di mana sirkulasi penumpang melewati gerbang masuk yang
berhubungan langsung dengan loket karcis yang berada di bagian kanan dan kiri, dan
sirkulasi keluar terbagi dua melalui pinttu keluar yang terletak di sayap kiri dan sayap
kanan.35 Alasan mengapa dilakukannya renovasi pada tahap ini juga berkaitan dengan
semakin meningkatnya penumpang dari tahun ke tahun di Stasiun Bandung. Semula,
bangunan ini tepat berimpit dengan jalan, namun akibat perluasan halaman stasiun ke arah
timur untuk sub.terminal angkutan umum, bangunan ini tidak lagi tepat berimpit.36

B. Gaya Art Deco pada Revitalisasi Stasiun Bandung


Ciri khas dari bangunan stasiun Bandung adalah kaca patri lunette yang ada di fasad
bangunan hall. Lunette pada fasad hall terdiri dari lima lunette kecil dengan bahan kaca timah
yang didominasi oleh warna biru dan putih jernih.37 Kaca yang berwarna putih berbentuk
persegi panjang sebagai bentuk dasar, sedangkan yang berwarna biru berbentuk segi tiga,
belah ketupat, dan persegi panjang sebagai ornamen. Bagian bangunan ini yang tetap
dipertahankan sebagai bangunan cagar budaya.
Bangunan lama stasiun Bandung didominasi oleh bidang masif, dengan jendela-
jendela memanjang horisontal berteralis (Gambar 1). Pada beberapa sisi bangunan, pada
bagian atas terdapat pula jendela memanjang vertikal. Terdapat garis-garis horizontal pada
fasad bangunan dengan warna yang berbeda dengan warna dinding. Sedangkan peron
didominasi oleh bentuk segitiga pelana, dengan tambahan kanopi pada kedua sisi yang
memanjang.

Gambar 1. Jendela Bangunan Eksisting Stasiun.

35
Skripsi Kartika Theresia, Kajian Desain Stasiun Bandung Dalam Lingkup Konservasi Bangunan
Bersejarah, (Bandung: Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan, 2005), hlm. 34.
36
Nurhikmah Budi Hartanti, Stasiun Kereta Api Di Pulau Jawa-Indonesia, (Jakarta: PT Kai, 2010), hlm. 46.
37
Nurhikmah Budi Hartanti, Stasiun Kereta Api di Pulau Jawa-Indonesia, (Jakarta : PT KAI, 2010), hlm. 49.

16
Bangunan art deco memiliki ciri-ciri sebagai berikut:38
a. Adanya alis atau topi jendela.
b. Ziggurat, struktur yang bertingkat seperti tangga.
c. Sisi melengkung.
d. Atap datar.
e. Angka tiga.
f. Garis-garis horizontal.
g. Kaca Patri.
h. Hiasan Geometris.
Gaya art deco menggambarkan kemewahan, glamour, kegembiraan, kemajuan sosial
dan teknologi. Art deco dalam arsitektur sebagai seni dekoratif. Gaya art deco yang ada di
Indonesia, khususnya Kota Bandung, merupakan jenis art deco “streamline modern”.
Bangunan art deco streamline modern lebih bersih dibandingkan dengan kedua jenis art deco
lainnya, yaitu stepping type dan classic modern, yang lebh banyak menggunakan ornamen.39
Rancangan ini dibuat dengan mempertahankan ciri khas dari art deco stasiun
selatan dan mengembangkan karakter bangunan art deco. Rancangan dilakukan dengan
mempertahankan keaslian bangunan hall yang menjadi icon di kawasan stasiun selatan,
juga mengaplikasikan bentuk-bentuk dan ciri dari art deco sendiri (Gambar 2).
Perancangan bangunan pendukung dan unsur lanskap di kawasan stasiun selatan juga
dirancang dengan mendukung dan mengarahkan pada bangunan hall.

GARIS BIDANG KANOPI TALANG


HORIZONTAL TRANSPARAN AIR

Gambar 2. Penerapan Ciri Art Deco Pada Rancangan.

38
Athea Kania, Ensiklopedia Mini: Seni Bangunan Art Deco, (Bandung: C.V. Angkasa, 2013), hlm. 70.
39
Skripsi Arief Adityawan S, Tinjauan Desain dari Revolusi Industri hingga Postmodern, (Jakarta:
Universitas Tarumanegara, 1999), hlm. 40.

17
1. Konsep Tapak
Untuk memperoleh tampilan visual yang menarik bagi bangunan cagar budaya, letak
bangunan penunjang tidak sejajar dengan bangunan cagar budaya (Gambar 3). Letak
bangunan penunjang lebih maju dan mengapit kedua sisi bangunan. Peletakkan masa
bangunan ini membentuk plaza di budaya sendiri. Bangunan cagar budaya dan terminal
angkutan kota yang letaknya berhadapan membentuk garis aksial secara vertikal (Gambar 4).
Fasilitas baru Pujasera diletakkan di hadapan kantor DAOP II hingga membentuk garis aksial
secara horisontal. Garis imajiner yang terbentuk terletak tepat di tengah kawasan stasiun,
sehingga semakin memperkuat keberadaan bangunan cagar budaya yang menjadi point of
interest di dalam kawasan. Ruang luar di kawasan stasiun dirancang simetris seperti pada
bangunan-bangunan tempo dulu untuk mendapatkan kesan monumental.

Gambar 3. Perspektif Stasiun Bandung 1.

Gambar 4. Garis Imajiner pada kawasan Stasiun Bandung.


2. Konsep Masa dan Bentuk Bangunan
Bentuk kubus atau segiempat bangunan yang merujuk pada salah satu ciri dari
bangunan modern art deco diterapkan pada masa bangunan hasil rancangan. Seperti halnya
bentuk bangunan stasiun pada umumnya, bangunan penunjang stasiun dibuat memanjang ke
samping. Bangunan penunjang di samping bangunan cagar budaya berfungsi sebagai

18
foreground dan selaras dengan bangunan cagar budaya (Gambar 6), sedangkan peron sebagai
background yang memperkuat eksistensi bangunan cagar budaya.

Gambar 6. Perspektif Stasiun Bandung 2.


3. Desain Fasad
Tampilan fasad bangunan mengacu pada tampilan fasad bangunan lama. Bangunan
lama didominasi oleh bidang masif. Oleh karena itu untuk membedakan antara bangunan
baru dan lama, bangunan baru didominasi oleh bidang transparan. Semakin menjauhi
bangunan cagar budaya, fasad bangunan dibuat semakin transparan. Garis horisontal yang
menjadi aksen pada bangunan modern art deco digunakan kembali di sepanjang bangunan
stasiun. Garis horisontal juga menjadi desain fasad dominan pada beberapa bagian bangunan.
Talang air dengan warna yang mencolok (Gambar 7) menjadi aksen pada bangunan.
Penyelesaian pembuangan air hujan dengan bentuk segitiga pada bagian atas memanjang
secara vertikal menuju saluran air.
Topi jendela yang ada pada bangunan modern art deco diaplikasikan kembali pada
bangunan baru. Selain berfungsi untuk mengurangi intensitas cahaya matahari dan air hujan,
topi jendela juga berfungsi sebagai aksen pada fasad bangunan.

Gambar 7. Perspektif Stasiun Bandung 3.

19
4. Konsep Interior
Interior bangunan didominasi oleh ornamen khas Stasiun Bandung dan ornament art
deco untuk memelihar eksistensi dari gaya khas dari bangunan tempo dulu. Jendela
memanjang horizontal dengan teralis tetap dipertahankan pada beberapa bagian stasiun.
Interior dan perabotan di dalam bangunan didominasi oleh material kayu berundak
membentuk tangga, seperti pada atap peron tempo dulu. Sambungan atap peron
menggunakan bentuk tempo dulu dengan material baja (Gambar 8).

Gambar 8. Struktur Atap Stasiun Bandung.

20
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Stasiun Bandung didirikan pada 17 Mei 1884, bertepatan dengan masuknya transportasi
berupa kereta api ke kota Bandung. Kegiatan perkeretaapian di kota Bandung bermula dari
keberhasilan dari pengoperasian alat transportasi dan alat angkut barang yaitu kereta api yang
dijalankan oleh Naamlooze Venootscahp Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij dan
Staatsspoorwegen. Dengan mereka, pemerintah Hindia Belanda semakin termotivasi untuk
mengembangkan jalur rel kereta api untuk selanjutnya. Kemudian pada tahun 1884 perusahaan
milik pemerintah, yaitu Staatsspoorwegen membuka beberapa jalur rel kereta api, dan pada 10
September 1884 telah diselesaikannya lintas jalur Bogor-Bandung-Cicalengka.
Pada jalur ini lah perkeretaapian mulai masuk ke Kota Bandung, yaitu pada 17 Mei
1884 yang kemudian dilanjutkan ke Cicalengka yang baru rampung pada 10 September 1884.
Pembangunannya dimulai dari Bogor ke Cicurug dan selesai pada tahun 1881, dilanjutkan ke
Sukabumi terlebih dahulu dan dapat diselesaikan pada tahun 1882. Selanjutnya pembangunan
dari Sukabumi ke Bandung melewati kota Cianjur yang rampung pada 17 Mei 1884,
bertepatan dengan dibangunnya Stasiun Bandung. Kemudian pada 10 September selesai
dibangunnya jalur Bandung-Cicalengka.
Alasan dibangunnya Stasiun Bandung tidak beda dengan alasan dibangunnya jalur
kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung melewati Bogor dan dilanjutkan ke
Cicalengka. Hal ini atas dasar kebutuhan pengangkutan barang hasil perkebunan di Priangan.
Barang-barang hasil perkebunan tersebut yang akan di kirim ke Batavia melalui Bogor.
Karena daerah Priangan, khususnya juga Bandung menjadi komoditas utama dalam
penghasilan perkebunan seperti teh, kopi, kina, gula, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan
semenjak diberlakukannya Undang-undang Agraria pada tahun 1870. Dari beberapa hasil
perkebunan tersebut, Bandung menjadi daerah primadona yang menghasilkan barang-barang
wajib, yaitu teh dan kopi. Karena daerah Priangan khususnya Bandung memiliki geografis
dan iklim yang sangat cocok untuk menanam dua penghasilan wajib tersebut.
Karena dengan sudah adanya alat transportasi yang modern ini lebih memudahkan
dalam pengangkutan barang hasil perkebunan yang jumlahnya banyak, yang tentunya jika
diangkut dengan gerobak (sebelum adanya kereta api di Hindia Belanda) akan memakan
waktu yang sangat lama. Maka dibangunlah Stasiun Bandung untuk tempat pemberhentian
kereta api yang guna untuk pengangkutan hasil perkebunan. Karena di sekitar Stasiun

21
Bandung dibangun pula gudang-gudang penyimpanan hasil perkebunan guna untuk
menyimpan hasil perkebunan sebelum di kirim ke Batavia. Gudang-gudang penyimpanan
tersebut terletak di Cikudapateuh, Cibangkong, Kiaracondong, Braga, Pasar Kaliki, Ciroyom,
dan Andir.
Dengan berjalannya waktu kereta api bukan hanya digunakan untuk hasil perkebunan
saja, melainkan untuk daya angkut penumpang. Peminat untuk alat transportasi modern ini
makin tahun makin meningkat, khususnya untuk berpergian jarak menengah jauh. Untuk
pengunjung yang datang ke Kota Bandung makin tahun juga makin meningkat, dan otomatis
tempat pemberhentiannya di Stasiun Bandung. Karena pada masa itu Kota Bandung baru
memiliki satu stasiun yaitu Stasiun Bandung. Dengan hal demikian Stasiun Bandung mau
tidak mau harus melakukan beberapa perkembangan, khususnya dalam segi bangunan dan
rute perjalanan dari dan ke Stasiun Bandung.
Stasiun Bandung sendiri mengalami tiga kali renovasi atau perubahan dalam segi
bangunan. Seperti yang sudah diketahui, pada tahap awal pembangunan Stasiun Bandung
yaitu pada tahun 1884. Pada tahap awal ini Stasiun Bandung belum menggunakan tenaga
khusus atau seorang arsitektur dalam pembangunannya. Tahap awal ini masih menggunakan
tenaga kasar saja atau tenaga warga sipil dan beberapa bantuan dari pekerja Cina. Awal
bangunan Stasiun Bandung masih sangat sederhana, bangunannya hanya bergaya campuran
antara kolonial dan Cina.
Selanjutnya pada tahap pembangunan ke dua tahun 1909 Stasiun Bandung mengalami
perubahan. Pada tahap ke dua ini mulai digunakannya tenaga khusus atau arsitektur dari
orang Belanda, yaitu FJA Cousin. Perubahan dapat dilihat dari perluasan bangunan dan
memiliki hiasan kaca patri yang bergaya art deco. Kemudian pada tahap akhir tahun 1928
Stasiun Bandung kembali melakukan perubahan dalam segi bangunan. Dikatakan tahap akhir
karena hingga saat ini Stasiun Bandung masih utuh keasliannya dan belum pernah diubah
secara besar-besaran dan diubah arsitekturnya.
Perubahannya dapat dilihat dari satu sisi di mana sirkulasi penumpang melewati
gerbang masuk yang berhubungan langsung dengan loker karcis yang berada di bagian kanan
dan kiri, dan sirkulasi keluar terbagi menjadi dua melalui pintu keluar yang terletak di sayap
kiri dan kanan. Tahap akhir ini juga menggunakan tenaga arsitektur, yaitu Ir. E. H. de Rood
dan masih bergaya art deco. Selain perkembangan dalam segi bangunan, Stasiun Bandung
mengalami perkembangan dalam jaringan rel kereta apinya. Seperti jalur Bandung-Banjar,
Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citalui, trayek trem Bandung-Kopo, Bandung-
Citeureup. Selain itu ada juga jalur Bandung-Surabaya dengan menggunakan dua kereta

22
ekspress. Kereta ekspress ini hanya memakan waktu sehari semalam saja, maka dari itu
kereta cepat ini hanya diperuntukkan masyarakat menengah ke atas.
Art deco menjadi salah satu ciri khas yang ada di Stasiun Bandung. Gaya ini yang
membedakan Stasiun Bandung dengan stasiun-stasiun lainnya di Indonesia. Dalam
pengembangan stasiun yang ditujukkan untuk meningkatkan pelayanan bagi calon
penumpang dan penumpang kereta api, gaya art deco tetap dipertahankan untuk
menghormati dan menjaga nilai sejarah yang telah ada lebih dari 50 tahun. Penerapan pada
rancangan, gaya art deco dikembangkan sesuai dengan teknologi dan kebutuhan saat ini.

B. Saran
Bagi para pembaca, laporan penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai Sejarah maupun Arsitektur dari Stasiun Bandung. Selain itu, dalam perkembangan
pendidikan sejarah, hanya beberapa peneliti yang secara khusus meneliti sejarah maupun
arsitektur dari Stasiun Bandung. Sehingga laporan penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu alternatif materi perkuliahan yang disampaikan kepada mahasiswa.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Departemen Perhubungan Perusahaan Jawatan Kereta Api, 1989, Sejarah Perekeretaapian
di Indoonesia I, (Bandung: Incarto Indonesia).

Finesso, Gregorius Magnus, 2010, Bangkitnya Tatar Sunda, (Kompas).

Hartanti, Nurhikmah Budi, 2010, Stasiun Kereta Api di Pulau Jawa-Indonesia, (Jakarta : PT
KAI).

Hartono, Lokomotif & Kereta Rel Diesel di Indonesia, (Bandung: Ilalang Sakti
Komunikasi).

Hartono, Dibyo, 2014, Architectural Conservation Award Bandung, (Bandung: Remaja


Rosdakarya).

Kania, Athea, 2013, Ensiklopedia Mini: Seni Bangunan Art Deco, (Bandung: C.V. Angkasa).

Katam, Sudarsono, 2014, Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe, (Bandung: Pustaka Jaya).

_______________, 2009, Oud Bandoeng dalam Kartu Pos: Menjelang 200 Tahun Bandung,
(Jakarta: Khazanah Bahari).

Kunto, Haryoto, 2008, Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung, (Bandung: Granesia).

____________, 1994, Seabad Kereta Api Mampir di Kota Bandung 1884-1984, (Bandung:
Granesia).

____________, 1984, Wajah Bandoeng Tempo Doloe, (Bandung: Granesia).

24
Mariyadi, Ibnu Murti, Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia, (Bandung: PT.
KAI).

Melly Trirahmi dan Melati Elandis, 2014, Double Track 727 Kilometer, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara).

Mijarto, Pradaningrum, 2012, Bangunan Kereta Api Bersejarah: Pesona yang Tak Lekang
Digerus Waktu, (Jakarta: PT Kereta Api).

Nurhayati, Yati, 2014, Sejarah Kereta Api Indonesia, (Bandung: Rizki Mandiri CV).

Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Jilid I, (Bandung: APKA).

Jurnal dan Skripsi


Jurnal Febri Nur Fitrianto, Studi Dampak Pembangunan Stasiun Bandung Terhadap Daerah
Sekitarnya, Seminar Heritage IPLBI 2017.

Jurnal Muhammad Aodyra Khaidir, Sejarah Stasiun Bandung dari Masa ke Masa, Seminar
Heritage IPLBI 2017.

Jurnal Priska Paramita Pradipta dan Muhammad Faqih, Gaya Art Deco pada Revitalisasi
Stasiun Bandung, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

Skripsi Arief Adityawan S, 1999, Tinjauan Desain dari Revolusi Industri hingga
Postmodern, (Jakarta: Universitas Tarumanegara).

Skripsi Kartika Theresia, 2005, Kajian Desain Stasiun Bandung Dalam Lingkup Konservasi
Bangunan Bersejarah, (Bandung: Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan).

Internet
heritage.keretaapi.co.id, diakses pada tanggal 28 November 2018 jam 16.31 WIB.
stasiun-madiun.komunikasi.web.id.html, diakses pada tanggal 1 Desember 2018 jam 10.39
WIB.

25
LAMPIRAN

Gambar 1. Stasiun Bandung Periode Awal (Pradipta: 2015).

Gambar 2. Stasiun Bandung setelah renovasi Gambar 3. Stasiun Bandung saat ini.
Tahun 1909.

Gambar 4. Infografis Stasiun Bandung.

26
Gambar 5. Rancangan Awal Stasiun Bandung (Spoorwegstation op Java.).

Gambar 6. Pembangunan Stasiun Tahap Awal (1884) (KITLV, Station-Bandoeng, No.


1400238.).

27
Gambar 7. Pembangunan Stasiun Tahap Dua (1909) (KITLV, Station te Bandoeng, No.
155127).

Gambar 8. Pembangunan Stasiun Tahap Akhir (1928) (KITLV, Station van de


Staatsspoorwegen te Bandoeng, NO. 38919.).

28
Gambar 9. Suasana di Stasiun Bandung (Gerbang Selatan) 1.

Gambar 10. Suasana di Stasiun Bandung (Gerbang Selatan) 2.

Gambar 11. Suasana di Stasiun Bandung (Gerbang Selatan) 3.

29
30

Anda mungkin juga menyukai