Anda di halaman 1dari 3

Orang pertama yang menerima Islam adalah mangkubumi Kerajaan Gowa yang

juga menjabat sebagai Raja Tallo yang bernama I Malingkang Daeng Manyonri. Ia
kemudian mendapat nama Islam, Sultan Abdullah Awwalul-Islam. Pada saat yang sama
Raja Gowa XIV, I Mangarangi Daeng Manrabia, juga menyatakan keislamannya yang
kemudian diberi nama Sultan Alauddin.
Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya
penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena setelah itu, terjadi konversi ke dalam
Islam secara besar-besaran. Konversi ini ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit
Sultan Alauddin pada tanggal 9 November 1607 untuk menjadikan Islam sebagai agama
kerajaan dan agama masyarakat. Sampai di sini, penerimaan Islam berlangsung secara
damai, tetapi masalah timbul setelah Raja Gowa menyerukan Islam ke kerajaan-
kerajaan tetangga. Tiga kerajaan Bugis yang tergabung dalam aliansi Tellunpoccoe,
menolak seruan itu, sehingga terjadi perang antara Kerajaan Makassar yang terdiri atas
Kerajaan Gowa dan Tallo dan Kerajaan Bugis yang terdiri atas Kerajaan Bone,
Soppeng, dan Wajo. Perang tersebut menurut lontara Bugis sebagai Musu Selleng.
Terlepas dari motivasi yang mendorong Sultan Alauddin mengumumkan perang
terhadap kerajaan-kerajaan tetangganya, perang itu sendiri sangatlah menguntungkan
dari segi islamisasi di Sulawesi Selatan, sebab diiringi dengan pengislaman terhadap
raja-raja yang ditaklukkan. Raja Bone merupakan raja terakhir dari aliansi Tellunpoccoe
yang menerima Islam setelah ia mengalami kekalahan dalam perang tahun 1611.
Dengan masuknya Islam, maka sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan telah memeluk
agama Islam, kecuali Tana Toraja.
Dengan demikian, proses islamisasi antara tahun 1605 dan tahun 1611
merupakan periode penerimaan Islam secara besar-besaran. Setelah itu, dimulailah
proses sosialisasi Islam ke dalam struktur kerajaan dan kehidupan masyarakat.
Kelihatannya, proses itu berjalan dengan tidak banyak menimbulkan pertentangan. Hal
ini terjadi karena sejak semula, penyebaran Islam dilakukan atas prakarsa raja, serta atas
kemampuan adaptasi yang diperlihatkan oleh para penyebar Islam di wilayah Sulawesi
Selatan ini.
Disertasi ini terfokus pada masalah islamisasi yang diperankan raja, terutama
Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah. Sultan Abdullah yang dikenal sebagai
mangkubumi Kerajaan Gowa banyak berperan pada masa pemerintahan Sultan
Alauddin. Persaudaraan dua kerajaan, Gowa dan Tallo, selain memang pada mulanya
berasal dari satu kerajaan, juga diperkuat oleh kesepakatan yang disebut “Rua Karaeng
na se’re ata” (dua raja, tetapi satu hamba). Kedua kerajaan tersebut biasanya disebut
dengan satu nama, yaitu Kerajaan Makassar. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, penelitian ini terfokus pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV, Sultan
Alauddin. Tetapi, untuk melengkapi uraian ini akan disinggung juga mengenai peranan
yang diberikan oleh Sultan Malik al-Sa’id, Raja Gowa XV, dan Sultan Hasanuddin,
Raja Gowa XVI.
BAB II
Tinjauan Umum Kerajaan Gowa

A. Asal Usul dan Perkembangan Kerajaan Gowa


Informasi mengenai sejarah Kerajaan Gowa pra-Islam yang dapat diungkapkan
melalui sumber-sumber tertulis, baru ditemukan sekitar abad XIV. Sumber-sumber
tersebut terdiri atas: Pertama, lontara sebagai sumber sejarah yang telah umum
diketahui keutamaannya. Kedua, sure’galigo yang diperkirakan dapat memberi petunjuk
tentang keadaan masyarakat dan kebudayaan di Gowa. Ketiga, sumber dari orang
Portugis yang bernama Tome Pires dalam bukunya yang berjudul “The Suma Oriental”.
1. Asal Usul Kerajaan Gowa
Sebelum Kerajaan Gowa berdiri yang diperkirakan terjadi pada abad ke-XIV,
daerah ini sudah dikenal dengan nama “Makassar” dan masyarakatnya disebut dengan
suku Makassar. Buku Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada zaman Gajah
Mada (1364) menyebut nama Makassar ketika ia menyinggung wilayah kekuasaan
Majapahit. Sumber ini dianggap sumber tertua yang memuat nama Makassar tersebut
dalam sarga XIII dan XIV berikut:

Muwah tanah; Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk tentang Udamakarkartayadhi nikanang
sanuasaspupul Ikangsakasanu-sanusa Makasar Butun Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya Soto
Muar.

Kata “Makasar” yang dimaksud Prapanca dalam tulisan tersebut, bukanlah


sebuah nama suku, melainkan nama sebuah negeri, yakni negeri Makassar, sebagaimana
halnya negeri Bantayan (Bantaen), Luwuk (Luwu), Butun (Buton), Selaya (Selayar) dan
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai