Anda di halaman 1dari 4

KEBIJAKAN SOEKARNO TERHADAP MUSIK POP BARAT

TAHUN 1959-1965
Tugas Seminar Sejarah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Sejarah yang diampu oleh
Dr. Ajid Thohir, M.Ag.

Disusun Oleh:
Rizky Framudita Ramdani
1165010148

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
1

Kajian ini mengambil judul Kebijakan Soekarno Terhadap Musik Pop


Barat Tahun 1959-1965. Kajian ini memberikan pandangan Soekarno akan
hadirnya musik (pop) barat di Indonesia dalam kurun waktu 1959-1965.
Penelitian ini mengaitkan dengan pelarangan musik barat di Indonesia, khususnya
pop.
Politik dan musik populer bisa dikatakan saling terkait pada tahun 1960-
an. Hal ini bermula pada pidato Soekarno dalam rangka perayaan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1959. Pidato yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” dalam sidang Manifesto Politik (Manipol-Usdek) tersebut
menitikberatkan kepada kebangkitan semangat revolusi, dekolonialisasi, dan
keadilan sosial ini mulai mengancam eksistensi musik-musik barat, yang masa itu
banyak didengar oleh masyarakat.1 Pelarangan musik anti barat pun menjadi titik
puncak dari pidato Soekarno tersebut.
Dalam merujuk terhadap penelitian ini, penulis mengutip sumber langsung
dari buku Manifesto Politik dimana Soekarno menyampaikan pendapatnya terkait
musik barat melalui Manifesto Politik. Bahwa dalam penelitian ini, Soekarno
membuat kebijakan ini ketika berpidato dalam sidang Dewan Pertimbangan
Agung dalam buku Manifesto Politik. Penulis tertarik meneliti kajian ini
dikarenakan penulis menyukai musik-musik barat, terutama musik barat tahun 60
dan 70-an.
Pada awalnya situasi dan kondisi Indonesia kondusif bagi perkembangan
musik barat ini, tetapi kondisi itu berubah menjadi kacau ketika pada masa Orde
Lama. Nada keberatan terhadap musik barat ini dilihat secara politis melalui
kepentingan nasionalisme; musik barat dikatakan sebagai bagian dari
“imperialisme kebudayaan”. Pernyataan imperialisme kebudayaan ini
dikemukakan oleh Soekarno dalam pidato ”Manipol-Usdek” yang kemudian
diputuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung pada bulan September 1959 sebagai
“Garis-Garis Besar Haluan Negara”. Permusuhan terhadap musik barat di
Indonesia dimanipulasi pula oleh kepentingan PKI melalui Lembaga Kesenian

1
Harian Minggu, Konfernas I Lembaga Musik Indonesia: Ganyang Musik Ngak Ngik Ngok
Bangun Yang Berkepribadian Nasional, 1964, hal. 37-38.
2

Rakyat (Lekra), namun demikian lagu-lagu barat masih bebas untuk dimainkan.
Berikut merupakan salah satu penggalan pidato Soekarno terkait pelarangan
musik barat dalm sidang “Manipol-Usdek”.

“Kenapa dikalangan engkau banjak jang tidak menentang imperialisme kebudajaan? Kenapa
dikalangan engkau banjak jang masih rock-‘n-roll rock-‘n-rollan, dansi-dansian a la cha-cha-cha,
musik-musikan, a la ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi?”2

Manifesto Politik atau yang dikenal dengan “Manipol-Usdek” berisikan


strategi dari politik, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.3 Manipol dinyatakan sebagai
program pemerintah, yang merupakan retooling dari alat perjuangan. Program
dari Manipol berupa Tri Program yang berisi:
1. Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-
singkatnya
2. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara
3. Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan
imperialisme politik.4
Penentangan terhadap imperialisme dan kolonialisme inilah yang akhirnya
menjadi dasar dari larangan terhadap musik barat. Pemerintah Indonesia ingin
membabat habis pengaruh-pengaruh barat yang ada di Indonesia, termasuk dalam
bidang musik. Musik Indonesia haruslah musik yang mencerminkan kepribadian
Indonesia, serta dapat dijadikan sebagai bagian dari revolusi yang dapat
membangkitkan jiwa dan semangat para pemuda Indonesia.
Dalam masa Orde Lama, Soekarno merupakan pemimpin besar revolusi
Indonesia, dimana semua yang Soekarno katakan bisa dijadikan sebagai dasar
kebijakan dan harus dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat. Meskipun
kebijakan tersebut tidak ada dasar hukum yang jelas. Begitu pula mengenai
larangan terhadap musik barat. Melalui pidato-pidato yang dilakukan di depan

2
Departemen Penerangan RI, Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 (Jakarta:
Penerbitan Chusus 76, 1962), hal. 62.
3
Cindy Adams, Soekarno Penyambung Lidah Rakyat (Jakarta: Gunung Agung, 1964), hal. 156.
4
Adams, hal. 158.
3

masyarakat, musik barat dinyatakan sebagai musik terlarang di Indonesia. Pidato


Soekarno lainnya yang digunakan dalam pelarangan musik barat yaitu:

“Maka itu he, pemuda-pemuda, awas-awas, kalau masih ada sasak-sasakan, kalau masih ada
beatkebeatlean, kalau masih ada rock-and roll, rock-and roll-an. Ya seperti kawanmu yang
bernama Kus Bersaudara itu, apa itu. Apa tidak punya kita lagu sendiri yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia sendiri, kenapa mesti tiru Elvis Presley, Elvis Presley-an! Lebih
baik kita mempunyai lagu yang seperti dinyanyikan Pak Ali, „Siapa bilang Bapak dari Blitar,
Bapak ini dari Prambanan, Siapa bilang kita lapar, Indonesia cukup makanan”.5

Daftar Pustaka

Adams, Cindy, Soekarno Penyambung Lidah Rakyat (Jakarta: Gunung Agung,


1964)

Departemen Penerangan RI, Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus


1959 (Jakarta: Penerbitan Chusus 76, 1962)

Minggu, Harian, Konfernas I Lembaga Musik Indonesia: Ganyang Musik Ngak


Ngik Ngok Bangun Yang Berkepribasian Nasional, 1964

Rahardjo, Iman Toto K., Bung Karno Gerakan Massa Dan Mahasiswa (Jakarta:
Gramedia, 2001)

5
Iman Toto K. Rahardjo, Bung Karno Gerakan Massa Dan Mahasiswa (Jakarta: Gramedia, 2001),
hal. 40-41.

Anda mungkin juga menyukai