Anda di halaman 1dari 4

Review Buku Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi

Review buku Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, sebuah buku karya Prof.

Dr. R. M. Soedarsono seorang guru besar sejarah seni dan budaya pada fakultas ilmu budaya

dan program pascasarjana Universitas Gajah Mada. Beliau mengenyam pendidikan malang

melintang dunia internasional. Buku ini diterbitkan pada tahun 2002 oleh Gajah Mada

University Press yang merupakan edisi ketiga yang diperluas awalnya buku ini ditulis untuk

tujuan sebagai  referensi bagi perguruan-perguruan tinggi yang dirasa sangat kurang, namun

seiring perkembangannya kemudian buku ini ditulis diperluas dan dikembangkan menjadi

benar-benar beernilai sebagai buku refeensi dan bukan hanya sekedar buku pengantar.

Pada buku ini dijelaskan apa budaya, darimana asalnya, ciri karakteristik budaya yang

diulas, siapa pencipta dan tokoh yang menggeluti, dan keadaan budaya itu di era globalisasi

mulai dari dampak, budaya yang dibaikan namun digembar-gemborkan saat diklaim oleh

negara lain seperti pada kasus Reog Ponorogo yang diklaim oleh Malaysia. Serta budaya

barat yang meluas di tanah air yang mulai mengganti kebudayaan bangsa sendiri. Dalam

buku ini yang akan saya ulas adalah aspek sosiologi yang ada dalam buku ini.

Dalam buku ini dituliskan apa penyabab hidup matinya sebuah seni pertunjukan yang

bermacam-macam, ada yang terjadi perubahan yang disebabkan oleh perubahan politik, ada

yang disebabkan oleh masalah ekonomi , ada yang disebabkan oleh berubahnya selera

masyarakat peminat, dan ada pula yang tidak mampu bersaing dengan kebudayaan lain.

Selain itu msh ada lagi beberapa yang dituliskan dalam buku ini. Dari pernyataan ini saja kita

bisa melihat bahwa seni itu juga dipengaruhi oleh kehidupan politik dan ekonomi yang kedua

tersebut tidak lepas dalam kajian sosiologi dan beberapa penyebab lainnya karena faktor

penyebab tersebut ada dalam diri masyarakat dan dapat menimbulkan permasalahan bagi

masyarakat itu sendiri.  Dan juga tidak mungkin sebaliknya juga Seni memberi pengaruh bagi
kehidupan politik, ekonomi, dan perilaku masyarakat dalam kehidupanya. Seni itu diciptakan

oleh masyarakat namun akan tetapi seni juga akan mengalami apa yang disebut dengan

perubahan yang dilakukan masyarakat pula dalam proses perubahannya akan ada

permasalahan yang timbul dam ada yang untung dan ada yang dirugikan. Sebagai contoh seni

pertujukan sekarang kalah dengan hiburan dari luar seperti bioskop dan lain sebagainya.

Masyarakat indonesia dilihat dari sejarahnya sejak dulu kebanyakan memiliki

keterbukaan dengan dunia luar. Dalam buku ini dituliskan pengaruh budaya lain dari masa ke

masa, seperti misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, Cina, Barat. Di Indonesia sendiri

memiliki lima ratus kelompok etnis dan penduduk yang banyak yang bukan tidak mungkin

mudah terjadi ketegangan antar etnis.  Pernah terjadi masa polemik kebudayaan pada tahun

1928 tanggal 28 oktober yang melahirkan sebuah ikrar yang kemudian kita kenal sebagai

Sumpah Pemuda, yang membawa pula pemikiran yang dilontarkan oleh para cindekiawan

untuk merumuskan, bagaimana kebudayaan Indonesia akan diarahkan menjadi kebudayaan

yang modern. Adu pemikiran ini makin memanasterjadi antara tahun1935 sampai 1939, yang

dikenal dalam sejarah sebagai ‘Polemik Kebudayaan’. Dua kubu yang saling berseberangan

pendapat adalah kubu yang percaya bahwa bangsa Indonesia hanya akan bisa menciptakan

kebudayaan Indonesia yang modern apa bila kiblatnya di arahkan ke barat, sedang kubu yang

satunya membantah bahwa tidak mungkin Indonesia sebagai bangsa timur akan mengarahkan

kebudayaanya ke barat. Kedua kutub pemikiran ini saling serang lewat  berbagai tulisan-

tulisan dan media masa. Tokoh yang sangat gigih untuk Indonesia harus ke arah Barat adalah

Takdir Alisjahbana, sedang lawannya adalah Sanusi Pane. Kemudian seorang cindekiawan

Jawa yang telah mengenyam pendidikan di Barat, Belanda, melihat peristiwa tersebut

kemudian melontarkan pendapat janganlah kita melupakan sejarah kita sendiri dan tertipu

oleh budaya barat lebih baik di ambil yang baik-baik saja. Kemudian dari sinilah saya

menarik kesimpulan budaya yang kita anut sekarang ini adalah wujud dari pembiaran atau
kebebasan untuk memilihnya sendiri mana yang akan kita ikuti tergantung pada diri masing-

masing, dari pengamatan sekilas saja dapat disimpulkan kebudayaan kita yang sekarang itu

lebih banyak yang mengarah ke barat. Tentu saja hal ini akan menimbulkan permasalahan

bagi orang yang memegang budaya timur tentunya karena Indonesia adalah bangsa timur,

atau seseorang yang memiliki kehidupan berbudaya timur namun berada pada kondisi

lingkungan yang berbudaya barat.

Dunia seni adalah dunia yang diciptakan masyarakat tentusaja  banyak akan manusia

akan bergelut dengannya dan merupakan kebutuhannya. Peristiwa ini tentu tidak akan lepas

dari dunia politik sebagai sasaran media kampanye dan kepentingan-kepentingan politik,

pada beberapa masa yang lalu kesenian asal Solo ketoprak yang justru sangat popular di

Yogyakkarta di gaet Partai Komunis Indonesia (PKI) yang paling mencolok pada tahun1950-

an sampai awal tahun1960-an, ketika partai ini mendominasi kehidupan politik tanah air.

James R. Brandon dalam bukunya Theatre in Southeast Asiamemberitakan, bahwa PKI

membentukorgaisasi ketoprak seluruh Indonesia yang diberi nama Badan Kontak Ketoprak

Seluruh Indonesia (BAKOKSI) kebudayaan yang bernama LEKRA (Lembaga Kebudayaan

Rakyat) yang secara langsung berhubungan dengan BAKOKSI selain menampilkan lakon-

lakon yang mengobarkan semangat partai, pernah pula menampilkan cerita yang menghina

agama dengan lakon “Matinya Tuhan”, kemudian disusul judul “Pernikahan Paus”,

sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) juga memiliki organisasi ketoprak yang

bernama Lembaga Ketoprak Nasional (LKN) akan tetapi keanggotaanya hanya seperempat

BAKOKSI, namun gemuruhnya perkembangan ketoprak dikalangan masyarakat yang

berbahasa jawa kemudian berakhir menyusul peristiwa berdaarah pemberontatan PKI yang

gagal yang terjadi pada 30 September 1965. Banyak tokoh-tokoh ketoprak yang membintangi

BAKOKSI harus masuk penjara, karena mereka dituduh sebagai angoota PKI yang sangat

aktif, setelah peristiwa berdarah itu berakhir pertunjukan ini muncul tapi tak senyaring dulu,
bahkan bila dipertunjukan secara komersial hanya sebagai selingan pertunjuka wayang, tidak

hanya masa PKI, pada masa penjajahan Jepang, sejak tahun1942 pertunjukan Ludruk yang

masih bisa berjalan meski dengan pengawasan sering pula memanfaatkan seni pertunjukan

Ludruk untuk keperluan propaganda, namun karena Ludruk berasal dari rakyat sering

dilontarkan pula sindiran-sindiran kepada Jepang sehingga kurang berhasil. Ternyata Ludruk

juga digunkan senjata untuk melawan Jepang lewat sindiran-sindiran yang mengacu  pada

agar rakyat Surabaya berani menentang penindasan Jepang. Pada masa itu group Ludruk

yang paling terkenal adalah group asuhan Cak Durasin, atau yang sering dikenal dengan

Ludruk Durasin. Seiring dengan sindiran-sindiran yang sering muncul Jepang mulai khawatir

kemudian mereka mengambil tindakan dengan memanggil Cak Durasin dan sampai sekarang

tidak diketahui keberadaanya.

Menurut saya ini merupakan fungsi seni bagi masyarakat selain untuk hiburan

ternyata seni juga sebagi media aspirasi rakyat yang ingin didengar. Pada kehidupan sekarang

kita bisa menyaksikan acara hiburan yang yang mengupas tentang apa yang dilakukan 

pemerintah dan terkadang memberikan sindiran serta menyampaikan suaranya, sebagai

contoh seperti acara Sentilan Sentilun, Provocative Provoactive di MetroTv, Bang One di Tv

One, dan saya sering menjumpai acara wayang itu juga menyindir para pejabat dan aparat,

tentang perilaku mereka yang korup. Dari sinilah saya menemukan aspek Sosiologi dalam

buku ini.

Anda mungkin juga menyukai