Anda di halaman 1dari 3

FENOMENA PERDEBATAN SASTRA KONTEKSTUAL: TANGGAPAN VS TANGGAPAN

Pijakan Awal
Perdebatan mengenai sastra kontekstual, ditengarai terjadi pada tahun 1984 dengan pelopornya yaitu
Arief Budiman. Heryanto1 mengungkapkan bahwa awal tumbuhnya sastra kontekstual tertaut pada dua nama,
yakni Arief Budiman dan Sarasehan Kesenian yang berlangsung pada tanggal 28-29 Oktober 1984 di Solo.
Nama Arief Budiman diakui sebagai pelopor faham sastra kontekstual dan Sarasehan Kesenian dianggap
sebagai tempat tercetusnya faham sastra kontekstual tersebut.
Ariel Heryanto, sebagai salah satu tokoh yang menyokong berlangsungnya sastra kontekstual
selanjutnya mengungkapkan bahwa istilah sastra kontekstual pada dasarnya tidak pernah dicetuskan secara
implisit oleh Arief Budiman. Justru Ariel Heryanto yang mengemukakan istilah sastra kontekstual tersebut.
Namun karena pembicaraan Arief Budiman dan Ariel Heryanto dianggap serupa satu sama lain, maka media
seperti Kompas menggaris bawahi dan mencatatnya sebagai peristiwa tercetusnya istilah sastra kontekstual.2
Pandangan Budiman3 istilah sastra kontekstual sendiri merujuk pada kenyataan bahwa setiap karya
sastra yang hadir di bumi ini pada dasarnya tidak bisa tidak tercipta dari suatu konteks sosial-historis yang
terbatas ruang dan waktunya. Kemudian dengan pemahaman seperti demikian, sastra kontekstual ini ditujukan
untuk menjadi penantang paham humanisme universal atau sastra unviersal Manikebu yang sedang berjaya.
Merujuk pada konsep humanisme universal yang menurut Supartono4 merupakan wadah dari
kebebasan manusia serta kebebasan berkarya atau seni untuk seni, tentunya hal tersebut telah mengacu
terhadap definisi kontekstual sendiri. Namun Arief Budiman memandang konsep humanisme universal
tersebut tidak merujuk pada kontekstual. Karena menurut Arief Budiman, setiap karya sastra bisa jadi
kontekstual atau bisa jadi tidak kontekstual.
Karya sastra kontekstual dipahami sebagai karya sastra yang sesuai dengan konteks sosial-historis
masyarakat di sekeliling tempat terciptanya karya tersebut. Tak hanya sebatas itu pula, Arief Budiman sempat
mengkritisi karya sastra “ke-barat-baratan” yang tumbuh berkembang di Indonesia (terutama berkembang di
Taman Ismail Marzuki sebagai poros sastra) dan dianggap tidak kontekstual karena tidak mencerminkan latar
sosiol-historis terciptanya karya sastra tersebut.
Dari pandangan tersebut, kemudian hal ini menjadi perdebatan yang sangat panjang dan keadaan
semakin keruh akibat pernyataan Arief Budiman yang mengungkapkan bahwa harus ada penentang (golongan
kiri) dari sastra universal yang diusung oleh Manikebu agar dunia sastra di Indonesia terus dinamis.

1
Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hal 4.
2
Ibid, hal 15.
3
Ibid, hal 28.
4
Alex Supartono & Edi Cahyono, Lekra vs Manikebu: perdebatan kebudayaan Indonesia, 1950-1965 : skripsi STF Driyarkara.
(Jakarta: Edi Cahyono's Experience,2005) hal 33.
1
Tanggapan VS Tanggapan
Sastra kontekstual yang diusung oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto pada dasarnya selalu
beranggapan bahwa sastra unviersal tidak lahir dari masyarakat, sastra universal bersifat individualistik dari
seroang pengarang. Akan tetapi Ariel Heryanto sendiri tidak bisa menunjukkan letak perbedaan mana saja
karya yang disebut kontekstual dan yang tidak kontekstual. Ariel Heryanto cenderung berdalih bahwa makna
kontekstual itu terletak pada pahamnya, bukan karyanya. Hal tersebut seperti sebagai berikut:
“Dalam versi pemahaman saya, “sastra kontekstual” tidak mempersoalkan karya sastra itu sendiri,
tetapi pemahaman tentangnya. Walau semua karya sastra sudah dengan sendirinya “kontekstual”,
namun tidak semua pemahaman tentangnya yang “kontekstual” (mengkaji hubungan timbal-balik
antara karya itu dengan konteks sosial-historisnya).”5

Dari ungkapan tersebut, sesungguhnya semua karya sastra yang sudah tercipta secara sendirinya
memang sudah kontekstual. Kayam6 mengungkapkan bahwa sastra kontekstual sebagai gebrakan yang cukup
menghangatkan suasana meski sedikit lucu, terang saja sastra kontekstual yang dimaksudkan Arief Budiman
secara kongkritnya tidak ada.
Kemudian makna kontekstual, yakni persepsi bahwa segalanya harus sesuai konteks terhadap daerah
terciptanya karya, sangat keliru sekali jika selanjutnya Arief Budiman sendiri membuat semacam relativitas
terhadap potret migrasi atau urbanisasi. Kayam pada akhir esainya mengingatkan bahwa karya sastra kita
selalu kontekstual karena ia kontekstual dengan kondisi masyarakat kita yang memang sedang digoyahkan
oleh dinamika perubahan dahsyat.
Dari pendapat Umar Kayam yang terbit di majalah horison nomor Februari tersebut, selanjutnya Arief
Budiman membalas kritik tersebut. Menurut Budiman7 tesis dari sastra kontekstual sebenarnya sederhana,
yakni bahwa pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual. Dengan pernyataan ini, kesusastraan jadi
menyadari keterbatasanya dan kekuatannya.
Keterbatasan yang dimaksud, yakni bagaimanapun sastra tidak dapat hidup diluar publik penikmatnya.
Tak ada sastra yang dapat dinikmati oleh semua orang di segala zaman. Sedang kekuatannya ialah sastra
dipaksa untuk menyadari siapa publik penikmat dan mencipta berdasarkan nilai yang nyata, yang hidup
dikalangan publik penikmat tersebut. Dengan begitu, sastra menjadi kontekstual, dia jadi berpijak di bumi
yang nyata bukan di awang-awang lagi.
Selanjutnya Budiman8 mengungkapkan bahwa pernyataan Kayam yang menyebutkan bahwa karya
sastra kita selalu konsekuen kontekstual, justru secara tidak langsung menuding bahwa sastra kita tidak
kontekstual. Budiman juga berdalih bahwa anggapan sastra mapan di Indonesia ialah sastra kebarat-baratan
sesungguhnya merujuk pada sebuah persepsi suka atau tidak suka masyarakat menengah atau atas yang hidup

5
Ariel Heryanto, Op.cit., hal 27.
6
Umar Kayam, Sastra Kontekstual Yang Bagaimana?. (Horison, No. 2/Th. XIX/ Februari, 1985) hal 39-42.
7
Ariel Heryanto, Op.cit., hal 348.
8
Ibid, hal 349.
2
dikota-kota besar di Indonesia hidup secara kebarat-baratan. Pernyataan ini juga sama sekali tidak merujuk
pada pengertian bahwa sastra Indonesia yang kebarat-baratan tidak berpijak di bumi.
Jauh setelah perdebatan sastra kontekstual berakhir, tepatnya sekitar 19 tahun kemudian Saut
Situmorang kembali membahas mengenai perdebatan sastra kontekstual. Menurut Situmorang9 perdebatan
sastra kontekstual baginya sangat mengecewakan. Pertama, apa yang dibicarakan oleh Arief Budiman dalam
Sarasehan Kesenian adalah mengenai sosiologi kesenian yang menurut Saut itu bukanlah masalah sosiologi
kesenian. Terlalu gampang bagi Arief untuk mengklaim pendapatnya sebagai sebuah sosiologi. Apa yang
dikatakan oleh Arief Budiman pada dasarnya klaim-klaim asersif atau kesimpulan mentah, yang satu kalipun
tak pernah dibuktikan.
Selanjutnya Situmorang10 mengungkapkan bahwa kelemahan dari konsep sastra kontekstual ialah
persoalan siapa yang bisa menentukan bahwa “tokoh-tokoh” ataupun “realitas sosial” dalam sebuah karya
sastra kontekstual memang benar-benar merupakan “representasi sebenarnya” dari kontekstualisme sastra
yang dimaksud? Apa kriteria untuk menentukkannya? Isu-isu penting semacam ini tak pernah sekalipun
melintas dalam pemikiran kedua kontekstualis (Ariel Heryanto dan Arief Budiman), apalagi sampai mereka
membicarakannya.
Pijakan Akhir
Berdasarkan pada pembahasan, kemudian tulisan ini disimpulkan kepada dua kesimpulan. Pertama,
sastra kontekstual secara paham dianggap masih menjadi paham mentah karena pada dasarnya sastra di
Indonesia memang sudah kontekstual secara sendirinya.
Kedua, sastra kontekstual tidak memiliki tolak ukur pasti bagi representasi sebenarnya
kontekstualisme dalam sebuah karya. Kemudian hal-hal tersebut tidak pernah sekalipun dibuktikannya secara
kongkrit dalam sebuah karya sastra. Dengan kata lain, bahwa perdebatan sastra kontekstual ini hanya
perdebatan tanggapan dan tanggapan tanpa ada karya sastra yang kongkrit.

Wanda Anggara. Alumni Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Mahasiswa aktif Program
Magister Ilmu Sastra, Pascasarjana Universitas Padjajaran.

9
Sitor Situmorang, Perdebatan Sastra Kontekstual. (Djoernal Sastra Boemi Poetra, Januari, 2014)
10
Ibid
3

Anda mungkin juga menyukai